30
dasar perairan menjadi terangkat dan tercampur ke permukaan sehingga oksigen masih tersedia hingga lapisan hipolimnion.
Berdasarkan data yang diperoleh diketahui pula bahwa hingga kedalaman 16 meter konsentrasi oksigen terlarut masih dianggap layak bagi kegiatan perikanan
karena memiliki kisaran nilai DO 3,35-8,20 mgl. Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 82 tahun 2001 kelas III yang menganjurkan batas minimal
konsentrasi oksigen terlarut untuk kepentingan perikanan sebesar 3 mgl, sedangkan pada kedalaman 18 meter hingga dasar perairan konsentrasi oksigen terlarut sudah
tidak layak bagi kegiatan perikanan karena nilai oksigen terlarut pada kedalaman tersebut kurang dari 3 mgl yaitu berada pada kisaran 0,38-2,48 mgl. Hal tersebut
menandakan kondisi perairan dari kedalaman 18 meter hingga dasar cenderung mendekati kondisi anoksik. Kondisi oksigen terlarut yang minim tersebut dapat
membahayakan kehidupan ikan, baik ikan yang berada di dalam keramba maupun yang berada di luar keramba apabila pada nantinya terjadi proses pembalikkan massa
air ke lapisan permukaan.
4.2. Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Oksigen Terlarut
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada lokasi penelitian melalui beberapa perlakuan Tabel 7, diperoleh nilai Dissolved Oxygen DO rata-rata tertinggi
adalah perlakuan 1 yaitu 7,21 mgl. Pada perlakuan 2 konsentrasi DO rata-rata yang diperoleh adalah 5,38 mgl; dan nilai DO rata-rata pada perlakuan 3 yaitu 2,64 mgl.
Perlakuan 1 memiliki nilai konsentrasi DO yang dianggap masih baik bagi kegiatan perikanan berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan nilai DO untuk
kegiatan perikanan tidak kurang dari 3 mgl. Pada perlakuan 2 nilai DO di stasiun pengamatan masih berada pada baku mutu sehingga ikan mampu mentolerir kondisi
perairan tersebut. Nilai DO terendah di stasiun pengamatan berada pada perlakuan 3 dan mendekati kondisi anoksik yang berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan.
Perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna holomitic di alam. Kondisi tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya kematian massal ikan budidaya
akibat upwelling di Waduk Cirata yang pada umumnya terjadi ketika terjadi pergantian musim antara musim kemarau ke musim hujan.
31
Tabel 7. Konsentrasi rata-rata DO mgl dari hasil pencampuran air di beberapa kedalaman
Stasiun Perlakuan
1 2
3
1 7,41
5,48 2,84
2 7,00
5,28 2,44
Rata-rata 7,21
5,38 2,64
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Berbeda dengan hasil pengamatan Pratiwi 2009 di Waduk Jatiluhur yang memiliki nilai konsentrasi DO untuk perlakuan 1 masih memenuhi baku mutu 3
mgl yaitu 4,03 mgl sedangkan perlakuan 2 dan 3 sudah berada di bawah nilai baku mutu yaitu 2,65 mgl dan 2,02 mgl, dan pada hasil pengamatan Nugroho 2009 nilai
DO pada perlakuan 1 dan 2 masih memenuhi baku mutu yaitu 4,40 mgl dan 3,21 mgl, sedangkan pada perlakuan 3 sudah melebihi baku mutu yang ditetapkan yaitu
2,20 mgl. Hal ini disebabkan karena perbedaan kandungan awal oksigen, karakteristik perairan seperti kedalaman, kepadatan KJA dan waktu pengamatan juga
perbedaan titik kedalaman yang akan dicampurkan. Umbalan atau upwelling merupakan suatu peristiwa alam yang tidak dapat
diduga dengan pasti waktu terjadinya. Pada pengamatan ini, perlakuan 1 dan
perlakuan 2 merupakan salah satu pendekatan untuk mengetahui seberapa besar nilai DO di perairan jika terjadi pencampuran air sebagian meromictic, sedangkan
perlakuan 3 merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai DO jika perairan mengalami pencampuran massa air sempurna holomictic. Pencampuran massa air
sebagian pada umumnya lebih sering terjadi dibandingkan dengan pencampuran massa air sempurna holomictic.
Meromictic pada umumnya disebabkan oleh pergerakan angin, suhu, dan masukan aliran air sungai atau masukan inlet dari waduk
yang berada diatasnya. Dari data diatas dapat diketahui bahwa konsentrasi rata-rata oksigen terlarut
pada perlakuan 1 memiliki nilai oksigen 7,21 mgl. Nilai konsentrasi oksigen tersebut terbilang masih tinggi, hal ini disebabkan karena perlakuan 1 masih mendapatkan
pengaruh yang besar dari komposisi air pada kedalaman 2 meter yang nilai oksigennya masih sangat tinggi. Pada perlakuan 2 memiliki nilai oksigen terlarut
sebesar 5,38 mgl, kandungan oksigen terlarut pada perlakuan 2 lebih kecil
32
dibandingkan perlakuan 1. Perlakuan 3 di stasiun pengamatan memiliki nilai oksigen paling rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 dengan nilai 2,64 mgl, hal ini
diduga akibat komposisi dari pencampuran pada kedalaman 42 m lebih dominan daripada kedalaman 2, 12, dan 24 m. Pada kedalaman 42 m nilai oksigen terlarut
sangat rendah karena tingginya dekomposisi dan respirasi, sedangkan fotosíntesis tidak ada. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada perlakuan
3. Perlakuan 3 merupakan pencampuran sempurna holomitic di mana pencampuran ini dianggap mewakili umbalan di alam yang mengalami pencampuran hingga ke dasar
perairan. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 di stasiun pengamatan berada di bawah baku mutu yaitu 3 mgl menurut Effendie 2003, sehingga pada
perlakuan 3 kondisi perairan tidak baik untuk budidaya perikanan. Apabila dilihat dari ketiga perlakuan maka yang berpotensi berakibat buruk
ketika terjadi pembalikan masa air adalah perlakuan 3. Dimana perlakuan ini mewakili pencampuran secara sempurna holomitic, bahan-bahan organik dari proses
dekomposisi yang bersifat toksik yang memilki nilai sufida dan amonia yang berlebih akan terangkat ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal
pada ikan. Pada hasil pengamatan Tabel 7 juga terlihat bahwa nilai oksigen terlarut sangat kecil dan berada di bawah batas baku mutu untuk perikanan Effendi 2003.
4.3. Persen Saturasi Oksigen