direvisi menjadi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 tentang desentralisasi dan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
Desentralisasi fiskal bisa meningkatkan fungsi sektor publik, melalui potensi alokasi sumber daya yang lebih efektif dan efisien di sektor publik. Oates
2006 berpendapat bahwa dengan desentralisasi, pengeluaran untuk infrastruktur dan sektor sosial yang merespon perbedaan-perbedaan regional dan lokal mungkin
akan lebih efektif dalam mempertinggi pembangunan ekonomi dari pada kebijakan-kebijakan sentral yang bisa jadi mengabaikan perbedaan-perbedaan
antar daerah tersebut. Argumen ini dapat dibenarkan sebab pemerintah kotakabupaten mengetahui daerahnya lebih baik daripada yang diketahui oleh
pemerintah pusat. Berdasarkan pandangan ini, pemerintah daerah dipercaya bisa mengalokasikan dana kepada masing-masing sektor dalam ekonomi secara lebih
efektif dan efisien daripada pemerintah pusat. Efektivitas dan efisiensi dampak bagi pembangunan tersebut tidak hanya karena masalah preferensi yang sesuai
dengan keinginan penduduk lokal.
2.2. Tinjauan Teoritis
2.2.1 Infrastruktur dan Pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan adanya peningkatan perekonomian, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang negatif menunjukkan adanya
penurunan. Pertumbuhan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh akumulasi modal tanah, peralatan, prasarana dan sarana infrastruktur, sumber daya manusia human
resources baik jumlah maupun tingkat kualitas penduduknya, kemajuan teknologi,
akses terhadap informasi, keinginan untuk melakukan inovasi dan mengembangkan diri serta budaya kerja Todaro et al, 2003.
Berdasarkan penelitian Stephane Straub et al 2008, investasi infrastruktur telah berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Ketersediaan
infrastruktur mempunyai peran yang erat dalam perekonomian dalam beberapa hal. Pertama, infrastruktur yang memadai akan mendorong investor untuk menanamkan
modalnya mengingat ketersediaan infrastruktur menjadi salah satu pertimbangan utama dalam keputusan berinvestasi. Kedua, kepastian ketersediaan infrastruktur
akan menjamin kelangsungan produksi dan juga akan memastikan distribusi
mobilitas barang dan jasa secara baik. Hal tersebut pada akhirnya akan mendukung upaya perekonomian untuk menjadi lebih berdaya saing tinggi.
Queiroz and Gautam 1992 menunjukkan adanya hubungan yang konsisten dan signifikan antara pendapatan dengan panjang jalan. Negara berpenghasilan
lebih dari US 6.000kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 10.110 km1 juta penduduk, sedangkan negara berpenghasilan US 545 - US 6.000kapita
mempunyai rasio panjang jalan ± 1.660 km1 juta penduduk dan negara berpenghasilan kurang dari US 545kapita mempunyai rasio panjang jalan ± 170
km1 juta penduduk. Jika data tersebut dibandingkan, negara yang berpenghasilan tinggi mempunyai panjang jalan 59 kali lipat dibandingkan dengan negara
berpenghasilan rendah. Namun, hasil studi dari Oosterhaven and Elhorst 2003 tentang manfaat
ekonomi secara tidak langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi dengan pendekatan model ekonomi regional dan makro ekonomi menyatakan
bahwa peningkatan kualitas infrastruktur transportasi akan menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan.
Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas investasi.
Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena economies of scale
pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya
tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Dengan demikian, peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua
kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi
adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan cenderung menjadi positif, namun jika yang terjadi adalah peningkatan impor maka
dampaknya terhadap pertumbuhan menjadi negatif. Terkait dengan infrastruktur listrik, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan
Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia LPEM- FEUI tahun 2003 pernah meneliti hal tersebut. Hasil simulasi menunjukkan, tanpa perbaikan apa-
apa dalam peningkatan daya terpasang listrik, rata-rata pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya akan mencapai 4,4 persen sampai tahun 2005. Bila pemerintah
meningkatkan pertumbuhan daya terpasang listrik 15 persen, maka pertumbuhan ekspor akan dapat meningkat dari rata-rata 7 persen menjadi 8,8 persen dan
pertumbuhan ekonomi akan dapat mencapai rata- rata 4,6 persen. Jika peningkatan daya terpasang listrik dinaikkan sampai 30 persen, rata- rata
pertumbuhan ekonomi dapat didorong sampai 4,8 persen sepanjang tahun 2003- 2005.
