34
ikan,  karena  dapat  menyebabkan terjadinya  eutrofikasi  perairan  sehingga  pada  saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol.
4.4. Parameter Fisika-Kimia penunjang 4.4.1.  Suhu
Suhu  merupakan  salah  satu  parameter  penting  yang  mempengaruhi  kondisi ekosistem  perairan.  Perubahan  suhu  akan mempengaruhi  proses-proses  yang  terjadi
di  perairan  seperti  kimia,  fisika,  dan  biologi. Hasil pengamatan  menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman Tabel 8 dengan kisaran rata-
rata  adalah  26,0–30,6 C.    Berdasarkan  PPRI No.  82  tahun  2001  kelas  III,  suhu  yang
diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan  yaitu 28±3
C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan.
Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1
Cm Tabel 8 dan Gambar 6 yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil.  Lapisan hipolimnion diduga
berkisar  dari  kedalaman  18 meter  hingga  dasar  perairan.    Menurut  Goldman  dan Horne 1983, lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara
vertikal  relatif  kecil,  massa  air  bersifat  stagnan,  tidak  mengalami  pencampuran,  dan memiliki  densitas  air  yang  lebih  besar.    Lapisan  ini  cenderung  mengandung  kadar
oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil. Pada hasil pengamatan Tabel 8 yang telah dilakukan terjadi penurunan suhu
seiring  bertambahnya  kedalaman,  sehingga Waduk  Cirata  memiliki  stratifikasi  suhu. Cahaya  matahari  yang  masuk  ke  perairan  mengalami  penyerapan  dan  berubah
menjadi  energi panas  sehingga  pada  permukaan suhunya lebih  tinggi  dan  cenderung lebih  panas  dan  densitas  air  di  permukaan  lebih  rendah  dibandingkan  dengan
kedalaman dibawahnya. Hal ini disebabkan karena ketika pengamatan kondisi cuaca sangat terik dan panas.  Kondisi inilah menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air.
Intensitas  cahaya  yang  masuk  ke  dalam  kolom  perairan  akan  semakin berkurang  dengan  bertambahnya  kedalaman  perairan.  Cahaya  yang  mencapai
perairan  yang  diubah  menjadi  energi panas  tersebut  akan  meningkatkan  suhu  air sehingga  jika  suhu  dipermukaan  menurun  secara  tiba-tiba  maka  akan  menyebabkan
terjadinya pencampuran massa air.
35
Tabel 8. Distribusi vertikal suhu C di  lokasi pengamatan
Kedalaman Suhu
30,6 2
30,3 4
30,1 6
29,8 8
29,4 10
29,2 12
28,8 14
28,7 16
28,5 18
28,3 20
27,9 22
27,8 24
27,6 27
27,4 30
27,0 36
26,8 42
26,5 48
26,2 Dasar
26,0
Keterangan :  kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
Berdasarkan  hasil  pengamatan  yang  telah  dilakukan  melalui  tiga  perlakuan, didapatkan  nilai  suhu  rata-rata  pada  perlakuan  1  adalah  29,6
C.    Pencampuran  yang dilakukan  pada  perlakuan  1  merupakan  pencampuran  antara  kedalaman  2  dan 12,
sehingga  suhu  permukaan  masih  sangat  berpengaruh  pada  perlakuan  1  di  lokasi pengamatan.    Komposisi  kedalaman  2  meter  lebih  besar  dibandingkan  dengan
kedalaman 12 meter berturut-turut adalah 60 ml dan 40 ml, hal ini juga menjadi salah satu penyebab suhu pada perlakuan 1 masih tinggi.  Pada perlakuan 2 nilai suhu yang
didapatkan di lokasi pengamatan adalah 28,2 C dimana tidak terjadi penurunan suhu
secara  signifikan  pada  perlakuan  2. Perlakuan  2  adalah  pencampuran  antara kedalaman  2,  12,  dan  24,  dengan  komposisi  masing-masing  dari  setiap  kedalaman
adalah  22,22  ml,  37,04  ml  dan  40,74  ml. Komposisi  ketiga  kedalaman  ini  tidak memiliki perbedaan yang jauh sehingga suhu pada perlakuan 2  tidak  terlalu  berbeda
dengan perlakuan 1.
