TINJAUAN PUSTAKA Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove Dan Perikanan (Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

26 Pengelolaan wilayah pesisir dan keterkaitan ekosistem di wilayah pesisir Dahuri et al. 2008 menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai coastline, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas boundaries, yaitu batas yang sejajar garis pantai longshore dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai cross-shore. Selain itu, Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara eksositem darat dan laut yang dipengaruhi perubahan di darat dan laut. 6 Dikaitkan dengan UU RI Nomor 452009 tentang perikanan dapat diartikan bahwa dalam wilayah pesisir tersebut mencakup perairan dan ekosistem sebagai suatu lingkungan sumberdaya ikan, sehingga pengelolaan wilayah pesisir mencakup juga pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan mengandung dimensi ruang dan waktu, multi aktor dengan berbagai kepentingannya, kompleksitas permasalahan dan performa yang beragam. Brown et al 2001 menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir adalah isu yang kompleks. Kompleksitas bersumber dari kesamaan faktor yang memandang sedemikian penting keberadaan sumberdaya pesisir, yaitu a wilayah pesisir menyediakan barang dan jasa, b wilayah pesisir mencakup rentang regional, sehingga sukar untuk membatasi setiap akses ke wilayah tersebut, c adanya kondisi lingkungan yang berbeda pada rentang permukaan air dan daratan, d wilayah pesisir berperan penting dalam aspek budaya dan menyokong interaksi sosial dalam berbagai cara. Dengan kompleksitas permasalah tersebut, maka wilayah pesisir yang memiliki beragam sumberdaya alam harus dikelola secara baik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu Integrated Coastal Zona Management, ICZM. 7 Dahuri et al 2008 menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang 6 Dalam konteks penelitian ini ruang lingkup pengelolaan boundaries secara administratif mengikuti konsepsi menurut Undang-Undang Nomor UU No. 1 Tahun 2014, yaitu ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut di ukur dari garis pantai. 7 Bentuk lain pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan secara sektoral. Menurut Dahuri et al. 2008, pengelolaan secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain. 27 kawasan pesisir beserta sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan dan kemudian merencanakan serta mengelola segenap pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Menurut Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2014, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antar pemerintah daerah, antara eksosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan ekosistem pesisir dan sumberdaya jasa lingkungan. Dahuri et al. 2008 menyatakan bahwa dalam ekosistem pesisir terdapat berbagai jasad hidup biotik dan lingkungan fisik abiotik merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, saling terkait dan saling berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Selain itu Djunaedi 2011 mengatakan bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam serta saling berinteraski antara habitat tersebut. Jasa-jasa ekosistem mampu menyediakan nilai ekonomi yang penting Costanza et al 2014 yang berguna bagi manusia. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa memahami keterkaitan ekosistem dalam konteks pengelolaan wilayah pesisir akan menjadi penting. Keterkaitan Mangrove dengan Perikanan Ekosistem hutan mangrove secara keseluruhan terdiri atas 1 satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, 2 spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove, 3 biota yang berasosiasi dengan mangrove biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-sekali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove; 4 proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun di luarnya, dan 5 daratan terbukahamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut Kusmana 2009; Aksornkoae 1993. Mangrove mampu mendukung aktivitas perikanan dengan menyediakan makanan dan sebagai habitat ikan Sasekumar et al. 1992; Barbier 2003, Saenger et al 2013. Islam and Haque 2004 menyatakan bahwa ekosistem mangrove mampu mendukung rantai makanan yang sangat kompleks dan mendukung semua organisme tropik level dan niche untuk kehidupan. Tipe dari sistem ini dicirikan oleh tingginya produktivitas dan daya dukung untuk habitat. Mangrove mempunyai produktivitas dan daya dukung yang tidak hanya menerima nutrien yang besar dari runoff lingkungan perairan tawar, tetapi juga kapabilitas untuk bertahan. Mangrove juga mempunyai kemampuan untuk menerima karbon dari offshore melalui jebakan pasang surut air laut Gambar 6 dan dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa mangrove mempunyai keterkaitan dengan sistem lingkungan sekitarnya. 