Industrialisasi yang meluas membutuhkan investasi yang besar untuk menjaga tingkat penyediaan air dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Di
Indonesia, tingkat kebutuhan masyarakat terhadap keberadaan air bersih secara kontinyu terus meningkat dari tahun ke tahun. Infrastruktur air bersih merupakan
salah satu bagian penting dalam infrastruktur dasar yang dapat memberi pengaruh bagi pertumbuhan output Bulohlabna, 2008.
Air tidak hanya diperlukan sebagai bahan kebutuhan pokok untuk kehidupan tetapi juga dipergunakan sebagai komoditi
ekonomi Kodoatie, 2002. Sumberdaya air dapat didayagunakan dan bernilai ekonomis untuk menunjang kegiatan usaha.
Infrastruktur sosial yang dalam penelitian ini diwakili oleh keberadaan puskesmas, memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dalam jangka
panjang. Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa puskesmas dapat meningkatkan kualitas manusia lewat perannya dalam konteks kesehatan. Lucas
1988 menyebutkan bahwa sumber daya manusia yang berkualitas merupakan faktor penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi.
2.2.2 Tenaga Kerja dan Pertumbuhan
Ada banyak teori pertumbuhan yang menyertakan faktor tenaga kerja di dalamnya. Selain kapital, tenaga kerja juga berperan penting dalam proses
produksi. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan, maka mengindikasikan produksi yang dihasilkan oleh suatu negara juga meningkat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan jumlah output barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara, sehingga
ketika produksi suatu negara meningkat maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat. Sitompul 2007 di Sumatera Utara dalam penelitiannya menyatakan
bahwa tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Sumatera Utara. Pengaruh signifikan dari tenaga kerja terhadap
pertumbuhan ekonomi terutama disebabkan posisi tenaga kerja sebagai salah satu factor produksi yang menggerakkan perekonomian di daerah.
2.2.3 Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan
Secara teori, pendelegasian fiskal kepada pemerintah yang berada di level bawah diperkirakan memberikan peningkatan ekonomi mengingat pemerintah
daerah memiliki kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibandingkan dengan pemerintah pusat, sehingga dapat memberikan
pelayanan publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya. Respon yang diberikan oleh pemerintah daerah terhadap tuntutan masyarakat jauh lebih cepat
karena mereka berhadapan langsung dengan penduduk daerah yang bersangkutan. Sebenarnya landasan teoritis yang menyokong mengenai peranan
desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi sampai saat ini terus dikembangkan. Adanya argumentasi yang menyatakan efek desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi juga masih banyak dipertanyakan karena terdapat banyak literatur empirik yang memberikan hasil yang berbeda di dalam
peneliatiannya Vazquez dan McNab, 2001. Zhang dan Zou 1998 meneliti tentang pengaruh desentralisasi fiskal
terhadap pertumbuhan ekonomi pada tingkat provinsi di Cina dan menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh negatif desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan
ekonomi. Pengaruh negatif ini dianggap bahwa memang lebih baik masalah kebijakan fiskal bangsa dengan eksternalitas yang luas ditangani langsung oleh
pemerintah pusat.
Penelitian lain menyebutkan bahwa desentralisasi fiskal akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, karena
pemerintah sub nasional pemerintah daerah akan lebih efisien dalam produksi dan penyediaan barang-barang publik Oates, 1993. Oates juga menyatakan
bahwa desentralisasi fiskal meningkatkan efisiensi ekonomi yang kemudian berkaitan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi. Perbelanjaan infrastruktur dan
sektor sosial oleh pemerintah daerah lebih memacu pertumbuhan ekonomi
daripada kebijakan pemerintah pusat. Pengambilan keputusan pada level pemerintah lokal akan lebih didengarkan untuk menganekaragamkan pilihan lokal
dan lebih berguna bagi efisensi alokasi. World Bank 1997 menyebutkan bahwa antara desentralisasi fiskal dan
pertumbuhan mempunyai kemungkinan kondisi sebagai berikut: 1.
Desentralisasi fiskal akan meningkatkan efisiensi pengeluaran pemerintah sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan.
2. Desentralisasi fiskal mempunyai dampak meningkatkan instabilitas makro
ekonomi sehingga berdampak negatif terhadap pertumbuhan. 3.
