pada kepentingan yang memfokuskan pada kepentingan masyarakat dan korban kejahatan.
B. Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan
Pertanggungjawabannya
Tujuan dari hukum pidana ialah untuk memenuhi rasa keadilan, mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan
kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat dan juga dengan adanya hukum pidana yang bersifat represif
diharapkan pelaku tindak pidana tidak mengulangi perbuatannya dan apabila kembali ke masyarakat dapat diterima seperti dahulu sebelum ia di penjara
Kata “kesusilaan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitan Balai Pustaka.
26
Kata “susila” dimuat arti sebagai berikut :
1. Baik budi bahasanya, beradab, sopan, tertib;
2. Adat istiadat yang baik, sopan santun, kesopanan, keadaban;
3. Pengetahuan tentang adat
Makna dari “kesusilaan” adalah tindakan yang berkenaan dengan moral yang terdapat pada setiap diri manusia, maka dapatlah di simpulkan bahwa
pengertian delik kesusilaan adalah perbuatan yang melanggar hukum, dimana perbuatan tersebut menyangkut etika yang ada dalam diri manusia yang telah
diatur dalam perundang-undangan.
26
Marpaung, Leden, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal 2
Pengaturan tentang tindak pidana kesusilaan di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana KUHP menggolongkan jenis tindakan pidana
kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni: 1.
Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303 Bab 14 Buku ke 2 KUHP.
2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547
Bab 6 Buku 3 KUHP Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.
27
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah
mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan
antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana
diperbolehkan dan yang tidak. Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan
perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi
27
Roeslan Saleh.Op.cit., hal. 75
masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka terdakwa haruslah
28
: a.
Melawan perbuatan pidana b.
Mampu bertanggungjawab c.
Dengan sengaja atau kealpaan, dan; d.
Tidak ada alasan pemaaf Unsur delik pada Pasal 293 adalah:
1. Sengaja membujuk orang untuk melakukan perbuatan cabul dengan dia atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul pada dirinya. 2.
Membujuk dengan menggunakan : a.
hadiah uang. b.
pengaruh yang berlebihan yang ada disebabkan oleh hubungan yang ada. c.
Tipuan 3.
Bujukan ditujukan pada orang yang belum dewasa yang patut disangka oleh pembujuk dan baik tingkah lakunya.
Membujuk berarti berusaha supaya orang menuruti kehendak yang membujuk bukan memaksa. Apabila dengan bujuk rayu tersebut maka terjadi
perbuatan cabul tersebut maka pelaku baru dapat dikenai sanksi pidana. Pasal 294 KUHP mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan
kepada anak kandung, anak tiri, anak angkat, anak dibawah pengawasanya, yang
28
Ibid. hal. 79
belum cukup umur, atau orang yang belum cukup umur dimana pemeliharaan, pendidikan ditanggungkan kepadanya. Dalam Pasal ini maka pelaku akan dikenai
sanksi pidana apabila perbuatan cabul dilakukan terhadap anak yang dibawah umur yang masih terdapat hubungan dengannya dimana ancaman pidana nya jauh
lebih berat. Pasal 294 1 : barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya,
anak tirinya, anak angkatnya anak dibawah pengawasanya, yang belum cukup umur atau dengan orang yang belum cukup umur yang pemeliharaannya,
pendidikannya dan penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun Dalam Pasal 296 perbuatan yang dilarangan adalah menghubungkan atau
memudahkan perbuatan cabul orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian. Pasal ini digunakan untuk orang-orang yang bekerja dalam bisnis
pelacuran yaitu sebagai penyedia tempat, penyalur anak- anak dibawah umur yangdilacurkan. Pasal 296 KUHP disebutkan bahwa : Barang siapa dengan
sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain dan menjadikan nya sebagi pencarian atau kebiasaan diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan tau denda paling banyak seribu rupiah.
29
Berbicara konsep pertanggungjawaban pidana strafbaarheid mau tidak mau harus didahului dengan pembicaraan tentang konsep perbuatan pidana
29
Moeljatno,Asas –Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008 hal 6
strafbaarfeit. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika
tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu perbuatan, sedang ia sendiri tidak melakukan perbuatan itu.
30
Di antara ahli hukum pidana masih ada perbedaan pendapat apakah konsep perbuatan pidana di dalamnya terkandung
juga konsep pertanggungjawaban pidana atau kedua konsep tersebut merupakan konsep yang berbeda namun tidak dipisahkan.
