Tujuan Manfaat Nelayan MI

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menentukan komposisi dan keragaman hasil tangkapan jaring rampus dengan menggunakan ukuran mata jaring yang berbeda; 2. Menentukan jumlah hasil tangkapan ikan layang Decapterus kurroides dengan menggunakan jaring rampus pada ukuran mata jaring yang berbeda; dan 3. Menentukan perbedaan cara tertangkap ikan layang Decapterus kurroides pada jaring rampus dengan ukuran mata jaring yang berbeda.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi Dinas Kelautan dan Perikanan dalam mengembangkan konstruksi jaring rampus yang efektif untuk menangkap ikan layang di perairan Cisolok. 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Ikan Layang Decapterus kurroides

2.1.1 Klasifikasi dan morfologi

Menurut Bleeker 1855 diacu dalam Saanin 1984, ikan layang dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Super Kelas : Pisces Kelas : Actinopterygii Sub Kelas : Teleostei Ordo : Perciformes Famili : Carangidae Genus : Decapterus Spesies : Decapterus kurroides Sumber: Bleeker 1855 Gambar 1 Ikan layang Decapterus kurroides Ikan layang Decapterus kurroides memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut, ikan layang memiliki panjang total TL sekitar 45 cm, dan panjang cagak FL sekitar 30 cm. Ikan ini memiliki ciri khas memiliki sirip ekor caudal yang berwarna merah, sirip kecil finlet di belakang sirip punggung dan sirip dubur dan terdapat gurat sisi lateral line Nontji, 2002. Ikan layang hidup di perairan lepas pantai, dan ikan ini biasa memakan plankton-plankton kecil. Decapterus kurroides memiliki ciri morfologi sebagai berikut, dua sirip punggung dorsal, dorsal 1 memiliki 8 jari-jari keras dan dorsal 2 memiliki 1 jari-jari keras dan 28-29 jari-jari lemah. Sirip dubur anal memiliki 3 jari-jari keras dan 22-25 jari-jari lemah. Tubuhnya memiliki warna hijau kebiruan di daerah atas dan keperakan di daerah bawah, operculum memiliki bintik-bintik hitam kecil. Insang dilindungi oleh membran halus Saanin,1984.

