BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENCABULAN
A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP
Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah
dijatuhkan, dimuat dalam media massa. Selain daripada pemerkosaan dan pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan
penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada anak-
anak sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan
aparat penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung
kekurangan secara tidak substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Dalam pembahasan ini penulis akan di uraikan atau deskripsikan posisi korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif KUHP.
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal 289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia
kekerasan seksual pada anak-anak. Dalam rumusan KUHP dirumuskan
perbuatan perkosaan pada Pasal 289 yang bunyinya sebagai barikut : Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau
membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.”
19
Sedangkan dalam Pasal 290 berbunyi : 1a. Barangsiapa melakukan berbuat perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya bahwa orang pingsan atau tidak berdaya. 2a. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, sedang
diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa umur anak orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang itu
belum masanya untuk kawin.
20
Dari rumusan dapat disimpulkan bahwa unsur yang harus ada untuk adanya tindak pidana paedofilia adalah: 1 barangsiapa, 2 dengan kekerasan, atau
3 dengan ancaman kekerasan, 4 memaksa, 5 seseorang wanita yang belum masanya kawin, 6 adanya pencabulan.
Persepsi terhadap kata “cabul” tidak dimuat dalam KUHP. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat artrinya sebagai berikut :“ keji dan kotor, tidak senonoh
melanggar kesopanan, kesusilaan.” Perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan,
atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin.
21
19
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bogor: Politea, 1994, hal 212
20
Ibid
21
Ibid.
Sanksi hukuman berupa pemidanaan yang terumus dalam Pasal 289 KUHP menyebutkan bahwa paling lama hukuman yang akan ditanggung oleh
pelaku adalah sembilan tahun. Hal ini adalah ancaman hukuman secara maksimal, dan bukan sanksi hukum yang sudah dibakukan harus diterapkan. Sanksi
minimalnya tidak ada, sehingga terhadap pelaku dapat diterapkan berapapun lamanya hukuman penjara sesuai dengan “selera” yang menjatuhkan vonis.
Jika kemudian dalam perjalanan sejarah penerapan Pasal 289 oleh hakim, hanya ada beberapa kali putusan maksimal itu diterapkan, maka tidak semata-
mata bisa menyalahkan hakimnya, meskipun dalam visi kemanusiaan dan keadilan yang layaknya didapatkan korban, hakim telah bertindak diluar
komitmen dan nilai-nilai kemanusiaannya. 1.
Tentang unsur ‘’barang siapa’’ dalam KUHP memang tidak ada penjelasan rinci, namun kalau kita simak Pasal 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50 dan 51 KUHP
dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ‘’barang siapa’’ atau subjek tindak pidana adalah ‘orang’ atau ‘manusia’. Bukti lain yang dapat diajukan
yang menunjukan bahwa objek tindak pidana adalah orang lain ialah: pertama, untuk penjatu8hyan pidana diharuskan adanya kesalahan atau kemampuan
bertanggung jawab dalam hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP hanya bermakna atau hanya mempunyai arti bila dikenakan pada
‘orang’ atau ‘manusia’. Kalau dilihat dari luas sempitnya perbuatan pelaku maka akan termasuk sebagai pelaku tindak pidana bukan hanya orang yang
perbutannya selesai tetapi juga termasuk mededaders turut melakukan,
medepleger menyuruh melakukan, medeplichtigheid membantu melakukan dan uitloking membujuk atau mengajurkan.
22
2. ‘Kekerasan’ adalah kekuatan fisik atau perbuatan yang menyebabkan orang
lain secara fisik tidak berdaya tidak mampu melekukan perlawanan atau pembelaan. Wujud dari kekerasan dalam tindak pidana Paedofilia antara lain
sebagainya perbuatan fisik yang secara objektif dan fisik menyebabkan orang yang terkena tidak berdaya. Dalam tindak pidana perkosaan, kekerasan ini
dilakukan oleh pelaku sebagai upanya untuk mewujudkan maksud atau nitnya untuk bersetubuh dengan korban. Sudah barang tentu ini dilakukan kerena
adanya pertentangan kehendak. Dalam kasus tindak pidana pencabulan, pelaku prinsip semakin cepat kasus dilaporkan dan tempat kejadian perkara
diamankan, maka akan semankin besar untuk menangkap pelaku. Untuk menentukan ada tidaknya sperma dalam tubuh korban, paling lama visum
dilakukan dua hari sejak terjadi perkosaan. 3.
