Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta tahun 1914-1946.

(1)

viii

ABSTRAK

PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA DI YOGYAKARTA TAHUN 1914-1946

Oleh:

Fitriliyaningtyas Wulansari Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan mendeskripsikan: (1) Latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan, (2) Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta, (3) Pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita bagi wanita masa kini.

Penulisan makalah ini menggunakan metode sejarah, dengan langkah-langkah: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pembahasan dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosial-budaya. Sedangkan model penulisannya bersifat deskriptif analitis.

Hasil penulisan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan, di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga mendorong anak-anak perempuan mengikuti pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki. Sehingga diperlukan wadah untuk mengembangkan cita-citanya (2) Peran Nyai Ahmad Dahlan terbukti dalam perjuangannya untuk mendirikan organisasi Aisyiyah yang bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuan di Yogyakarta khususnya kampung Kauman (3) Pengaruh dari perjuangan Nyai Ahmad Dahlan adalah wanita-wanita di Yogyakarta semakin maju dalam bersosialisasi maupun yang lainnya. Kegigihan dari Nyai Ahmad Dahlan, memberikan inspirasi bagi wanita-wanita di Yogyakarta, di antaranya adalah Bupati Gunungkidul Ibu Hj. Badingah S.Sos dan Bupati Bantul Ibu Hj. Sri Surya Widati yang tidak lain adalah seorang wanita yang mampu memimpin daerahnya.


(2)

ix

ABSTRACT

THE ROLE OF NYAI AHMAD DAHLAN IN ESTABLISHING ORGANIZATION OF WOMEN IN YOGYAKARTA 1914-1946

By:

Fitriliyaningtyas Wulansari Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) The background of Nyai Ahmad Dahlan’s life, (2) The role of Nyai Ahmad Dahlan in establishing women's organizations in Yogyakarta, (3) The influence of Nyai Ahmad Dahlan’s role in establishing women's organizations for women today.

In writing this paper, the writer used historical method with heuristic, verification, interpretation, and historiography method. The discussion in this papers uses social-cultural approach. The writing style of this study is descriptive-analytical.

The results of this paper show that: (1) The background Nyai Ahmad Dahlan life, besides being a housewife, she encouraged girls to follow education equal men needed to develop their goals (2) The role of Nyai Ahmad Dahlan is evident in its struggle to establish Aisyiyah organization that aims to provide education to girls in Yogyakarta especially in Kauman (3) The influence of Nyai Ahmad Dahlan’s struggle are that women in Yogyakarta advanced in social as well as others. Persistence of Nyai Ahmad Dahlan, has provided the inspiration for women in Yogyakarta, which include Gunungkidul Regent Hj. Badingah S.Sos and Bantul Regent Hj. Sri Surya Widati, the other women who were able to lead the region.


(3)

PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA DI YOGYAKARTA TAHUN 1914-1946

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

FITRILIYANINGTYAS WULANSARI NIM: 101314030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

i

PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA DI YOGYAKARTA TAHUN 1914-1946

MAKALAH

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Oleh:

FITRILIYANINGTYAS WULANSARI NIM: 101314030

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

(7)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Makalah ini penulis persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua ku Bapak Subartono dan Ibu Rahayu yang selalu mendoakan dan mendukungku.

2. Kedua adikku Ningsih dan Ningrum yang selalu memberikan semangat. 3. Keluarga besar trah Karsorejo dan Joyo Wiyono.


(8)

v

HALAMAN MOTTO

Wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa Srikandi. (Nyai Ahmad Dahlan)

Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk hari tua. (Aristoteles)

Sesuatu yang belum dikerjakan, seringkali tampak mustahil, kita baru yakin kalau kita telah berhasil melakukannya dengan baik.

(Evelyn Underhill)

Don’t think be a star if you afraid to try it! (Penulis)

Belajar tidak harus ngoyo yang penting continue dan istiqomah. (Penulis)


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA DI YOGYAKARTA TAHUN 1914-1946

Oleh:

Fitriliyaningtyas Wulansari Universitas Sanata Dharma

2015

Makalah ini bertujuan mendeskripsikan: (1) Latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan, (2) Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta, (3) Pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita bagi wanita masa kini.

Penulisan makalah ini menggunakan metode sejarah, dengan langkah-langkah: heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pembahasan dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosial-budaya. Sedangkan model penulisannya bersifat deskriptif analitis.

Hasil penulisan menunjukkan bahwa: (1) Latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan, di samping sebagai ibu rumah tangga, ia juga mendorong anak-anak perempuan mengikuti pendidikan yang setara dengan kaum laki-laki. Sehingga diperlukan wadah untuk mengembangkan cita-citanya (2) Peran Nyai Ahmad Dahlan terbukti dalam perjuangannya untuk mendirikan organisasi Aisyiyah yang bertujuan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuan di Yogyakarta khususnya kampung Kauman (3) Pengaruh dari perjuangan Nyai Ahmad Dahlan adalah wanita-wanita di Yogyakarta semakin maju dalam bersosialisasi maupun yang lainnya. Kegigihan dari Nyai Ahmad Dahlan, memberikan inspirasi bagi wanita-wanita di Yogyakarta, di antaranya adalah Bupati Gunungkidul Ibu Hj. Badingah S.Sos dan Bupati Bantul Ibu Hj. Sri Surya Widati yang tidak lain adalah seorang wanita yang mampu memimpin daerahnya.


(12)

ix

ABSTRACT

THE ROLE OF NYAI AHMAD DAHLAN IN ESTABLISHING ORGANIZATION OF WOMEN IN YOGYAKARTA 1914-1946

By:

Fitriliyaningtyas Wulansari Sanata Dharma University

2015

This paper aims to describe: (1) The background of Nyai Ahmad Dahlan’s life, (2) The role of Nyai Ahmad Dahlan in establishing women's organizations in Yogyakarta, (3) The influence of Nyai Ahmad Dahlan’s role in establishing women's organizations for women today.

In writing this paper, the writer used historical method with heuristic, verification, interpretation, and historiography method. The discussion in this papers uses social-cultural approach. The writing style of this study is descriptive-analytical.

The results of this paper show that: (1) The background Nyai Ahmad Dahlan life, besides being a housewife, she encouraged girls to follow education equal men needed to develop their goals (2) The role of Nyai Ahmad Dahlan is evident in its struggle to establish Aisyiyah organization that aims to provide education to girls in Yogyakarta especially in Kauman (3) The influence of Nyai

Ahmad Dahlan’s struggle are that women in Yogyakarta advanced in social as

well as others. Persistence of Nyai Ahmad Dahlan, has provided the inspiration for women in Yogyakarta, which include Gunungkidul Regent Hj. Badingah S.Sos and Bantul Regent Hj. Sri Surya Widati, the other women who were able to lead the region.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturken kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan Organisasi Wanita di

Yogyakarta Tahun 1914-1946” ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana, Progam Studi Pendidikan Sejarah. Bagi penulis penyusunan makalah ini telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman yang sangat berguna dalam penyusunan sebuah karya ilmiah.

Penulis menyadari bahwa terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dra. Theresia Sumini, M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.

3. Drs. A.K. Wiharyanto, M.M, selaku dosen pembimbing yang telah sabar membimbing, membantu, dan memberikan banyak pengarahan, saran serta masukan selama penyusunan makalah ini.

4. Seluruh dosen dan pihak sekretariat Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penulis menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma.

5. Bapak, Ibu dan adik-adik yang tercinta, terima kasih atas segala doa dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Universitas Sanata Dharma, serta seluruh keluarga besarku terimakasih atas dukungan dan doanya.

6. Sahabatku Okti, Krismibinata, Ghevhoo, Fersavili serta seluruh teman-teman terutama teman-teman dari Pendidikan Sejarah angkatan 2010,


(14)

(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 7

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

1. Tujuan Penulisan ... 7

2. Manfaat Penulisan ... 8

D.Sistematika Penulisan ... 9

BAB II : LATAR BELAKANG KEHIDUPAN NYAI AHMAD DAHLAN A.Muhammadiyah dan Kaum Perempuan di Kauman Yogyakarta ... 10

B.Nyai Ahmad Dahlan dan Lingkungan Keluarga ... 14

BAB III : PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA DI YOGYAKARTA A. Latar Belakang Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan ... 21

B. Lahirnya Organisasi Aisyiyah ... 24


(16)

xiii

2. Profil Organisasi Aisyiyah ... 27

3. Identitas, Visi dan Misi Aisyiyah ... 30

4. Perkembangan Aisyiyah dan Kegiatannya ... 31

5. Makna Lambang Organisasi Aisyiyah ... 37

C. Pengalaman Nyai Ahmad Dahlan dalam Memimpin Aisyiyah .. ... 38

BAB IV : PENGARUH PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI WANITA BAGI WANITA MASA KINI A. Pengaruh Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan OrganisasiWanita………..………. 42

B. Pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita bagi wanita masa kini serta nilai-nilai yang dapat diperjuangkan wanita masa kini ... 46

BAB V : KESIMPULAN ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(17)

xiv

LAMPIRAN

Silabus ... 53 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran ... 57 Gambar ... 68


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah pergerakan nasional, tidak dipungkiri munculnya pahlawan-pahlawan wanita seperti R.A Kartini, Dewi Sartika, Nyai Ahmad Dahlan dan lain-lain. Namun betapapun juga, ia tetap merupakan manusia biasa. Sedangkan watak atau kepribadian seorang pahlawan tidak mungkin dilihat terlepas dari pengaruh lingkungan keluarga, masyarakat, dan tata nilai yang berlaku pada zamannya. Perempuan yang telah hidup dalam zaman tertentu, dan sebagai pribadi mempunyai potensi (kemampuan) berpikir serta mempunyai perasaan tertentu.1

Termasuk dari pandangan agama berbicara mengenai kedudukan perempuan dalam pandangan Islam, dapat ditegaskan bahwa, tidak sebagaimana diduga atau dipraktikkan dalam sementara masyarakat, ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. 2

Dalam ajaran Islam yang bersumber kepada Quran dan Sunah, banyak menitikberatkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan sosial. Salah satu masalah yang menjadi titik perhatiannya adalah kaum wanita. Dalam kaitannya itu, Islam yang berpedoman kepada Quran dan Sunah itu, memberi perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, sebagai istri, sebagai ibu, maupun sebagai anggota keluarga lainnya

1

Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli, Kartini Pribadi Mandiri, Jakarta, Gramedia, 1990, hlm. xiii

2

Lies M. Marcoes-Natsi dan Johan Hendrik Meuleman, “Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual”, Kumpulan Makalah Seminar, Seri INIS XVIII, Jakarta, INIS, 1993, hlm. 3


(19)

dan sebagai anggota masyarakat. Jika dilihat dari segi pengabdian antara laki-laki dan wanita, maka sesungguhnya Islam tidak membedakan dua jenis makhluk tersebut. Perbedaan yang dijadikan ukuran untuk meningkatkan atau merendahkan derajat mereka hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT.3 Oleh karena itu sangatlah tepat bahwa wanita harus berpendidikan cukup karena wanita harus sadar akan hal itu, dan wanita sendiri yang pertama-tama harus menanamkan kesadaran itu kepada sesama wanita juga. 4