2.1.2 Biologi

Dalam biologi perikanan, pencatatan perubahan-perubahan atau tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui ikan-ikan yang melakukan reproduksi dan yang tidak. Adapun pengetahuan tahap kematangan gonad ini juga akan diperoleh keterangan bilamana ikan itu akan memijah. Dengan mengetahui ukuran ikan untuk pertama kali gonadnya menjadi masak, ada hubungannya dengan pertumbuhan ikan itu sendiri dan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhinya Effendi, 2002. Adapun dalam pencatatan komposisi kematangan gonad dihubungkan dengan waktu akan didapat daur perkembangan gonad tersebut, namun bergantung kepada pola dan macam pemijahannya spesies yang bersangkutan. Persentase TKG dapat dipakai untuk menduga waktu terjadinya pemijahan. Ikan yang mempuyai satu musim pemijahan panjang, akan ditandai dengan peningkatan persentase TKG yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan. Bagi ikan yang mempunyai musim pemijahan sepanjang tahun, pada pengambilan contoh setiap saat akan didapatkan komposisi tingkat kematangan gonad TKG terdiri dari berbagai tingkat dengan persentase yang tidak sama. Persentase yang tinggi dari TKG yang besar merupakan puncak pemijahan walaupun pemijahan sepanjang tahun. Jadi dari komposisi TKG ini dapat diperoleh keterangan waktu mulai dan berakhirnya kejadian pemijahan dan puncaknya Effendi, 2002. Dasar yang dipakai untuk menentukan tingkat kematangan gonad dengan pengamatan secara morfologi melalui bentuk, ukuran panjang dan berat warna dan perkembangan isi gonad yang dapat dilihat. Untuk mendapatkan gambaran tingkat kematangan gonad TKG digunakan skala kematangan gonad dalam Effendi 2002 pada Tabel 1. Tabel 1 Skala Tingkat Kematangan Gonad Ikan TKG Tingkat Kematangan Deskripsi I Belum matang, dara Immature Ovari dan testis kecil, ukuran hingga ½ dari panjang rongga badan. Ovari berwarna kemerahan jernih translucent, testis keputihan, dan butiran telur tidak tampak. II Perkembangan Maturing Ovari dan testis sekitar ½ dari panjang rongga badan. Ovari merah-orange, translucent, testis putih, kira-kira simetris. Butiran telur tidak tampak dengan mata telanjang. III Pematangan Ripening Ovari dan testis sekitar ⅔ dari panjang rongga badan. Ovari kuning-orange, nampak butiran telur, testis putih kream. Ovari dengan pembuluh darah di permukaan. Belum ada telur-telur yang transparan atau translucent, telur masih gelap. IV Matang, mature Ripe Ovari dan testis kira-kira ⅔ sampai memenuhi rongga badan. Ovari berwarna orange-pink dengan pembuluh-pembuluh darah di permukaannya. Terlihat telur-telur besar, transparan, telur-telur matang ripe. Testis putih-kream, lunak. V Mijah, Salin Spent Ovari dan testis menyusut hingga ½ dari rongga badan. Dinding tebal. Di dalam ovari mungkin masih tersisa telur-telur gelap dan matang yang mengalami desintegrasi akibat penyerapan, gelap atau translucent. Testis lembek. Sumber : Effendi, 2002 TKG dapat dikaitkan dengan ukuran ikan dan dapat mengarah kepada identifikasi panjang saat pertama matang gonad length of first maturity. Informasi ini dapat dijadikan dasar pengaturan besarnya mata jaring. Besarnya mata jaring ditetapkan sedemikian rupa sehingga paling tidak ikan yang ditangkap sudah memijah, minimal satu kali memijah, ikan layang Decapterus kurroides yang pertama kali memijah berkisar memiliki panjang cagak 25-27 cm Badrudin, 2004.

2.1.3 Habitat

Ikan layang yang umum terdapat di Indonesia terdiri dari lima jenis, yaitu Decapterus kurroides, Decapterus russeli, Decapterus macrosoma, Decapterus layang, Decapterus maruadsi FAO, 1974. Ikan layang Decapterus kurroides merupakan spesies ikan layang yang berada di daerah dasar perairan. Penyebaran ikan layang ini sangat menyebar di daerah perairan Indonesia, yaitu dari Pulau Seribu, P. bawean, P. Masalembo, Selat Makassar, Selat Karimata, Selat Malaka, Laut Flores, Arafuru, Selat Bali, dan Perairan Selatan Pulau Jawa. Decapterus kurroides termasuk jenis ikan layang yang agak langka yang terdapat di perairan Palabuhanratu, Labuhan, Muncar, Bali dan Aceh Wiews et al., 1968 diacu dalam Genisa, 1988. Jenis ikan layang yang banyak di perairan Cisolok adalah jenis layang Decapterus Kurroides dan masyarakat sekitar perairan Cisolok menyebutnya ikan selayang. Penyebaran ikan layang Decapterus kurroides di Indonesia terdapat di perairan Pasifik barat Indonesia, perairan Afrika Timur sampai Filiphina, perairan utara sampai selatan Jepang, perairan selatan sampai barat Australia Bleeker, 1855. Lingkungan ikan layang Decapterus kurroides cukup berbeda dengan jenis genus Decapterus lainnya, ikan ini berada di kedalaman 100-300 m, dan biasanya berada di kedalaman 150-300 m, dan biasa berinteraksi di karang Saanin, 1984.

