34
ikan, karena dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi perairan sehingga pada saat malam hari oksigen menjadi sangat minim atau bahkan mencapai nol.
4.4. Parameter Fisika-Kimia penunjang 4.4.1. Suhu
Suhu merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi kondisi ekosistem perairan. Perubahan suhu akan mempengaruhi proses-proses yang terjadi
di perairan seperti kimia, fisika, dan biologi. Hasil pengamatan menunjukkan nilai suhu yang menurun seiring bertambahnya kedalaman Tabel 8 dengan kisaran rata-
rata adalah 26,0–30,6 C. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, suhu yang
diperoleh masih layak untuk budidaya perikanan karena berada pada baku mutu yang dianjurkan yaitu 28±3
C sehingga sebaran suhu di waduk ini masih dapat mendukung kehidupan ikan.
Pada saat pengamatan tidak diperoleh lapisan termoklin yaitu lapisan air yang mengalami penurunan suhu cukup besar yaitu lebih dari 1
Cm Tabel 8 dan Gambar 6 yang memungkinan adanya stratifikasi sangatlah kecil. Lapisan hipolimnion diduga
berkisar dari kedalaman 18 meter hingga dasar perairan. Menurut Goldman dan Horne 1983, lapisan hipolimnion merupakan lapisan dengan perbedaan suhu secara
vertikal relatif kecil, massa air bersifat stagnan, tidak mengalami pencampuran, dan memiliki densitas air yang lebih besar. Lapisan ini cenderung mengandung kadar
oksigen terlarut yang rendah dan relatif stabil. Pada hasil pengamatan Tabel 8 yang telah dilakukan terjadi penurunan suhu
seiring bertambahnya kedalaman, sehingga Waduk Cirata memiliki stratifikasi suhu. Cahaya matahari yang masuk ke perairan mengalami penyerapan dan berubah
menjadi energi panas sehingga pada permukaan suhunya lebih tinggi dan cenderung lebih panas dan densitas air di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan
kedalaman dibawahnya. Hal ini disebabkan karena ketika pengamatan kondisi cuaca sangat terik dan panas. Kondisi inilah menyebabkan stratifikasi panas pada kolom air.
Intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolom perairan akan semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman perairan. Cahaya yang mencapai
perairan yang diubah menjadi energi panas tersebut akan meningkatkan suhu air sehingga jika suhu dipermukaan menurun secara tiba-tiba maka akan menyebabkan
terjadinya pencampuran massa air.
35
Tabel 8. Distribusi vertikal suhu C di lokasi pengamatan
Kedalaman Suhu
30,6 2
30,3 4
30,1 6
29,8 8
29,4 10
29,2 12
28,8 14
28,7 16
28,5 18
28,3 20
27,9 22
27,8 24
27,6 27
27,4 30
27,0 36
26,8 42
26,5 48
26,2 Dasar
26,0
Keterangan : kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan melalui tiga perlakuan, didapatkan nilai suhu rata-rata pada perlakuan 1 adalah 29,6
C. Pencampuran yang dilakukan pada perlakuan 1 merupakan pencampuran antara kedalaman 2 dan 12,
sehingga suhu permukaan masih sangat berpengaruh pada perlakuan 1 di lokasi pengamatan. Komposisi kedalaman 2 meter lebih besar dibandingkan dengan
kedalaman 12 meter berturut-turut adalah 60 ml dan 40 ml, hal ini juga menjadi salah satu penyebab suhu pada perlakuan 1 masih tinggi. Pada perlakuan 2 nilai suhu yang
didapatkan di lokasi pengamatan adalah 28,2 C dimana tidak terjadi penurunan suhu
secara signifikan pada perlakuan 2. Perlakuan 2 adalah pencampuran antara kedalaman 2, 12, dan 24, dengan komposisi masing-masing dari setiap kedalaman
adalah 22,22 ml, 37,04 ml dan 40,74 ml. Komposisi ketiga kedalaman ini tidak memiliki perbedaan yang jauh sehingga suhu pada perlakuan 2 tidak terlalu berbeda
dengan perlakuan 1.