Untuk memberikan kesempatan dan tempat kepada wanita terjun dalam masyarakat, maka adanya organisasi kemasyarakatan, keagamaan, sosial, khusus untuk wanita adalah sangat membantu.5 Seperti halnya pergerakan wanita Indonesia sangat erat hubungannya dengan Pergerakan Kebangsaan Indonesia dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari padanya. Di samping memperjuangkan perbaikan kedudukan wanita, maka pergerakan wanita Indonesia juga memperjuangkan tercapainya kemerdekaan Indonesia, mempertahankan dan kemudian mengisi kemerdekaan dengan pembangunan bangsa dan negara.6 Sejarah gerakan perempuan di Indonesia ini telah melewati perjuangan yang sangat panjang. Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah banyak muncul tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi perempuan. Organisasi tersebut dibangun demi kepentingan kaum perempuan, untuk memperjuangkan posisi perempuan dalam perkawinan dan kehidupan keluarga, mempertinggi kecakapan dan pemahaman ibu sebagai pemegang dan yang menentukan jalannya rumah

3Ibid

, hlm. 19

4

Ibid, hlm. 36

5Ibid

, hlm. 40

6

Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 1


(20)

tangga dalam suatu keluarga. 7 Karena wanita sebagai ibu, dalam pandangan Islam, punya kedudukan yang mulia.8 Dengan jalan menambah lapangan pengajaran, memperbaiki pendidikan, dan mempertinggi kecakapan-kecakapan sebagai perempuan, hal itu merupakan hal yang utama bagi organisasi tersebut.9

Pergerakan wanita di Indonesia tidak timbul secara tiba-tiba karena kesadaran wanita Indonesia telah dirintis oleh para pahlawan wanita dan tokoh perintis seperti Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan lain-lain. Secara langsung atau tidak langsung mereka telah memberikan inspirasi dan dorongan yang tidak kecil artinya bagi perkembangan pergerakan wanita Indonesia.10

Sebelum abad ke-20, gerakan wanita merupakan orang perorangan, belum dalam susunan perkumpulan atau organisasi. Namun usaha dan perjuangan mereka telah merintis jalan kearah kemajuan wanita Indonesia, seperti Nyai Ageng Serang, Martha Christina Tiahahu, Cut Nyak Dien dan Cut Mutiah mereka telah berjuang mengangkat senjata bahu-membahu dengan kaum pria menentang penajah Belanda. Dengan secara tidak langsung mereka merupakan sumber inspirasi dan dorongan bagi para pejuang wanita Indonesia pada masa revolusi fisik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keadaan dan kedudukan wanita Indonesia pada waktu itu sangat terbelakang, karena adat istiadat yang mengekang, kurangnya pendidikan dan pengajaran, kesewenang-wenangan dalam perkawinan, dan lain-lain. Hal ini pada dasarnya merupakan akibat dari sistem penjajahan yang menindas dan menghambat kemajuan. Beberapa perintis wanita

7

AK. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Jakarta, Dian Rakyat, 1970, hlm. 20

8

Lies M. Marcoes-Natsi dan Johan Hendrik Meuleman, op.cit, hlm. 22

9

AK. Pringgodigdo, op. cit, hlm. 21

10


(21)

menyadari bahwa hanya dengan jalan pendidikanlah, maka kedudukan dan peranan wanita dapat ditingkatkan dalam keluarga dan masyarakat. Seperti halnya Kartini menganjurkan emansipasi wanita melalui pendidikan, agar wanita lebih cakap melaksanakan peranannya sebagai ibu dan pendidik pertama dari manusia.11

Pada waktu itu kehidupan wanita masih sangat terikat dan dibatasi oleh adat. Kartini menghendaki persamaan hak bagi wanita dan untuk itu ia mendambakan pengajaran bagi anak-anak gadis. Dengan diberi pendidikan, wanita akan lebih cakap menunaikan tugas utamanya yaitu sebagai pendidik pertama dari manusia. Usaha yang pertama adalah mendirikan sebuah kelas kecil untuk anak-anak gadis di mana mereka diberi pelajaran membaca, menulis, memasak, menjahit, dan keterampilan lainnya. Dengan menghayati isi buku-buku yang dibacanya, Kartini berkesimpulan bahwa, Tuhan menjadikan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang sama, jiwanya sama, hanya bentuknya yang berlainan. Karena itu kedudukannya juga tidak boleh dibeda-bedakan. Itulah dasar cita-cita dan perjuangan Kartini.12 Kemudian muncul generasi-generasi berikutnya, yakni ada Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Nyai Dahlan, dan Rahmah El Yunusiyyah adalah pelopor pendidikan wanita. Semua wanita perintis tersebut telah mendapat penghargaan dan diangkat sebagai pahlawan nasional, kecuali Rahma El Yunusiyyah yang pengusulannya sebagai pahlawan Nasional yang belum dikabulkan.13

11

Ibid, hlm. 2-3

12Ibid

, hlm. 8

13Ibid


(22)

Memasuki awal abad ke-20 muncul organisasi-organisasi perempuan modern. Organisasi formal perempuan pertama, Puteri Mardika pada tahun 1912 di Jakarta, memperjuangkan pendidikan kaum perempuan, mendorong kaum perempuan agar tampil di depan umum. Dengan berkembangnya kesadaran dan keinginan kaum perempuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak dan mempertinggi derajat dalam kehidupan di masyarakat, pada tahun-tahun berikutnya berdiri organisasi-organisasi perempuan yang ada di daerah-daerah di tingkat lokal. Sesudah tahun 1920 muncul organisasi-organisasi perempuan di bawah garis agama. Di Yogyakarta berdiri organisasi Wanudjio Utomo pada tahun 1920, sementara pada tahun 1925 berdiri serikat Putri Islam. Selain organisasi perempuan Islam, juga berdiri organisasi perempuan Katolik dan Prostetan. Wanita Katolik di Yogyakarta pada tahun 1924 telah bergerak dalam pekerjaan sosial. Pergerakan perempuan mengalami transformasi dan memiliki kemauan yakni mulai muncul kesadaran berpolitik. Dengan mengadakan beberapa konggres yang menghasilkan cara-cara kaum perempuan dalam merumuskan

gender.14 Sebelumnya juga berdiri Aisyiyah yang didirikan pada tanggal 27

Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tanggal 22 April 1917 Masehi di Yogyakarta.15

Peranan wanita Indonesia dalam menegakkan kehidupan bangsa tidak dapat diabaikan begitu saja. Sudah sejak lama mereka bahu-membahu dengan

14

Hikmah Diniah, Gerwani Bukan PKI Sebuah Gerakan Feminisme Terbesar di Indonesia, Yogyakarta, Carasvatibooks, 2007, hlm. 5-6

15


(23)

kaum pria untuk mewujudkan cita-cita bangsa.16 Di sinilah kaum wanita Indoesia membuktikan diri dan memberikan andil yang cukup besar dan berarti bagi perjuangan bangsa. Peranan yang dilakukan meliputi segala aspek kegiatan sejauh kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.17 Oleh karena itu bukanlah tanpa sebab bila tokoh-tokoh wanita yang terkemuka dalam masyarakat Indonesia pada masa berikutnya bergerak pada bidang pendidikan (pengajian) seperti yang digagaskan oleh Nyai Ahmad Dahlan.

Nyai Ahmad Dahlan, nama kecilnya Siti Walidah adalah puteri Kyai Muhammad Fadhli, Penghulu Keraton Yogyakarta. Suaminya Kyai Haji Ahmad Dahlan, adalah pendiri Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912.18 Isteri Dahlan itu, tak mencukupkan dirinya sebagai pendamping hidup yang menyokong suaminya dari balik layar. Ia menempatkan dirinya juga sebagai kawan berjuang Kyai Dahlan, merintis pengajian bagi kaum perempuan, baik kaum muda, tua, maupun para buruh batik.19 Pada tahun 1914 Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Sopo Tresno. Pada tahun 1917 Sopo Tresno dirubah menjadi Aisyiyah.20 Gerakan Aisyiyah menjadi wadah ketercerahan perempuan, di tengah konteks sosial keagamaan bahwa perempuan lebih sering sebagai objek dakwah dengan ruang gerak yang terbatas.21

16

G.A Ohorella, dkk, Peranan Wanita Indonesia Dalam Masa Pergerakan Nasional, Jakarta, proyek IDSN, Debdikbud, 1992, hlm. 1

17

Nana Nurliana, dkk, Peranan Wanita Indonesia di Masa Perang Kemerdekaan 1945-1950, Jakarta, proyek IDSN, Debdikbud, 1986, hlm. 3

18

Kowani, op. cit, hlm. 11

19Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati,

Srikandi-Srikandi’Aisyiyah, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 21-22

20

Kowani, op.cit, hlm. 11

21Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit


(24)

Dari latar belakang di atas penulis mencoba untuk menganalisis lebih dalam mengenai peran tokoh emansipasi wanita dari Yogyakarta yang penuh semangat memperjuangankan mengangkat derajat kaum perempuan dengan melalui suatu organisasi gerakan wanita.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi objek penulisan ini. Adapun permasalahannya sebagai berikut, yaitu:

1. Bagaimana latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan ?

2. Bagaimana peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta ?

3. Apa pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita pada masa kini ?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Penulisan ini secara umum diarahkan untuk menjawab berbagai masalah yang berkaitan dengan Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta tahun 1914-1946. Untuk itu penulisan ini bertujuan untuk:

1.1.Untuk mendeskripsikan dan menganalisis latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan.

1.2. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta.


(25)

1.3. Untuk mendeskripsikan dan menganalisis pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan organisasi wanita bagi wanita masa kini.

2. Manfaat Penulisan

2.1 Bagi Universitas Sanata Dharma Khususnya FKIP

Penulisan ini diharapkan untuk menambah bahan bacaan yang berguna bagi pembaca baik yang berada di lingkungan Universitas Sanata Dharma maupun bagi pembaca yang berada di luar Universitas Sanata Dharma

khususnya mengenai “Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan

Organisasi Wanita di Yogyakarta Tahun 1914-1946”. 2.2Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan

Penulisan ini diharapkan bias menjadi referensi dan menambah perbendaharaan dalam pengembangan sejarah khususnya tentang “Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan Organisasi Wanita di Yogyakarta Tahun 1914-1946”.

2.3Bagi Pengembangan Diri

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan dalam menulis karya

ilmiah khususnya tentang “Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan Organisasi Wanita di Yogyakarta Tahun 1914-1946”. Penulis juga berharap, tulisan ini dapat menjadi bahan refleksi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, berfungsi sebagai pelajaran tentang pentingnya menanamkan sikap menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan dan tingkat sosial, agar tidak terjadi diskriminasi gender.


(26)

D.Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh mengenai isi makalah yang berjudul “Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan Organisasi Wanita di Yogyakarta Tahun 1914-1946” ini, maka akan dijelaskan secara singkat sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan dan sistematika penulisan. Bab II : Uraian tentang latar belakang kehidupan Nyai Ahmad Dahlan. Bab III : Uraian tentang peran Nyai Ahmad Dahlan dalam mendirikan

organisasi wanita di Yogyakarta.

Bab IV : Uraian mengenai pengaruh Nyai Ahmad Dahlan dalam menidrikan organisasi wanita bagi wanita masa kini.


(27)

BAB II

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN NYAI AHMAD DAHLAN

A.Muhammadiyah dan Kaum Perempuan di Kauman Yogyakarta

Pada umumnya dalam kebanyakan bangsa, dari dahulu sampai sekarang wanita memang selalu berada pada posisi kedua dalam kedudukannya di masyarakat. Walaupun harus diakui sebenarnya wanita mempunyai peranan penting dalam keluarga, sebab seorang wanita yang meletakkan dasar pertama dalam membimbing anak untuk perkembangan selanjutnya dari akal budi anak dan kemudian akan menjadi penuntun bagi anak tersebut dalam menjalani kehidupan selanjutnya.22 Di samping itu, kegiatan kaum wanita berkembang pula. Kegiatan tersebut tidak hanya dalam rumah tangga tetapi juga berkembang pula di masyarakat, bahkan untuk kepentingan bangsa. Lewat organisasi kegiatan seperti itu juga ditunjukkan untuk wanita-wanita dari kampung Kauman.

Sampai akhir abad ke-19, masyarakat kampung Kauman masih mempertahankan tradisi lama. Selain mempertahankan tradisi turun-temurun, mereka juga bersikap tertutup, mengisolasi diri dari perkembangan dunia di luar kampung Kauman. Di luar kampung, gerakan kebangkitan kaum bumiputra tengah menggeliat ketika dokter Wahidin Soedirohoesodo membidani kelahiran organisasi Boedi Oetomo (BO). Tetapi, masyarakat kampung Kauman seakan tak tergerak untuk berpartisipasi aktif dalam gerakan kebangkitan kaum bumiputra.23

22

Ny. Maria Ulfah Subandio dan Ny. T. O. Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia Bunga Rampai Tulisan-Tulisan, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 1978, hlm. 36

23Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’ Aisyiyah

, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 1


(28)

Dengan berpegang kuat pada akar tradisi, kaum Muslimin di Kauman menolak segala macam bentuk budaya baru yang dibawa oleh kaum kolonial Belanda. Dalam pandangan mereka, segala apa yang dibawa oleh kaum kolonial dianggap haram. Hukumnya haram jika menuntut ilmu di sekolah Belanda. Mengenakan pakaian jas dan celana panjang juga dianggap haram. Para gadis tidak diperkenankan keluar rumah untuk melakukan aktivitas sebagaimana kaum laki-laki. Mereka hanya diperkenankan beraktivitas di dalam rumah. Karena dalam tradisi Jawa, status perempuan diungkapkan lewat pepatah,24 “suwargo

nunut, neroko katut"25 dengan istilah ini menempatkan wanita yang sangat

tergantung kepada pasangan hidupnya, dimana wanita tidak mempunyai eksistensi diri.

Melihat kondisi yang seperti itu muncullah seorang ulama dari Keraton Yogyakarta, Kyai Haji Ahmad Dahlan, mencoba merintis jalan baru menuju perubahan. Dia bukanlah seorang intelektual hebat. Dia juga bukan seorang aktivis pergerakan bumiputera. Namun, sejak menjabat sebagai Khatib Amin (1896), dia selalu tak sejalan dengan para ulama tradisional yang memandang serba haram segala apa yang dibawa olah kaum kolonial. Dia juga menyadari, kaum Muslimin tertinggal jauh dengan kaum kolonial Belanda dalam hal kehidupan dunia. Untuk mengejar ketertingglan, kaum Muslimin harus bisa memanfaatkan budaya baru yang dibawa oleh kaum kolonial sebagai alat untuk

24Ibid

, hlm. 43

25suwargo nunut, neroko katut” artinya

: jika suami masuk surga istri juga ikut masuk ke surga, jika suami masuk neraka istri juga ikut masuk neraka. Jadi seorang istri akan mengikuti kemanapun suaminya pergi termasuk sampai ke surga dan masuk ke neraka sekalipun.


(29)

memajukan agama Islam. Karena jabatannya sebagai ulama Kraton, maka Kyai Haji Ahmad Dahlan sekaligus Khatib Amin di Masjid Besar di Yogyakarta.

Sejak BO berdiri (1908), Kyai Haji Ahmad Dahlan memang telah terinspirasi untuk mendirikan sebuah perkumpulan (organisasi). Atas jasa Mas Djojosoemarto, Kyai Haji Ahmad Dahlan dapat mengikuti perkumpulan yang diselenggarakan oleh BO. Kyai Haji Ahmad Dahlan diberikan kesempatan mengisi pengajian agama di Kweekschool di Jetis. Dalam sebuah kesempatan, Mas Radji, salah seorang murid Kweekschool, mengutarakan usul supaya Kyai Haji Ahmad Dahlan mengelola pengajian lewat sebuah organisasi. Terhitung sejak murid Kweekschool ini mengajukan usulan membentuk organisasi, Kyai Haji Ahmad Dahlan terus memikirkan perkumpulan yang akan didirikan. Dengan mendapatkan dukungan dari pemuda-pemuda kampung Kauman dan beberapa anggota BO, Kyai Haji Ahmad Dahlan mendirikan sebuah perkumpulan yang kemudian dikenal dengan nama “Muhammadiyah”. Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 18 November 1912 Masehi atau 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah.

Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan Muhammadiyah, tetapi dia juga menaruh perhatian besar terhadap kehidupan kaum perempuan. Dalam pandangan Kyai Haji Ahmad Dahlan, kaum perempuan memiliki hak-hak sepadan dengan kaum pria dalam berpartisipasi memajukan agama dan masyarakat. Di samping berperan dalam rumah tangga, kaum perempuan juga mampu berperan aktif dalam pembangunan masyarakat. Gagasan brilian Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir seabad silam ketika masyarakat Kauman masih memandang kaum perempuan sekedar konco wingking (“teman dibelakang” yang hanya mengurusi


(30)

persoalan rumah tangga). Menanamkan gagasan pembaruan yang melibatkan peran kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat pada awal abad ke-20 jelas bukannya tanpa hambatan. Tetapi Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, telah mengawali gagasan perubahan lewat pendekatan kekeluargaan yang sangat egaliter. Langkah yang dilakukan adalah mendorong kaum perempuan, terutama para gadis, untuk belajar dan memasuki sekolah-sekolah umum. Gadis-gadis yang mengawali tradisi baru dalam masyarakat Kauman tidak lain adalah putri-putri dari sahabat karib Kyai Haji Ahmad Dahlan. Mereka adalah Siti Bariyah (putri Haji Hasyim Ismail), Siti Wadingah, dan Siti Dwimah (kemenakan Haji Fachrodin). Ketiganya dianjurkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk masuk ke Neutraal Meisjes School di Ngupasan.

Usaha Kyai Haji Ahmad Dahlan ini bukannya tanpa halangan. Reaksi para ulama tradisional di kampung Kauman cukup keras. Dalam pandangan mereka,

Neutraal Meisjes School (Sekolah Netral) adalah lembaga pendidikan yang

dikelola oleh kaum kafir. Siapa yang masuk ke sekolah tersebut, maka dianggap kafir pula. Ketiga gadis Kauman yang dianggap telah menjadi kafir karena mendapat anjuran dari Kyai Haji Ahmad Dahlan. Dengan begitu, Kyai Haji Ahmad Dahlan dituduh telah merusak kaum perempuan.

Mendapat reaksi keras dari para ulama tradisional di kampung Kauman, Kyai Haji Ahmad Dahlan makin bersemangat dalam menjaga para gadis yang telah sukses masuk Sekolah Netral. Ini dibuktikan dengan langkah Kyai Haji Ahmad Dahlan memasukkan gadis-gadis yang lain untuk sekolah di lembaga pendidikan umum. Selain menganjurkan para gadis di Kauman untuk menuntut


(31)

ilmu di sekolah umum, Kyai Haji Ahmad Dahlan juga menyelenggarakan sekolah agama (Madrasah Diniyah) di depan rumahnya. Pendiri Muhammadiyah ini menganjurkan kepada gadis-gadis di Kauman supaya menuntut ilmu tanpa melihat status lembaga pendidikan dan siapa yang mengajarnya.26

Usaha Kyia Haji Ahmad Dahlan mendapat dukungan penuh dari isteri, Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), dalam menggerakkan gadis-gadis di Kauman untuk masuk ke sekolah umum. Bahkan, Nyai Ahmad Dahlan inilah yang banyak berjasa dalam mempersiapkan kader-kader perempuan Muhammadiyah.27

Oleh seba itu, Nyai Ahmad Dahlan, salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia, juga telah meletakkan dasar-dasar perjuangan persamaan hak-hak kaum perempuan dalam Islam. Dengan memberikan pesannya kepada santri-santri perempuannya cukup tegas, yakni agar wanita jangan memiliki jiwa kerdil, tetapi berjiwa srikandi. Pesan Nyai Ahmad Dahlan ini memang telah menggores di sanubari para santri perempuan asuhannya. Terbukti, telah banyak pemimpin perempuan di Aisyiyah yang memiliki jiwa srikandi.28

B.Nyai Ahmad Dahlan dan Lingkungan Keluarga

Manusia dimana mereka hidup bayak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik kehidupan keluarga, masyarakat sekeliling, dan juga pendidikan yang diterimanya. Ketiga lingkungan ini saling kait mengait dalam membentuk sikap tingkah laku dan pribadi seseorang. Dari lingkungan dan kehidupan masyarakat

26Ibid

, hlm. 13

27Mu’arif d

an Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’ Aisyiyah, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 11

28Ibid


(32)

kampung Kauman ini maka terbentuklah pribadi muslim yang kuat dan teguh pada diri Nyai Ahmad Dahlan.29

Nyai Ahmad Dahlan, nama kecilnya Siti Walidah adalah putri Kyai Muhammad Fadhli, Penghulu Kraton Yogyakarta.30 Lahir di kampung Kauman pada 1872 M, anak keempat dari tujuh bersaudara: Kyai Lurah Nur, Haji Ja’far, Nyai Wardanah Husin, Siti Walidah (Nyai Ahmad Dahlan), Haji Dawud, K.H. Ibrahim, dan K.H. Zaini. Semula, ayah Walidah berperofesi sebagai penghulu Kraton, tetapi diberhentikan karena sebuah sebab tertentu. Lalu, ia menekuni profesi sebagai saudagar batik. Kebanyakan, masyarakat Kauman bekerja sebagai

Abdi Dalem Pamethakan atau Abdi Dalem Putihan, sedangkan para istri bekerja

sambil membatik di rumah. Ternyata, usaha batik maju pesat, sehingga mengundang warga Kauman bekerja rangkap sebagai abdi dalem dan pengusaha batik. Kyai Fadhil termasuk juragan (batik) kaya di Kauman, sehingga kehidupan ekonomi Siti Walidah terbilang mapan.

