4. GAMBARAN UMUM
4.1 Pertumbuhan Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto PDRB merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang
timbul akibat adanya aktivitas ekonomi dalam suatu wilayah tertentu. PDRB sering dianggap sebagai ukuran terbaik untuk kinerja perekonomian. Tujuan dari
penghitungan PDRB adalah meringkas aktivitas ekonomi di suatu wilayah dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu. Ada tiga pendekatan
untuk menghitung statistik ini. Pertama, pendekatan produksi, yaitu dengan menghitung jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh berbagai unit
produksi. Kedua, pendekatan pendapatan, PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi. Ketiga, pendekatan pengeluaran,
dengan menghitung semua komponen permintaan akhir. Ukuran yang dihitung dari PDRB atas dasar harga konstan yang
menunjukkan peningkatan volume output ekonomi dari tahun ke tahun setelah menghilangkan unsur inflasi kenaikan harga secara terus-menerus yaitu
pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini masih digunakan sampai sekarang sebagai ukuran kinerja pembangunan.
Sumber: BPS diolah, Tahun 1994-2009
Gambar 9 Pertumbuhan ekonomi di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1994-2009 Pada kurun waktu 1994-2009 rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi di
pulau Jawa dan Luar Jawa cukup berfluktuatif. Penurunan aktivitas ekonomi
terjadi pada kurun waktu 1997-1999, dimana pada kurun waktu tersebut Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tertinggi baik di Jawa maupun
Luar Jawa tercatat di Tahun 1994. Hal ini cukup menarik mengingat pada tahun tersebut belum dilaksanakan desentralisasi fiskal, sehingga kondisi ini
memberikan dugaan awal bahwa proses desentralisasi kiranya tidak memberikan pengaruh terhadap membaiknya aktifitas perekonomian.
Mengamati kontribusi PDRB per sektor selama periode 2000-2009, ternyata sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran yang paling
banyak memberikan kontribusi terhadap PDRB di Jawa. Hal yang berbeda terjadi di Luar Jawa, dimana sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian
yang berkontribusi paling besar terhadap PDRB di Luar Jawa. Sektor industri memberikan kontribusi sekitar 29,93 persen dan sektor perdagangan, hotel dan
restoran sekitar 22,66 persen terhadap PDRB Pulau Jawa. Sedangkan sektor pertanian memberikan kontribusi sekitar 21,93 persen, dan untuk sektor
pertambangan dan penggalian sekitar 20,78 persen terhadap PDRB Luar Jawa.
Sumber: BPS diolah, Tahun 2000-2009
Gambar 10 Kontribusi PDRB Per Sektor di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 2000 –
2009 4.2 Perkembangan Infrastruktur
4.2.1 Infrastruktur Listrik
Energi listrik merupakan salah satu unsur yang sangat diperlukan bagi jalannya roda perekonomian, baik bagi sektor rumah tangga untuk pemenuhan
kebutuhan bagi pemerintah untuk mendorong terciptanya kesejahteraan
masyarakat. Keperluan tersebut meningkat sejalan dengan perkembangan teknologi, karena banyaknya kegiatan produksi dan penggunaan sarana kehidupan
berteknologi tinggi yang menggunakan listrik. Ketersediaan pasokan listrik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya kegiatan ekonomi karena hampir
semua aktivitas masyarakat bergantung pada tenaga listrik. Sebagian besar kebutuhan listrik di Indonesia dipenuhi oleh PT. Perusahaan Listrik Negara
Persero walaupun masih belum menjangkau seluruh wilayah nusantara karena belum semua wilayah di Indonesia tersambung dalam jaringan PLN.
Sumber: PLN diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 11 Banyaknya Energi Listrik Terjual di Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009 Banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa lebih banyak dibandingkan
di Luar Jawa. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk, rumahtangga dan industri memang lebih banyak di Pulau Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan
PLN, kelompok industri merupakan yang paling banyak mengkonsumsi energi listrik baik di Jawa maupun Luar Jawa. Gambar 12 menunjukkan bahwa
banyaknya energi listrik yang terjual di Jawa melebihi dari dua kalinya energi listrik yang terjual di Luar Jawa. Kondisi ini seharusnya menjadi concern
pemerintah mengingat kondisi perekonomian Luar Jawa yang selama ini tidak lebih maju dari Jawa. Dengan demikian, diperlukan upaya pemerintah untuk lebih
memperhatikan infrastruktur listrik di Luar Jawa. Berdasarkan kelompok pelanggan, rumahtangga merupakan pelanggan
yang mendominasi pembelian listrik PLN. Pada tahun 2009, ada sekitar 92,48
persen pelanggan rumahtangga di seluruh Indonesia.Namun, tidak berarti bahwa rumahtangga pula yang mengkonsumsi energi listrik paling banyak. Justru
pelanggan industri yang jumlahnya sangat sedikit tapi mengkonsumsi energi liatrik paling banyak. Hal ini disebabkan karena pelanggan industri menggunakan
energi listrik lebih banyak, terutama untuk proses produksi yang menggunakan mesin-mesin.