Gambar 6. Distribusi vertika Selanjutnya, perlakuan
12, 24, 42, dimana perlakuan dengan komposisi masing
Pada perlakuan 3 nilai suhu pada perlakuan ini lebih rendah
disebabkan karena pencampuran suhunya lebih rendah dibandingkan
sampel dari perlakuan ini lebih
Tabel 9. Hasil pengukuran beberapa kedalaman
Stasiun
1 2
Rata-rata
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran keda
Perlakuan 2 = percampuran Perlakuan 3 = percampuran kedalam
6. Distribusi vertikal suhu di lokasi pengamatan Selanjutnya, perlakuan 3 yang merupakan pencampuran antara kedala
perlakuan 3 dianggap sebagai pencampuran sempurna masing-masing adalah 11,76 ml; 19,61 ml; 21, 57 ml; da
nilai suhu rata-rata dari stasiun pengamatan adalah 26, ini lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2
karena pencampuran yang dilakukan mencapai kedalaman 42 meter, rendah dibandingkan dengan kedalaman yang lainnya. Komposisi
dari perlakuan ini lebih banyak pada kedalaman 42 meter.
engukuran rata-rata suhu C melalui pencampuran air
beberapa kedalaman
Perlakuan 1
2 3
29,5 28,1
26,8 29,6
28,3 26,6
29,6 28,2
26,7
puran kedalaman 2 dan 12 m kedalaman 2, 12 dan 24 m
puran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
36
antara kedalaman 2, sempurna holomitic
dan 47,06 ml. 26,7
C. Suhu akuan 1 dan 2. Hal ini
kedalaman 42 meter, yang . Komposisi air
37
Hasil pengukuran dari ketiga perlakuan yang dilakukan merupakan suatu pendekatan untuk mengetahui nilai suhu pada saat terjadi pencampuran massa air
sebagian meromictic dan pencampuran sempurna holomictic. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari ketiga perlakuan menunjukkan bahwa nilai rata-rata suhu yang
diperoleh masih berada dalam ambang batas baku mutu suhu untuk perikanan menurut PP RI No. 82 tahun 2001 yang menganjurkan kisaran suhu untuk kegiatan
perikanan adalah 28±3 C. Hal ini disebabkan adanya pengaruh suhu di permukaan
pada saat pengukuran. Pada saat dilakukan percobaan, suhu di permukaan masih tinggi Tabel 9 karena pengaruh sinar matahari sehingga hasil pengukuran suhu yang
diperoleh pun masih cukup besar.
4.4.2. Kecerahan
Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan oksigen pada perairan. Jumlah cahaya yang masuk ke perairan akan mempengaruhi
proses laju fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan
didapat nilai rata-rata kecerahan di stasiun pengamatan sebesar 124-126 cm. Rendahnya nilai kecerahan di dalam KJA disebabkan oleh kandungan bahan organik
karena sisa pakan dan sisa metabolisme. Kedalaman zona eufotik pada perairan ini berkisar antara 3,71-3,78 m yaitu 3 kali kedalaman secchi disk.
Nilai kecerahan yang baik untuk kelangsungan hidup ikan Asmawi 1983 adalah lebih besar dari 45 cm sehingga nilai kecerahan dari hasil pengamatan pada
stasiun pengamatan masih baik untuk budidaya perikanan. Kecerahan merupakan ukuran tranparansi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan
secchi disk yang mekanismenya mengkuantitatifkan kekeruhan dalam suatu nilai yang disebut dengan kecerahan secchi disk Boyd, 1990. Status waduk Cirata dilihat dari
nilai kecerahannya tergolong eutrofik. Hal ini didasarkan pada Henderson dan Markland 1976 in Widiyastuti 2004 dimana nilai kecerahan yang kurang dari 3
meter dapat digolongkan kedalam status waduk eutrofik.
4.4.3. Amonia NH
3
Pembusukan bahan organik terutama yang banyak mengandung protein akan menghasilkan amonia NH
3
. Amonia yang berlebih di perairan bersifat toksik pada
38
ikan. Berdasarkan data pada Tabel 10, kisaran amonia yang diperoleh di stasiun pengamatan pada perlakuan 1 adalah 0,0081-0,0275 mgl; pada perlakuan 2 memiliki
kisaran amonia 0,0087–0,0267 mgl; dan kisaran amonia yang diperoleh pada perlakuan 3 adalah 0,0116–0,0292 mgl.