Simons misalnya mengatakan bahwa dalam perbuatan pidana di dalamnya juga terkandung makna pertanggungjawaban pidana. Pendapat serupa
dikemukakan oleh Van Hamel yang mengatakan bahwa istilah strafbaarfeit diartikan sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, yang
bersifat melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Pemikiran tersebut pada akhirnya melahirkan suatu aliran yang tidak memisahkan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Moeljatno dan Roeslan Saleh yang menyatakan konsep
perbuatan pidana harus dipisahkan dari konsep pertanggungjawaban pidana. Hal ini karena untuk menentukan salah tidaknya seseorang terlebih dahulu harus
dibuktikan bahwa ia melakukan suatu perbuatan. Dari pemikiran ini kemudian memunculkan suatu aliran yang dalam hukum pidana dikenal dengan aliran
dualisme, yaitu aliran yang memisahkan konsep perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana.
31
30
Roeslan Saleh, Op.cit, hal 20-23
31
Moeljatno, Op.cit , hal 62-63
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas principle of legality, sedangkan dasar
dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan principle of culpability. Ini Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang obyektif
yang ada pada perbuatan pidana dan secara subyektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana
adalah asas legalitas principle of legality, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan principle of culpability. Ini berarti bahwa
pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut.
32
“ Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.Jadi
meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam Undang–undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan
pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan bersalah.
Dengan kata lain, orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat
dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut“.
33
32
Ibid., hal 25
33
Sudarto, Hukum Pidana I, Badan Penyediaan bahan-bahan kuliah, FH UNDIP, Semarang , 1988, hal 85
Sudarto mengindikasikan bahwa kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana
tidak akan pernah ada. Maka dari itu dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada pidana tanpa kesalahan “ geen straf zonder schuld sebagaimana telah banyak
disebutkan dalam paragraf terdahulu. Asas kesalahan ini merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas ini sehingga
meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana. Kesalahan dalam arti luas yang bisa dipersamakan dengan pengertian
pertanggungjawaban dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna bisa dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi, jika dikatakan bahwa orang
bersalah melakukan suatu perbuatan pidana, itu berarti orang tersebut dicela atas perbuatannya. Unsur-unsur kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya adalah
sebagai berikut:
34
a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat, atinya keadaan jiwa
si pembuat harus normal. b.
Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan dolus atau kealpaan culpa, ini disebut bentuk–bentuk
kesalahan. c.
Tidak ada alasan yang menghapus kesalahan alasan pembenaralasan pemaaf
Roeslan Saleh tiga unsur itu merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Yang satu bergantung kepada yang lain, dalam arti urut-urutannya dan
34
Sri Sianturi, Asas –Asas hHukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumniahaem,1986,hal 165
yang disebut kemudian bergantung pada yang disebut terlebih dahulu. Singkatnya, tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan,
apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan penghapus pidana, apabila orang itu tidak mampu
bertanggungjawab dan tidak pula adanya kesengajaan atau kealpaan.
35
a. Unsur yang pertama adalah kemampuan bertanggungjawab yang diartikan
sebagai kondisi sehat dan mempunyai akal dalam membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk, atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk menentukan kehendaknya.
36
Jadi, paling tidak ada dua factor untuk menentukan adanya kemampuan bertanggungjawab, yaitu faktor akal dan
faktor kehendak. Akal bisa membedakan antara perbuatan yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan.
37
Sedangkan kehendak berarti bisa menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas sesuatu yang boleh
dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. b.
Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud
alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya
dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang
35
Roeslan Saleh, Op. cit., hal 78.
36
Schaffmeiser Dorman, N. Keijzer, PH. Sutorius, Hukum Pidana, Editor penerjemah, J.E Sahetapy , Yogyakarta: Liberti , 1995, hal 87
37
E Utrecht, Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986, hal 300
menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP.
c. Unsur yang ketiga yaitu tidak ada alasan yang menghapus kesalahan baik
alasan pembenar maupun alasan pemaaf. Secara sederhana, yang dimaksud alasan pembenar adalah hal-hal yang menjadikan dapat dimaafkannya pelaku
perbuatan pidana menurut hukum sehingga sanksi pidana yang seharusnya dijatuhkan menjadi terhapus. Berdasarkan pengertian ini, salah satu syaratnya
adalah dalam diri pelaku itu harus tidak ada hal-hal atau alasan-alasan yang menjadikan ia dapat dimaafkan secara hukum. Secara normatif hal tersebut
diatur dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP. sesungguhnya dalam teori hukum pidana dikenal teori yang disebut dengan teori kesalahan
normatif. Pada intinya teori ini menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan. Kesalahan
dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana. Kesalahan dalam konteks ini diartikan
sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.