Sumber: PLN dan BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 12 Perbandingan Jumlah Produksi Listrik per Rumahtangga antara Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
Gambar 13 menunjukkan bahwa kualitas infrastruktur listrik Pulau Jawa jauh di atas Luar Jawa. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya capaian jumlah
produksi listrik per rumah tangga di Pulau Jawa yang jauh mengungguli Luar Jawa. Tercatat pada tahun 2009 jumlah produksi listrik per rumah tangga di Jawa
mencapai 2,86 Gwh per rumah tangga sedangkan di Luar Jawa hanya mencapai 1,44 Gwh per rumah tangga.
4.2.2 Infrastruktur Air Bersih
Penyediaan infrastruktur air bersih berkaitan dengan aspek-aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam aspek ekonomi, sektor air bersih dituntut
menyesuaikan diri dengan kaidah-kaidah ekonomi dalam rangka memandu alokasi sumber daya air dan mendorong terselenggaranya sektor usaha selayaknya
corporate yang profesional, berperilaku efisien, dan menghasilkan manfaat bagi
sektor ekonomi lainnya. Dalam aspek sosial, sektor air bersih berhubungan dengan nilai-nilai sosial yang harus diaspirasikan dalam pembangunan serta
GwhRumahtangga
kedudukannya sebagai sektor publik yang paling mendasar. Sedangkan dalam aspek lingkungan, sektor air bersih berhadapan dengan implikasi yang bernuansa
sosial dan memengaruhi alokasi sumber daya air. Sinergi antara aspek lingkungan dan sosial dapat menentukan perilaku pengelolaan sumber daya air dan
permintaan air bersih Nugroho, 2003.
Sumber: BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 13 Banyaknya Volume Air Bersih yang Disalurkan PDAM, 1993-2009 Banyaknya volume air bersih yang disalurkan PDAM di Jawa lebih
banyak daripada Luar Jawa. Gambar 14 menunjukkan bahwa pada periode 1993- 2001, perbedaan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa dan Luar Jawa tidak
sebesar perbedaan yang terjadi pada periode 2002-2009. Kondisi tersebut terkait erat dengan melonjaknya peningkatan volume air yang disalurkan PDAM di Jawa.
Sumber: BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 14 Perbandingan Air Bersih yang Disalurkan PDAM per Rumahtangga Di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
m
3
M
3
Rumahtangga
Pada periode 1993-2009, akses rumahtangga terhadap air bersih di Jawa sebelum tahun 2002 lebih buruk daripada akses rumahtangga di Luar Jawa. Mulai
tahun 2002 akses rumahtangga di Jawa terhadap air bersih membaik bahkan lebih baik di Jawa pada tahun 2002 yaitu sebesar 47,52 persen dibandingkan tahun
sebelumya. Oleh karena itu, terdapat perubahan pola akses rumhatangga terhadap air bersih mulai tahun 2002 gambar 15.
4.2.3 Infrastruktur Jalan
Infrastruktur jalan sangat penting dalam perekonomian karena angkutan darat sampai saat ini masih menjadi sistem transportasi yang utama. Pelayanan
dan kapasitas jalan berkaitan dengan terselenggaranya mobilitas penduduk maupun barang dan jasa, menunjang aktivitas ekonomi dalam pembangunan
dan menjadi penghubung antar wilayah yang menjadi pusat produksi dengan daerah pemasarannya. Ketersediaan jalan yang efektif memungkinkan
”penularan” pertumbuhan ekonomi ke daerah lainnya. Penularan disini memiliki arti bahwa prasarana jalan turut berperan dalam merangsang
tumbuhnya wilayah-wilayah baru yang akhirnya akan menimbulkan trip generation
baru yang akan meningkatkan volume lalu lintas yang terjadi.
Sumber: BPS diolah, 1993-2009
Gambar 15 Panjang Jalan Kondisi Baik dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
Panjang jalan di Jawa dengan kondisi baik dan sedang lebih pendek dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan karena luas wilayah Pulau
km
Jawa jauh lebih kecil yaitu sekitar 6,4 persen dibandingkan Luar Jawa. Pertumbuhan panjang jalan baik dan sedang di Jawa dan Luar Jawa pada periode
1993-2009 masing-masing sebesar 6 persen dan 6,84 persen per tahunnya. Dan ketika dilihat pertumbuhan jumlah kendaraan pada periode yang sama, di Jawa
tumbuh sebesar 16,34 persen per tahun dan di Luar Jawa sebesar 19, 54 persen per tahun. Namun, lebih tingginya jumlah kendaraan di Luar Jawa ternyata tidak
menyebabkabkan akses di Luar Jawa lebih buruk dibandingkan Jawa. Hal ini disebabkan lebih panjangnya jalan di Luar Jawa. Pulau Jawa yang panjang
jalannya lebih pendek dengan jumlah kendaraan yang lebih banyak menyebabkan kemacetan sehingga mobilitas akan terganggu. Selain itu, kemacetan juga
menyebabkan biaya transportasi tinggi dan terganggunya sistem distribusi.