Gambar 6. Distribusi vertika Selanjutnya,  perlakuan
12, 24, 42, dimana perlakuan dengan komposisi masing
Pada  perlakuan  3 nilai  suhu pada  perlakuan  ini  lebih  rendah
disebabkan karena pencampuran suhunya  lebih  rendah  dibandingkan
sampel dari perlakuan ini lebih
Tabel 9. Hasil pengukuran beberapa kedalaman
Stasiun
1 2
Rata-rata
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran keda
Perlakuan 2 = percampuran Perlakuan 3 = percampuran kedalam
6. Distribusi vertikal suhu di lokasi pengamatan Selanjutnya,  perlakuan  3  yang  merupakan  pencampuran  antara  kedala
perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna masing-masing adalah 11,76 ml; 19,61 ml; 21, 57 ml; da
nilai  suhu  rata-rata  dari stasiun pengamatan adalah  26, ini  lebih  rendah  dibandingkan  dengan  perlakuan  1  dan  2
karena pencampuran yang dilakukan mencapai kedalaman 42 meter, rendah  dibandingkan  dengan  kedalaman  yang  lainnya.    Komposisi
dari perlakuan ini lebih banyak pada kedalaman 42 meter.
engukuran rata-rata suhu C melalui pencampuran air
beberapa kedalaman
Perlakuan 1
2 3
29,5 28,1
26,8 29,6
28,3 26,6
29,6 28,2
26,7
puran kedalaman 2 dan 12 m kedalaman 2, 12 dan 24 m
puran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
36
antara  kedalaman 2, sempurna holomitic
dan 47,06 ml. 26,7
C.    Suhu akuan  1  dan  2.    Hal  ini
kedalaman 42 meter, yang .    Komposisi air
37
Hasil  pengukuran  dari  ketiga  perlakuan  yang  dilakukan  merupakan  suatu pendekatan  untuk  mengetahui  nilai  suhu  pada  saat  terjadi  pencampuran  massa  air
sebagian  meromictic  dan  pencampuran  sempurna  holomictic.  Berdasarkan  hasil yang  diperoleh  dari  ketiga  perlakuan  menunjukkan  bahwa  nilai  rata-rata  suhu  yang
diperoleh  masih  berada  dalam  ambang  batas  baku  mutu suhu  untuk  perikanan menurut  PP  RI  No.  82  tahun  2001  yang  menganjurkan  kisaran  suhu  untuk  kegiatan
perikanan  adalah  28±3 C.    Hal  ini  disebabkan  adanya  pengaruh  suhu  di  permukaan
pada  saat  pengukuran.    Pada  saat  dilakukan  percobaan,  suhu  di  permukaan  masih tinggi Tabel 9 karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang
diperoleh pun masih cukup besar.
4.4.2.  Kecerahan
Kecerahan  merupakan  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi  keberadaan oksigen  pada  perairan. Jumlah  cahaya  yang  masuk  ke perairan  akan  mempengaruhi
proses laju fotosintesis.  Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya.  Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
didapat  nilai  rata-rata  kecerahan  di stasiun  pengamatan  sebesar 124-126  cm. Rendahnya  nilai kecerahan di dalam  KJA  disebabkan oleh kandungan bahan  organik
karena sisa  pakan  dan  sisa  metabolisme. Kedalaman  zona  eufotik  pada  perairan  ini berkisar antara 3,71-3,78 m  yaitu 3 kali kedalaman secchi disk.
Nilai  kecerahan  yang  baik  untuk  kelangsungan  hidup  ikan Asmawi  1983 adalah  lebih  besar  dari  45  cm  sehingga  nilai  kecerahan  dari  hasil  pengamatan  pada
stasiun pengamatan masih  baik  untuk  budidaya  perikanan.  Kecerahan  merupakan ukuran  tranparansi  perairan  yang  ditentukan  secara  visual  dengan  menggunakan
secchi disk yang mekanismenya mengkuantitatifkan kekeruhan dalam suatu nilai yang disebut  dengan  kecerahan  secchi  disk Boyd,  1990.    Status  waduk  Cirata  dilihat  dari
nilai  kecerahannya  tergolong  eutrofik.  Hal  ini  didasarkan  pada  Henderson  dan Markland  1976  in  Widiyastuti  2004  dimana  nilai  kecerahan  yang  kurang  dari  3
meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik.
