Udang merupakan komoditas ekspor yang sangat penting. Terlihat dari volume ekspor perikanan Indonesia tahun 2003 sebesar 32223 ton dengan nilai
mencapai US 96,627 juta. Dari nilai tersebut, volume ekpor udang hanya mencapai 8027 ton tetapi nilai ekspornya paling tinggi sebesar US 68.3 juta
Haliman dan Adijaya, 2006. Ekspor udang Indonesia ke Jepang dan USA pada tahun 2007 menempati urutan ke-2 terbesar setelah Vietnam dan ke-3 terbesar
setelah Thailand dan Vietnam FAO Globefish, 2008a,b. Tetapi pada tahun 2007 terdapat kecenderungan penurunan ekspor udang
dunia, tidak terkecuali Indonesia. Dapat dilihat dari nilai ekspor udang Indonesia ke Jepang pada tahun 2007 yang mengalami penurunan dibandingkan tahun 2006,
dari 43665 MT menjadi 37080 MT FAO Globefish, 2008a. Beberapa faktor yang mempengaruhi pasar udang dunia sepanjang tahun 2007 antara lain,
peningkatan harga bahan bakar minyak BBM, penurunan pertumbuhan ekonomi, penurunan kepercayaan konsumen, serta adanya isu kesehatan FAO
Globefish, 2008b. Di Indonesia dapat dilihat pengaruhnya dari adanya pelarangan ekspor udang Indonesia ke Jepang dan Uni Eropa akibat adanya residu antibiotik
Rangkuti, 2007. Akuakultur mendapat banyak tantangan mulai dari penurunan produksi,
serangan penyakit, biaya produksi yang semakin tinggi, serta adanya isu kesehatan hingga isu lingkungan. Oleh karenanya dibutuhkan usaha yang lebih
untuk dapat meningkatkan efisiensi produksi serta mengurangi dampak limbah budidaya terhadap lingkungan.
2.2 Sistem Bakteri Heterotrof
Peningkatan produksi budidaya berimplikasi pada peningkatan kepadatan dan jumlah pakan yang digunakan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya
akumulasi bahan organik pada lingkungan budidaya. Akumulasi bahan organik berakibat pada penurunan kualitas air karena tingginya kandungan senyawa
nitrogen anorganik, baik yang berasal dari limbah metabolisme ekskresi, sisa pakan uneaten feed, kotoran feses, alga mati, dan bahan-bahan organik lainnya
Duborow et al., 1997. Ikan dan krustasea hanya mengasimilasi 20 - 30 dari jumlah pakan yang diberikan, sisanya diekskresikan ke kolom air. Kira-kira
setengah dari nitrogen yang masuk ke dalam kolam yang berasal dari pakan akan dikonversi menjadi amonia Willet dan Morrison, 2006.
Akumulasi amonia diatasi dan dikelola dengan memanipulasi alga. Tetapi alga ini hanya bisa mereduksi amonia dalam jumlah sedikit sehingga akumulasi
amonia dalam kolam tetap tinggi. Amonia yang tinggi dapat mengakibatkan tingginya kandungan nitrit perairan yang bersifat toksik. Nitrit tersebut merupakan
produk antara bakteri nitrifikasi yang memanfaatkan amonia dalam prosesnya. Selain itu amonia yang tinggi juga dapat mengakibatkan blooming alga. Solusi
yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melakukan pergantian air secara rutin. Tetapi hal tersebut tidak dapat selalu dilakukan, terkait
dengan masalah lingkungan, kualitas air, limbah buangan budidaya, dan lain-lain. Oleh karenanya pengembangan sistem heterotrof dapat menjadi salah satu solusi
yang dapat dilakukan untuk mengontrol nitrogen anorganik Willet dan Morrison, 2006.
Sistem heterotrof ini berdasar pada bakteri. Bakteri memegang peranan penting dalam dekomposisi nutrien organik di dalam kegiatan produksi akuakultur
dan sedimen tambak Hargreaves, 1998 dalam Hadi, 2006. Peranan bakteri dalam sistem akuakultur dapat dilihat pada trofik level berikut :
BAKTERI
Nutrien dan CO
2
FITOPLANKTON
ZOOPLANKTON
Cahaya matahari
IKAN
DEKOMPOSISI BAHAN ORGANIK
Gambar 1. Trofik level dalam kolam budidaya Menurut Woon 2007 pertumbuhan bakteri heterotrof mempengaruhi
jumlah nitrogen dalam perairan melalui 3 hal, yaitu : 1 proses asimilasi nitrogen