Nyai Ahmad Dahlan dan Lingkungan Keluarga
tanpa pilihan. Ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri. Siti Walidah mengalami perkawinan sistem famili yang banyak terjadi di Kauman,
sehingga pada umumnya orang tua di kampung Kauman bersaudara karena pertalian darah, satu di antara tiga ikatan yang membentuk karakteristik
masyarakat Kauman. Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kyai
Haji Ahmad Dahlan, pada 1889. Kedudukan Muhammad Darwis terhadap Siti Walidah tak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Muhammad Darwis, lelaki
kelahiran 1868 atau 4 tahun di atas Siti Walidah, adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung Besar Kesultanan Yogyakarta, dengan Siti Aminah
Nyai Abubakar. Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Kyai Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari K.H. Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu
Kesultanan Yogyakarta.
34
Atas perkawinannya itu mereka dikaruniai enam putera: Yohanah, H. Siraj Dahlan, Sitti Busyro, H. Sitti Aisyiyah, Irfan Dahlan Jumhan
dan Siti Yuharon.
35
Sejak menikah dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dia selalu mendampingi suaminya untuk mengembangkan Muhammadiyah. Sebagi istri
yang setia, dia banyak memberi dukungan moril, mengingat suaminya tidak hanya mengurusi organisasi tetapi juga mencari nafkah hidupnya dengan berdagang kain
batik.
36
Dalam memperdagangkan kain batik yang diperdagangkan itu diambil dari saudara-saudaranya maupun tetangganya. Kadang-kadang Nyai Ahmad Dahlan
34
Ibid. hlm. 26
35
Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1990, hlm. 37
36
J.B. Soedarmanta, op.cit, hlm. 189
juga membatik sendiri di rumah sebagai pekerjaan sambilan. Beberapa daerah diantaranya Jawa Barat, Jawa Timur dan Medan telah dijelajahi oleh Kyai Haji
Ahmad Dahlan, untuk menjual barang-barang dagangannya. Beliau adalah orang yang suka bersilaturahmi. Sambil berdagang,kesempatan dipergunakan juga untuk
mengadakan silaturahmi dengan masyarakat yang dikunjungi. Pembicaraan beliau berkisar tentang dakwah agama Islam. Dengan cara-cara demikian itu tidak
mengherankan pemikiran beliau tentang agama Islam cepat tersebar diberbagai daerah. Di tempat itu pula yang dikemudian hari Muhammadiyah tumbuh dan
berkembang. Selama Kyai Haji Ahmad Dahlan pergi berdagang kebeberapa daerah itu
Nyai Ahmad Dahlan tetap di rumah mengawasi pendidikan putera-puterinya dan mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya. Keadaan rumah tangga Kyai Haji
Ahmad Dahlan dapat dijadikan contoh orang-orang disekitarnya. Barang-barang rumah tangga beliau bukanlah termasuk mewah tetapi karena diatur dengan baik
dan rapi sehingga sedap dipandang mata. Rumah serta halamanya bersih. Oleh karena pandainya Nyai Ahmad Dahlan mengatur rumah tangga, tutur katanya
yang halus serta sikapnya yang baik dan ramah itu menyebabkan orang lain suka berkunjung dan merasa kerasan di rumahnya.
37
Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa suaminya adalah seorang pemimpin pergerakan dalam Islam dan sebagai pejuang untuk memajukan
bangsanya yang masih terbelakang. Maka sebagai seorang istri beliau dapat mengimbangi cita-cita suaminya. Pada waktu Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis
37
Suratmin, op.cit, hlm. 29-30
Muhammadiyah beliau selalu mendampinginya. Organisasi Muhammadiyah saat itu belum merupakan suatu perkumpulan yang tersusun dengan baik, tetapi baru
dalam taraf pengumpulan orang-orang di sekitarnya dengan mengadakan pengajian-pengajian. Dalam usaha mencapai cita-citanya yang mulia itu, maka
mula-mula Nyai Ahmad Dahlan adalah satu-satunya tangan kanan suaminya. Nyai Ahmad Dahlan selalu berikhtiar agar jangan sampai gerakan Muhammadiyah itu
hanya terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi beliau berharap dan berinisiatif untuk memberi didikan dan bimbingan pada para ibu.
38
Nyai Ahmad Dahlan mendampingi suaminya bukanlah dalam keadaan senang saja, tetapi juga dalam keadaan bahaya dan kesedihan. Kyai Haji Ahmad
Dahlan sesudah kembali dari bertabligh di Banyuwangi mendapat gangguan, ejekan, dan ancaman.
39
Karena kegiatannya, Nyai Ahmad Dahlan pernah diancam akan dijadikan sandera dan suaminya akan dibunuh bila berani datang ke
Banyuwangi. Namun, pasangan suami-istri itu tetap menjalankan rencananya semula untuk mengunjungi kota itu dan membangun cabang Muhammadiyah.
40
Orang-orang Banyuwangi menghakimi, “Hai ulama palsu yang busuk,
datanglah sekali lagi di Banyuwangi, kalau memang benar ajakanmu Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam, biarlah pulangmu menjadi
bangkai Bawalah isteri sekalian, supaya selesai juga atau kami jadikan budak belian
”.
41
Kalimat bernada sengit mengacam ini memang ditujukan kepada Kyai Haji Ahmad Dahlan. Namun, bukan hanya sang pendiri Muhammadiyah saja yang
38
Loc.cit
39
Suratmin, op.cit, hlm. 35
40
J.B. Soedarmanta, op.cit, hlm. 189
41
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’ Aisyiyah, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 20
menerima dampak psikologis dari ancaman tersebut. Dampak psikologis paling besar dirasakan oleh sang isteri, Nyai Ahmad Dahlan. Dia diancam bakal
dipermalukan sebagai budak belian jika suaminya bersikukuh melaksanakan dakwahnya ke Banyuwangi. Tetapi, dia memang seorang isteri yang tabah.
Sekalipun suaminya diancam bakal dibunuh dan dirinya akan dipermalukan sebagai budak belian, dia tetap konsisten menyokong suaminya berdakwah ke
daerah Banyuwangi, bahkan Jawa Timur. Itu bukan kali pertama Nyai Ahmad Dahlan menerima teror dalam kapasitasnya sebagai isteri sang pembaru. Di masa
awal Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis reformasi Islam dengan cara kreatif berdakwah, dia mesti membiasakan diri berhadapan dengan teror yang ditujukan
kepada suaminya, dan mau tidak mau kepada dirinya juga. Nyai Ahmad Dahlan sepertinya sadar betul, inilah konsekuensi
bersuamikan seorang ulama pembaru, melawan arus pemahaman keagamaan yang telah mapan dan tradisi berdakwah kebanyakan. Isteri Kyai Haji Ahmad Dahlan
itu, tak mencukupkan dirinya sebagai pendamping hidup yang menyokong suaminya dari balik layar. Ia menempatkan dirinya juga sebagai kawan berjuang
Kyai Haji Ahmad Dahlan, merintis pengajian bagi kaum perempuan, baik kaum muda, tua, maupun para buruh batik. Pengajian perempuan itu pula, yang menjadi
pengajian Sopo Tresno yang menjadi embrio gerakan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan juga menyediakan rumahnya untuk pendidikan kaum putri melalui
internaat atau asrama putri, yang selanjutnya direplikasi oleh Aisyiyah di daerah di luar Yogyakarta.
42
42
Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit, hlm. 22