4.4.3.  Amonia NH
3
Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan  amonia  NH
3
.    Amonia  yang  berlebih  di  perairan  bersifat  toksik  pada
38
ikan. Berdasarkan  data  pada  Tabel  10,  kisaran  amonia  yang  diperoleh  di  stasiun pengamatan pada perlakuan 1 adalah 0,0081-0,0275 mgl; pada perlakuan 2 memiliki
kisaran  amonia  0,0087–0,0267 mgl;  dan  kisaran  amonia  yang  diperoleh  pada perlakuan 3 adalah 0,0116–0,0292 mgl.
Nilai  amonia  rata-rata  tertinggi    pada  saat  pengamatan  di  lokasi  penelitian terdapat pada  perlakuan  3,  dengan    nilai  0,0222 mgl;  nilai  amonia  rata-rata  yang
diperoleh dari perlakuan 2  pada  stasiun pengamatan adalah 0,0181 mgl; sedangkan amonia    rata-rata pada  perlakuan  1  adalah  0,0170  mgl.    Hal  tersebut  menunjukkan
bahwa  dari  perlakuan  1  sampai  3  nilai  amonia  bebas  yang  diperoleh  cenderung meningkat. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III,  nilai amonia pada stasiun
pengamatan yang melebihi baku mutu adalah perlakuan 3.  Nilai rata-rata amonia yang diperoleh lebih  dari  0,02  mgl dianggap  sudah  melebihi  ambang  batas  kadar amonia
untuk  perikanan.    Tingginya  nilai  amonia  pada  perlakuan  tiga  adalah  disebabkan karena  komposisi  pencampuran  kedalaman  42  meter  lebih  berpengaruhi
dibandingkan kedalaman lain yang ikut tercampur, sehingga nilai amonia lebih tinggi. Berbeda  dengan  hasil  pengamtan  Nugroho  2009  dimana  nilai  amonia  yang  paling
tinggi  berada  pada  perlakuan  1  yaitu  0,042  mgl  sedangkan pada  perlakuan  2  dan  3 nilai  amonianya  lebih  rendah  yaitu  0,036  mgl  dan  0,019  mgl.    Hal  ini  disebabkan
karena adanya perbedaan pH yang tinggi pada lokasi pengamatan di Waduk Saguling dan tipe pakan yang diberikan sehingga nilai amonia berbeda dengan Waduk Cirata.
Pada  pengamatan  ini,  tidak  dilakukan  pengukuran  amonia  bebas  di  setiap kedalaman  sehingga  tidak  dapat  diketahui  dengan  pasti  sebaran  vertikal  amonia  di
lokasi pengamatan.  Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada  setiap  perlakuan  ini  dapat  menunjukkan bahwa  konsentrasi  amonia  di
permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya.
39
Tabel 10. Hasil pengukuran rata-rata amonia mgl melalui pencampuran air di beberapa  kedalaman
Stasiun Perlakuan
1 2
3
1 0,0067
0,0083 0,0144
2 0,0273
0,0278 0,0300
Rata-rata 0,0170
0,0181 0,0222
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Hal tersebut dapat  dilihat  dari  perlakuan 1  yang memiliki  konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan  perlakuan 2  dan 3  yang  pencampurannya berasal
dari  lapisan  dibawahnya bahkan  mencapai  lapisan  dasar. Kondisi  ini  terjadi  karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada
kondisi  anaerob,  sehingga  konsentrasi  amonia  bebas  di  dasar  lebih  besar  dan  hal tersebut  mengakibatkan  hasil  dari  pencampuran  massa  air    pada  perlakuan  3  lebih
besar  dibandingkan  perlakuan  1  dan  2.    Tinja  dari  biota  akuatik  yang  merupakan limbah  aktivitas  metabolisme  juga  banyak  mengeluarkan  amonia  dan  kadar  amonia
bebas  juga  akan  semakin  meningkat  dengan  meningkatnya  pH.    Kadar  amonia  juga dipengaruhi oleh oksigen terlarut, dimana pada perlakuan 3 nilai oksigen terlarut juga
semakin kecil sehingga akan menyebabkan dekomposisi secara anaerobik hal ini akan menambah kandungan amonia pada perairan tersebut.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran  sempurna  holomictic  memiliki  potensi buruk  bagi  kehidupan  ikan
budidaya. Hal  tersebut  terjadi  karena  konsentrasi  amonia  maupun  konsentrasi
oksigen  terlarut  pada  perlakuan  3  tidak  berada pada  baku  mutu  yang  dianjurkan. Sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu.
