nafsu birahi kelamin misalnya mencium, meraba-raba anggota kemaluan, meraba- raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan
tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.
4
Perbuatan cabul tidak hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin terhadap anak saja,
tetapi juga apabila dilakukan terhadap orang dewasa. Pelaku perbuatan cabul terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa dapat diancam pidana sesuai Pasal
290 ayat 1 KUHP. Berdasarkan uraian di atas maka merasa tertarik memilih judul
Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Cabul Terhadap Wanita Yang Mengalami Gangguan Jiwa Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142Pid.Sus2011PN-BI
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan?
2. Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi
pelaku tindak pidana pencabulan Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142Pid.Sus2011PN-BI?
4
R. Soesilo, KUHP serta komentar–komentarnya, Bogor: Politeia, 1996, hal 212
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah : a.
Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan.
b. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam
menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142Pid.Sus2011PN-BI?
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah : a.
Secara teoritis memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana bagi pelaku
cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa b.
Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bagi aparat penegak hukum dalam memperluas serta
memperdalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat umumnya dan bagi aparatur
penegak hukum pada khususnya untuk menambah wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka
pembaharuan hukum pidana.
D. Keaslian Penelitian
Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan
penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak
ditemukan skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan
masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Un dang kita telah
menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHPBelanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan
istilah tindak pidana. Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan istilah “stratbaar feit”. Istilah strafbaar feit dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan berbagai istilah yaitu
tindak pidana, delik, peristiwa pidana, perbuatan yang boleh dihukum, dan perbuatan pidana. Dalam kepustakaan hukum pidana sering menggunakan istilah
delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan dalam undang-undang
dengan menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.
Menurut Simon, berpendapat bahwa pengertian tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-
undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.
5
Tindak pidana sebagai berikut:“Tindak pidana ialah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang atau diharuskan dan diancam
dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang mampu bertanggung jawab.
6
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut.
7
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang mana
perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang- undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana
Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa
5
Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. Bandung: Rafika Aditama, 2011, hal 98
6
Ibid., hal 99
7
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2008 , hal 59
mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan
yang tidak.
8
Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa
mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan
yang tidak.
9
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.
10
Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di
tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas meliputi kemampuan
bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika
8
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.Jakarta: Askara Baru,1999, hal 84
9
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Askara Baru.. 1999, hal. 84
10
Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta. 2002, hal. 54
kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana yang menyangkut segi objektif dan pertanggungjawaban pidana yang menyangkut segi subjektif, jadi
menyangkut sikap batin si pembuat maka mudahlah kita menentukan dipidana atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.
11
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan
yang telah dilakukan oleh orang tersebut. Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 tiga
syarat, yaitu:
12
a. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.
b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam
pergaulan masyarakat. c.
Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan Alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang
dilakukan, yaitu:
13
a. Jiwa si pelaku cacat.
b. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.
c. Gangguan penyakit jiwa.
11
Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung: Alumni, 2007, hal.72
12
Roeslan Saleh. Op.cit. hal 80
13
Leden Mapaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafrika. 2005, hal. 72
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya 3 tiga unsur pokok, yaitu:
a. Unsur perbuatan
b. Unsur yang dilarang oleh aturan hukum.
c. Unsur pidana bagi yang melanggar larangan.
2. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu perbuatan atau tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan.Bila mengambil definisi
dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan
kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan” Pencabulan menurut Kamus Besar Indonesia adalah pencabulan adalah
kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun tidak senonoh, tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana
asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh melanggar
kesusilaan,kesopanan
14
Pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.Definisi yang diungkapkan
Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2002: 184
berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.
15
Berdasarkan pengertian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa tindak pidana pencabulan adalah segala tindakan atau perbuatan yang keji, tidak
senonoh, kotor, dan melanggar kesusilaan kesopanan, dimana semua itu dalam lingkup nafsu birahi kelamin. Contohnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota
kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Menurut KUHP Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Pengaturan tentang delik kesusilaan di dalam KUHP menggolongkan jenis
tindakan pidana kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni:
1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303
Bab 14 Buku ke 2 KUHP. 2.
Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547 Bab 6 Buku 3 KUHP.RUU KUHP hanya mengelompokkan dalam 1
satu bab dengan judul tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan. Tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan
tersebut diatur dalam Pasal 467 s.d. 505 Bab 16 RUU KUHP.
15
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hal 106
Adapun pengaturan delik kesusilan dalam Undang-Undang Pornografi meliputi larangan dan pembatasan perbuatan yang berhubungan dengan
pornografi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yakni:
1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat: a.
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b.
kekerasan seksual; c.
masturbasi atau onani; d.
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e.
alat kelamin; atau f.
pornografi anak. 2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang
mengesankan ketelanjangan; b.
menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c.
mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual
3. Kekuasan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 2 ayat 1 Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. 3 Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan
undang-undang. 4 Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. 4.
Analisis Yuridis PN-Boyolali No. 142 Pid.Sus2011PN-BI
Sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa untuk dididik dan dibina di Panti Sosial selama 6 enam bulan sudah tepat dan telah berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang adil terutama fakta-fakta yang diperoleh dipersidangan. Diharapkan terdakwa dapat menjadi lebih baik lagi setelah
menjalani sanksi berupa tindakan tersebut. Menurut penulis, dalam penjatuhan sanksi terhadap terdakwa sudah tepat
karena hakim telah memperhatikan berbagai pertimbangan faktor yuridis, fakta- fakta dalam persidangan, bukti-bukti yang ada serta keterangan saksi-saksi dan
terdakwa. Hakim dalam menjatuhkan putusan memperhatikan rasa keadilan yang diberikan oleh hakim kepada terdakwa mengingat terdakwa dan korban masih
anak-anak juga rasa keadilan dalam masyarakat dan Negara. Hakim juga
mempertimbangkan faktor non yuridis dan telah sesuai dengan teori dasar pertimbangan hakim, seperti teori keseimbangan yaitu hakim melihat kepentingan
terdakwa, kepentingan korban dan keluarganya, serta masa depan terdakwa. Teori pendekatan seni dan intuisi yaitu hakim melihat keadaan terdakwa pada saat
melakukan tindak pidana karena tidak semua pelaku anak dijatuhkan sanksi yang sama. Teori Pendekatan keilmuan yaitu hakim memutus suatu perkara dengan
ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, dalam perkara anak ada upaya Diversi dan Restorative Justice sehingga pelaku anak tidak dipidana.
Hakim telah melihat dari teori pendekatan pengalaman yaitu hakim memutus perkara dengan pengalaman yang dimilikinya dan dapat mengetahui
bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan, hakim melihat sanksi yang diberikan kepada terdakwa untuk dibina dan didik adalah yang terbaik untuk masa
depan terdakwa yang masih anak-anak karena jika terdakwa dipidana akan membuat terdakwa semakin parah.
Teori Ratio Decidendi yaitu hakim memutus suatu perkara didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar dan mempertimbangkan segala aspek yang
berkaitan dengan pokok perkara serta peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal
meringankan terdakwa serta saran Balai Pemasyarakatan adalah salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi sehingga kepada terdakwa
dijatuhi sanksi. Putusan hakim tersebut sudah memenuhi tujuan perlindungan anak, karena
terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari hukuman penjara yang dapat
merampas kemerdekaannya dan dapat memberikan stigma yang kurang baik pada diri terdakwa dimasa depan, karena dalam menjatuhkan sanksi kepada anak tidak
boleh merampas masa depannya, terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari hukuman penjara yang dapat merampas masa depannya. Dengan diberikan sanksi
berupa tindakan dididik dan dibina menjadi anak Negara diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana dan menjadikan terdakwa lebih baik lagi.
F. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan dan putusan pengadilan,
16
yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan Analisis Yuridis Putusan Pengadilan
Negeri Boyolali No. 142Pid.Sus2011PN-BI. 2.
Spesifikasi penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini,
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana pencabulan. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,
17
yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi
peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian
16
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004, hal 14.
17
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di dalam Penelitian Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999, hal.3
kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut
mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang
dikeluarkan oleh pemerintah.
18
3. Sumber data
Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang
meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan library research. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori
dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri
dari: 1.
Bahan hukum primer, antara lain: a.
Norma atau kaedah dasar b.
Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman d.
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
18
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali
Press, 1990, hal. 41.
2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana
tindak pidana pencabulan, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan
penelitian ini. 3.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum
primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat
dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.
44
3. Alat pengumpulan data Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi
dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang
kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi yaitu melalui metode penelitian kepustakaan
Library Research. Metode penelitian kepustakaan Library Research yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang
berhubungan dengan kasus dalam penelitian ini.
4. Analisis data Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan
ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur
tentang tindak pidana pencabulan, kemudian membuat sistematika dari Pasal- Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh
manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pendahuluan merupakan pengantar. Didalamnya termuat mengenai
gambaran umum tentang penulisan skripsi yang terdiri dari latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENCABULAN Bab ini berisikan mengenai Ketentuan Pidana Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan Pertanggungjawabannya,
Pertanggungjawaban Pidana Pelaku bagi pelaku cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa.
BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
BOYOLALI NO. 142 PID. SUS2011PN-BI Bab ini berisikan tentang Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan
dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No.
142Pid.Sus2011PN-BI, Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142Pid.Sus2011PN-BI, Dakwaan, Fakta Hukum,
Tuntutan, Putusan Hakim, Analisis Kasus BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab
ini berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi. Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar.
Saran merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan dalam pembahasan permasalahan dapat lebih
berhasil guna berdaya guna.
BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK
PIDANA PENCABULAN
A. Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHP
Kasus-kasus pemerkosaan akhir-akhir ini telah menimbulkan reaksi-reaksi sebagian masyarakat bahkan ketidakpuasan pun terhadap pidana yang telah
dijatuhkan, dimuat dalam media massa. Selain daripada pemerkosaan dan pemidanaan terhadap pemerkosaan yang disorot, sering juga orang membicarakan
penanggulangan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Mengamati pandangan pendapat terhadap penanggulangan akibat tindak kekerasan seksual pada anak-
anak sebagai dimuat dalam Bab II KUHP, tampaknya masih kurang tepat jika hal tersebut dibebankan kepada aparat penegak hukum terutama selain dari kegiatan
aparat penegak hukum tersebut telah cukup padat, keahlian tersebut kemungkinan tidak dimiliki aparat penegak hukum tersebut.
KUHP Indonesia yang dijadikan acuan utama bagi kalangan praktisi hukum untuk menjaring pelaku kejahatan kekerasan seksual mengandung
kekurangan secara tidak substansial dalam hal melindungi korban kejahatan. Korban dalam sisi yuridis ini tidak mendapatkan perlindungan yang istimewa.
Dalam pembahasan ini penulis akan di uraikan atau deskripsikan posisi korban kejahatan kekerasan seksual dalam perspektif hukum positif KUHP.
Tindak pidana perkosaan dalam KUHP dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Pasal 289 dan Pasal 290. Pasal 289 sehubungan dengan tindak pidana Paedofilia
kekerasan seksual pada anak-anak. Dalam rumusan KUHP dirumuskan