Ancaman kekerasan adalah serangan psikis yang menyebabkan orang menjadi ketakutan sehingga tidak mampu melakukan pembelaan atau perlawanan atau
kekerasan yang belum diwujudkan tapi menyebabkan korban yang sebagian besar anak-anak menjadi takut dan tidak punya pilihan lain selain mengikuti
kehendak orang yang mengancam dengan kekerasan.
23
4. Unsur ‘memaksa’ dalam pencabulan menunjukan adanya pertentangan
kehendak antara pelaku dengan korban. Sehingga tidak ada pencabulan apabila tidak ada pemaksaan.
22
Barita Sinaga, Varia Peradilan, IX, 1994, hal 157
23
Lamintang, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1990, hal 113
5. Unsur yang dipaksa untuk bersetubuh adalah “wanita yang belum masanya
untuk kawin” atau anak-anak dibawah umur atau seseorang yang umurnya belum cukup 15 tahun terhadap ‘’wanita yang belum dewasa’’ memerlukan
perlindungan khusus sehingga setiap pria yang berminat bersetubuh dengan wanita tersebut mengetahui dan memahami risiko yang lebih besar. Anak-
anak wanita yang masih belum mengerti “hubungan seks”, dengan bujukan sedikit uang. Mungkin telah mau membuka celana dalamnya dan mau disuruh
tidur telentang tanpa paksaan si pria telah dapat mensetubuhinya. 6.
Untuk selesainya tindak pidana Paedofilia maka harus terjadi pencabulan yang dilakukan pelaku kepada korban. Dalam arti tidak ada pidana Paedofilia jika
tidak terjadi pencabulan dimana anak-anak sebagai korbannya. Adapun tanda- tanda atau bukti yang dapat menguatkan bahwa telah terjadi persetubuhan atau
penetrasi antara lain : a.
Robeknya selaput dara hymen dalam hal anak-anak sebelum dicabuli masih dalam keadaan perawan, bentuk robeknya selaput dara akan berbeda
antara hubungan kelamin yang dilakukan paksa, umumnya robekan hymen akan tidak beraturan bila korban berusaha untuk melawan.
b. Tanda kekerasan pada vagina vulva biasanya terjadi karena pelaku
membuka celana dalam korban atau memasukkan penisnya secara paksa dan tergesa-gesa, tanda kekerasan ini bisa berupa goresan kuku atau
tangan pelaku. c.
Sperma pelaku yang tertinggal dalam vagina.
24
24
Ibid., hal 27
Perbuatan cabul sebagaimana dijelaskan pada KUHP adalah dalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya :
1 Seorang laki-laki dengan paksa menarik tangan seorang perempuan
dan menyentuhnya pada alat kelaminnya. 2
Seorang laki-laki merabai badan seorang anak perempuan dan kemudian membuka kancing baju anak tersebut untuk dapat
mengelusnya teteknya dan menciumnya. Pelaku melakukan hal tersebut untuk memuaskan nafsu seksualnya.
25
Konsep mengenai tindak pidana paedofilia atau kejahatan kesusilaan ini sebagaimana dalam RUU-KUHP sudah mulai ada kemajuan, terutama dari segi
ancaman sanksi hukuman yang akan dikenakan pada pelaku. Masing-masing kejahatan kesusilaan telah diancam dengan sanksi hukuman bersifat pemberatan.
Selain itu, dalam RUU-KUHP telah ada kemajuan mengenai penjatuhan hukuman secara berganda pada pelakunya, yaitu selain dijatuhi sanksi penjara, juga dapat
dijatuhi sanksi berupa denda yang sudah disahkan oleh pemerintah, yaitu denda Rp300.000.000 juta rupiah bagi setiap pelaku paedofilia yang tertangkap sebagai
ganti rugi terhadap anak-anak yang sudah dicabulinya. Meskipun demikian, ancaman hukuman itu masih belum bisa
mengimbangi ancaman hukum yang digariskan hukum islam. Padahal dalam hukum islam, kalau kasus seprti itu terjadi, maka hukuman maksimumnya adalah
hukuman mati. Idealnya, pembaharuan hukum yang hemdak direncanakan sebagai bagian dari konsekuensi politik hukum di indonesia ini, adalah dapat mengacu
25
W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982, hal 87
pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban kejahatan.
B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan