15
hampir menyamai anak normal ialah fungsi perkembangan jasmani dan motorik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Umardjani dalam
Somantri, 2006 menunjukkan bahwa tingkat kesegaran jasmani anak terbelakang mental atau anak tunagrahita yang memiliki MA 2 tahun
sampai dengan 12 tahun ada dalam kategori kurang sekali. Sedang anak normal pada umur yang sama ada dalam kategori kurang.
Dengan demikian tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dibandingkan dengan anak normal pada umur
yang sama. Ketrampilan
gerak fungsional
memberikan dasar-dasar
ketrampilan yang diperlukan untuk socio-leisure, daily living, dan vocational tasks, ketrampilan gerak fundamental sangat penting untuk
meningkatkan kualitas hidup anak tunagrahita. Anak normal dapat belajar ketrampilan gerak-gerak fundamental secara instingtif pada
saat bermain, sementara anak tunagrahita perlu dilatih secara khusus Efendi, 2006.
5. Perkembangan Kognitif Anak Tunagrahita
Fungsi kognitif adalah kemampuan seseorang untuk mengenal atau memperoleh pengetahuan. Menurut Mussen, Conger, dan Ragan
dalam Efendi, 2006 kognitif dalam prosesnya melalui beberapa tahapan: 1 persepsi, 2 ingatan, 3 pengembangan ide, 4
penilaian, 5 penalaran. Pada anak tunagrahita, gangguan fungsi kognitifnya terjadi pada kelemahan salah satu atau lebih dalam proses
16
tersebut. Dalam berbagai studi diketahui bahwa ketidakmampuan anak tunagrahita meraih prestasi yang lebih baik dan sejajar dengan anak
normal, karena kesetiaan ingatan anak tunagrahita sangat lemah disbanding dengan anak normal. Maka jika anak tunagrahita diberi
instruksi, mereka cenderung tidak melalui proses analisis kognitif seperti yang di jelaskan.
Inhelder dalam Efendi,2006 dalam penelitiannya menemukan: 1 penyandang tunagrahita berat perkembangan kognitifnya
terhambat pada tingkat perkembangan sensorimotorik, 2 pada penyandang tunagrahita ringan perkembangan kognitifnya terhenti
pada perkembangan
operasional konkret.
Keterlambatan perkembangan kognitif pada anak tunagrahita menjadi masalah besar
bagi anak tunagrahita ketika meniti tugas perkembangannya.
6. Kemampuan Bahasa dan Bicara Anak Tunagrahita
Eisenson dan Ogilvie dalam Efendi, 2006 pernah meneliti untuk mencari hubungan antara tingkat kecerdasan dengan
kemampuan bahasa dan bicara. Hasilnya dapat dibuktikan bahwa antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa dan bicara
mempunyai hubungan yang positif. Namun bagi anak tunagrahita, dalam kemampuan bahasa dan bicara menemui banyak hambatan.
Seringkali stimulasi verbal maupun nonverbal dari lingkungannya gagal ditransfer dengan baik oleh anak tunagrahita. Bahkan, hal-hal
yang tampaknya sederhana terkadang tidak mampu dicerna dengan
17
baik, akibatnya peristiwa kebahasaan yang lazim terjadi disekitarnya menimbulkan keanehan bagi dirinya.
Pada anak tunagrahita agak berat mampu latih, kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali
diikuti gangguan artikulasi bicara. Penyertaan kelainan sekunder ini, maka hal-hal yang tampak pada anak tunagrahita mampu latih dalam
berkomunikasi, disamping struktur kalimat yang disampaikannya cenderung
tidak teratur
aphasia conceptual,
juga dalam
pengucapannya seringkali terjadi omisi pengurangan kata maupun distorsi kekacauan dalam pengucapan.
7. Penyesuaian Sosial Anak Tunagrahita