Desentralisasi fiskal untuk suatu daerah bisa berdampak positif ataupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, hal tersebut tergantung kesiapan kelembagaan
daerah tersebut dalam menjalankan kebijakan desentralisasi fiskal. Martinez Vasquez dan McNab 2001 dalam penelitiannya tentang
pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi menyatakan bahwa hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi belum tentu
mempunyai dampak secara langsung. Desentralisasi akan mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi apabila desentralisasi fiskal
dipusatkan pada pengeluaran atau pembelanjaan publik. Brodjonegoro dan Dartanto 2003 mengestimasi dampak desentralisasi
fiskal di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan antar daerah. Hasil analisis diperoleh bahwa setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal
kesenjangan antar wilayah semakin besar antar daerah di Indonesia. Dalam era desentralisasi fiskal dengan transfer dana dari pemerintah pusat dan kewenangan
yang luas kepada daerah untuk mengelola dan mengoptimalkan potensi-potensi ekonomi yang ada memberi efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
2.2.4 Infrastruktur dan Kemiskinan
Dampak infrastruktur terhadap kemiskinan tidak dapat dilihat secara langsung. Infrsatruktur berpengaruh terhadap pertumbuhan, oleh karena itu
diharapkan dengan infrastruktur yang memadai akan tercipta pertumbuhan yang lebih tinggi sehingga program pengentasan kemiskinan akan berjalan dengan baik.
Listrik secara positif mempengaruhi pendapatan penduduk miskin melalui
transmisi tidak langsung pertumbuhan ekonomi dan transmisi langsung produktivitas dan upah di Philipina Balisacan, et al, 2002 dan Bangladesh
Songco, 2002. Infrastruktur jalan sangat berkaitan dengan aktivitas ekonomi. Infrastruktur jalan yang bagus dapat meningkatkan mobilitas penduduk dan
barang yang menghubungkan satu pusat aktivitas dengan pusat aktivitas lain di area yang berbeda.
Dercon dan Krishnan 1998 melakukan penelitian pada rumahtangga di Ethiopia tahun 1989, 1994 dan 1995 untuk melihat perubahan pada tingkat
kemiskinan dan menemukan faktor-faktor apa yang menyebabkan perubahan tersebut. Pendekomposisian perubahan pada kemiskinan terhadap subkelompok
populasi mereka lakukan dan ditemukan bahwa rumah tangga dengan modal manusia dan fisik yang lebih besar, serta akses jalan yang lebih baik memiliki
tingkat kemiskinan yang lebih rendah. Investasi pada jalan dapat mengurangi kemiskinan dari beberapa jalur,
salah satu yang terpenting adalah peranannya pada aktivitas non-farm di desa. Penelitian yang dilakukan Khandker menemukan bahwa investasi pemerintah di
jalan memiliki efek positif atas hasil panen, pekerja bukan pertanian di desa, dan upah petani. Semuanya itu menguntungkan penduduk miskin Khandker, 1989.
kemudian Malmberg et al. 1997 menemukan bahwa infrastruktur jalan memiliki dampak pada pertumbuhan ekonomi baik di sektor pertanian maupun bukan, dan
menciptakan kesempatan ekonomi bagi penduduk desa secara keseluruhan, termasuk yang miskin. Infrastruktur jalan menyebabkan produksi hasil pertanian
bernilai tinggi, dan meningkatkan kesempatan kerja bukan pertanian. Pada sisi dampak sosial pembangunan jalan ini adalah meningkatkan akses kepada
pelayanan kesehatan, dan meningkatkan kehadiran anak didik di sekolah. Fan dan Kang 2004 meneliti dampak pembangunan jalan terhadap
pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di China. Penemuan terpenting dari studi ini adalah jalan dengan kualitas rendah kebanyakan di perdesaan memiliki
rasio biaya-manfaat terhadap GDP nasional yang lebih besar dibandingkan dengan jalan kualitas bagus. Jika melihat pada GDP sektor pertanian, jalan berkualitas
bagus tidak berpengaruh signifikan sementara jalan dengan kualitas rendah berpengaruh signifikan, dan setiap 1 yuan investasi akan menciptakan 1,57 yuan
GDP sektor pertanian. Dalam bentuk pengurangan kemiskinan, investasi pada jalan dengan kualitas buruk lebih besar dampaknya pada jalan dengan kualitas
yang bagus. Kwon 2001 meneliti peran infrastruktur jalan desa dalam pengurangan
kemiskinan di Indonesia. Menurutnya penduduk miskin pada umumnya terkonsentrasi di pedesaan dan cenderung terisolasi dengan daerah lainnya.
Dengan demikian mobilitas mereka terbatas. Keterbatasan ini menyebabkan mereka tidak dapat mengambil keuntungan dari berbagai kesempatan tenaga kerja
yang timbul dari proses pertumbuhan. Kemudian bagi pertanian, hal ini akan meningkatkan biaya produksi dan akibatnya menurunkan keuntungan mereka.
