dalam model gabungan memiliki pengaruh nyata dan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat
menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila
kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap pertumbuhan cenderung menjadi positif, namun jika terjadi hal yang sebaliknya
maka dampaknya terhadap pertumbuhan menjadi negatif. Berikut ini dapat diamati bahwa impor Indonesia selama kurun waktu 1993-2009 cenderung
meningkat.
Sumber: BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 20 Perkembangan Nilai Impor Indonesia, 1993-2009 Juta US Variabel terakhir yang yaitu interaksi antara dummy wilayah dan
infrastruktur air adalah nyata dan negatif dengan elatisitas sebesar -0,018 dan p- value
sebesar 0,085. Ini berarti bahwa pengaruh infrastruktur air bersih terhadap pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa lebih rendah dibandingkan pengaruh
infrastruktur yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi di Jawa. Temuan ini sejalan dengan hasil estimasi untuk model di Jawa dan Luar Jawa, dimana
elastisitas pertumbuhan infrastruktur air di Jawa lebih besar dibandingkan Luar Jawa.
5.2 Pengaruh Pertumbuhan terhadap Pengentasan Kemiskinan
Analisis pengaruh pertumbuhan terhadap pengentasan kemiskinan menggunakan model simultan dengan menggunakan teknik ekonometrik parsial
simultan two stage least square 2 SLS. Metode two stage least square
meupakan metode ordinary least square OLS yang dilakukan dalam dua tahap. Langkah pertama yaitu mengestimasi persamaan pertama dengan OLS biasa,
selanjutnya adalah memprediksi suatu variabel pada persamaan pertama yang nantinya hasil prediksi tersebut akan digunakan sebagai variabel yang sama pada
persamaan kedua. Peneliti memilih metode parsial simultan panel karena metode tersebut memiliki kelebihan yaitu dapat menjelaskan pengaruh parsial, dalam hala
ini dapat melihat pengaruh infrastruktur terhadap pertumbuhan dan juga dapat melihat pengaruh pertumbuhan terhadap kemiskinan. Berikut ini disajikan tabel
hasil estimasi pengaruh pertumbuhan untuk Jawa, Luar Jawa dan Indonesia. Tabel 3 Hasil Estimasi Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi terhadap Pengentasan
Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Parsial Simultan, Periode 1993-2009
Variabel Model 2
p-value Uji Beda
Dua Koefisien
Dependent Var: LN_ Jumlah Penduduk Miskin
Jawa Luar
Jawa Model
Gabungan C
12.865 6.401
5.289 0.000
0.000 0.000
LN_PDRB -0.707
0.335 0.398
0.000 0.000
0.003 0.000
LN_PENGANGGURAN 0.755
0.163 0.304
0.000 0.000
0.000 0.004
LN_RATA-RATA SKLH 1.421
-0.418 -1.372
0.000
LN_PDRB
it
DW
it
LN_PENGANGGURAN
it
DW
it
LN_RATA2SKLH
it
DW
it
0.000 0.171
0.253 -0.056
0.418 -0.088
0.069 0.226
0.454
Cat: angka dalam kurung menunjukkan nilai probabilita
5.2.1 Pertumbuhan
Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa, secara nyata menurunkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan
terhadap pertumbuhan ekonomi di Pulau Jawa sebesar -0,707, yang berarti setiap peningkatan pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase penduduk
miskin akan berkurang 0,707 persen ceteris paribus. Kondisi ini dapat dipahami mengingat pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kapasitas
perekonomian dan meningkatkan pendapatan per kapita. Pendapatan per kapita yang meningkat berarti penduduk miskin akan berkurang. Jadi jelaslah bahwa
pertumbuhan ekonomi baik untuk pengentasan pemiskinan. Pertumbuhan ekonomi di Jawa didominasi oleh sektor industri. Pertumbuhan sektor industri di
Jawa selama periode 2000-2009 cukup berfluktuatif. Hal yang cukup menarik adalah bahwa sektor pertanian yang hanya memberikan kontribusi terhadap PDRB
Jawa sebesar 11,67 persen, namun pertumbuhannya terus meningkat sejak tahun 2006. Bahkan pada tahun 2009, pertumbuhan PDRB sektor pertanian di Pulau
Jawa meningkat tajam, yaitu dari 3,46 persen pada tahun 2008 menjadi 6,63 persen pada tahun 2009. Penurunan kemiskinan di Pulau Jawa tidak terlepas dari
makin meningkatnya pertumbuhan di sektor pertanian. Berbeda dengan Pulau Jawa, pertumbuhan di Luar jawa ternyata
meningkatkan persentase penduduk miskin. Elastisitas kemiskinan terhadap pertumbuhan di Luar Jawa sebesar 0,335, yang berarti setiap peningkatan
pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen, maka persentase penduduk miskin juga akan meningkat 0,335 persen ceteris paribus. Pertumbuhan ekonomi di Luar
Jawa didominasi oleh sektor pertanian dan pertambangan. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB Luar Jawa sebesar 21,93 persen, dan sektor
pertambangan dan penggalian sebesar 20,78 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa kontribusi dari kedua sektor tersebut terhadap pembentukan PDRB Luar
Jawa hampir sama. Pertumbuhan sektor pertanian di Luar Jawa pada periode 2006-2009 terus mengalami penurunan, yaitu dari 4,52 persen pada tahun 2006
menjadi 3,91 persen pada tahun 2009. Sebaliknya, sektor pertambangan dan penggalian terus mengalami peningkatan selama periode 2006-2009, yaitu dari -
0,70 persen pada tahun 2006 menjadi 3,18 pada tahun 2009. Selama ini, sektor
pertambangan bukan merupakan sektor yang banyak menyerap tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan bahwa kondisi ini yang mengakibatkan pertumbuhan
ekonomi yang terjadi di Luar Jawa justru meningkatkan kemiskinan.
Sumber : BPS diolah, Tahun 2006-2009
Gambar 21 Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian dan Pertambangan dan Penggalian di Luar Jawa, Periode 2006-2009
Pengaruh pertumbuhan terhadap kemiskinan di Indonesia berdasarkan hasil estimasi adalah nyata positif. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia didominasi
oleh sektor industri. Industri secara umum tidak banyak menyerap tenaga kerja, sehingga meningkatkan kemiskinan. Sementara itu, hasil estimasi dari interaksi
antara dummy wilayah Jawa dan Luar Jawa dan pertumbuhan terhadap kemiskinan menyimpulkan bahwa pengaruh pertumbuhan di Luar Jawa terhadap
kemiskinan lebih kecil dibandingkan Jawa. Temuan ini sesuai dengan hasil estimasi sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan di Jawa lebih
elastis dibandingkan Luar Jawa dalam memengaruhi kemiskinan, dimana elastisitas Jawa sebesar 0,707 dan di Luar Jawa hanya sebesar 0,335.
5.2.2 Pengangguran
Variabel kedua yang memengaruhi kemiskinan adalah pengangguran. Hasil estimasi di Jawa, Luar Jawa, dan Indonesia menunjukkan bahwa
pengangguran signifikan memengaruhi peningkatan kemiskinan. Elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran di Pulau Jawa sebesar 0,755, sedangkan
elastisitas kemiskinan terhadap pengangguran di Luar Jawa sebesar 0,163. Secara
teoritis, tingkat kemiskinan akan bergerak mengikuti tingkat pengangguran. Dalam hal ini ketika tingkat pengangguran mengalami kenaikan maka secara
otomatis tingkat kemiskinan akan meningkat. Temuan ini sejalan dengan penelitian Dian Octaviani 2001 yang
mengatakan bahwa sebagian rumah tangga di Indonesia memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan
kesejahteraan. Lebih jauh, jika masalah pengangguran ini terjadi pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah terutama kelompok masyarakat dengan tingkat
pendapatan sedikit berada di atas garis kemiskinan, maka insiden pengangguran akan dengan mudah menggeser posisi mereka menjadi kelompok masyarakat
miskin. Yang artinya bahwa semakin tinggi tingkat pengganguran maka akan meningkatkan kemiskinan.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pengganguran antara lain: 1 besarnya angkatan kerja tidak seimbang dengan kesempatan kerja.
Ketidakseimbangan terjadi apabila jumlah angkatan kerja lebih besar daripada kesempatan kerja yang tersedia. Kondisi sebaliknya sangat jarang terjadi; 2
struktur lapangan kerja tidak seimbang; 3 kebutuhan jumlah dan jenis tenaga terdidik dan penyediaan tenaga terdidik tidak seimbang. Apabila kesempatan kerja
jumlahnya sama atau lebih besar daripada angkatan kerja, pengangguran belum tentu tidak terjadi. Alasannya, belum tentu terjadi kesesuaian antara tingkat
pendidikan yang dibutuhkan dan yang tersedia. Ketidakseimbangan tersebut mengakibatkan sebagian tenaga kerja yang ada tidak dapat mengisi kesempatan
kerja yang tersedia; 4 penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja antar daerah tidak seimbang.
Variabel pengangguran di Jawa lebih elastis dibandingkan di Luar Jawa. Kondisi ini disebabkan oleh jumlah penduduk Jawa yang lebih besar, belum lagi
ditambah dengan persoalan urbanisasi yang hingga saat ini masih saja terus terjadi di Pulau Jawa. Selain itu, selama ini pengangguran di Pulau Jawa selalu jauh lebih
banyak dibandingkan pengangguran di Luar jawa. Seperti sudah diuraikan di bab 1, bahwa Pulau Jawa mempunyai penduduk miskin yang paling banyak di
Indonesia, ditambah lagi dengan persoalan pengangguran yang persentasenya selalu melewati angka 60 persen. Padahal lapangan kerja yang tersedia di Pulau
Jawa terbatas. Migran yang datang ke Pulau Jawa banyak yang hanya berpendidikan rendah. Kondisi ini akan mengakibatkan kemiskinan yang semakin
meningkat, karena jumlah tenaga kerja lebih besar dibandingkan jumlah lapangan kerja yang tersedia.
Sumber : BPS diolah, Tahun 1993-2009
Gambar 22 Persentase Pengangguran di Jawa dan Luar Jawa, Periode 1993-2009 Interaksi antara pengangguran dengan dummy wilayah Jawa dan Luar
Jawa bertanda negatif, artinya bahwa pengaruh pengangguran terhadap kemiskinan di Luar Jawa lebih rendah dibandingkan pengaruh pengangguran
terhadap kemiskinan di Jawa. Temuan ini sesuai dengan besarnya elastisitas pengangguran di Luar Jawa yang lebih kecil daripada elastisitas di Jawa.
5.2.3 Rata-Rata Lama Sekolah
Variabel ketiga yang mempengaruhi kemiskinan adalah rata-rata lama sekolah pekerja. Hasil estimasi menunjukkan bahwa rata-rata lama sekolah
signifikan dapat mereduksi jumlah penduduk miskin baik di Jawa maupun di Luar Jawa.
Pendidikan menyangkut
pembangunan karakter
dan sekaligus
mempertahankan jati diri manusia suatu bangsa. Frankel 1997 menyatakan bahwa pendidikan khususnya peningkatan jumlah tahun belajar merupakan suatu
syarat untuk tahap dari pembangunan ekonomi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka kualitas sumberdaya manusia juga akan semakin baik dan akan
memengaruhi produktifitas. Ketika produktifitas meningkat maka penghasilan atau upah yang didapat juga akan meningkat sehingga akan membantu masyarakat
keluar dari jerat kemiskinan. Di Pulau Jawa, elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata lama sekolah
pekerja sebesar 1,421, yang berarti peningkatan rata-rata lama sekolah pekerja 1 persen akan meningkakan kemiskinan sebesar 1,421 persen. Temuan ini tidak
sejalan dengan teori human capital yang menyatakan bahwa pendidikan dapat memperbaiki produktivitas tenaga kerja, meningkatkan daya saing dan
pertumbuhan ekonomi serta memperbaiki income. Pendidikan dapat berperan dalam pengentasan kemiskinan tergantung pada tingkat pembangunan suatu
negarawilayah, aspek ekonomi, sosial dan politik yang mempengaruhi upah dan permintaan tenaga kerja Gundlach et al, 2001. Selain itu belum tentu lapangan
kerja yang tersedia sesuai dengan background pendidikan yang ditamatkan. Rata-rata sekolah pekerja di Luar Jawa tidak berpengaruh secara nyata
dalam menurunkan kemiskinan. Kondisi ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di Luar Jawa didominasi oleh sektor pertanian yang notabene tidak
memerlukan pendidikan yang tinggi dan juga oleh sektor pertambangan dan penggalian. Selama ini pekerja yang mempunyai kedudukan tinggi dari
perusahaan-perusahaan yang bergerak pada sektor pertambangan adalah bukan penduduk lokal, sehingga tidak berpengap penurunan kemiskinan. Hal yang sama
juga ditemukan pada hasil estimasi dari model gabungan, dimana rata-rata lama sekolah di Indonesia juga tidak berpengaruh secara nyata dalam menurunkan
kemiskinan. Interaksi antara rata-rata lama sekolah dan dummy wilayah Jawa danLuar
Jawa bertanda positif namun tidak signifikan. Hasil temuan ini terkait dengan elastisitas kemiskinan terhadap rata-rata sekolah pekerja di Jawa yang bertanda
positif. Di sisi lain, rata-rata sekolah di Luar Jawatidak berpengaruh nyada dalam menurunkan kemiskinan.
5.3 Rumusan Kebijakan