Filosofi Lahirnya Hukum Kepailitan

debitur. Keadaan ini kemudian diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh hakim pengadilan, baik itu putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang diajukan. Menurut Abdurrachman A. dalam ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan memberi pengertian bankrupt sebagai berikut: 56 1. Seseorang yang tidak sanggup lagi akan memenuhi kewajiban – kewjibannya; 2. Seorang Debitur yang tidak sanggup lagi akan membayar penuh kepada kreditur – krediturnya; 3. Seseorang yang tidak mampu membayar lebih tepat ialah seseorang yang oleh suatu pengadilan dinyatakan bankrupt, dan yang aktivanya atau warisannya telah diperuntukkan untuk membayar utang – utangnya. Kemudian, istilah “pailit” didefenisikan Imran Nating bahwa pailit adalah keadaan dimana pihak yang dinyatakan pailit, tidak memiliki kekuasaan lagi untuk mengelola kekayaannya yang dinyatakan pailit. 57

B. Filosofi Lahirnya Hukum Kepailitan

Dari beberapa pengertian “pailit” yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan pengertian pailit secara sederhana bahwa pailit adalah suatu pernyataan melalui pengadilan yang ditujukan kepada seseorang atau perseroan yang berbadan hukum maupun tidak karena tidak mampu membayar utang – utangnya yang telah lewat waktu kepada kreditur. Jika ditelusuri sejarah tentang kepailitan, diketahui bahwa hukum tentang kepailitan itu sendiri sudah ada sejak zaman Romawi. 58 56 Munir Fuady, Loc. Cit 57 Imran Nating, Op. Cit., hlm. 7. kata bangkrut, yang dalam Universitas Sumatera Utara bahasa Inggris disebut bankrupt berasal dari Undang – Undang di Italia yang disebut dengan banca rupta. Pada abad pertengahan di Eropa, terjadi praktek kebangkrutan yang dilakukan dengan menghancurkan bangku – bangku dari para banker atau pedagang yang melarikan diri secara diam – diam dengan membawa harta para kreditornya. Adapun di Venetia Italia pada waktu itu, dimana para pemberi pinjaman bankir saat itu yang banco bangku mereka yang tidak mampu lagi membayar utang atau gagal dalam usahanya, bangku tersebut benar – benar telah patah atau hancur. 59 Menurut Poerwadarminta, “pailit” artinya “bangkrut” dan “bangkrut” artinya menderita kerugian besar hingga jatuh perusahaan, toko, dan sebagainya. 60 Menurut John M. Echols dan Hassan Shadily, bankrupt bangkrut, pailit dan bankruptcy artinya kebangkrutan, kepailitan. 61 Sebelumya kepailitan di Indonesia diatur dalam Failissementsverordening Peraturan Kepailitan, kemudian diubah dengan Perpu No. 1 tahun 1998 tentang Dalam pasal 1 ayat 1 Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, diberikan defenisi kepailitan sebagai berikut: kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan hakim pengawas. 58 Sunarmi, Perbandingan Sistem Hukum Kepailitan antara Indonesia Civil Law System dengan Amerika Serikat common Law system, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2004, hlm. 10. 59 Ibid. 60 Ramlan Ginting, Kewenangan Tunggal Bank Indonesia Dalam Kepailitan Bank, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, vol. 2, 2001, hlm 1, mengutip dari W.J.S. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999. 61 Ibid, mengutip dari John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1979. Universitas Sumatera Utara Perubahan atas Undang – Undang tentang Kepailitan. Perpu ini kemudian ditetapkan sebagai Undang – Undang, yaitu Undang – Undang No. 4 Tahun 1998. Sehubungan dengan banyaknya putusan pengadilan niaga yang kontroversial seperti dalam kasus PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia, PT Prudential Life Assurance, dan lain – lain, maka timbul niat untuk merevisi Undang – Undang tersebut. Akhirnya pada tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah Undang – Undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU. 62 Adapun asas yang terkandung dalam kedua pasal diatas adalah, bahwa: Pada prinsipnya, pengaturan masalah kepailitan merupakan suatu perwujudan dari Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata. Dimana dalam Pasal 1131 dikatakan: segala kebendaan si berutang baik bergerak maupun tidak bergerak , baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Dalam Pasal 1132 disebutkan kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama – sama bagi semua orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda – benda itu dibagi – bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing – masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukan. 63 1. Apabila si debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela atau tidak membayarnya, walaupun telah ada keputusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau karena tidak mampu untuk membayar seluruh utangnya, maka seluruh harta bendanya disita 62 Jono, Hukum Kepailitan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.2. 63 Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1974, hlm. 7. Universitas Sumatera Utara untuk dijual, dan hasil penjualan itu dibagi – bagikan untuk seluruh kreditornya secara ponds – ponds – gewije, artinya menurut perimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing – masing kreditor, kecuali apabila diantara para kreditur itu ada alasan – alasan yang sah untuk didahulukan; 2. Semua kreditur mempunyai hak yang sama; 3. Tidak ada nomor urut dari para kreditur yang didasarkan atas saat timbulnya piutang – piutang mereka. Menurut Kartini Muljadi, rumusan Pasal 1131 KUH Perdata, menunjukkan bahwa setiap tindakan yang dilakukan seseorang dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaanya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya kredit, maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaanya debit. 64 Adapun Pasal 1132 KUH Perdata menetukan bahwa setiap pihak atau kreditur yang berhak atas pemenuhan perikatan dari harta kekayaan pihak yang berwajib debitur tersebut secara: 65 1. Pari passu, yaitu secara bersama – sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang didahulukan; 2. Pro rata atau proporsional, yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing – masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap seluruh harta kekayaan debitur tersebut. Sementara itu Undang – Undang No. 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan PKPU diperlukan untuk : 66 1. Menghindari pertentangan apabila ada beberapa kreditur pada waktu yang sama meminta pembayaran piutangnya dari debitur; 2. Untuk menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitur atau 64 Kartini Muljadi, Prosing Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah – Masalah Kepailitan dari Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Penerbit Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2005, hlm 164. 65 Ibid. 66 Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan Piercing The Corporate Veil Kapita Selekta Hukum Perusahaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 78. Universitas Sumatera Utara yang menguasai sendiri secara tanpa memperhatikan lagi kepentingan debitur atau kreditur lainnya; 3. Untuk menghindari adanya kecurangan – kecurangan yang dilakukan oleh debitur sendiri, misalnya saja debitur berusaha untuk memberi keuntungan kepada seseorang atau beberapa kreditur tertentu, yang merugikan kreditur lainnya, atau debitur melakukan perbuatan curang dengan melarikan atau menghilangkan semua harta benda kekayaan debitur yang bertujuan untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditur. Dari uraian penjelasan – penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa pada intinya hukum kepailitan itu lahir karena adanya hubungan yang dilakukan antara seseorang dengan yang lainnya dalam lapangan harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta kekayaanya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaannya kredit, maupun yang nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaanya debit dan juga hukum kepailitan ini juga dibuat sebagai perwujudan dari ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata sebab, untuk mengeksekusi dan membagi harta kekayaan debitur atas pelunasan utangnya kepada kreditur – krediturnya secara adil dan seimbang berdasarkan ketentuan Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, diperlukan pranata hukum tersendiri yaitu hukum kepailitan.

C. Tujuan Kepailitan