Hal  ini  mengindikasikan  bahwa  pencampuran  massa  air  sempurna  cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan.  Toksisitas amonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu Effendi 2003.  Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas
yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.
40
4.4.4. pH
Nilai  pH  dipengaruhi  oleh  beberapa  faktor  antara  lain, aktivitas  biologis misalnya  fotosintesis  dan  respirasi  organisme  perairan  Pescod 1973. Pada  bagian
permukaan  nilai  pH  lebih  tinggi  dari  kedalaman  yang  lainnya  karena  di  permukaan proses  fotosintesis  tinggi  sehingga  menghasilkan  oksigen  terlarut  lebih  banyak  dan
respirasi  yang  meghasilkan  CO
2
akan  dipakai  oleh  fitoplankton  untuk  melakukan fotosintesis,  sehingga  jumlah  CO
2
pada  permukaan  akan  lebih  sedikit  karena  dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis.  Rendahnya nilai pH di suatu perairan
dapat  disebabkan  oleh  tingginya  jumlah  bahan  organik,  dimana  turunnya  pH disebabkan  oleh  meningkatnya  konsentrasi  CO
2
karena  aktivitas  mikroba  dalam menguraikan bahan organik.
Kandungan  bahan  organik sangat  besar  jumlahnya  pada  dasar  perairan. Tingginya bahan organik pada dasar perairan akan menyebabkan proses dekomposisi
bahan  organik juga  akan  tinggi,  proeses  dekomposisi  ini  menghasilkan  CO
2
dan  zat yang lain  yang  dapat  bersifat  toksik  sehingga  pH  pada  dasar  perairan  akan  lebih
rendah dibandingkan dengan permukaan maupun pada kolom perairan. Tabel 11.  Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan
Kedalaman m pH
7,09 2
7,08 4
7,06 6
7,03 8
6,99 10
6,97 12
6,95 14
6,93 16
6,92 18
6,89 20
6,84 22
6,82 24
6,78 27
6,76 30
6,72 36
6,66 42
6,63 48
6,59 Dasar
6,52
Keterangan :  kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
41
Nilai  pH  memegang  peranan  penting  dalam  proses  pertumbuhan  organisme serta mempengaruhi kadar toksisitas pada perairan. Dari hasil pengamatan diperoleh
nilai  rata-rata  pH  pada  stasiun  pengamatan adalah  6,52.  Nilai  pH tertinggi  berada pada  permukaan  yaitu  sebesar  7,09,  sedangkan  nilai  pH  yang  paling  rendah  berada
pada bagian perairan yang paling dasar yaitu sebesar 6,52 Tabel 11.
Gambar 8. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan Berdasarkan  pengamatan  yang  dilakukan  melalui  beberapa  perlakuan  di
stasiun  pengamatan Tabel  12,  nilai  rata-rata  pH tertinggi  pada  stasiun  pengamatan adalah  perlakuan  1  yaitu  sebesar  7,02.  Pada  perlakuan  2  nilai  pH  rata-rata  adalah
6,84,  sedangkan  nilai  rata-rata  pH  terendah  berada  pada stasiun  pengamatan  adalah pada perlakuan  3  dengan  nilai  pH  6,61.
Hal  tersebut  menunjukkan  bahwa  dari perlakuan  1  sampai  3  nilai  pH  cenderung  menurun.  Perlakuan  3  merupakan  hasil
pencampuran  dari  4  kedalaman  yang  berbeda  termasuk  kedalaman  di  dasar  dengan pH yang cenderung rendah asam.  Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi
pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam.
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
22 24
26 28
30 32
34 36
38 40
42 44
46 48
50 6.09
6.85 7.61
K e
d a
la m
a n
m pH
Profil sebaran vertikal pH
pH
42
Tabel 12. Hasil pengukuran rata-rata pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman
Stasiun Perlakuan
1 2
3
1 6,93
6,79 6,62
2 7,10
6,90 6,60
Rata-rata 7,02
6,84 6,61
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Nilai  pH  pada  siang  hari  relatif  lebih  tinggi  dibandingkan  pH  pada  malam  hari. Hal  tersebut  dikarenakan  adanya  proses  fotosíntesis  pada  siang  hari  yang  banyak
menyerap  CO
2
bebas.   Pada  kondisi  ini,  CO
2
diperoleh  dari  HCO
3
dengan  melepaskan ion  hidroksil  OH
-
yang  akan  meningkatkan  pH  ke  arah  basa.    Oleh  karena  itu  pula nilai pH di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Keberadaan
karbondioksida akan mempengaruhi kadar  pH  pada  perairan  menyebabkan  perairan semakin  asam.
Namun,  seluruh  perlakuan  menunjukkan  bahwa  nilai  pH  yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan.
4.4.5. Hidrogen Sulfida H
2
S
Sulfida  berasal  dari  limbah  industri  atau  dihasilkan  dari  proses  dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob.  Sulfida
dalam bentuk H
2
S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya  yang  tersusun  dari  logam.  Kadar  H
2
S  tak  terionisasi  yang  tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk Boyd 1989.
Berdasarkan  data Tabel  13 dapat  ditunjukkan  bahwa  nilai  sulfida  rata-rata tertinggi  pada  lokasi  pengamatan  terdapat  pada  perlakuan  3  dengan    nilai  1,6956
mgl; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,3189; dan sulfida rata-rata  pada  perlakuan 1 di  stasiun pengamatan  adalah  0,0538 mgl.  Hal  tersebut
menunjukkan  bahwa  dari  perlakuan  1  sampai  3  nilai  rata-rata  sulfida  yang  terukur cenderung meningkat.
43
Tabel 13.  Hasil pengukuran rata-rata Hidrogen Sulfida H
2
S melalui pencampuran air dibeberapa kedalaman
Ulangan Perlakuan
1 2
3
1 0,0556
0,3506 1,8036
2 0,0520
0,2871 1,5876
Rata-rata 0,0538
0,3189 1,6956
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Sama  halnya  dengan  pengamatan  yang  dilakukan  oleh  Nugroho  2009  dan Pratiwi  2009  di  Waduk  Saguling  dan  Jatiluhur,  dimana  nilai  H
2
S  yang  didapatkan pada perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini terjadi
karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada  kondisi  anoksik  hasil  dari  proses  dekomposisi  tersebut  akan
membentuk    sulfida  H
2
S.    Dapat  dilihat  dari  nilai  oksigen  terlarut  pada  stasiun pengamatan, dimana nilainya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman.
Pada  pengamatan  ini,  tidak  dilakukan  pengukuran  konsentrasi  sulfida  di  setiap kedalaman  sehingga  tidak  dapat  diketahui  dengan  pasti  sebaran  vertikal  sulfida  di
lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada  setiap  perlakuan  ini  dapat  diduga  bahwa  konsentrasi  sulfida  cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan  Peraturan  Pemerintah  No.  82  tahun  2001  kelas  III,  nilai  sulfida
yang  diperoleh  pada  ketiga  perlakuan  tersebut  tidak  memenuhi baku  mutu  untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan 0,002
mgl.    Secara  umum  kandungan  H
2
S tersebut  berbahaya  bagi  kelangsungan  ikan  di keramba  jaring  apung  karena  melebihi  baku  mutu.  Kandungan  H
2
S  yang  melebihi batas  ambang  yang  diperkenankan sangat  berbahaya  bagi  kelangsungan  hidup  ikan,
sebab  gas  H
2
S yang  naik  kepermukaan  perairan  dapat  menyebabkan  kematian  ikan secara  massal.  Namun  mengingat  adanya  parameter  lain  DO,  pH,  dan  suhu  yang
mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida pada perlakuan 1 diduga masih dapat di tolerir oleh ikan
budidaya. Berbeda  dengan  perlakuan  3,  pada  perlakuan  1  tingginya  konsentrasi  sulfida
tidak  diiringi  dengan  rendahnya  DO  dan  meningkatnya  amonia. Nilai  suhu  dan  pH
44
yang  diperoleh  pun  masih  berada  pada  baku  mutu  yang  dianjurkan  sehingga  jika dilihat  dari  keempat  parameter  tersebut  maka  untuk  perlakuan  1  masih  dianggap
layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan  1  tidak  aman  bagi  kegiatan  budidaya  perikanan  berdasarkan  PPRI No.  82
tahun 2001.  Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diiringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada
perlakuan  3,  maka  ikan  budidaya  yang  berada  pada  keramba  jaring  apung  tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang
buruk.  Keadaan ini biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna holomictic yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung.
4.5. Pengelolaan