Nilai amonia rata-rata tertinggi pada saat pengamatan di lokasi penelitian terdapat pada perlakuan 3, dengan nilai 0,0222 mgl; nilai amonia rata-rata yang
diperoleh dari perlakuan 2 pada stasiun pengamatan adalah 0,0181 mgl; sedangkan amonia rata-rata pada perlakuan 1 adalah 0,0170 mgl. Hal tersebut menunjukkan
bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai amonia bebas yang diperoleh cenderung meningkat. Berdasarkan PPRI No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai amonia pada stasiun
pengamatan yang melebihi baku mutu adalah perlakuan 3. Nilai rata-rata amonia yang diperoleh lebih dari 0,02 mgl dianggap sudah melebihi ambang batas kadar amonia
untuk perikanan. Tingginya nilai amonia pada perlakuan tiga adalah disebabkan karena komposisi pencampuran kedalaman 42 meter lebih berpengaruhi
dibandingkan kedalaman lain yang ikut tercampur, sehingga nilai amonia lebih tinggi. Berbeda dengan hasil pengamtan Nugroho 2009 dimana nilai amonia yang paling
tinggi berada pada perlakuan 1 yaitu 0,042 mgl sedangkan pada perlakuan 2 dan 3 nilai amonianya lebih rendah yaitu 0,036 mgl dan 0,019 mgl. Hal ini disebabkan
karena adanya perbedaan pH yang tinggi pada lokasi pengamatan di Waduk Saguling dan tipe pakan yang diberikan sehingga nilai amonia berbeda dengan Waduk Cirata.
Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran amonia bebas di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal amonia di
lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi amonia yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat menunjukkan bahwa konsentrasi amonia di
permukaan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan lapisan di bawahnya.
39
Tabel 10. Hasil pengukuran rata-rata amonia mgl melalui pencampuran air di beberapa kedalaman
Stasiun Perlakuan
1 2
3
1 0,0067
0,0083 0,0144
2 0,0273
0,0278 0,0300
Rata-rata 0,0170
0,0181 0,0222
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Hal tersebut dapat dilihat dari perlakuan 1 yang memiliki konsentrasi amonia lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 2 dan 3 yang pencampurannya berasal
dari lapisan dibawahnya bahkan mencapai lapisan dasar. Kondisi ini terjadi karena proses dekomposisi bahan organik di dasar perairan yang menghasilkan amonia pada
kondisi anaerob, sehingga konsentrasi amonia bebas di dasar lebih besar dan hal tersebut mengakibatkan hasil dari pencampuran massa air pada perlakuan 3 lebih
besar dibandingkan perlakuan 1 dan 2. Tinja dari biota akuatik yang merupakan limbah aktivitas metabolisme juga banyak mengeluarkan amonia dan kadar amonia
bebas juga akan semakin meningkat dengan meningkatnya pH. Kadar amonia juga dipengaruhi oleh oksigen terlarut, dimana pada perlakuan 3 nilai oksigen terlarut juga
semakin kecil sehingga akan menyebabkan dekomposisi secara anaerobik hal ini akan menambah kandungan amonia pada perairan tersebut.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa perlakuan 3 yang diumpamakan sebagai pencampuran sempurna holomictic memiliki potensi buruk bagi kehidupan ikan
budidaya. Hal tersebut terjadi karena konsentrasi amonia maupun konsentrasi
oksigen terlarut pada perlakuan 3 tidak berada pada baku mutu yang dianjurkan. Sedangkan pada perlakuan 1 dan 2 nilai amonia yang terukur masih sesuai baku mutu.
Hal ini mengindikasikan bahwa pencampuran massa air sempurna cenderung memberi pengaruh lebih buruk bagi budidaya perikanan. Toksisitas amonia terhadap
organisme akuatik akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut, pH, dan suhu Effendi 2003. Ikan tidak dapat bertoleransi terhadap kadar amonia bebas
yang terlalu tinggi karena dapat mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah.