2.1.4 Sebaran

Ikan layang tersebar di seluruh dunia. Ikan layang tersebar dengan mendiami daerah-daerah tropis dan subtropis di Lautan Indo-pasifik dan Lautan Atlantik. Jenis ikan layang sangat beragam, setiap jenisnya memiliki daerah sebaran yang berbeda, dan juga ada yang daerah sebarannya tumpang tindih satu sama lain. Jenis ikan layang Decapterus russeli memiliki daerah sebaran yang paling luas diantara jenis layang yang lainnya. Ikan layang jenis Decapterus kurroides ini hampir tertangkap di seluruh daerah perairan Indonesia, dan sangat dominan di perairan Jawa, mulai dari Pulau Masa Lembu, Pulau Bawean, dan juga seluruh daerah Kepulauan Seribu. Jenis ikan layang lainnya yaitu Decapterus layang tersebar di perairan-perairan dangkal dan untuk jenis Decapterus macrosoma tersebar di laut Jaluk. Berdasarkan data penangkapan di Indonesia, ikan layang jenis Decapterus layang tertangkap di Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Madura dan perairan laut dangkal lainnya di Indonesia, sedangkan jenis Decapterus macrosoma tertangkap oleh nelayan-nelayan di Laut Jeluk seperti Pulau Banda, Ambon, Sangihe, dan Selat Bali. Decapterus kurroides tergolong jenis ikan layang yang langka yang hanya tersebar di tiga daerah di Indonesia, yaitu di perairan Labuhan, perairan Selat Bali, dan juga di perairan Palabuhanratu, Jawa Barat, dalam jumlah besar pada musim-musim tertentu Djamali, 1979. Sebaran ikan layang Decapterus kurroides sangat berkaitan erat dengan makanan ikan tersebut. Makanan memegang peranan penting dalam pertumbuhan, dan sebaran ikan layang. Kebiasaan makan ikan layang dapat diketahui dengan melihat habitat ikan layang. Ikan layang merupakan pemakan plankton hewani, benthos, dan ikan-ikan kecil.

2.1.5 Musim dan daerah penangkapan

Musim penangkapan ikan layang tergantung dari pola migrasinya. Pola migrasi ikan layang adalah musiman, karena kebiasaan hidupnya sangat peka terhadap salinitas rendah, juga ikan layang melakukan migrasi setiap hari yaitu migrasi harian. Migrasi ikan layang, dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu yang secara tidak langsung jenis pakannya itu dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Ikan layang tinggal di lautan luas atau juga tersebar di perairan teluk. Puncak produksi ikan layang di perairan Jawa terjadi dua kali dalam setahun yang kurang lebih jatuh pada bulan Januari-Maret dan Juli-September. Puncak musim ini dapat berubah maju dan mundur sesuai dengan perubahan musim. Nelayan di perairan timur Pulau Seribu menangkap ikan layang pada akhir Juni sampai awal Juli yang memiliki ukuran kecil. Pada pekan-pekan berikutnya ikan layang tumbuh menjadi besar hingga mencapai ukuran 15 cm dan produksinya pun meningkat. Nontji 2002 mengatakan bahwa di perairan Jawa, arah ruaya ikan layang sejalan dengan arus utama. Pada saat musim timur Juni- September, banyak sekali ikan layang di perairan Laut Jawa. Ikan layang terbagi menjadi dua populasi yaitu layang yang datang dari Selat Makassar dan juga yang datang dari Laut Flores. Pada musim barat Januari-Maret, terdapat juga dua populasi ikan layang yang masuk ke perairan Laut Jawa, yaitu dari arah barat dan juga dari arah utara. Populasi layang dari barat melakukan pemijahan di Samudera Hindia sampai ke selatan Selat Sunda dan terbawa oleh arus laut yang membawanya masuk ke perairan Laut Jawa. Sementara polulasi dari utara, ikan layang melakukan pemijahan di Laut Cina Selatan, dan melakukan migrasi melalui Selat Sunda dan masuk ke Laut Jawa. 2.2 Jaring Rampus 2.2.1 Klasifikasi dan deskripsi Menurut Ayodhyoa 1981, jaring rampus merupakan jenis jaring insang dasar bottom gillnet. Jaring rampus memiliki bentuk empat persegi panjang dengan ukuran mata yang sama pada seluruh tubuh jaring. Pada sisi atas jaring diletakkan pelampung float dan pemberat sinker pada sisi bawah. Jaring akan terentang akibat dua gaya yang berlawanan arah, yaitu gaya terapung buoyancy force yang disebabkan oleh pelampung di sisi atas badan jaring, dan gaya tenggelam sinking force oleh pemberat. Berdasarkan kebiasaan renang ikan pengoperasian jaring insang dapat dibagi menjadi dua, yaitu jaring insang hanyut untuk menangkap ikan-ikan pelagis dan jaring insang dasar untuk menangkap ikan demersal. Jaring rampus merupakan jaring insang yang dioperasikan di dasar perairan. Nomura dan Yamazaki 1976 mengatakan bahwa jaring rampus merupakan jaring insang yang dioperasikan di dasar perairan. Jaring rampus merupakan klasifikasi alat tangkap yang termasuk ke dalam jaring insang dasar. Adapun menurut Brandt 1984, jaring rampus termasuk ke dalam drift gillnet atau jaring insang yang dioperasikan secara dihanyutkan.