Sumber: BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 16 Rasio Panjang Jalan terhadap Jumlah Kendaraan di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
Tingkat mobilitas merupakan rasio panjang jalan terhadap jumlah kendaraan. Semakin rendah nilai ini menggambarkan semakin padat kendaraan
dan semakin menuju kemacetan. Gambar 16 menunjukkan bahwa rasio jalan per kendaraan di Luar Jawa masih sangat tinggi dan sebaliknya di Pulau Jawa rasio
jalan per kendaraan sangat rendah. Hal ini tidak mengherankan mengingat kepadatan lalulintas di Jawa sudah cukup tinggi sehingga akses kendaraan
terhadap jalan menjadi sangat rendah. Apabila dibandingkan tiap tahunnya, rasio jalan per kendaraan baik di Jawa maupun di Luar Jawa menunjukkan tren
penurunan, artinya tiap tahunnya terjadi tren penurunan akses kendaraan terhadap jalan semakin padat lalulintasnya.
Kmkendaraan
Keunggulan bagi suatu negara untuk bersaing secara kompetitif dalam memasarkan produknya harus didukung dengan sistem jalan yang baik. Disisi
lain, sistem jalan yang berkualitas juga dapat meningkatkan pengembangan industri, mendistribusikan populasi dan meningkatkan pendapatan. Sebaliknya,
prasarana jalan yang minim dan buruk menjadi hambatan dalam mengembangkan perekonomian. Sistem jalan yang tidak memadai dapat
menghambat aktivitas ekonomi.
4.2.4 Infrastruktur Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan yang memadai mencerminkan kualitas sumber daya manusia dalam wilayah tersebut. Dalam penelitian ini, variabel
yang digunakan sebagai infrastruktur kesehatan adalah puskesmas. Puskesmas pada saat ini tidak hanya berfungsi untuk memberikan layanan kesehatan, akan
tetapi berperan pula untuk memberikan perbaikan gizi keluarga. Semakin tinggi jumlah penduduk yang tidak mendapatkan fasilitas akses kesehatan, maka akan
semakin tinggi resiko penularan penyakit ataupun gizi buruk, yang selanjutnya kualitas kesehatan masyarakat akan menurun. Kualitas kesehatan yang buruk akan
berdampak pada produktifitas yang dihasilkan. Peningkatan modal manusia, peningkatan produktifitas, kemampuan mengadaptasi dan menggunakan teknologi
dalam produksi dan kemampuan mengadaptasi perubahan kapasitas dan teknologi tersebut pada akhirnya akan mendorong perekonomian suatu negara serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sumber: Departemen Kesehatan diolah, 1993-2009
Gambar 17 Jumlah Puskesmas di Jawa dan Luar Jawa, Tahun 1993-2009
unit
Selama periode 1993-2009, jumlah puskesmas di Luar Jawa selalu lebih
banyak dibandingkan Jawa gambar 17. Hal ini dapat dipahami mengingat
pembangunan puskesmas yang dilakukan di setiap kecamatan, dimana jumlah kecamatan di Luar Jawa lebih banyak daripada di Jawa.
Sumber : Departemen Kesehatan dan BPS
Gambar 18 Perbandingan Rasio Puskesmas per Penduduk antara Jawa dan Luar Jawa, 1993-2009
Puskesmas sebagai unit pelayanan kesehatan yang terinstitusionalisasi mempunyai kewenangan yang besar dalam mencipta inovasi model pelayanan
kesehatan. Untuk
itu dibutuhkan
komitmen dan
kemauan untuk
meningkatkanmeratakan kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan. Kualitas infrastruktur kesehatan diukur dengan nilai rasio puskesmas per penduduk.
Gambar 18 menunjukkan bahwa akses infrastruktur kesehatan di Luar Jawa masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pulau Jawa. Hal ini tercermin dari
tingginya nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa. Rendahnya nilai rasio ini juga menunjukkan bahwa akses penduduk terhadap fasilitas kesehatan dalam
hal ini adalah puskesmas di Luar Jawa masih lebih tinggi dari Pulau Jawa. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Luar Jawa berfluktuatif tiap
tahunnya. Meskipun demikian pada kurun waktu 1993-2009 nilai rasio ini menunjukkan tren yang meningkat. Nilai rasio puskesmas per penduduk di Pulau
Jawa, sebaliknya menunjukkan tren penurunan tiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2009 rasio puskesmas per penduduk di Pulau Jawa mencapai nilai terendah yaitu
sebesar 25,75 puskesmas per 1 juta penduduk. Angka yang cukup
Unitpenduduk
mengkhawatirkan mengingat 1 puskesmas harus melayani sebanyak 38.831 penduduk.
4.3 Kemiskinan