Transportasi pedesaan yang lebih baik menyebabkan petani mampu meningkatkan kegiatannya dengan biaya input yang lebih rendah. Lebih jauh
lagi, dengan menghubungkan daerah pedesaan dengan pusat ekonomi dapat menjadikan akses pada pendidikan dan kesehatan menjadi lebih mudah bagi
penduduk pedesaan tersebut. Ada dua cara bagaimana infrastruktur jalan mengurangi kemiskinan, yaitu
dengan dampak langsung its own effect, dan dari dampak pada peningkatan kinerja variabel lainnya the through-effect. Dampak langsung dari infrastruktur
jalan ini adalah tambahan dari lapangan pekerjaan ketika pembangunan jalan ini berlangsung, meningkatkan hubungan antara produsen dan konsumen, pencari
kerja dengan yang mempekerjakan. Singkatnya, jalan dapat menyebabkan pasar input dan pasar barang bekerja lebih baik, yang secara tidak langsung mengurangi
kemiskinan Kwon, 2001. Listrik secara signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sektor non-farm
di perdesaan di China yang mengarah pada penurunan kemiskinan dengan elatisitas sebesar 0,42 Fan et al, 2002. Listrik memiliki peranan yang besar pada
upaya pengurangan kemiskinan. Setiap 10.000 Yuan yang digunakan untuk pembangunan listrik, maka mampu mengangkat orang miskin keluar dari
kemiskinannya sebesar 2,3 orang. Di Indonesia, listrik merefleksikan akses terhadap teknologi, yang
berkontribusi secara langsung terhadap kemiskinan dengan meningkatnya lapangan kerja dan pendapatan dari penduduk miskin Balisacan et al, 2002.
Namun di Indonesia, dalam laporan evaluasi Bank Dunia, banyak rumah tangga yang memilih untuk tidak menggunakan jaringan listrik yang tersedia. Hal ini
pastinya disebabkan dari tingkat kemiskinan yang ekstrim dan kurangnya kesempatan untuk mendapatkan kredit sehingga penduduk miskin tersebut tidak
dapat memanfaatkan faedah dari listrik di perdesaan Ali dan Pernia, 2003.
2.2.5 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan
Hubungan antara pertumbuhan dan kemiskinan pada dasarnya bersifat dua arah. Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan menyebabkan peningkatan
permintaan akan tenaga kerja dan peningkatan upah, dan dengan demikian mengurangi kemiskinan. Pendapatan yang lebih baik meningkatkan produktifitas
tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan juga memperbaiki pendapatan publik dan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk prasarana
fisik dan sosial, sehingga membantu mengurangi kemiskinan. Ramainya perdebatan mengenai hubungan pertumbuhan ekonomi dan
kemiskinan dipicu dari tulisan Dollar dan Kraay 2000. Dalam studinya, dua ekonom Bank Dunia ini menyimpulkan bahwa tanpa diduga, pertumbuhan
ekonomi mempunyai pengaruh besar dalam perang melawan kemiskinan global. Sejak 40 tahun terakhir, ternyata pertumbuhan ekonomi global berbanding lurus
dengan kenaikan pendapatan kelompok miskin. Balisacan et al. 2002 melakukan studi mengenai pertumbuhan dan
pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki catatan yang mengesankan mengenai pertumbuhan ekonomi
dan pengurangan kemiskinan selama dua dekade. Pertumbuhan dan kemiskinan menunjukkan hubungan kuat. Panel data yang dibangun dari 285 kotakabupaten
menyatakan perbedaan yang besar pada perubahan dalam kemiskinan. Hasil analisis ekonometrika menunjukkan bahwa selain pertumbuhan ekonomi, ada
faktor lain yang juga secara langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Diantaranya adalah infrastruktur, sumber daya manusia, insentif harga pertanian,
dan akses terhadap teknologi. Studi tentang pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan di
Indonesia juga dilakukan oleh Suryahadi et al. 2006. Studi ini menekankan pada
dampak lokasi dan komponen sektoral dari pertumbuhan. Hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan diperdalam dengan
membedakan pertumbuhan dan kemiskinan ke dalam komposisi sektoral dan lokasi. Hasil studi menunjukkan bahwa pertumbuhan pada sektor jasa di
perdesaan menurunkan kemiskinan di semua sektor dan lokasi. Fakta menarik yang diungkapkan oleh Bank Dunia dalam World
Development Report 2003, telah memicu debat menjadi kian ekstensif. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa di berbagai belahan dunia, sejumlah negara
telah mencatat laju pertumbuhan ekonomi yang cukup mengesankan dan bahkan berlangsung secara konsisten dalam satu-dua dekade. Akan tetapi, pertumbuhan
ekonomi tersebut ternyata tidak serta merta mereduksi kemiskinan. Disebutkan bahwa sedikitnya 3 tiga milyar penduduk bumi masih berada dalam kemiskinan
hanya memperoleh pendapatan kurang dari US 2 per hari.