40
4.4.4. pH
Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, aktivitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme perairan Pescod 1973. Pada bagian
permukaan nilai pH lebih tinggi dari kedalaman yang lainnya karena di permukaan proses fotosintesis tinggi sehingga menghasilkan oksigen terlarut lebih banyak dan
respirasi yang meghasilkan CO
2
akan dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis, sehingga jumlah CO
2
pada permukaan akan lebih sedikit karena dipakai oleh fitoplankton untuk melakukan fotosintesis. Rendahnya nilai pH di suatu perairan
dapat disebabkan oleh tingginya jumlah bahan organik, dimana turunnya pH disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi CO
2
karena aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik.
Kandungan bahan organik sangat besar jumlahnya pada dasar perairan. Tingginya bahan organik pada dasar perairan akan menyebabkan proses dekomposisi
bahan organik juga akan tinggi, proeses dekomposisi ini menghasilkan CO
2
dan zat yang lain yang dapat bersifat toksik sehingga pH pada dasar perairan akan lebih
rendah dibandingkan dengan permukaan maupun pada kolom perairan. Tabel 11. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan
Kedalaman m pH
7,09 2
7,08 4
7,06 6
7,03 8
6,99 10
6,97 12
6,95 14
6,93 16
6,92 18
6,89 20
6,84 22
6,82 24
6,78 27
6,76 30
6,72 36
6,66 42
6,63 48
6,59 Dasar
6,52
Keterangan : kedalaman maksimum di lokasi pengamatan adalah 51 meter
41
Nilai pH memegang peranan penting dalam proses pertumbuhan organisme serta mempengaruhi kadar toksisitas pada perairan. Dari hasil pengamatan diperoleh
nilai rata-rata pH pada stasiun pengamatan adalah 6,52. Nilai pH tertinggi berada pada permukaan yaitu sebesar 7,09, sedangkan nilai pH yang paling rendah berada
pada bagian perairan yang paling dasar yaitu sebesar 6,52 Tabel 11.
Gambar 8. Distribusi vertikal pH di lokasi pengamatan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan melalui beberapa perlakuan di
stasiun pengamatan Tabel 12, nilai rata-rata pH tertinggi pada stasiun pengamatan adalah perlakuan 1 yaitu sebesar 7,02. Pada perlakuan 2 nilai pH rata-rata adalah
6,84, sedangkan nilai rata-rata pH terendah berada pada stasiun pengamatan adalah pada perlakuan 3 dengan nilai pH 6,61.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai pH cenderung menurun. Perlakuan 3 merupakan hasil
pencampuran dari 4 kedalaman yang berbeda termasuk kedalaman di dasar dengan pH yang cenderung rendah asam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa jika terjadi
pencampuran air sempurna, maka perairan akan cenderung bersifat asam.
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
22 24
26 28
30 32
34 36
38 40
42 44
46 48
50 6.09
6.85 7.61
K e
d a
la m
a n
m pH
Profil sebaran vertikal pH
pH
42
Tabel 12. Hasil pengukuran rata-rata pH melalui pencampuran air di beberapa kedalaman
Stasiun Perlakuan
1 2
3
1 6,93
6,79 6,62
2 7,10
6,90 6,60
Rata-rata 7,02
6,84 6,61
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Nilai pH pada siang hari relatif lebih tinggi dibandingkan pH pada malam hari. Hal tersebut dikarenakan adanya proses fotosíntesis pada siang hari yang banyak
menyerap CO
2
bebas. Pada kondisi ini, CO
2
diperoleh dari HCO
3
dengan melepaskan ion hidroksil OH
-
yang akan meningkatkan pH ke arah basa. Oleh karena itu pula nilai pH di permukaan pada lokasi pengamatan cenderung bersifat basa. Keberadaan
karbondioksida akan mempengaruhi kadar pH pada perairan menyebabkan perairan semakin asam.
Namun, seluruh perlakuan menunjukkan bahwa nilai pH yang diperoleh masih layak bagi kegiatan perikanan.
4.4.5. Hidrogen Sulfida H
2
S
Sulfida berasal dari limbah industri atau dihasilkan dari proses dekomposisi bahan organik yaitu proses reduksi sulfat oleh bakteri pada kondisi anaerob. Sulfida
dalam bentuk H
2
S tak terionisasi bersifat sangat toksik dan korosif terutama terhadap bahan-bahannya yang tersusun dari logam. Kadar H
2
S tak terionisasi yang tinggi dalam perairan menimbulkan bau telur busuk Boyd 1989.