2.2.2 Konstruksi jaring rampus

Menurut Zamil 2007, jaring rampus terdiri dari tiga bagian utama, yaitu badan jaring, tali ris atas, dan tali ris bawah. 1 Badan jaring merupakan bagian utama jaring rampus. Badan jaring tersusun dari benang monofilament polyamide yang memiliki nilai kelenturan tinggi dibandingkan dengan multifilament polyamide. 2 Tali ris atas merupakan tali yang menghubungkan pelampung dengan badan jaring. Tali ris atas biasanya berbahan polyethylene dengan panjang kira-kira mencapai 350 m per unit alat tangkap. Pada tali ris atas, tali pelampung akan diikatkan untuk memasang pelampung pada jaring. 3 Tali ris bawah merupakan tali yang menghubungkan pemberat dengan badan jaring. Tali ris bawah biasanya berbahan polyethylene dengan panjang kira-kira 450 m per unit alat tangkap. Pada tali ris bawah diikatkan tali pemberat untuk memasang pemberat pada jaring, dengan adanya perimbangan dua gaya yang berlawanan antara pelampung dan pemberat serta berat jaring itu sendiri, maka jaring akan terentang di dalam air. Zamil 2007 mengatakan bahwa spesifikasi bahan dari bagian-bagian jaring rampus adalah sebagai berikut: 1 Badan jaring tersusun dari benang monofilament polyamide yang memiliki nilai kelenturan tinggi dibandingkan dengan multifilament polyamide; 2 Tali ris atas biasanya berbahan polyethylene dengan panjang kira-kira mencapai 350 m per unit alat tangkap; 3 Tali pelampung yang terbuat dari polyethylene; 4 Pelampung yang terbuat dari styrofoam atau karet dengan jarak pemasangan antar pelampung berkisar 50-65 cm tergantung hanging ratio yang akan dipakai serta disesuaikan dengan panjang badan jaringnya; 5 Tali ris bawah berbahan polyethylene; 6 Tali pemberat terbuat dari polyethylene; dan 7 Pemberat yang terbuat dari timah, baja, atau hanya berupa batu. Benang jaringnya adalah bahan nilon polyamide monofilament senar seperti halnya jaring insang lainnya. Pemilihan PA monofilamen sebagai bahan dasar terutama disebabkan karena bahan ini memiliki nilai kelenturan yang tinggi dibandingkan benang PA multifilamen untuk ukuran yang sama Nomura dan Yamazaki, 1976.