2.2.6 Pengangguran dan Kemiskinan
Secara teoritis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan
maka secara otomatis tingkat kemiskinan akan meningkat. Hubungan yang positif antara kemiskinan dan pengangguran tersebut ditemukan di beberapa negara. Di
Korea, misalnya, Park 2002 menemukan hubungan yang sangat kuat antara tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Ketika tingkat pengangguran naik,
maka tingkat kemiskinan juga naik dan ketika tingkat pengangguran menurun maka tingkat kemiskinan juga ikut turun.
Son dan Kakwani 2006 dengan memodifikasi pengukuran tingkat pengangguran konvensional di Brazil, yang didasarkan pada mereka yang bukan
hanya menganggur tetapi juga mereka yang tingkat pendapatannya di bawah upah minimum yang ditentukan pemerintah. menemukan bahwa korelasi antara tingkat
pengangguran dan kemiskinan adalah signifikan. Sementara itu berdasarkan ukuran pengangguran konvensional yang diukur hanya berdasarkan penduduk
angkatan kerja yang tidak bekerja dan mencari pekerjaan, ternyata hubungan antara pengangguran dan kemiskinan terlihat tidak signifikan.
Arsyad 1997 menyatakan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, yang tidak mempunyai pekerjaan tetap atau hanya part-time selalu berada diantara
kelompok masyarakat yang sangat miskin. Masyarakat yang bekerja dengan bayaran tetap di sektor pemerintah dan swasta biasanya termasuk diantara
kelompok masyarakat kelas menengah keatas. Namun demikan, adalah salah jika beranggapan bahwa setiap orang yang tidak mempunyai pekerjaan adalah miskin,
sedang yang bekerja secara penuh adalah orang kaya. Hal ini karena kadangkala ada pekerja di perkotaan yang tidak bekerja secara sukarela karena mencari
pekerjaan yang lebih baik yang lebih sesuai dengan tingkat pendidikannya. Mereka menolak pekerjaan yang mereka rasakan lebih rendah dan mereka
bersikap demikian karena mereka mempunyai sumber lain yang bisa membantu masalah keuangan mereka.
Sebagian rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini Octaviani, 2001.
Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh,
jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah terutama kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan sedikit berada
di atas garis kemiskinan, maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. Yang artinya
bahwa semakin tinggi tingkat penganguran maka akanmeningkatkan kemiskinan.
2.2.7 Rata-Rata Lama Sekolah dan Kemiskinan
Rata-rata lama sekolah berkaitan erat dengan kemiskinan. Orang yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki tingkat pendapatan yang lebih baik
pula, karena orang yang berpendidikan tinggi memiliki peluang yang lebih baik untuk mendapatakan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi dibanding
mereka yang berpendidikan rendah. Dengan demikian orang yang memiliki tingkat pendidikan yang baik memiliki peluang yang lebih kecil untuk menjadi
miskin dibanding mereka yang berpendidikan rendah. Latifa et al 2008 menyatakan bahwa rata-rata lama sekolah anggota
rumahtangga di Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara berkorelasi negatif dengan
kemiskinan rumahtangga. Penelitian tersebut menggunakan sampel sebesar 400 rumahtangga di masing-masing provinsi penelitian. Sementara itu Woldehanna
2003 melakukan penelitian pada rumahtangga di perdesaan Ethiopia, yang hasilnya bahwa peningkatan jumlah tahun dalam sekolah memberikan efek
kesejahteraan rumahtangga sebesar 8,5 persen dan membantu rumahtangga petani keluar dari jerat kemiskinan. Pendidikan yang lebih tinggi memberikan
kemampuan untuk menyerap teknologi baru yang lebih canggih dan juga memungkinkan petani untuk masuk ke dalam kegiatan pertanian yang lebih
menguntungkan. Datt and Jolliffe 1999 menyimpulkan bahwa meningkatnya rata-rata lama sekolah seperti meningkatnya tingkat pendidikan orang tua
mempunyai pengaruh besar pada meningkatnya rata-rata standar hidup dan menurunnya kemiskinan di Mesir.
2.3 Kerangka Pemikiran