Berdasarkan data Tabel 13 dapat ditunjukkan bahwa nilai sulfida rata-rata tertinggi pada lokasi pengamatan terdapat pada perlakuan 3 dengan nilai 1,6956
mgl; nilai sulfida rata-rata yang diperoleh dari perlakuan 2 adalah 0,3189; dan sulfida rata-rata pada perlakuan 1 di stasiun pengamatan adalah 0,0538 mgl. Hal tersebut
menunjukkan bahwa dari perlakuan 1 sampai 3 nilai rata-rata sulfida yang terukur cenderung meningkat.
43
Tabel 13. Hasil pengukuran rata-rata Hidrogen Sulfida H
2
S melalui pencampuran air dibeberapa kedalaman
Ulangan Perlakuan
1 2
3
1 0,0556
0,3506 1,8036
2 0,0520
0,2871 1,5876
Rata-rata 0,0538
0,3189 1,6956
Keterangan: Perlakuan 1 = percampuran kedalaman 2 dan 12 m
Perlakuan 2 = percampuran kedalaman 2, 12 dan 24 m Perlakuan 3 = percampuran kedalaman 2, 12, 24 dan 42 m
Sama halnya dengan pengamatan yang dilakukan oleh Nugroho 2009 dan Pratiwi 2009 di Waduk Saguling dan Jatiluhur, dimana nilai H
2
S yang didapatkan pada perlakuan 3 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan 1 dan 2. Hal ini terjadi
karena adanya proses dekomposisi bahan organik yang banyak menggunakan oksigen sehingga pada kondisi anoksik hasil dari proses dekomposisi tersebut akan
membentuk sulfida H
2
S. Dapat dilihat dari nilai oksigen terlarut pada stasiun pengamatan, dimana nilainya semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman.
Pada pengamatan ini, tidak dilakukan pengukuran konsentrasi sulfida di setiap kedalaman sehingga tidak dapat diketahui dengan pasti sebaran vertikal sulfida di
lokasi pengamatan. Namun, konsentrasi sulfida yang diperoleh dari hasil pengukuran pada setiap perlakuan ini dapat diduga bahwa konsentrasi sulfida cenderung
meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 kelas III, nilai sulfida
yang diperoleh pada ketiga perlakuan tersebut tidak memenuhi baku mutu untuk kegiatan budidaya perikanan tawar karena konsentrasi sulfida yang dianjurkan 0,002
mgl. Secara umum kandungan H
2
S tersebut berbahaya bagi kelangsungan ikan di keramba jaring apung karena melebihi baku mutu. Kandungan H
2
S yang melebihi batas ambang yang diperkenankan sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup ikan,
sebab gas H
2
S yang naik kepermukaan perairan dapat menyebabkan kematian ikan secara massal. Namun mengingat adanya parameter lain DO, pH, dan suhu yang
mampu mendukung kelangsungan hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maka tingginya konsentrasi sulfida pada perlakuan 1 diduga masih dapat di tolerir oleh ikan
budidaya. Berbeda dengan perlakuan 3, pada perlakuan 1 tingginya konsentrasi sulfida
tidak diiringi dengan rendahnya DO dan meningkatnya amonia. Nilai suhu dan pH
44
yang diperoleh pun masih berada pada baku mutu yang dianjurkan sehingga jika dilihat dari keempat parameter tersebut maka untuk perlakuan 1 masih dianggap
layak untuk kegiatan budidaya ikan, sedangkan tingginya sulfida menunjukkan bahwa perlakuan 1 tidak aman bagi kegiatan budidaya perikanan berdasarkan PPRI No. 82
tahun 2001. Jika konsentrasi sulfida tidak memenuhi baku mutu kegiatan perikanan, diiringi dengan kondisi perairan yang miskin oksigen seperti hasil yang diperoleh pada
perlakuan 3, maka ikan budidaya yang berada pada keramba jaring apung tersebut cenderung akan mati karena tidak mampu untuk meloloskan diri dari kondisi air yang
buruk. Keadaan ini biasanya terjadi pada saat terjadi umbalan sempurna holomictic yang mengakibatkan terjadinya kematian massal ikan di lokasi keramba jaring apung.
4.5. Pengelolaan