2.2.3 Metode Pengoperasian

Brandt 1984, menyatakan bahwa ada empat metode pengoperasian gillnet, yaitu: jaring insang tetap set gillnet, jaring insang hanyut drift gillnet, jaring insang tarik dragged gillnet, dan jaring insang lingkar encircling gillnet. Secara umum pengoperasian gillnet dilakukan secara pasif, tetapi juga ada yang dilakukan secara semi aktif pada siang hari. Pengoperasian gillnet secara pasif pada umumnya dilakukan pada malam hari, dengan atau tanpa alat bantu cahaya. kemudian gillnet dipasang di perairan yang diperkirakan akan dilewati oleh ikan atau hewan air lainnya dan dibuarkan beberapa lama sampai ikan menabrak dan terjerat memasuki mata jaring. Miranti 2007 menyatakan bahwa secara umum metode pengoperasian alat tangkap gillnet terdiri atas beberapa tahap, yaitu : 1. Persiapan yang dilakukan nelayan meliputi pemeriksaan alat tangkap, kondisi mesin, bahan bakar kapal, perbekalan, es dan tempat untuk menyimpan hasil tangkapan. 2. Pencarian daerah penangkapan ikan DPI, hal ini dilakukan nelayan berdasarkan pengalaman-pengalaman melaut yaitu dengan mengamati kondisi perairan. 3. Pengoperasian alat tangkap yang terdiri atas pemasangan jaring setting, perendaman jaring soaking, dan pengangkatan jaring hauling. 4. Tahap penanganan hasil tangkapan adalah pelepasan ikan hasil tangkapan dari jaring untuk kemudian disimpan pada suatu wadah atau tempat.

2.2.4 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan dengan

gillnet Keberhasilan penangkapan ikan dengan menggunakan gillnet tergantung dari konstruksi gillnet yang meliputi bahan jaring, twine thickness, fleksibilitas benang, tekanangaya-gaya yang bekerja pada benang, breaking strength, elongasi, warna jaring, mesh size, dan hanging ratio Nomura dan Yamazaki, 1976. Ayodhyoa 1981 mengatakan bahwa agar ikan mudah terjerat pada mesh size atau terbelit pada tubuh jaring, maka bahan yang digunakan pada waktu pembuatan tubuh jaring hendaklah memperhatikan hal-hal seperti; kekuatan dari twine, ketegangan rentangan tubuh jaring, pengerutan jaring, tinggi jaring, mesh size dan ukuran besar ikan yang menjadi tujuan penangkapan. 1. Bahan Jaring Bahan pembuat jaring dapat diklasifikasikan ke dalam dua kategori yakni bahan dari serat alami natural fibres dan bahan buatan synthetic fibres. Bahan yang terbuat dari serat alami selanjutnya bisa dikategorikan menjadi bahan yang terbuat dari serat tumbuhan maupun hewan. Bahan yang terbuat dari serabut tumbuhan misalnya manila, henep, katun sedangkan bahan yang terbuat dari serat hewan adalah wool dan sutera. Bahan jaring yang terbuat dari serat sintetis saat ini dapat diklasifikasikan menjadi 7 kelompok yakni polyamide PA, polyester PES, polyethilene PE, poly prophylene PP, polyvinil chloride PVC, polyvinylidene chloride PVD, dan polyvinyl alcohol PVA. Bahan yang paling banyak digunakan untuk gillnet adalah dari serat sintetis Iskandar, 2009. Bahan nilon dipilih sebagai bahan dasar gillnet karena memiliki karakteristik yang sesuai sebagai bahan dasar jaring insang. Sifat nilon menurut Soeprijono et al. 1975 diacu dalam Prasetyo, 2009 sebagai berikut:  Kekuatan dan daya mulur Nylon memiliki kekuatan dan daya mulur berkisar dari 8,8 gramdenier dan 18 sampai 4,3 gramdenier dan 45. Kekuatan basahnya 80-90 kekuatan kering.  Tahan gosokan dan tekukan Nylon mempunyai tahan tekukan dan gosokan yang tinggi. Tahan gosokan nylon kira-kira 4-5 kali tahan gosok wol.  Elastisitas Nylon selain mempunyai kemuluran yang tinggi 22. Pada penarikan 8 nylon elastis 100 dan pada penarikan sampai 16 nylon masih mempunyai elastisitas 91. 2. Ketegangan rentangan tubuh jaring Adapun yang dimaksud dengan ketegangan rentangan adalah rentangan pada jaring yaitu rentangan ke arah lebar dan rentangan jaring ke arah panjang. Ketegangan rentangan akan mengakibatkan terjadinya tension baik pada float line ataupun pada tubuh jaring. Jaring yang terentang dengan tegang akan membuat ikan sulit tertangkap, dan ikan akan mudah lepas; 3. Hanging ratio Hanging ratio didefinisikan sebagai perbandingan antara panjang tali ris atas dengan jumlah mata jaring dan ukuran mata jaring. Hanging ratio sangat menentukan probabilitas dari seekor ikan dapat terjerat pada jaring. Hanging ratio memberikan pengaruh pada selektivitas dan efisiensi jaring insang Spare and Venema, 1999. Ada dua jenis rasio penggantungan, yaitu rasio primer E 1 dan sekunder E 2 . Nilai rasio primer dihitung berdasarkan penggantungan ke samping horizontal, sedangkan rasio sekunder tegak lurus rasio primer. Nilai rasio primer gillnet pada umumnya berkisar antara 0,5 – 0,7, sedangkan gillnet dasar sebesar 0,5. Beberapa gillnet menggunakan rasio penggantungan sebesar 0,3 untuk menambah daya puntal alat sewaktu dioperasikan Fridman, 1988; 4. Shortening Shortening didefinisikan sebagai selisih antara panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup stretch length dengan panjang tali ris dibagi panjang jaring dalam keadaan mata jaring tertutup. Supaya ikan-ikan mudah terjerat gilled pada mata jaring dan juga supaya ikan-ikan tersebut setelah sekali terjerat pada jaring tidak akan mudah terlepas, maka pada jaring perlulah diberikan shortening yang cukup Atmadja, 1980. Shortening juga mempengaruhi efisiensi penangkapan pada gillnet, karena merupakan faktor yang mempengaruhi bentuk mata jaring; 5. Tinggi Jaring Tinggi jaring didefinisikan sebagai jarak antara tali ris atas ke tali ris bawah atau jarak antara float line ke sinker line pada saat jaring tersebut terpasang di perairan. Ayodhyoa 1981 mengatakan bahwa penentuan tinggi jaring didasarkan antara lain atas lapisan renang ikan yang menjadi tujuan penangkapan dan kepadatan gerombolan ikan. Sementara panjang jaring tergantung pada situasi penangkapan, dan ukuran perahu. Jumlah lembar jaring yang dipergunakan akan menentukan besar kecilnya skala usaha, juga jumlah hasil tangkapan yang mungkin diperoleh. Jadi tinggi jaring sangatlah mempengaruhi jumlah ikan yang tertangkap pada jaring insang; 6. Mesh size Mesh size didefinisikan sebagai jarak antara dua buah simpul mata jaring dalam keadaan terentang secara sempurna. Mesh size ukuran mata jaring, sering digunakan sebagai instrumen untuk menseleksi ikan maupun crustacea berdasarkan ukuran Fridman, 1988. Ukuran mata jaring tertentu memiliki kecenderungan menjerat ikan-ikan yang mempunyai fork length dalam selang tertentu. Dengan perkataan lain, gillnet akan bersikap selektif terhadap besar ukuran dari hasil tangkapan yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan penentuan mesh size yang sesuai dengan keadaan daerah penangkapan, yaitu penyesuaian terhadap ukuran dan jenis ikan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Ukuran ikan yang tertangkap berhubungan erat dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka akan semakin besar pula ikan yang tertangkap Manalu 2003. Penetapan ukuran mata jaring dapat berdasarkan pada ukuran jenis ikan yang dominan tertangkap. Gillnet yang dioperasikan di Indonesia umumnya memiliki ukuran mata jaring yang berkisar antara 1,5 – 4 inci. Mesh size sangatlah mempengaruhi selektivitas jaring insang, karena mesh size sangat menentukan ukuran ikan yang tertangkap oleh jaring insang. 7. Warna jaring Warna jaring didefinisikan sebagai faktor yang berpengaruh terhadap sinar matahari, sinar bulan, kedalaman perairan dan juga tingkat kecerahan perairan. Warna akan mempunyai perbedaan derajat terlihat oleh ikan-ikan yang berbeda. Pada waktu siang hari kemungkinan terlihatnya jaring oleh ikan akan lebih besar dibandingkan dengan pada waktu malam hari. Warna jaring tidak boleh merangsang optik mata ikan, maka dari itu warna jaring harus serupa dengan warna air, untuk mengurangi kemungkinan terlihatnya jaring Mori, 1968; 8. Extra Bouyancy Najamuddin 2009 menyebutkan bahwa extra bouyancy adalah daya apung ekstra. Besar kecilnya daya apung dan daya tenggelam akan mempengaruhi ketegangan jaring. Extra buoyancy pada gillnet berbeda-beda tergantung jenisnya, seperti extra bouyancy gillnet permukaan berkisar antara 30 - 40 , extra bouyancy gillnet pertengahan adalah 0 dan extra bouyancy gillnet dasar adalah negatif. Rumus dari gillnet extra bouyancy adalah : EB = TB – S TB × 100; Keterangan : EB : Extra bouyancy ; TB : Total bouyancy; dan S : Berat benda di air Rumus untuk menghitung luas jaring adalah √1 ; Keterangan : L : Luas jaring m 2 ; E : Hanging ratio ; N : Jumlah mata jaring horizontal mata; H : Jumlah mata jaring vertikal mata; dan α : Ukuran mata jaring dalam keadaan tegang cm. Menghitung tinggi jaring menggunakan rumus : √1 ; Keterangan : H : Tinggi jaring; dan tm : Tinggi jaring dalam keadaan tegang Perhitungan jumlah mata 1 Vertikal √ ; 2 Horizontal E . Keterangan : M : Mesh size; H m : Tinggi jaring terpasang; L : Panjang floatline; dan E : Shortening.

2.2.5 Hasil tangkapan

Menurut Direktorat Jenderal Perikanan 1994, hasil utama tangkapan jaring rampus adalah ikan-ikan demersal, dan selebihnya adalah ikan-ikan pelagis kecil. Ikan-ikan demersal yang dominan antara lain adalah ikan tigawaja Johnius spp, gulamah Pseudociana spp, kuwe Caranx spp, dan kuro Polynemus spp. Adapun ikan-ikan pelagis kecil yang biasa tertangkap adalah selar bentong Selaroides crumenopthalmus, japuh Sardinella spp, lemuru Sardinella sirm, dan tenggiri Scomberomorous spp, sedangkan di perairan Cisolok, Palabuhanratu, ikan-ikan yang tertangkap oleh jaring rampus didominasi oleh ikan layang Decapterus kurroides.

2.3 Nelayan

Menurut Undang-Undang UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, binatang air lainnya atau tanaman air. Orang yang hanya melakukan pekerjaan seperti membuang jaring, mengangkut alat-alat atau perlengkapan ke dalam perahu atau kapal, tidak dimasukkan sebagai nelayan. Ahli mesin dan juru masak yang bekerja di atas kapal penangkap dimasukkan sebagai nelayan, walaupun tidak secara langsung melakukan pekerjaan penangkapan. Nelayan yang diperlukan untuk mengoperasikan alat tangkap jaring rampus ini biasanya sekitar 2-3 orang yang terdiri dari satu orang juru mudinahkoda, dan 1 sampai 2 orang anak buah kapal ABK Subani dan Barus, 1989. Miranti 2007 mengatakan bahwa jumlah nelayan tiap kapal gillnet tidaklah sama, tergantung pada skala usaha tersebut. Jenis kapal yang berupa perahu layar tanpa motor hanya menggunakan satu atau dua orang nelayan, sedangkan kapal gillnet dengan motor tempel biasanya dioperasikan oleh tiga sampai empat orang nelayan. Adapun dalam pengoperasian alat tangkap gillnet, keahlian nelayan memegang peranan yang sangat penting, terutama saat penurunan jaring setting agar pelampung dan pemberat tidak melilit pada tubuh jaring serta pengaturan posisi kapal terhadap arus laut Suwanda, 2003.

2.4 Kapal