28 Gambar 6 Skema diagram konseptual fluks nutrien dan energi dalam ekosistem mangrove dan interaksinya dengan ekosistem air tawar dan ekosistem laut Sumber : Islam and Haque 2004 Ekosistem mangrove berperan besar dalam pemeliharaan kualitas pesisir melalui 1 penjebakan sedimen yang terdapat di kolam air dan 2 pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang steady-state equilibrium Darovec 1975 dalam Kawarou 2000. Selanjutnya, menurut Snedaker 1978 dalam Kawarou 2000 bahwa sekitar 90 dari jenis-jenis ikan laut daerah tropika menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase dalam daur hidupnya di daerah pesisir berhutan mangrove. Menurut Manson et al 2005, peranan mangrove dalam mendukung produksi perikanan secara berkelanjutan dapat dilihat dari perannya sebagai nursery area untuk berbagai spesies ikan. Selanjutnya, peranan mangrove untuk mendukung perikanan ditulis secara luas oleh Saenger et al 2013. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa secara ekologis, ekosistem mangrove memiliki peran utama sebagai habitat sebagian besar jenis biota laut ikan, udang, moluska yang bernilai ekonomis penting. Keterkaitan dengan perikanan tangkap mangrove-fishery linkages Ekosistem mangrove mempunyai keterkaitan dengan aktivitas perikanan Boesch and Turner 1984; Martosubrtoto 1991; Barbier 2003; Faunce and Serafy 2006, Mykoniatis dan Ready 2013. Salah satu jasa ekosistem mangrove adalah mendukung aktivitas perikanan dengan menyediakan makanan dan sebagai habitat ikan Sasekumar et al. 1992; Barbier 2003; Islam and Haque 2004, Saengger et al Pemanfaatan Pemanfaatan EKOSISTEM MANGROVE Lingkungan perairan laut Ikan dewasa, kerang- kerangan dan nekton lainnya transport nutrien dan mikroorgan- isme dari offshore Lingkungan perairan tawar Ikan dewasa, kerang-kerangan dan nekton lainnya Nutrien mikroorganisma dari runoff dan limbah buangan Mangrove Kerang-kerangan ikan dewasa Nutrien anorganik Ikan dewasa, kerang-kerangan dan nekton lainnya serasah Alga, epipit, dan produsen primer lainnya Nutrien organik Dekomposisi dan leaching Zooplankton dan produsen sekunder lainnya Ikan yang mati feses Retensi nutrien 29 2013. Ekosistem mangrove merupakan habitat penting bagi biota laut Pramudji. 2001, mangrove sebagai habitat dan populasi udang mempunyai keterkaitan yang erat Islam dan Haque 2005. Hasil penelitian Ruslan 1986 di Pantai Timur Aceh menyatakan bahwa lebar jalur hijau di wilayah pesisir mempunyai hubungan yang nyata signifikan dengan produksi udang dari tambak tradisional dan produksi udang dari hasil tangkapan nelayan di sekitarnya. Menurut Mardawati 2004, semakin luas hutan mangrove, maka produksi ikan, kepiting, tiram dan udang semakin tinggi. Selanjutnya, Lee 2004 menyatakan bahwa ada korelasi antara kelimpahan mangrove dengan produksi udang . Terdapat korelasi positif antara luas hutan mangrove dengan produksi tangkapan ikan, udang, kepiting di pesisir. Degradasi mangrove akan menyebabkan hilangnya biota atau sumberdaya hayati tersebut yang selanjutnya berpengaruh terhadap hilangnya nilai ekonomi aktivitas yang lain, yang dalam hal ini adalah perikanan tangkap. Islam and Haque 2004 menyatakan bahwa keberadaan mangrove di Bangladesh memberikan kontibusi bagi produktivitas perikanan pesisir dan laut dengan menyediakan biodiversitas yang tinggi. Perikanan artisanal yang telah memberikan kontrubisi 85-95 terhadap hasil tangkapan sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove. Perusakan mangrove berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan perikanan sejak tahun 1980-an. Barbier 2000; 2003 mengembangan metodologi penilaian peranan wetlands, termasuk mangrove, dalam mendukung perikanan. Keterkaitan antara mangrove dan perikanan mempunyai nilai ekonomi, sehingga dapat dihitung secara moneter. Barbier 2000 mengembangkan metode penghitungan indirect value peranan mangrove terhadap perikanan dengan menganggap bahwa mangrove sebagai fungsi produksi perikanan. Barbier, Strand dan Sathirathai 2002 menerapkan model dinamik fungsi produksi untuk menganalisis efek perubahan mangrove deforestasi terhadap perikanan artisanal demersal dan kerang-kerangan dalam kondisi open acces dan kondisi elastisitas permintaan produk yang terbatas. Perikanan dalam kondisi open acces tersebut, deforestasi mangrove di Thailand seluas 30 km 2 menyebabkan economic loss antara 12.000 sampai dengan 408.000. Marlianingrum 2007 menghitung penurunan marjinal luasan mangrove km 2 akan kehingan produksi udang sebesar 31,28 metric ton setiap tahun dan kehilangan pendapatan revenue sebesar Rp 854 juta setiap tahun. Memahami interaksi antara mangrove dengan perikanan sangat penting mengingat jika adanya perubahan dalam ekosistem mangrove, maka akan berefek terhadap perubahan aktivitas perikanan. Dengan demikian pengelolaan sumberdaya ikan tidak terlepas dari pengelolaan mangrove sebagai habitat ikan. Keterkaitan dengan perikanan budidaya mangrove-pond aquaculture linkages Selain dari sisi aktivitas perikanan tangkap nelayan, pengelolaan sumberdaya pesisir termasuk pengelolaan mangrove ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan petambak melalui pengembangan budidaya tambak. Peranan mangrove terhadap budidaya ikan di tambak sering dikaitkan dengan sistem silovofishery, empang parit ataupun tambak tumpang sari. Tim Ekosistem Mangrove 1984 menyatakan bahwa hasil dari empang parit di hutan payau Pantai Utara Jawa Barat rata-rata sebagai berikut : ikan mujair tidak ditanam sebanyak 250 kg ha -1 , udang api tidak ditanam sebanyak 140 kg ha -1 , udang peci 30 tidak ditanam sebanyak 20 kg ha -1 , ikan bandeng ditanam sebanyak 300 kg ha - 1 dan nener yang menghilang sesudah reboisasi timbul kembali. Fahrudin 1996, menunjukkan perubahan pemanfaatan lahan pesisir yang merusak hutan mangrove misalnya untuk tambak dapat mengakibatkan hilangnya komponen sumberdaya hayati lain yang terkandung di dalamnya dan sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Komponen tersebut mempunyai nilai ekonomi, sehingga perubahan hutan mangrove menjadi tambak mengakibatkan perubahan nilai ekonomi dari komponen hayati yang terkandung di dalamnya dan nilai ekonomi sumberdaya perikanan di wilayah perairan sekitarnya. Menurut Mardawati 2004 menyatakan bahwa terdapat korelasi antara kualitas lingkungan mangrove dengan produktivitas tambak. Kualitas lingkungan mangrove yang tinggi membuat lingkungan perairan tambak menjadi baik, sehingga produktivitas tambak menjadi tinggi. Dalam pola silvofishery, mangrove berperan dalam aktivitas budidaya yang menghasilkan produk sampingan berkorelasi positif, namun berkorelasi negatif dengan hasil utama dan pada akhirnya berkorelasi positif dengan direct benefit Haris et al. 2013. Widigdo 2000 menyatakan bahwa kegiatan tambak di Indonesia telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Namun selama ini kegiatan kegiatan hanya dilakukan secara tradisional yang mengandalkan alam. Intensifikasi budidaya udang baru dimulai sekitar tahun 1984 – 1986 yang antara lain disponsori oleh Pemerintah dengan membuat proyek percontohon tambak udang Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat PP TIR di Karawang. Perjalanan waktu yang telah ditempuh petambak belum membuahkan hasil yang memadai. Kegagalan demi kegagalan yang terjadi sejak tahun 1990-an masih terus menghantui petambak. Lebih lanjut Muluk 2000, pada umumnya pengembangan akuakultur dilakukan tanpa mempertimbangkan kaitan sistem produksi pembesaran dengan sistem kegiatan lain ke arah hulu dan hilir atau pun dampak positif dan negatif terhadap sektor-sektor lain. Akibatnya pengembangan akuakultur menghadapi berbagai masalah seperti konflik pemanfaatan sumberdaya alam terutama hutan, lahan dan air serta degradasi kualitas lingkungan perairan akibat pencemaran yang bersifat antropogenik dan dampak lain yang diakibatkan oleh konversi hutan mangrove untuk akuakultur. Kegagalan produksi udang di Pantura erat kaitannya dengan kerusakan lingkungan dan kerusakan lahan tambak akibat intensifikasi yang tidak terkontrol. Hingga semester pertama tahun 2000 sekitar 90 areal pertambakan menghentikan usahanya Widigdo 2000. Muluk 2000 menyampaikan solusi masalah adalah pengelolaan terpadu dengan terlebih dahulu dilakukan zonasi fungsional yang diikuti oleh pemanfaatan yang mungkin dikembangkan dan selanjutnya melakukan model pembinaan bisnis akuakultur yang dikembangkan dalam satu kawasan. Penetapan kawasan ini bersifat multiguna, baik untuk kegiatan akuakultur maupun untul kegiatan penangkapan ikan. Namun demikian, masih ada kontraversi tentang usaha tambak udang di lahan mangove. Secara produksi tidak menjanjikan kelestarian produksi, karena memiliki kelemahan Widigdo 2000 : a. Sisa pakan dan partikel tanah akan membentuk lumpur organik yang dapat mematikan udang. b. Pengolahan dasar tambak memerlukan waktu lama dan tergantung pada musim c. Sulit melakukan desinfektasi tambak secara sempurna 31 Muluk 2000 menyatakan bahwa pengembangan akuakultur di Segara Anakan dapat dilakukan melalui pola silvofishery. Hal ini dengan mempertimbangkan bahwa pengembangan akuakultur merupakan bagian integral dari pengembangan kawasan secara terpadu, wilayah peruntukan kawasan ditentukan oleh kesesuaian lahan dengan mempertimbangkan fungsi hutan mangrove. Selanjutnya, perlu dilakukan riset terapan untuk memperoleh rasio tambak dan hutan mangrove yang optimal dengan memperhatikan keuntungan bagi masyarakat dan kelestarian hutan mangrove. Primavera 2005 mengatakan bahwa mangrove merupakan kunci dalam pembangunan akuakultur berkelanjutan, yakni berperan sebagai biofilter alam, menyediakan nutrient dan rekuitmen ikan dan udang, mampu mengembangkan budidaya udang konvensional dan mengurangi implikasi sosial dan ekonomi yang negatif. Pengelolaan mangrove di tambak milik Perhutani untuk kepentingan perikanan dengan menerapkan sistem silvofishery tidak terlepas dari institusi aturan main kontrak antara petambak dengan Perhutani. Menurut Suhaeri 2005, hak pemilikan yang diterapkan dalam pengelolaan kawasan hutan mangrove tidak memberikan kepastian hak penguasaan lahan garapan, sehingga tidak mampu secara efektif mengendalikan kerusakan hutan mangrove, bahkan memberikan insentif terciptanya kebebasan akses. Ketiadaan pembatasan pemanfaatan dan pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan hutan mangrove menimbulkan perilaku pemanfaatan secara berlebihan. Nur 2002 menyatakan bahwa rasio optimum bagi pemanfaatan hutan mangrove secara lestari antara luasan tambak dengan mangrove, baik secara ekologi maupun ekonomi adalah 50 : 50 atau 60 : 40. Selama ini rasio luasan sebesar 20 : 80 yang mengakibatkan petambak meningkatkan luasan tambaknya, sehingga luasan mangrove berkurang. Selanjutnya, Suhaeri 2005 melalui pendekatan institusi menyarankan bahwa luas lahan bagi petambak yang terlibat dalam kontrak dengan Perhutani berkisar antara 1,0473 sampai dengan 3.3813 ha unit -1 garapan agar skala ekonomi lahan garapan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, pemerintah dan lingkungan. Pengelolaan Mangrove dan Degradasi Mangrove Ekosistem mangrove di beberapa bagian dunia telah mengalami penurunan yang mengakibatkan kerugian terhadap lingkungan, produk dan jasa-jasa ekonomi, termasuk produk yang dihasilkan dari hutan mangrove, sebagai pencegah banjir dan daerah asuhan bagi ikan-ikan Janssen and Padilla 1999, sehingga jasa-jasa lingkungan yang ditimbulkan oleh mangrove menurun. Islam and Haque 2004 menyatakan bahwa secara proporsional area hutan mangrove terluas berada di Asia Selatan dan Asia Tenggara dan di wilayah ini Indonesia menduduki urutan kedua setelah Bangladesh Gambar 7. Di Malaysia, berbagai aktivitas antropogenik mempengaruhi daya dukung mangrove, seperti praktek kehutanan yang tidak ramah lingkungan, budidaya tambak, pembangunan pesisir dan polusi Chong 2007. Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2008 mencapai sekitar 2,5 juta hektar yang tersebar di 6 enam wilayah, yaitu Sumatera, Jawa Bali, Nusa Tenggara, kalimantan, Sulawesi dan Maluku-Papua. Pada awal tahun 1989, hutan mangrove di Indonesia luasnya sekitar 5,2 juta hektar dengan 89 spesies tumbuhan di dalamnya Weland-IP 2008; Nontji 2001. Sejak tahun 1989 hingga 2008, luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia 32 telah menyusut sekitar 53 dengan variasi penyusutan antar wilayah sekitar 35 - 89 . Penyusutan paling tinggi terjadi di wilayah Jawa-Bali dan Kalimantan masing-masing sebesar 88,6 dan 99,9 . Kerusakan ekosistem hutan mangrove di wilayah pesisir di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Selama periode 1982 – 1993 telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari 5,21 juta ha menjadi sekitar 2,5 juta ha Dahuri 2000. Kerusakan mangrove biasanya terkait dengan kepadatan penduduk Alongi 2002. Gambar 7 Proporsi kondisi existing area mangrove di dunia dan area di Asia Selatan dan Asia Tenggara Sumber : Islam and Haque 2004 Kabupaten Indramayu termasuk salah satu wilayah yang memiliki tingkat kerusakan hutan mangrove terparah di Jawa Barat. Tecatat dari 17.782 ha hutan mangrove, 50 diantaranya tergolong rusak berat dan sekitar 8.233 ha lahan yang tercakup di dalam kecamatan dikategorikan sebagai daerah kritis. Sebagai tinjauan kasus konversi hutan mangrove menjadi lahan tambak pada tahun 1997, lahan tambak Kabupaten Indramayu seluas 10.944 ha meningkat 9,10 dari tahun 1996, sedangkan pada tahun 1998 luas areal tambak meningkat 5,23 604 ha. Tahun 2000 meningkat 11,55 1.558,26 ha dari tahun 1999 sebesar 11.939 ha. Daerah mangrove yang banyak dijadikan tambak terdapat di sekitar blok Karangkaji Desa Cangkring dan Cantigi DKP dan PKSPL 2011. Berdasarkan kecenderungan perkembangan luas lahan tambak di wilayah Kabupaten Indramayu, diduga pada tahun 2005 luas lahan budidaya tambak akan bertambah menjadi 16.154,12 ha Satria et al. 2002. Degradasi yang terjadi di samping karena pengaruh abrasi juga karena adanya tekanan penduduk dan aktivitas pembangunan yang terus meningkat Gumilar 2010. Dengan demikian memahami degradasi mangrove menjadi penting mengingat efeknya terhadap aktivitas perikanan tangkap dan aktivitas perikanan budidaya tambak. Oleh karena itu pengelolaan terhadap mangrove diperlukan dalam rangka mendukung aktivitas perikanan tangkap dan budidaya tambak. 33 Pengelolaan Perikanan Tangkap dan Degradasi Sumberdaya Ikan. Hilborn et al. 2005 menyatakan bahwa p erikanan tangkap dikelola dalam rentang struktur institusi yang luas. Sistem pengelolaan perikanan yang kurang berhasil berada dalam kondisi open access, top down control dengan pengawasan dan regulasi implementasi serta bersandar pada konsensus yang kurang, sedangkan sistem yang dirasakan berhasil berada dalam rentang partisipasi lokal dan kontrol yang kuat dari pamerintah dengan berbagai variasi bentuk hak kepemilikan yang disertai dengan sistem kelembagaan yang menyediakan insentif bagi individu agar secara konsisten berprilaku dalam upaya konservasi. Wiyono 2011 menyatakan bahwa perikanan pantai dewasa ini telah mengalami tekanan yang hebat. Beberapa spesies ikan telah punah dan hasil tangkapan ikan semakin menurun. Di sisi lain, jumlah nelayan miskin yang menggantungkan kehidupannya dari perikanan pantai mengalami peningkatan. Akibatnya, konflik pemanfaatan dan degradasi sumberdaya ikan di daerah pantai semakin meningkat dan tidak bisa dihindarkan. Mengacu kepada pendapat Wiyono tersebut, persoalan degradasi tidak terlepas dari situasi open access dan kebijakan perikanan yang yang tidak dapat mengendalikan upaya penangkapan. Mahon 1997 dalam Wiyono 2011 menyatakan bahwa penerapan pendekatan konvensional manajemen perikanan yang pada awalnya dikembangkan untuk mendukung manajemen spesies tunggal telah diyakani tidak cocok untuk diterapkan pada perikanan multispesies skala kecil di daerah tropis. Demikian juga menurut Ruddle and Hickey 2008, terdapat mismanagement perikanan sekitar pantai di daerah tropik tropical nearshore fishery dalam mengimplementasikan program yang mengaplikasikan pendekatan dan model Barat. Tragedy of the commons merupakan kesulitan dalam pengelolaan perairan pesisir, sementara konsep local commons dapat menerapkan lau t pantai sebagai ‗own garden‘ yang menjadi tanggungjawabnya, termasuk ikan yang terkandung dalam perairan tersebut untuk dimanfaatkan untuk kepentingannya dan kepentingan generasi mendatang Arimoto 2011. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu menunjukkan kurang berkelanjutan dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan, yang salah satu penyebabnya adalah rusaknya ekosistem mangrove Hamdan 2007. Dengan kondisi demikian, perikanan skala kecil menjadi sensitif karena eksploitasi biasanya dilakukan di sekitar pantai yang menjadi wilayah kritis bagi keberlanjutan stok sumberdaya ikan. Lebih lanjut Hamdan 2007 menyatakan bahwa terjadinya penangkapan ikan secara berlebihan disebabkan oleh : 1 Meningkatnya jumlah penduduk, sehingga meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya ikan akibat kegiatan perikanan tangkap 2 Perikanan tangkap bersifat akses terbuka, sehingga setiap orang berhak untuk melakukan penangkapan secara bebas 3 Gagalnya pengelolaan perikanan. Dalam konteks pengelolaan perikanan skala kecil, Cinner et al 2013 menyatakan bahwa perlunya pendekatan institusi untuk mengatasi problem klasik perikanan seperti kegagalan dalam tata kelola, stock ikan yang collaps dan mengurangi kemiskinan. 34 Penilaian Keterkaitan Mangrove-Perikanan : Pendekatan Bioekonomi Bioekonomi Perikanan Analisis bioekonomi perikanan merupakan kombinasi antara analisis biologi dan analisis ekonomi yang dapat digunakan untuk memahami pengelolaan perikanan Fauzi 2010. Pengelolaan sumberdaya ikan pada awalnya didasarkan pada konsep hasil maksimum yang lestari Maximum Sustainable YieldMSY. Inti dari konsep ini adalah bahwa setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksi surplus, sehingga apabila surplus ini dipanen tidak lebih dan tidak kurang, maka stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan. Dengan kata lain konsep ini hanya mempertimbangkan faktor biolagi ikan semata Fauzi, 2004. Aspek biologi lebih ditujukkan pada aspek pertumbuhan ikan yang menjadi dasar teori bioekonomi perikanan dan persamaan yang menggambarkan pertumbuhan populasi yang sederhana adalah Fauzi 2010 : t rx t x    2.1 Solusi dari persamaan 2.1 akan menghasilkan besaran stok ikan pada periode t x t sebesar xt=x e rt dimana x adalah stok ikan pada periode awal dan r laju pertumbuhan. Untuk penyederhanaan aspek bologi stok didekati dengan model pertumbuhan ikan yang bersifat density dependent 8 yang secara matetamatis ditulis menjadi : x x x F t   1 2.2 dan jika persamaan 2.2 ditulis dalam bentuk persamaan kontinyu menjadi : x F t x    2.3 yang merupakan persamaan logistik umum. Salah satu bentuk yang dapat menggambarkan pertumbuhan seperti persamaan 2.3 adalah bentuk persamaan 2.1 sehingga persamaan 2.1 ditulis kembali menjadi persamaan : x F rx t x     2.4 Dengan asumsi bahwa pertumbuhan dibatasi oleh faktor lingkungan, seperti ruang, ketersediaan makanan, penyakit dan lain-lain dan nilai r tergantung dari variasi stok, maka persamaan 2.4 menjadi : x F x x r t x     2.5 atau : x x F x r  2.6 8 Diartikan sebagai pertumbuhan populasi dalam setiap periode bervariasi terhadap ukuran populasi pada periode awal. Dengan demikian stok ikan pada periode t+1diasumsikan ditentukan oleh pertumbuhan pada periode t dan ditulis FX t dan stok ikan pada periode t adalah X t . 35 Persamaan 2.6 menunjukkan rx fungsi yang menurun terhadap x dan merupakan pertumbuhan logistik yang dikenal dengan istilah pure compensation. Salah satu bentuk rx yang menurun terhadap X karena adanya faktor daya dukung lingkungan K adalah persamaan : K rx r x r   2.7 Dengan memasukkan persamaan 2.7 ke dalam persamaan 2.5 diperoleh persamaan : 1 K x rx x F t x      2.8 Persamaan 2.8 merupakan persamaan pure compensation yang dikenal dengan pertumbuhan logistik yang dipertama dikenalkan oleh Verhulst pada tahun 1838 dan digunakan untuk perikanan oleh Graham pada tahun 1935. Bentuk kurva logistik memiliki sifat konvergensi ke arah daya dukung Fauzi 2010 yang dilihat pada Gambar 8. Gambar 8 Kurva pertumbuhan logistik Dari persamaan 2.8 dan Gambar 8 dapat dijelaskan bahwa dalam kondisi keseimbangan alami akan terjadi pada saat laju pertumbuhan sama dengan nol t x   = 0 dan ikan stok akan sama dengan daya dukung. Daya dukung lingkungan sangat dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik r : semakin tinggi nilai r akan semakin cepat tercapainya K. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi K2 dan stok ikan K2 pada tingkat ini disebut sebagai Maximum Sustainable Yield atau MSY. Persamaan 2.1 sampai dengan persamaan 2.8 hanya menjabarkan aspek biologi perikanan dan langkah selanjutnya adalah mempertimbangkan aspek intervensi manusia dalam bentuk aktivitas memanfaatkan sumberdaya ikan dengan menggunakan input produksi. Fungsi pemanfaatan produksi perikanan yang digunakan adalah persamaan : qxE h  2.9. dimana : h = produksi perikanan q = koefisien daya tangkap Fx x K 36 x = stok ikan E = upaya penangkapan effort Dengan adanya aktivitas nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya, maka dinamika stok ikan menjadi : h K x rx x F t x             1 2.10 qxE K x rx x F t x             1 2.11 Dengan asumsi bahwa dalam kondisi keseimbangan jangka panjang perubahan stok adalah konstan, maka t x   = 0, sehingga penyederhanaan persamaan 2.11 dapat menjadi persamaan stok :         r qE K x 1 2.12 Selanjutnya, persamaan 2.12 disubstitusikan ke dalam persamaan 2.9, sehingga diperoleh persamaan produksi Schaefer yang dikenal dengan persamaan yield-effort lestari sebagai berikut :         r qE qKE h 1 2.13 Dari persamaan 2.13 dihasilkan kurva yield-effort lestari yang dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Kurva yield-effort lestari Fauzi, 2010 Dari uraian di atas tampak bahwa pengelolaan sumberdaya ikan dengan pendekatan MSY Maximum Sustainable Yield oleh Schaefer hanya dilihat dari aspek biologi saja. Pengelolaan perikanan belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan, apabila berorientasi pada manusia. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan dengan konsep ekonomi yang berpendapat bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan pada dasarnya adalah untuk menghasilkan Yield Effort E Max E MSY h MSY MSY 37 pendapatan dan bukan semata-mata untuk menghasilkan ikan. Kritik yang paling mendasar adalah karena pendekatan MSY tidak mempertimbangkan sama sekali aspek sosial ekonomi pengelolaan sumberdaya alam Fauzi, 2004. Uraian selanjutnya akan dibahas aspek ekonomi dalam pengelolaan perikanan yang dikembangkan oleh Gordon 1984 dengan dasar model biologi Schaefer, sehingga dikenal dengan model Gordon- Schaefer yang didasarkan pada asumsi : 1 Harga per satuan output p diasumsikan konstan atau kurva permintaan yang elastis sempurna; 2 Biaya per satuan upaya c dianggap konstan 3 Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal 4 Struktur pasar bersifat kompetitif 5 Nelayan adalah price taker 6 Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan. Bioekonomi Interaksi Habitat Mangrove dengan Perikanan Bioekonomi interaksi mangrove dan perikanan antara lain ditulis oleh Barbier and Strand 1997, Barbier 2000, 2003, Mykoniatis and Ready 2013 dan dalam tulisan tersebut mangrove berfungsi sebagai habitat esensial breeding dan nursery ground. Dalam model ini mengadopsi model bioekonomi perikanan yang mengasumsikan bahwa efek perubahan mangrove akan mempengaruhi daya dukung stock dan selanjutnya secara tidak langsung akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan. Model interaksi habitat-perikanan diawali dengan mengemukakan fungsi pertumbuhan ikanudang mengikuti fungsi logistik persamaan 2.8 dan fungsi pemanfaatan yang mengikuti fungsi produksi Schaefer Persamaan 2.9. Model habitat esensial mengasumsikan hubungan proporsional antara Mangrove M dan daya dukung lingkungan K atau KM = αM, α 0. 