38
Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang manjadi
patokan penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma tersebut. Kesalahan berarti pembuat seseorang atau badan hukum telah
38
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Pertama, Jakarta : Prenada Media,
2006, hal 83
berbuat bertentangan dengan harapan masyarakat. Hukum mengatur kehidupan seseorang agar tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian maupun
keresahan pada masyarakat. Seseorang dikatakan bersalah ketika melakukan suatu tindak pidana karena telah melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan
hukum maupun harapan masyarakat. Padahal pada dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin melakukan tindak pidana
tersebut, dimana hal ini berarti bahwa tiap individu memiliki pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat suatu penyimpangan.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada petindak jika telah melakukan sesuatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah
ditentukan dalam undang-undang. Dari sudut pandang terjadinya suatu tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan apabila tindakan
orang tersebut bersifat melawan hukum dan orang tersebut mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab.
Pada perbuatan cabul yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak, pelaku dalam hal ini yang merupakan orang dewasa bisa siapa saja. Pelaku bisa
merupakan orang lain contohnya pada bisnis pelacuran pelaku merupakan orang lain yang tidak dikenal oleh anak itu dimana hubungan pelaku dan korban tidak
lain merupakan hubungan bisnis dan jasa yaitu pelaku menggunakan jasa anak untuk mendapatkan kepuasan secara seksual dan anak mendapatkan imbalan
berupa uang atau barang. Pada perbuatan cabul pelaku harus memenuhi setiap unsur delik yang ada
dalam undang-undang, dimana setelah dinyatakan memenuhi unsur tindak pidana
tersebut, maka dipertimbangkan pula ada tidaknya alasan pemaaf dan pembenar, termasuk cakap hukum atau tidak, dimana setelah dipertimbangkan mengenai hal-
hal tersebut, maka dapat ditentukan apakah pelaku dapat dijatuhi sanksi pidana atau tidak sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Akan tetapi sebelum
penjatuhan pidana, dipertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan dari terdakwa baru kemudian dijatuhi pidana.
C.
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan dalam Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142Pid.Sus2011PN-BI
Ulasan kasus Terdakwa Budiyanto Bin Sanasmaalm pada hari Rabu tanggal 1 Juni 2011 sekitar jam 11.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dalam tahun 2011 bertempat di rumah saksi korban Warti Dk. Kiringan Rt.01RW.01 Ds. Canden Kec. Sambi Kab. Boyolali setidak-tidaknya masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Boyolali dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
dilakukan padanya perbuatan cabul Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.
39
39
Saifudiendjsh.Blogspot.Com200908Pertanggungjawaban-Pidana.Html diakses tanggal
2 Maret 2015
Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru 19911992 dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif
pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
40
Secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang pidana
untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka harus
ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan. Pasal 27 konsep KUHP 19821983 mengatakan pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-
syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.
41
Konsep Rancangan KUHP Baru Tahun 20042005, di dalam Pasal 34 memberikan
definisi pertanggungjawaban
pidana sebagai
berikut: Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan vewijbaarheid
40
Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, hal 11
41
Djoko Prakoso, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1987. Hal 75
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.
42
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar.
43
Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban
kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.
44
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan pemilihan dari
berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan penetapan sistem pertanggungjawaban
pidana tidak
dapat dilepaskan
dari berbagai
pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban” dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum
pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy of
42
Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 20042005 penjelasan.
43
R. Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, hal.131
44
Ibid
Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word “liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally
subjected to the exaction.
45
Bertitik tolak pada rumusan tentang “pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas, Pound membahasnya dari sudut pandang filosofis dan
sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis, Pound lebih jauh menguraikan perkembangan konsepsi liability. Teori pertama, menurut
Pound, bahwa liability diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan diterima pelaku dari seseorang yang telah “dirugikan”.
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya
keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran “ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa”
kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli”, melainkan dari sudut kerugian
atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.[8] Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana.
46
45
Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama Jakarta: Yayasan LBH, 1989, hal 79
46
Roeslan Saleh.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:Aksara Baru. 1999, hal 75
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana, harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang
dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana.
47
Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang mampu bertanggungjawab
adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan.
Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang
telah dilakukan orang tersebut. Untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa, maka
terdakwa haruslah
48
: Melawan perbuatan pidana 1.
Mampu bertanggungjawab 2.
Dengan sengaja atau kealpaan, dan; 3.
Tidak ada alasan pemaaf
47
Ibid. hal. 80
48
Ibid. hal. 79
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI