Persen Saturasi Oksigen Pengaruh Pencampuran Massa Air terhadap Ketersediaan Oksigen Terlarut pada Lokasi Keramba Jaring Apung di Waduk Cirata, Purwakarta

32 dibandingkan perlakuan 1. Perlakuan 3 di stasiun pengamatan memiliki nilai oksigen paling rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2 dengan nilai 2,64 mgl, hal ini diduga akibat komposisi dari pencampuran pada kedalaman 42 m lebih dominan daripada kedalaman 2, 12, dan 24 m. Pada kedalaman 42 m nilai oksigen terlarut sangat rendah karena tingginya dekomposisi dan respirasi, sedangkan fotosíntesis tidak ada. Hal ini yang menyebabkan rendahnya nilai oksigen terlarut pada perlakuan 3. Perlakuan 3 merupakan pencampuran sempurna holomitic di mana pencampuran ini dianggap mewakili umbalan di alam yang mengalami pencampuran hingga ke dasar perairan. Nilai konsentrasi oksigen terlarut pada perlakuan 3 di stasiun pengamatan berada di bawah baku mutu yaitu 3 mgl menurut Effendie 2003, sehingga pada perlakuan 3 kondisi perairan tidak baik untuk budidaya perikanan. Apabila dilihat dari ketiga perlakuan maka yang berpotensi berakibat buruk ketika terjadi pembalikan masa air adalah perlakuan 3. Dimana perlakuan ini mewakili pencampuran secara sempurna holomitic, bahan-bahan organik dari proses dekomposisi yang bersifat toksik yang memilki nilai sufida dan amonia yang berlebih akan terangkat ke permukaan perairan sehingga dapat menyebabkan kematian massal pada ikan. Pada hasil pengamatan Tabel 7 juga terlihat bahwa nilai oksigen terlarut sangat kecil dan berada di bawah batas baku mutu untuk perikanan Effendi 2003.

4.3. Persen Saturasi Oksigen

Berdasarkan nilai konsentrasi oksigen terlarut yang diperoleh dari hasil pengamatan, didapatkan kadar oksigen yang melebihi nilai jenuh disebut lewat jenuh supersaturasi. Effendi 2003 menyatakan bahwa kondisi supersaturasi menggambarkan kadar oksigen terlarut di perairan lebih besar daripada kadar oksigen yang terlarut secara teoritis berdasarkan nilai suhu pada tekanan udara 760 mmHg Tabel 2. Kondisi supersaturasi pada saat pengamatan diperoleh pada kedalaman 0 meter permukaan perairan dengan nilai saturasi sebesar 110,03 Gambar 5. Kondisi supersaturasi ini terjadi karena pada saat pengamatan kondisi cuaca sangat cerah waktu pengamatan pukul 11.30 WIB dan cahaya matahari bersinar terik hingga ke permukaan perairan sehingga pada kondisi ini proses fotosintesis dari fitoplankton berjalan dengan cepat dan difusi pun tetap berjalan pada permukaan hingga kadar oksigen mencapai titik jenuh. Pada kondisi jenuh tersebut tidak ada lagi oksigen yang mengalami difusi dari udara ke dalam air. Hal ini didukung oleh penelitian Pratiwi 2009 nilai persen saturasi yang didapatkan tidak berbeda jauh 33 yaitu 102,29, dimana terdapat persamaan pada saat pengamatan yaitu waktu dan kondisi cuaca sangat cerah, berbeda dengan Nugroho 2009 nilai persen saturasi yang didapatkan 86,65, dimana adanya perbedaan waktu pengambilan sampel pada saat pengamatan. Kondisi saturasi yang diperoleh dari ketiga hasil pengamatan ini sesuai dengan Goldman dan Horne 1983 yang menyatakan bahwa perairan yang mengalami penyuburan memiliki kejenuhan oksigen berkisar antara 80-250 saturasi. Gambar 5. Persen saturasi oksigen terlarut di lokasi KJA Waduk Cirata Pada saat matahari bersinar terang menurut Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003, pelepasan oksigen oleh proses fotosíntesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi untuk proses respirasi. Kadar oksigen terlarut dapat melebihi kadar oksigen jenuh saturasi sehingga perairan mengalami supersaturasi. Menurut Effendi 2003 oksigen yang mencapai titik jenuh akibat pertumbuhan fitoplankton yang berlangsung dengan cepat seiring dengan peningkatan unsur hara. Hal ini dapat membahayakan kelangsungan hidup 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.00 50.00 100.00 K e d a la m a n m Persen saturasi DO Persen saturasi 34 ikan, karena dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol. 4.4. Parameter Fisika-Kimia penunjang 4.4.1. Suhu