Rata-rata, anak-anak di Kauman, termasuk anak-anak perempuan difasilitasi belajar agama, demikian juga Siti Walidah, dibimbing oleh orangtuanya atau para ulama Kauman di langgar-langgar.31 Meskipun secara formal, Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah umum, kecuali mengaji Al Quran dan mendapat pelajaran agama dalam bahasa jawa

29

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah, 1990, hlm. 7

30

Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 11

31Mu’arif dan Haja


(33)

berhuruf Arab.32 Tidak heran, jika di Kauman ada banyak ulama, dan kebanyakan masyarakatnya menyadari betul pentingnnya pendidikan agama, tapi tidak dengan pengetahuan umum. Meski demikian, isteri Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak merasa malu belajar membaca dan menulis latin bersama peserta pengajian perempuan atau para tetangga seusianya. Awal abad ke-20, sekitar dekade kedua atau ketiga, ketika berlangsung pembelajaran baca tulis Latin di pengajian perempuan di Kauman, usia Walidah sudah di atas 40-an atau 50-an, tapi semangat belajarnya masih tetap tinggi. Siti Walidah belajar menulis Latin lewat bimbingan Ibu Tjitrosoebono, istri tuan S. Tjitrosoebono (Commissie van Redactie Soeara Mohammadijah 1929-1930). Setelah berhasil belajar menulis Latin, Siti Walidah digambarkan sudah mulai dapat menulis bon, seperti ketika minta sapu dalam jumlah tertetu.33

Sejak kecil, Siti Walidah memang menonjol dibandingkan kawan-kawannya, lebih berani dan lancar bicaranya. Kemampuannya berdakwah diasahnya sejak Kyai Fadhil menaruh kepercayaan kepada putrinya ini untuk membantu mengajar di langgarnya atau bias disebut Langgar Kyai Fadhil. Pengalaman mengajar tersebut tentu membantu Siti Walidah mengelolah pengajian perempuan yang dirintisnya, yang kelak bakal menjadi pegiat-pegiat Aisyiyah awal. Ia digambarkan piawai mengajar. Caranya mengajar membikin terpikat murid-muridnya di Langgar. Siti Walidah juga dikenal pandai memotivasi murid-muridnya belajar, dan itu tetap berlanjut hingga Siti Walidah menikah. Begitu dianggap layak menikah, Siti Walidah berhadapan dengan perjodohan

32

J.B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 189

33


(34)

tanpa pilihan. Ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri. Siti Walidah mengalami perkawinan sistem famili yang banyak terjadi di Kauman, sehingga pada umumnya orang tua di kampung Kauman bersaudara karena pertalian darah, satu di antara tiga ikatan yang membentuk karakteristik masyarakat Kauman.

Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan, pada 1889. Kedudukan Muhammad Darwis terhadap Siti Walidah tak lain adalah saudara sepupunya sendiri. Muhammad Darwis, lelaki kelahiran 1868 atau 4 tahun di atas Siti Walidah, adalah putra K.H. Abubakar, Khatib Amin Masjid Agung (Besar) Kesultanan Yogyakarta, dengan Siti Aminah (Nyai Abubakar). Baik Siti Aminah, Ibu Darwis, maupun Kyai Fadhil, ayah Walidah, adalah anak-anak dari K.H. Ibrahim, yang pernah menjabat Penghulu Kesultanan Yogyakarta.34 Atas perkawinannya itu mereka dikaruniai enam putera: Yohanah, H. Siraj Dahlan, Sitti Busyro, H. Sitti Aisyiyah, Irfan Dahlan (Jumhan) dan Siti Yuharon.35 Sejak menikah dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, dia selalu mendampingi suaminya untuk mengembangkan Muhammadiyah. Sebagi istri yang setia, dia banyak memberi dukungan moril, mengingat suaminya tidak hanya mengurusi organisasi tetapi juga mencari nafkah hidupnya dengan berdagang kain batik.36

Dalam memperdagangkan kain batik yang diperdagangkan itu diambil dari saudara-saudaranya maupun tetangganya. Kadang-kadang Nyai Ahmad Dahlan

34Ibid

. hlm. 26

35

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1990, hlm. 37

36


(35)

juga membatik sendiri di rumah sebagai pekerjaan sambilan. Beberapa daerah diantaranya Jawa Barat, Jawa Timur dan Medan telah dijelajahi oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan, untuk menjual barang-barang dagangannya. Beliau adalah orang yang suka bersilaturahmi. Sambil berdagang,kesempatan dipergunakan juga untuk mengadakan silaturahmi dengan masyarakat yang dikunjungi. Pembicaraan beliau berkisar tentang dakwah agama Islam. Dengan cara-cara demikian itu tidak mengherankan pemikiran beliau tentang agama Islam cepat tersebar diberbagai daerah. Di tempat itu pula yang dikemudian hari Muhammadiyah tumbuh dan berkembang.

Selama Kyai Haji Ahmad Dahlan pergi berdagang kebeberapa daerah itu Nyai Ahmad Dahlan tetap di rumah mengawasi pendidikan putera-puterinya dan mencukupi kebutuhan hidup rumah tangganya. Keadaan rumah tangga Kyai Haji Ahmad Dahlan dapat dijadikan contoh orang-orang disekitarnya. Barang-barang rumah tangga beliau bukanlah termasuk mewah tetapi karena diatur dengan baik dan rapi sehingga sedap dipandang mata. Rumah serta halamanya bersih. Oleh karena pandainya Nyai Ahmad Dahlan mengatur rumah tangga, tutur katanya yang halus serta sikapnya yang baik dan ramah itu menyebabkan orang lain suka berkunjung dan merasa kerasan di rumahnya.37

Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa suaminya adalah seorang pemimpin pergerakan dalam Islam dan sebagai pejuang untuk memajukan bangsanya yang masih terbelakang. Maka sebagai seorang istri beliau dapat mengimbangi cita-cita suaminya. Pada waktu Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis

37


(36)

Muhammadiyah beliau selalu mendampinginya. Organisasi Muhammadiyah saat itu belum merupakan suatu perkumpulan yang tersusun dengan baik, tetapi baru dalam taraf pengumpulan orang-orang di sekitarnya dengan mengadakan pengajian-pengajian. Dalam usaha mencapai cita-citanya yang mulia itu, maka mula-mula Nyai Ahmad Dahlan adalah satu-satunya tangan kanan suaminya. Nyai Ahmad Dahlan selalu berikhtiar agar jangan sampai gerakan Muhammadiyah itu hanya terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi beliau berharap dan berinisiatif untuk memberi didikan dan bimbingan pada para ibu.38

Nyai Ahmad Dahlan mendampingi suaminya bukanlah dalam keadaan senang saja, tetapi juga dalam keadaan bahaya dan kesedihan. Kyai Haji Ahmad Dahlan sesudah kembali dari bertabligh di Banyuwangi mendapat gangguan, ejekan, dan ancaman.39 Karena kegiatannya, Nyai Ahmad Dahlan pernah diancam akan dijadikan sandera dan suaminya akan dibunuh bila berani datang ke Banyuwangi. Namun, pasangan suami-istri itu tetap menjalankan rencananya semula untuk mengunjungi kota itu dan membangun cabang Muhammadiyah.40

Orang-orang Banyuwangi menghakimi, “Hai ulama palsu yang busuk, datanglah sekali lagi di Banyuwangi, kalau memang benar ajakanmu! Kami akan menyambut kedatanganmu dengan belati tajam, biarlah pulangmu menjadi bangkai! Bawalah isteri sekalian, supaya selesai juga atau kami jadikan budak belian!”.41

Kalimat bernada sengit mengacam ini memang ditujukan kepada Kyai Haji Ahmad Dahlan. Namun, bukan hanya sang pendiri Muhammadiyah saja yang

38Loc.cit 39

Suratmin, op.cit, hlm. 35

40

J.B. Soedarmanta, op.cit, hlm. 189

41Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi’ Aisyiyah

, Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 20


(37)

menerima dampak psikologis dari ancaman tersebut. Dampak psikologis paling besar dirasakan oleh sang isteri, Nyai Ahmad Dahlan. Dia diancam bakal dipermalukan sebagai budak belian jika suaminya bersikukuh melaksanakan dakwahnya ke Banyuwangi. Tetapi, dia memang seorang isteri yang tabah. Sekalipun suaminya diancam bakal dibunuh dan dirinya akan dipermalukan sebagai budak belian, dia tetap konsisten menyokong suaminya berdakwah ke daerah Banyuwangi, bahkan Jawa Timur. Itu bukan kali pertama Nyai Ahmad Dahlan menerima teror dalam kapasitasnya sebagai isteri sang pembaru. Di masa awal Kyai Haji Ahmad Dahlan merintis reformasi Islam dengan cara kreatif berdakwah, dia mesti membiasakan diri berhadapan dengan teror yang ditujukan kepada suaminya, dan mau tidak mau kepada dirinya juga.

Nyai Ahmad Dahlan sepertinya sadar betul, inilah konsekuensi bersuamikan seorang ulama pembaru, melawan arus pemahaman keagamaan yang telah mapan dan tradisi berdakwah kebanyakan. Isteri Kyai Haji Ahmad Dahlan itu, tak mencukupkan dirinya sebagai pendamping hidup yang menyokong suaminya dari balik layar. Ia menempatkan dirinya juga sebagai kawan berjuang Kyai Haji Ahmad Dahlan, merintis pengajian bagi kaum perempuan, baik kaum muda, tua, maupun para buruh batik. Pengajian perempuan itu pula, yang menjadi pengajian Sopo Tresno yang menjadi embrio gerakan Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan juga menyediakan rumahnya untuk pendidikan kaum putri melalui

internaat atau asrama putri, yang selanjutnya direplikasi oleh Aisyiyah di daerah

di luar Yogyakarta.42

42Mu’arif dan Hajar Nur Setyowati, op.cit


(38)

BAB III

PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN ORGANISASI

WANITA DI YOGYAKARTA

A.Latar Belakang Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan

Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan muncul dari kehidupan para gadis di kampung Kauman, yakni ketika mereka tidak diperkenankan keluar rumah untuk melakukan aktivitas sebagaimana kaum laki-laki. Mereka hanya diperkenankan beraktivitas di dalam rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus keluar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda. Dalam tradisi Jawa memang status perempuan diungkapkan lewat pepatah, “suwargo nunut,

neroko katut”, yang mana perempuan berada di bawah status pria. Pandangan

yang demikian tidak hanya termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga merambah pada arah pemahaman keagamaan. Oleh sebab itu, ia bersama suaminya Kyai Haji Ahmad Dahlan kemudian memiliki gagasan tentang kesetaraan perempuan di wilayah pendidikan dengan mengusahakan pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman.

Gagasan tentang kesetaraan perempuan di pendidikan dan dakwah Islam, dimulai Siti Walidah dengan megusahakan pendidikan (pengajian) bagi kaum perempuan di Kauman. Modal utamanya dari kelompok belajar membaca

Al-Qur‟an yang diperuntukkan bagi gadis-gadis Kauman yang masuk Sekolah Netral. Konon, surat yang diajarkan pertama kali adalah al-Ma‟un. Murid-murid kelompok belajar dilatih agar peka terhadap fenomena kemiskinan yang hampir


(39)

marak di kalangan umat Islam. Pintu hati mereka diketuk untuk memberikan pertolongan kepada kaum fakir-miskin. Bentuk-bentuk pertolongan sesuai kemampuan, yang kaya membantu dengan uang sedang yang tidak cukup kaya, tetapi sehat, dianjurkan membantu dengan tenaga. Bagi yang pintar dianjurkan membantu dalam bentuk sumbangan pikiran. Pada tahun 1914, dibentuklah perkumpulan bernama Sopo Tresno, yang mana perkumpulan inilah yang kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi Aisyiyah. Nyai Ahmad Dahlan membantu mereka membaca Al-Qur‟an dan mengumpulkan kaum perempuan, baik tua maupu muda, untuk mendapat pelajaran agama.

Kaum ibu maupun remaja putri juga dikumpulkan untuk mengikuti pengajian. Berawal dari Kauman, dan berkembang ke kampung lain, seperti Lempuyangan, Karangkajen, dan Pakualaman. Pengajian yang diisi oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Siti Walidah ini berlangsung setelah Ashar sehingga perkumpulan pengajian ini dikenal dengan nama Wal’Ashri. Ada juga pengajian yang diperuntukkan bagi para buruh batik di Kauman.

Awal abad ke-20, Yogyakarta dikenal sebagai pusat indistri batik, dan kampung Kauman adalah salah satu sentranya. Berkembangnya industri batik di Kauman, berkorelasi dengan banyanknya buruh yang didatangkan dari luar Yogyakarta. Para buruh adalah representasi masyarakat pekerja yang terpinggirkan, dan tidak mempunyai akses untuk belajar. Dibutuhkan keberpihakan sebagaimana dipraktikkan Siti Walidah dengan menyelenggarakan pengajian bagi para buruh yang lebih sering luput dari perhatian. Dipengajian itu, mereka belajar agama, membaca, dan menulis, agar bisa bersikap jujur dan tidak


(40)

merasa kecil hati karena menganggap dirinya bodoh. Perkumpulan pengajian inilah yang dikenal dengan nama Maghribi School, karena diadakan setelah Maghrib, usai para buruh menuntaskan pekerjaan.

Pengajian Sopo Tresno, Wal’Ashri, dan Maghribi School sudah tidak asing dalam kegiatan sejarah Aisyiyah, dan itulah embrio pengajian-pengajian Aisyiyah. Di Aisyiyah, disediakan ruang yang luas bagi perempuan untuk menjadi subjek dalam dakwah Islam. Inilah karakter pembaruan Aisyiyah bila disandingkan di antara peta gerakan perempuan awal abad ke-20.

Sejak dekade kedua abad ke-20, mulai bermunculan orgaisasi perempuan seperti Perkumpulan Kerajinan Amai Setia (1911), Poetri Mardika (1912),

Pawiyatan Wanito (1915), Wanito Hadi (1915), Wanita Susilo (1918). Rata-rata

organisasi perempuan sebelum tahun 1920, dan masih berlanjut setelahnya, bertujuan pada perbaikan posisi perempuan dalam perkawinan, keluarga, dan peningkatan kecakapan sebagai ibu dan pengelola rumah tangga. Aisyiyah pun senada, tentu dengan meletakkan pada kerangka besar ajaran Islam. Tapi yang membedakan Aisyiyah dengan organisasi-organisasi perempuan yang lain, ialah bahwa Aisyiyah juga berfokus pada ranah perempuan dan agama.

Aisyiyah menjadi wadah ketercerahan perempuan, di tengah konteks sosial keagamaan bahwa perempuan lebih sering sebagai objek dakwah dengan ruang gerak terbatas. Mereka menjadi muballighat yang berdakwah dari satu pengajian ke pengajian yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain.43

43Mu‟arif dan Hajar Nur Setyowati, Srikandi-Srikandi Aisyiyah

, Yogyakarta,Suara Muhammadiyah, 2011, hlm. 28


(41)

Sebagai wujud dari tindakan Nyai Ahmad Dahlan tersebut berdirilah suatu organisasi yang disebut Aisyiyah dengan Nyai Ahmad Dahlan sebagai tokoh pelopor utamannya dan beranggotakan kaum muda maupun ibu-ibu lainnya yang berpartisipasi membangun dan mengembangkan organisasi tersebut hingga pada akhirnya dapat berkembang dengan baik.

B.Lahirnya Organisasi Aisyiyah

1. Latar belakang lahirnya organisasi Aisyiyah

Aisyiyah, didirikan pada tanggal 27 Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tanggal 22 April 1917 Masehi di Yogyakarta.44 Organisasi wanita Aisyiyah ini semula merupakan organisasi yang berdiri sendiri. Kaum wanita di daerah Kauman, Yogyakarta telah aktif dalam organisasi yang bernama Sopo

Tresno yang bergerak dalam bidang sosial. Walaupun tanpa anggaran atau

peraturan lain, organisasi ini telah menyelenggarakan kegiatan untuk mengasuh anak yatim. Atas nasihat Haji Muchtar, seorang anggota penting Muhammadiyah, organisasi sosial ini diubah namanya menjadi Aisyiyah yang memiliki peraturan-peraturan dan pengurus tetap. Kepemimpinan Aisyiyah diserahkan ke tangan Nyai Ahmad Dahlan.45

Nama Aisyiyah diusulkan oleh K.H. Fachruddin, yang merupakan tokoh Muhammadiya kakak dari Siti Bariyah yang justru sangat aktif berpolitik pada waktu itu. Namun sebelum akhirnya disepakati nama Aisyiyah mula-mula nama

44

Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indoneia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 21

45

J. B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 188-189


(42)

yang diajukan adalah Fatimah namun ditolak. Pemberian nama Aisyiyah dipilih

bukan hanya karena A‟isyah adalah istri Nabi, tetapi juga untuk menunjukkan cita-cita Muhammadiyah tentang perempuan. Sebagai wanita, istri Nabi, dan penutur hadis-hadis Nabi, A‟isyah juga bekerja, diantaranya menenun bulu-bulu domba, untuk mendukung ekonomi rumah tangga Nabi. Kiranya pengikut A‟isyah adalah orang-orang Aisyiyah.46

Setelah nama Aisyiyah disetujui maka, pada tanggal 22 April 1917 atau 27 Rajab 1335 Hidjriyah organisasi Aisyiyah diresmikan. Upacara peresmian itu waktunya bertepatan dengan Isro Mi‟raj Nabi Muhammad SAW yang diadakan oleh Muhammadiyah untuk pertama kalinya secara meriah dan besar. Bahkan karena acaranya terlalu padat hingga pukul tiga dini hari baru selesai. Dalam upcara peresmian itu pengurus Aisyiyah berpakaian seragam yang terbuat dari bahan sutera. Pakaian seperti itu menunjukkan kemewahan hidup waktu itu. Hal tersebut tidak mengherankan karena orang-orang tua mereka pengusaha-pengusaha batik yang berhasil dan kaya raya. Adapun yang bertindak sebagai pembuka kelambu pada upacara itu ialah K.H Mokhtar. Itulah suasana peresmian terbentukna Aisyiyah di muka umum pada tahun 1917.47

Aisyiyah merupakan pionir organisasi wanita Islam yang lahir ditengah-tengah komunitas kampung Kauman yang ditengah-tengah dilanda semangat reformisme Islam. Aisyiyah muncul setelah para wanita berpendidikan Barat, mendirikan

46

Lies M. Marcoes-Natsi dan Johan Hendrik Meuleman, Wanita Islam Indonesia Dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Kumpulan Makalah Seminar, Seri INIS XVIII, Jakarta, INIS, 1993, hlm. 103

47

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta,


(43)

organisasi mereka di kota-kota besar. Dan wanita terpelajar Barat ini memang

umumnya adalah dari kalangan “wanita ningrat” alias kelas atas masyarakat

feodal yang kolonial. Aisyiyah bukan kelahiran kota besar, dengan masyarakat yang relatife utuh dan homogen, melainkan Aisyiyah lahir disaat perubahan struktural telah pula mengancam keutuhan komunitas yang relatife homogen itu. Maka, memang tak sukar untuk dipahami jika karakter Aisyiyah sejak awal

menampilkan dirinya sebagai “keluarga pengganti”, yaitu pelindung masyarakat

ketika suasana keakraban lama mulai terancam.

Kelahiran Aisyiyah tidaklah dimulai dengan gagasan besar, tetapi bertolak dari kesadaran akan keperluan sosial yang riil. Memang keperluan sosial bukanlah sebuah konsep yang objektif, tetapi hasil intrepretasi yang normatif. Sebagaimana layaknya organisasi reformis Islam, sejak semula Aisyiyah telah melibatkan diri dalam usaha pemberantasan segala hal yang dianggap perbuatan khurafat dan bidah syariah dan berusaha pula meluaskan pengetahuan dan memperdalam kesadaran keislaman.48 Maka dari itu maksud dan tujuan Aisyiyah didirikan adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam. Kemudian menjalankan ajaran agama Islam yang murni yang dapat membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat dan membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi serta bermasyarakat, karena kesadaran beragama menimbulkan rasa tanggung jawab terhadap Allah dan masyarakat. Aisyiyah berkeyakinan bahwa dengan berorganisasi, bermacam-macam usaha sosial dapat dilaksanakan.49

48Ibid

, hlm. 78

49


(44)

2. Profil Organisasi Aisyiyah

Aisyiyah sebagai salah satu organisasi otonom bagi wanita Muhammadiyah merupakan sebuah organisasi yang berdiri pada 27 Rajab 1335 Hidjriah bertepatan dengan tangal 22 April 1917 Masehi yang dipelopori oleh Nyai Ahmad Dahlan. Setelah sah diresmikan pada tanggal 22 April 1917, susunan pengurus Aisyiyah dari hasil kesepakatan dalam pembentukannya telah ditetapkan sebagai berikut:

a. Siti Bariah, sebagai ketua b. Siti Badilah, penulis

c. Siti Aminah Harawi, bendahara d. Ny. H. Abdullah, pembantu e. Ny. Fatimah Wasaal, pembantu f. Siti Dalalah, pembantu

g. Siti Wadingah, pembantu h. Siti Dawimah, pembantu i. Siti Busyro, pembantu

Setelah pengurus Aisyiyah secara resmi terbentuk, maka agar dalam upaya mencapai cita-citanya Kyai Haji Ahmad Dahlan memberikan bekal-bekal perjuangannya sebagai berikut:

a. Perjuangan hendaklah disertai dengan keikhlasan hati menunaikan tugasnya sebagai wanita Islam sesuai dengan bakat dan kecakapannya, tidak menghendaki sanjung puji dan tidak mundur selangkah karena dicela.

b. Penuh keinsafan bahwa beramal itu harus berilmu.

c. Jangan mengadakan alasan yang tidak dianggap sah oleh Tuhan hanya untuk menghindari suatu tugas yang diserahkan kepadanya. d. Membulatkan tekad untuk membela kesucian agama Islam.

e. Menjaga persaudaraan dan kesatuankawan sekerja dan perjuangan. Dari pimpinan beliau itulah wanita-wanita Islam merasa terangkat derajadnya, dikembalikan kepada kedudukannya sebagai yang dikehendaki Tuhan. Sebagai isteri mereka mengerti hak dan kewajibannya terhadap suaminya.


(45)

Sebagai seorang ibu, mereka memperhatikan betul-betul tentang pendidikan anak-anaknya dan keberesan rumah tangganya.50 Sebab, Nyai Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan pertama diterima seorang anak dari keluarganya. Oleh sebab itu, para wanita dan ibu-ibu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar untuk kemajuan masyarakat melalui asuhan dan didikan anak-anak sendiri.51

Menjelang usia seabad, Aisyiyah yang merupakan komponen perempuan Persyarikatan Muhammadiyah telah memberikan corak tersendiri dalam ranah sosial, pendidikan, kesehatan, dan keagamaan yang selama ini menjadi titik tolak gerakannya. Gerakan Aisyiyah dari waktu ke waktu terus berkembang dan memberikan manfaat bagi peningkatan dan kemajuan harkat dan martabat perempuan Indonesia. Hasil yang sangat nyata adalah wujud amal usaha yang terdiri atas ribuan taman kanak-kanak, sekolah dasar, hingga perguruan tinggi. Aisyiyah yang merupakan sebuah gerakan perempuan Muhammadiyah yang lahir hampir bersamaan dengan lahirnya organisasi Islam terbesar di Indonesia ini. Dalam kiprahnya hampir satu abad di Indonesia, saat ini Aisyiyah telah memiliki 33 Pimpinan Wilayah Aisyiyah (setingkat Propinsi), 370 Pimpinan Daerah Aisyiyah (setingkat kabupaten), 2332 Pimpinan Cabang Aisyiyah (setingkat Kecamatan) dan 6924 Pimpinan Ranting Aisyiyah (setingkat Kelurahan).

Selain itu, Aisyiyah juga memiliki amal usaha yang begerak di berbagai bidang yaitu: pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, ekonomi dan pemberdayaan masyarakat. Amal Usaha dibidang pendidikan saat ini berjumlah

50

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah, 1990, hlm. 70-71

51

J. B. Soedarmanta, Jejak-jejak Pahlawan Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2007, hlm. 189-190


(46)

4560 yang terdiri dari Kelompok Bermain, Pendidikan Anak Usia Dini, Taman Kanak-Kanak, Tempat Penitipan Anak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan lain-lain. Sedangkan amal usaha di bidang Kesehatan yang terdiri dari Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Badan Kesehatan Ibu dan Anak, Balai Pengobatan dan Posyandu berjumlah hingga 280 yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sebagai gerakan yang peduli dengan kesejahteraan sosial kemasyarakatan, Aisyiyah hingga kini juga memiliki sekitar 459 amal usaha yang bergerak di bidang ini meliputi : Rumah Singgah Anak Jalanan, Panti Asuhan, Dana Santunan Sosial, Tim Pengrukti Jenazah dan Posyandu.

Aisyiyah menyadari, bahwa harkat martabat perempuan Indonesia tidak akan meningkat tanpa peningkatan kemampuan ekonomi di lingkungan perempuan. Oleh sebab itu, berbagai amal usaha yang bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi ini diantaranya koperasi, Baitul Maal wa Tamwil, Toko/kios, BUEKA, Simpan Pinjam, home industri, kursus ketrampilan dan arisan. Jumlah amal usaha tersebut hingga 503 buah. Aisyiyah sebagai organisasi perempuan keagamaan terbesar di Indonesia juga memiliki beragam kegiatan berbasis pemberdayaan masyarakat khususnya penyadaran terhadap kehidupan bermasyarakat muslim Indonesia. Hingga saat ini kegiatan yang mencakup pengajian, Qoryah Thayyibah, Kelompok Bimbingan Haji (KBIH), badan zakat infaq dan shodaqoh serta Musholla berjumlah 3785.52

52


(47)

3. Identitas, Visi dan Misi Aisyiyah

a. Identitas

Aisyiyah adalah organisasi perempuan Perserikatan Muhammadiyah, merupaan gerakan Islam, dakwah amar makruf nahi munkar dan tajdid yang berasas Islam serta bersumber kepada Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

b. Visi

i. Visi Idela

Tegaknya agama Islam dan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

ii. Visi Pengembangan

Tercapainya usaha-usaha Aisyiyah yang mengarah pada pengetahuan dan pengembangan dakwah amar makruf nahi munkar secara lebih berkualitas menuju masyarakat madani.

c. Misi

Misi Aisyiyah diwujudkan dalam bentuk amal usaha, program, dan kegiatan, meliputi:

1. Menanamkan keyakinan, memperdalam dan memperluas pemahaman, meningkatkan pengamalan serta menyebarluaskan ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan.

2. Meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan sesuai dengan ajaran Islam.

3. Meningkatkan kualitas dan kuantitas pengkajian terhadap ajaran Islam.

4. Memperteguh iman, memperkuat dan menggembirakan ibadah, serta mempertinggi akhlak.

5. Meningkatkan semangat ibadah, jihad, zakat, infaq, shodaqoh, wakaf, hibah, membangun dan memelihara tempat ibadah serta amal usaha yang lain.

6. Membina Angkatan Muda Muhammadiyah Puteri untuk menjadi pelopor, pelangsung, dan penyempurna gerakan Aisyiyah.


(48)

7. Meningkatkan pendidikan, mengembangkan kebudayaan, memperluas ilmu pengetahuan dan teknologi, serta menggairahkan penelitian.

8. Memajukan perekonomian dan kewirausahaan ke arah perbaikan hidup yang berkualitas.

9. Meningkatkan dan mengembangkan kegiatan dalam bidang-bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, kesehatan, dan lingkungan hidup. 10.Meningkatkan dan mengupayakan penegakan hukum, keadilan dan kebenaran, serta memupuk semangat kesatuan dan persatuan bangsa.

11.Meningkatkan komunikasi, ukhuwah, kerjasama di berbagai bidang dan kalangan masyarakat baik dalam dan luar negeri.

12.Usaha-usaha lain yang sesuai dengan maksud dan tujuan organisasi.53

4. Perkembangan Aisyiyah dan Kegiatannya

Setelah Aisyiyah berdiri kemudian tumbuh dengan cepat sekali. Anggota Aisyiyah gadis-gadis remaja yang diperkuat oleh orang tua yang sudag berumah tangga. Perkembangan Aisyiyah tidak hanya di Yogyakarta saja, tetapi juga di beberapa tempat di pulau Jawa dan bahkan di luar pulau Jawa. Di mana-mana Aisyiyah tumbuh bagaikan cendikiawan di musim hujan. Pertumbuhan yang demikian cepat ini karena pengurusnya bekerja keras tanpa pamrih kecuali hanya mengharapkan karunia dari Allah SWT, menganggapnya bahwa pekerjaan itu mulia.

Pada tahun 1922 dalam kongres Muhammadiyah ke-11 yang diselenggarakan di Yogyakarta dilancarkan seruan agar semua cabang dan grup Muhammadiyah mengadakan bagian Aisyiyah. Demikian juga pada tahun 1923 atas saran Haji Mokhtar, Siti Badilah ditunjuk untuk mempropagandakan Aisyiyah. Setelah Kongres selesai dalam bulan itu pula Muhammadiyah

53


(49)

Pakajangan (daerah Pekalongan) mendirikan bagian Aisyiyah dan mengharapkan kedatangan utusan dari pengurus Besar Muhammadiyah dan Aisyiyah Yogyakata. Mulai saat itulah kemudian di seluruh Indonesia berdiri cabang Aisyiyah.

Pada tahun 1922/1923 Aisyiyah telah mempelopori berdirinya Musholla khusus bagi wanita, ialah Musholla Aisyiyah. Tidak lama kemudian susul menyusul berdirinya masjid Istri Aisyiyah di Garut pada tahun 1926 dan Musholla Aisyiyah yang ketiga didirikan di Karangkajen tahun 1973. Makin lama amalan Aisyiyah semakin meluas. Dalam Kongres ke-23 di Yogyakarta (19-25 Juli 1934), amalan itu meliputi:

a. Urusan Nasiyah b. Urusan tabligh

c. Urusan sekolah/pengajian d. Urusan Wal Ashri

e. Urusan Dzahirat

Melihat kenyataan perkembangan Aisyiyah yang demikian itu dapat dikatakan bahwa Aisyiyah merupakan penanam pendidikan yang baik. Di mana-mana Aisyiyah tumbuh denga pesat. Hal ini dapat dimengerti karena Aisyiyah merupakan organisasi yang mempunyai tujuan yang jelas. Organisasi ini dipilih oleh para anggotanya karena gerak langkahnya merupakan amal ibadah kepada Tuhan. Asas maupun tujuannya jelas. Melalui organisasi Aisyiyah itu orang berbuat, berkarya dan bekerja karena di dalamnya berasaskan Islam. Organisasi ini bagi orang-orang Muslim bukanlah tempat berjuang yang sia-sia, tetapi dijadikan media beramal.54

Adapun amal usaha dan kegiatan Aisyiyah adalah sebagai berikut:

54

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah, 1990, hlm. 74-75


(50)

a. Membimbing kaum wanita kearah kesadaran beragama dan berorganisasi.

b. Membimbing angkatan muda supaya menjadi orang Islam yang berarti.

c. Memperteguh iman menggembirakan dan memperkuat ibadah serta mempertinggi akhlak.

d. Mempergiat dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma‟ruf nahi mungkar.

e. Memajukan dan memperbaharui pendidkan, pengajaran, dan kebudayaan serta memperuas ilmu pengetahuan menurut tuntutan Islam.

f. Menggerakkan dan menghidupkan serta menyuburkan amal tolong-menolong dalam kebijakan dan taqwa.

g. Membimbing ke arah perbaikan kehidupan dan penghidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.

h. Mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf.

i. Menanam kesadaran agar tuntutan dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.

j. Mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan karunianya.

k. Usaha-usaha lain yang sesuia dengan maksud dan tujuan Islam.55 Untuk merealisasikan kegiatan-kegiatan itu yang sesuai dengan maksud dan tujuan Islam, maka dalam merealisasikannya melalui kegiatan sebagai berikut:

1. Bagian Tabligh

Mengembangkan dakwah Islam di seluruh aspek kehidupan serta menguatkan kesadaran keagamaan bagi masyarakat untuk mencapai masyarakat madani. Kegiatan dakwah, antara lain berbentuk pengajian partisipatif dengan materi yang menyangkut banyak aspek kehidupan, pengembangan materi dakwah, dan pelatihan kader muballighat Aisyiyah. Membangun kualitas aqidah, akhlak,

ibadah, dan mu‟amalah di kalangan masyarakat yang berlandaskan nilai Qur‟an

55

Kowani, Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, cetakan I, 1978, hlm. 294


(51)

dan sunnah melalui pesan-pesan yang bersifat pencerahan dan berkemajuan. Kekuatan program tabligh ini terletak pada banyaknya pengajian di tingkat

jama‟ah atau komunitas sebagai media strategis penyampaikan pesan yang

bersifat mencerahkan dan menyangkut kehidupan sehari-hari di lingkungan sekitar.56

2. Bagian Pendidikan dan Pengajaran

Sejalan dengan pengembangan pendidikan yang menjadi salah satu pilar utama gerakan Aisyiyah melalui Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah serta Majelis Pendidikan Tinggi Aisyiyah membangun visi pendidikan yang berakhlak mulia untuk umat dan bangsa. Dengan memajukan pendidikan (formal, non formal dan informal) serta mencerdaskan kehidupan bangsa hingga terwujud manusia muslim yang bertakwa, berakhlak mulia, cakap, percaya pada diri sendiri, cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat serta diridahi Allah SWT, berbagai program dikembangkan untuk menangani masalah pendidikan dari usia par TK sampai Sekolah Menengah Umum dan Keguruan.

Saat ini Aisyiyah telah dan tengah melakukan pengelolaan dan pembinaan sebanyak: 86 Kelompok bermain/ Pendidikan anak usia dini, 5865 Taman kanak-kanak, 380 Madrasah Diniyah, 668 TPA/TPQ, 2.920 IGABA, 399 IGA, 10 Sekolah Luar Biasa, 14 Sekolah Dasar, 5 SLTP, 10 Madrasah Tsanawiyah, 8 SMU, 2 SMKK, 2 Madrasah Aliyah, 5 Pesantren Putri, serta 28 pendidikan luar sekolah. Saat ini Aisyiyah juga dipercaya oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan ratusan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di seluruh

56


(52)

Indonesia. Sedangkan untuk pendidikan tinggi Aisyiyah memiliki 3 Perguruan Tinggi, 2 STIKES, 3 AKBID serta 2 AKPER di seluruh Indonesia.57

3. Bagian Pertolongan Kesejahteraan Umat

Sebagai organisasi perempuan yang bergerak dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan, Aisyiyah diharapkan mampu menunjukkan komitmen dan kiprahnya untuk memajukan kehidupan masyarakat khususnya dalam pengentasan kemiskinan dan ketenagakerjaan.

Dengan visi “tertatanya kemampuan organisasi dan jaringan aktivitas

pemberdayaan ekonomi keluarga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”, Aisyiyah melalui Majelis Ekonomi bergerak di bidang pemberdayaan ekonomi rakyat kecil dan menengah serta pengembangan-pengembangan ekonomi kerakyatan.

Beberapa program pemberdayaan diantaranya: Mengembangkan Bina Usaha Ekonomi Keluarga Aisyiyah (BUEKA) dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Saat ini Aisyiyah memiliki dan membina Badan Usaha Ekonomi sebanyak 1426 buah di Wilayah, Daerah dan Cabang yang berupa badan usaha koperasi, pertanian, industri rumah tangga, pedagang kecil/toko.58

4. Bagian Ekonomi

Mengembangkan, meningkatkan dan memberdayakan ekonomi masyarakat, baik melalui pengembangan wirausaha maupun pelatihan ketrampilan dan jaringan usaha. Selain itu, melakukan pendampingan terhadap tenaga kerja

57

http://id.wikipedia.org/wiki/'Aisyiyah. diakses pada tanggal 19 Februari 2015

58


(53)

perempuan, baik di dalam maupun luar negeri, sehingga memiliki pemahaman dan mendapatkan haknya sebagai buruh, serta mendapat perlindungan hukum.59 5. Bagian Pendidikan Medis

Sebagai organisasi sosial, masalah kesehatan dan lingkungan hidup telah menempati posisi yang sangat serius dalam gerakan Aisyiyah. Dengan misi sebagai penggerak terwujudnya masyarakat dan lingkungan hidup yang sehat, Aisyiyah kemudian mengembangkan pusat kegiatan pelayanan dan peningkatan mutu kesehatan masyarakat serta pelestarian lingkungan hidup melalui pendidikan. Saat ini Aisyiyah telah mengelola dan mengembangkan setidaknya 10 RSKIA (Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak), 29 Klinik Bersalin, 232 BKIA/yandu, dan 35 Balai Pengobatan yang tersebar di seluruh Indonesia.

Beberapa program yang dikembangkan antara lain: Peningkatan kualitas pelayana kesehatan yang terjangkau di seluruh Rumah Sakit, Rumah bersalin, Balai Pengobatan, Balai Kesehatan Ibu dan Anak yang dikelola oleh Aisyiyah serta menjadikan unit-unit kegiatan tersebut sebagai agent of development yang tidak hanya sebagi tempat mengobati orang sakit, tetapi mampu berperan secara optimal dalam mengobati lingkungan masyrakat.

Aisyiyah melalui Majelis Kesehatan dan Lingkungan Hidup juga melakukan kampanye peningkatan keadaran masyarakat dan penanggulangan penyakit berbahaya dan menular, penanggulangan HIV/AIDS dan NAPZA , bahaya merokok dan minuman keras, dengan menggunakan berbagi pendekatan dan bekerjasam dengan berbagi pihak, meningkatkan pendidikan dan

59


(54)

perlindungan kesehatan reproduksi perempuan, Menyelenggarakan pilot project sistem pelayanan terpadu antara lembaga kesehatan, dakwah sosial dan terapi psikologi Islami.60

5. Makna Lambang Organisasi Aisyiyah

Matahari bersinar warna putih diatas warna hijau. Dikelilingi dua kalimat syahadat. Nama Aisyiyah di tengah.

Arti dan maksud:

Warna Putih : Kesucian, kebenaran dan keadilan.

Hijau : Kesuburan, kemakmuran dan kesejahteraan. Matahari : Memancarkan cahaya menyinari alam semesta. Dua kalimat syahadat : Perjuangan Aisyiyah berdasarkan Islam (Tauhid).

Aisyiyah : Diambil dari Aisyah nama seorang isteri Nabi Muhammad SAW.

Penjelasan:

Aisyiyah membawakan kedua kalimat syahadat agar dapat menyinari kegelapan jiwa umat bagaikan matahari yang memancarkan cahayanya, menembus ruang angkasa sampai ke bumi yang mendatangkan manfaat yang besar bagi kebutuhan hidup semua makhluk Tuhan.

Selain spiritual Aisyiyah pun berjuang untuk kemakmuran dan kesejahteraan keluarga dan masyarakat.

60

http://id.wikipedia.org/wiki/'Aisyiyah. diakses pada tanggal 19 Februari 2015 http://id.wikipedia.org/wiki/'Aisyiyah


(55)

Di dalam menjalankan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan menuju kepada

maksud dan tujuan organisasi, Aisyiyah menjadi “Siti Aisyah sebagai cermin

tauladan”. Menetapi kewajiban sebagai isteri/wanita dalam rumah tangga dan

dapat memenuhi panggilan masyarakat. Siti Aisyah berhasil mengangkat derajat kaum wanita hingga menapatkan tempat yang wajar, sejajar dengan kaum pria.61

C. Pengalaman Nyai Ahmad Dahlan dalam Memimpin Aisyiyah

Pengalaman Nyai Ahmad Dahlan selama memimpin Aisyiyah maupun mendampingi Kyai Haji Ahmad Dahlan berdakwah banyak pengalaman pahit yang ditemuinya, baik ejekan dan cemooh maupun ancaman. Namun semuanya itu diterima dengan kesadaran sebagai konsekuenis logis untuk mencapai cita-citanya yang mulia. Meski demikian Nyai Ahmad Dahlan tetap giat melakukan dakwah di berbagai kota dan desa maupun memimpin Kongres dan Muktamar Aisyiyah yang diadakan di pulau Jawa maupun di pulau-pulau lainnya. Dari kegiatannya itu banyak diperoleh pengalaman yang bermanfaat untuk memajukan organisasi, meskipun pengalaman itu sering durasakan dengan pahit.

Sejak semula Nyai Ahmad Dahlan memang telah turut serta merintis dan membangun Muhammadiyah dan Aisyiyah, beberapa kegiatan yang pernah dilakukan Nyai Ahmad Dahlan selama mendampingi Kyai Haji Ahmad Dahlan menjelang tahun wafatnya tercatat sebagai berikut:

Tanggal 7 Januari 1922: Bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan pergi membuka rapat di Banyuwangi

61

Eka Djaelani, Ms dan Abu Hanifah, Peranan Wanita Indonesia dalam Pembangunan, Jakarta, P.T. Norindo Pratama, 1975, hlm. 239


(56)

Tanggal 17 Juni 1922 : Bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan pergi ke Nganjuk menghadiri rapat ulama.

Tanggal 9 September 1922 :Bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan pergi ke Pekalongan dan Pekajangan untuk Muhammadiyah di daerah tersebut.

Tanggal 4 November 1922 : Bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan memimpin rapat akbar di Purwokerto.

Tanggal 14 November 1922 :Bersama Kyai Haji Ahmad Dahlan menanam benih Muhammadiyah di Tosari.

Sewaktu pembentukan Aisyiyah yang merupakan bagian dari Muhammadiyah, pada tahun 1923 yang semula bernama Sopo Tresno yang didirikan tahun 1914, Nyai Ahmad Dahlan ditetapkan sebagai pemuka Aisyiyah merangkap sebagai mubalighahnya. Meskipun pada waktu itu Kyai Haji Ahmad Dahlan telah wafat, tetapi Nyai Ahmad Dahlan tidak menjadi kendor semangatnya bahkan bertambah giat; sehingga perkembangan Muhammadiyah dan Aisyiyah yang dipimpinnya berkembang dengan pesat.

Kemudian pada tahun 1926 Nyai Ahmad Dahlan yang berusia 54 tahun hadir ditengah-tengah persidangan Kongres Aisyiyah yang ke-15 di Surabaya. Kongres yang melulu untuk kaum wanita itu diselenggarakan di gedung bioskop Kranggan (waktu itu terluas di kota Surabaya). Dalam kongres itu tampil pula ibu dan gadis-gadis sebagai pembicara yang membawakan pidatonya dengan lancar dan menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa daerah (Jawa), tetapi perhatian hadirin rupa-rupanya lebih tertuju kepada Pimpinan Sidang Besar yaitu


(57)

Nyai Ahmad Dahlan. Walau sudah lanjut usianya tetapi kenyataannya pidato beliau penuh semangat dan menarik, sehingga orang yang hadir dalam kongres tersebut menjadi tercengang. Padahal apabila ditilik dari pendidikannya Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah duduk di bangku sekolah formal, namun beliau dapat menggemparkan hadirin. Dari pidato Nyai Ahmad Dahlan dalam Kongres di Surabaya itu yang mengesankan pesertanya karena beliau sudah tua, dengan penuh keberanian memimpin persidangan besar yang dihadiri utusan dari berbagai daerah, dengan ungkapan yang menarik dan berwibawa. Kelancaran Nyai Ahmad Dahlan berpidato itu karena pengalamannya setiap saat beliau berdakwah baik bersama dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan maupun sendiri.

Pada tahun 1930 Nyai Ahmad Dahlan menghadiri kongres Aisyiyah di Bukittingi (Minangkabau). Kunjungan ini yang pertama ke daerah luar pulau Jawa dalam usia lanjut, untuk memimpin dan mengobarkan semangat-semangat perjuangan benar-benar menunjukkan semangat baja dan cita-citanya luhur terhadap nusa dan bangsa. Walaupun usia semakin tua tetapi Nyai Ahmad Dahlan juga masih memimpin Muktamar Aisyiyah dan menghadiri Muktamar yang ke-23 di kota Yogyakarta. Muktamar ini diadakan dari tanggal 19-25 Juni 1934, antara lain memutuskan membentuk suatu badan untuk menyelidiki soal pengiriman pemuda-pemuda ke luar negeri guna menerusan pelajarannya.

Tahun 1935 Nyai Ahmad Dahlan memimpin Muktamar Aisyiyah dan menghadiri kongres Muhammadiyah ke-24 di Banjarmasin. Kongres ini diadakan dari tanggal 15-22 Juni 1935, kunjungan ini merupakan kunjungan yang kedua bagi Nyai Ahmad Dahlan keluar pulau Jawa. Kehadiran Nyai Ahmad Dahlan ke


(58)

luar pulau Jawa bukanlah hanya untuk kepentingan ummat Islam saja, tetapi juga besar artinya untuk nusa dan bangsa. Di kota-kota besar lainnya pun telah pernah dikunjungi antara lain, Jakarta untuk memimpin Muktamar Aisyiyah dan menghadiri kongres Muhammadiyah yang ke-25 pada tanggal 21-28 Juli 1936. Pernah pula Nyai Ahmad Dahlan menghadiri rapat terbuka di Wates Yogyakarta. Nyai Ahmad Dahlan juga memimpin Muktamar Aisyiyah dan menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-26 di Yogyakarta yang diadakan dari tanggal 8-15 Oktober 1937. Demikian juga pada tahun berikutnya, yaitu tahun 1938 Nyai Ahmad Dahlan memimpin Muktamar Aisyiyah dan menghadiri kongres Muhammadiyah ke-27 di Malang, karena sakit maka dalam kongres Muhammadiyah dan Aisyiyah ke-28 pada tahun 1939 yang diadakan di kota Medan. Dalam kongres Muhammadiyah/ Aisyiyah ke-29 di kota Yogyakarta yang diadakan dari tanggal 7-12 Januari 1940 Nyai Ahmad Dahlan pun hadir pada persidangan itu, meskipun beliau dalam keadaan sakit encok. Ini merupakan Kongres terakhir yang dapat beliau hadiri. Karena setelah itu Nyai Ahmad Dahlan sering menderita sakit.62

62

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta,


(59)

BAB IV

PENGARUH PERAN NYAI AHMAD DAHLAN DALAM MENDIRIKAN

ORGANISASI WANITA PADA MASA KINI

A. Pengaruh Peran Nyai Ahmad Dahlan dalam Mendirikan Organisasi

Wanita

Nyai Ahmad Dahlan adalah seorang muslimah yang berjiwa pahlawan dan merupakan tokoh penting dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah termasuk pelopor dalam membangunkan dan menegakkan kaum wanita Indonesia. Nyai Ahmad Dahlan selalu memberi dorongan dan semangat kepada generasi muda untuk berjuang pantang mundur demi kepentingan bangsa dan tanah air Indonesia. Seperti halnya Kartini yang berjuang menegakkan hak-hak kaum perempuan di pulau Jawa, Nyai Ahmad Dahlan juga melakukan hal yang sama menegakkan hak-hak kaum perempuan di Yogyakarta dengan cara mendirikan organisasi wanita. Perjuangan yang begitu keras dari Nyai Ahmad Dahlan di mulai dari sebelum ia menikah sampai akhir hayatnya. Terutama dalam bidang pendidikan (pengajian) dan sosial.

Dalam bidang pendidikan adalah hal yang diperjuangkan oleh Nyai Ahmad Dahlan, karena pendidikan kewanitaan adalah hal yang sangat penting dan merupakan hal yang fundamental dalam kebahagiaan hidup berumah tangga. Nyai Ahmad Dahlan menganggap pendidikan bagi kaum perempuan sangatlah penting. Karena perempuan memegang peranan penting, yang nantinya akan menjadi seorang ibu yang harus mempunyai kepandaian dalam mendidik anak-anaknya.


(60)

Karena ibu adalah inti dari suatu rumah tangga yang juga menjadi inti masyarakat, pada seorang ibulah sebenarnya tergantung kebesaran rumah tangga.

Nyai Ahmad Dahlan termasuk orang yang berhasil dalam perjuangannya. Dalam bidang pendidikan tidak hanya berteori saja, tetapi dibuktikan dengan kenyataan. Keberhasilan usaha Nyai Ahmad Dahlan antara lain:

a. Menjadi pelopor berdirinya organisasi Sopo Tresno pada tahun 1914 yang kemudian dirubah menjadi Aisyiyah pada tanggal 22 April 1917. Organisasi ini adalah organisasi otonom bagi wanita baik muda maupun tua yang bertujuan untuk mengangkat kemajuan kaum wanita. b. Menyelenggarakan asrama bagi putri-putri dari berbagai daerah di

Indonesia dengan mendapatkan pendidikan yang baik. Orang tua mereka dengan sepenuh hati menyerahkan anak-anaknya mendapat bimbingan dari Nyai Ahmad Dahlan.

c. Nyai Ahmad Dahlan ikut aktif membantu kelancaran terselenggaranya sekolah-sekolah puteri.

d. Adanya pendidikan kewanitaan dengan melalui kursus dan mengadakan pengajian agama Islam.

e. Ikut aktif memelopori pemberantasan buta huruf bagi orang-orang yang telah lanjut usia.

f. Nyai Ahmad Dahlan juga menyelenggarakan rumah-rumah untuk orang miskin.

g. Nyai Ahmad Dahlan besar perhatiannya terhadap pemeliharaan anak-anak yatim-piatu.65

Pengaruh peran Nyai Ahmad Dahlan sampai pada masa saat ini, adalah masih eksisnya Organisasi Aisyiyah yang sampai saat ini di Yogyakarta maupun di cabang-cabang yang lain merupakan penanaman pendidikan yang baik dimana Aisyiyah tumbuh dengan pesat, diantaranya adalah:

a. Dalam bidang Tabligh, dapat membangun kualitas aqidah, akhlak,

ibadah, dan mu’amalah di kalangan masyarakat yang berlandaskan nilai Qur’an dan sunnah melalui pesan-pesan yang bersifat pencerahan

65

Suratmin, Nyai Ahmad Dahlan Pahlawan Nasional Amal dan Perjuangannya, Yogyakarta, Pimpinan Pusat Aisyiyah, 1990, hlm. 3-4


(1)

o Penilaian Afektif

No Pernyataan Pilihan Sikap SS S R TS STS 1 Percaya diri dan bertanggungjawab dalam

menyampaikan pendapatnya

2 Jujur dan kritis dalam menyampaikan pendapatnya

3 Menghormati pendapat teman yang berbeda di dalam kelompok

4 Menerima keputusan dengan lapang dada di dalam kelompok

5 Menghargai pendapat teman yang berbeda kelompok dalam mengajukan pendapatnya

Keterangan :

SS : Sangat Setuju S : Setuju

R : Ragu-Ragu TS : Tidak Setuju

STS : Sangat Tidak Setuju

Nilai =


(2)

No. Nama Siswa Sikap Kerja/Tingkah Laku Kecepatan Mengerjakan Tugas Kemampuan Mengekpresikan Tugas dalam Penampilan Drama Jumlah

1. Yohan

2. Bambang

3. Dina

4. Anita

5. Dona

Catatan:

Pedoman Penilaian

 Skor 5 : Baik

 Skor 4 : Cukup baik

 Skor 3 : Cukup

 Skor 2 : Buruk

 Skor 1 : Jelek

Mengetahui, Yogyakarta, 10 Juni 2015

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Subatrono, S.Pd Fitriliyaningtyas Wulansari

Tindak Lanjut Penilaian :

a) Siswa dinyatakan berhasil apabila tingkat pencapaiannya mencapai KKM 70.

b) Memberikan remedi untuk siswa yang tidak mencapai KKM.

c) Memberikan program pengayaan untuk siswa yang mencapai atau lebih dari KKM.


(3)

Lampiran 3. Kunci Jawaban

Uraian

1. Nyai Ahmad Dahlan (Siti Walidah) lahir di Kauman, Yogyakarta pada 1872, merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Sejak kecil, Siti Walidah memang menonjol dibandingkan kawan-kawannya, lebih berani dan lancar bicaranya. Secara formal, Nyai Ahmad Dahlan tidak pernah mendapat pendidikan di sekolah umum, kecuali mengaji Al Quran dan mendapat pelajaran agama dalam bahasa Jawa berhuruf Arab. Kemampuannya berdakwah diasahnya sejak Kyai Fadhil menaruh kepercayaan kepada putrinya ini untuk membantu mengajar di langgarnya atau bisa disebut Langgar Kyai Fadhil. Pengalaman mengajar tersebut tentu membantu Siti Walidah mengelolah pengajian perempuan yang dirintisnya, yang kelak bakal menjadi pegiat-pegiat Aisyiyah. Siti Walidah berhadapan dengan perjodohan tanpa pilihan. Ia dijodohkan dengan salah satu putra kerabatnya sendiri. Siti Walidah mengalami perkawinan sistem famili yang banyak terjadi di Kauman, Siti Walidah dinikahkan dengan Muhammad Darwis, nama kecil Kyai Haji Ahmad Dahlan, pada 1889. Atas perkawinannya itu mereka dikaruniai enam putera. Dari sinilah perjuangan Nyai Ahmad Dahlan dimulai bersama-sama dengan suaminya Kyai Haji Ahmad Dahlan untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuannya supaya setara dengan pendidikan yang bisa diperoleh kaum laki-laki di Yogyakarta. Dengan kegigihannya berhasillah Nyai Ahmad Dahlan dalam mengembangkan cita-citanya untuk memberikan wadah pendidikan yang lebih layak bagi kaum perempuan di Yogyakarta.

2. Nyai Ahmad Dahlan mendirikan organisasi wanita di Yogyakarta karena berawal dari dari kehidupan para gadis di kampung Kauman, yakni ketika mereka tidak diperkenankan keluar rumah untuk melakukan aktivitas sebagaimana kaum laki-laki. Mereka hanya diperkenankan beraktivitas di dalam rumah. Apalagi jika seorang perempuan harus keluar kampung untuk masuk sekolah yang dipimpin oleh orang Belanda. Dalam tradisi Jawa memang status perempuan diungkapkan lewat pepatah, “suwargo nunut, neroko katut”, yang mana perempuan berada di bawah status pria. Pandangan yang demikian tidak hanya termanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga merambah pada arah pemahaman keagamaan.

3. Wanita-wanita sesudah Nyai Ahmad Dahlan semakin maju dalam peranannya baik dalam bersosialisasi maupun yang lainnya, dari waktu-kewaktu tercatat perempuan-perempuan Yogyakarta yang berkembang dan turut serta dalam mengisi sejarah wanita yang kuat dan berhasil mengangkat derajat kaum wanita di Yogyakarta. Seperti halnya kegigihan dari Nyai Ahmad Dahlan ini, telah memberikan inspirasi bagi wanita-wanita di Yogyakarta, yang diantaranya adalah Bupati Gunungkidul Ibu Hj. Badingah S.Sos dan Bupati Bantul Ibu Hj. Sri Surya Widati yang tidak lain adalah seorang wanita yang mampu memimpin daerahnya.


(4)

Gambar Nyai Ahmad Dahlan

(Sumber: https://www.google.co.id/search Fid.


(5)

Gambar Logo Aisyiyah

(Sumber: https://www.google.co.id/search. logo+aisyiyah


(6)

Gambar Kiri: Pimpinan Aisyiyah, Kanan: Murid-murid Aisyiyah (Sumber: https://www.google.co.id/search.perkumpulan.aisyiyah)