2.14 Untuk mengunakan model habitat esensial diperlukan informasi awal tentang habitat tersebut dan kepentingannya dengan perikanan Mykoniatis and Ready 2013. Apabila tidak ada informasi tentang adanya keterkaitan antara habitat dan perikanan, maka perlu menggunakan model habitat fakultatif. Peranan mangrove sebagai habitat fakultatif dikembangkan oleh Foley et al 2009, Foley et al 2012 dan Mykoniatis and Ready 2013. Model habitat fakultatif mengasumsikan hubungan linear antara mangrove M dengan pertumbuhan intrinsik dan daya dukung ikan K untuk ikan diasumsikan : KM = K + µM 2.15 Dari persamaan tersebut terdapat 3 tiga bentuk hubungan antara mangrove dengan perikanan, yaitu : i Jika mangrove adalah habitat fakultatif untuk ikan, maka K0 and µ0. Habitat fakultative berarti juga jika M=0, maka spesies ikan tidak menunjukkan kondisi langka dan masih mempunyai daya dukung sebesar K. Koefisien µ menunjukan efek mangrove terhadap laju pertumbuhan intrinsik dan daya dukung ikan pada perairan sekitar pantai. ii Jika K=0 dan µ0, maka KM= µM dan M adalah habitat esensial, karena bila M=0, maka stock ikan akan langka. 38 iii Jika µ=0, maka keberadaan mangrove tidak berpengaruh terhadap stock ikan. Kebijakan dan Institusi Pengelolaan serta Performanya Kebijakan Istilah kebijakan mempunyai pengertian yang tidak homogen. Selain mengandung istilah yang bersifat tekstual juga lebih bersifat kontekstual karena dari waktu ke waktu mengalami perubahan Wahab 2008. Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn diacu dalam Wahab 2008 mengelompokkan ragam istilah kebijakan dalam 10 macam, yaitu 1 kebijakan sebagai sebuah label atau merk bagi suatu kegiatan pemerintah, 2 kebijakan sebagai suatu pernyataan mengenai tujuan umum atau keadaan tertentu yang dikehendaki, 3 kebijakan sebagai usulan-usulan khusus, 4 kebijakan sebagai keputusan-keputusan pemerintah, 5 kebijakan sebagai bentuk otoritas atau pengesahan formal, 6 kebijakan sebagai program, 7 kebijakan sebagai output, 8 kebijakan sebagai hasil akhir, 9 kebijakan sebagai teori atau model dan 10 kebijakan sebagai proses. Selanjutnya, menurut Suharto 2010 kebijakan merupakan suatu perangkat pedoman yang memberikan arah terhadap pelaksanaan strategi-strategi pembangunan dan fungsi kebijakan di sini adalah untuk memberikan rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Dalam konteks sistem dinamis Muhammadi et al 2001, kebijakan adalah suatu upaya atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Upaya dan tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja sebuah sistem. Oleh karena sasarannya adalah mempengaruhi sistem, maka tindakan tersebut bersifat strategis, yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh. Kebijakan adalah seperangkat pernyataan strategis yang didukung oleh fakta Suharto 2010. Sehubungan dengan adanya masalah kebijakan, maka analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kebijakan karena sebagai kegiatan terapan akademik yang ditujukan untuk membantu memecahkan masalah kebijakan Wahab 2008 bagi pembuat kebijakan Wahab 2008 dengan tahapan perumusan masalah definisi, peramalan prediksi, rekomendasi preskripsi, pemantauan deskripsi dan evaluasi Dunn 2002. Analisis kebijakan dipahami sebagai proses untuk menghasilkan pengetahuan mengenai dan dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa informasi yang dapat digunakan untuk menguji pertimbangan yang mendasar setiap pemecahan masalah praktis yang dihadapi masyarakat luas Muhammad 2011. Definisi analisis kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metoda penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan pada tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan Dunn 2003. Selanjutnya, Muhammad 2011 menyatakan bahwa dalam analisis kebijakan selain menghasilkan fakta juga untuk menghasilkan nilai dan arah tindakan yang lebih baik. Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja 39 kebijakan dan program publik Dunn 2003. Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen yang masuk akal Dunn 2003 untuk mempengaruhi prilaku manusia terkait dengan kebijakan tertentu Muhammad 2011 mengenai 3 hal, yaitu i nilai; yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi; ii fakta, yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai dan iii tindakan, yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. Informasi yang dihasilkan dari analisis kebijakan dapat menjadi landasan para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Dunn 2003 menyatakan bahwa proses pembuatan kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri atas i penyusunan agenda, ii formulasi kebijakan, iii adopsi kebijakan, iv implementasi kebijakan dan v penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan yang tergantung pada tipe masalah yang dihadapi. Selanjutnya Dunn 2003 menegaskan bahwa dalam kebijakan diperlukan informasi yang relevan policy- relevant information guna mengatasi masalah publik yang meliputi i masalah kebijakan : menjawab pertanyaan apa hakekat permasalahan; ii masa depan kebijakan : menjawab pertanyaan kebijakan apa yang sedang atau pernah dibuat untuk mengatasi masalah dan apa hasilnya; iii aksi kebijakan : menjawab pertanyaan seberapa bermakna hasil tersebut dalam memecahkan masalah; iv hasil kebijakan : menjawab alternatif kebijakan apa yang tersedia untuk menjawab permasalahan dan v kinerja kebijakan : menjawab hasil apa yang dapat diharapkan. Informasi yang relevan akan menjadi pengetahuan setelah melalui argumentasi dan debat kebijakan. Terkait dengan informasi yang relevan dengan kebijakan tersebut maka diperlukan suatu prosedur analisis kebijakan yang tepat. Terdapat 5 lima prosedur analisis kebijakan yang ditujukan untuk pemecahan masalah Dunn 2003, yaitu i perumusan masalah definisi : menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan; ii pemantauan deskripsi: menghasilkan informasi tentang sebab-sebab masa lalu dan akibat diterapkannya suatu kebijakan; iii peramalan prediksi : menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan alternatif kebijakan, termasuk tidak melakukan sesuatu; iv evaluasi : menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah atau suatu kebijakan di masa lalu maupun masa mendatang; v rekomendasi preskripsi: menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah atau tindakan di masa depan. Tahapan ii sampai dengan v mempunyai hubungan secara hirarki dan dinamis, yang berarti perlunya melakukan tahapan tertentu terlebih dahulu sebelum melakukan tahapan yang lain, misalnya sebelum melakukan prediksi terlebih dahulu perlu melakukan deskripsi, sebelum melakukan evaluasi terlebih dahulu perlu melakukan deskripsi dan sebelum melakukan preskripsi terlebih dahulu perlu melakukan deskripsi, prediksi dan evaluasi. Untuk metode i merupakan meta- metode metode dari metode yang mempengaruhi penggunaan keempat tahapan yang lainnya metode pemecahan masalah, sehingga metode-metode perumusan masalah tersebut dapat berperan sebagai pengatur utama seluruh proses analisis kebijakan. 40 Penelitian kebijakan tidak terlepas dari pendekatan yang memandang kebijakan sebagai suatu sistem. Dunn 2003 menyatakan bahwa suatu sistem kebijakan policy system terdapat 3 unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Subroto 2011 menekankan adanya kesenjangan antara teori tahapan kebijakan dengan kompleksitas situasi nyata dalam proses pembuatan kebijakan, sehingga diperlukan pendekatan sistem. Dalam konteks penelitian, kebijakan publik public policy merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan pengelolaan mangrove, misalnya rehabilitasi mangrove. Pelaku kebijakan policy stakeholders merupakan kelompok masyarakat, instansi pemerintah, badan-badan usaha dan analis kebijakan yang mempunyai andil dalam kebijakan karena keberadaannya dipengaruhi dan mempengaruhi kebijakan tindakan pemerintah dalam pengelolaan mangrove. Lingkungan kebijakan policy environment konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekililing isu kebijakan terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik, misalnya kemiskinan masyarakat pesisir, konflik tanah timbul, koordinasi, dan penegakan hukum. Dalam riset kebijakan diperlukan berpikir sintesis. Eriyatno dan Sofyar 2007 menyatakan bahwa berpikir sintesis akan menjadi lebih dikenal sebagai pendekatan riset bagi pengembangan dan peningkatan kualitas kebijakan publik. Penguasaan pengetahuan interdisiplin menjadi penting. Pendekatan sintesis yang semakin besar peranannya bagi pengembangan masa mendatang harus menggunakan pendekatan sistem yang mempunyai karakteristik integration, interdiciplinarity, interconnectivity, imaginative dan holistic. Selanjutnya, Danin 2005 menyatakan bahwa bahwa penelitian kebijakan policy research tercakup dalam kelompok penelitian terapan dengan tujuan mendapatkan hasil segera, yaitu tersusunnya rekomendasi yang diperlukan oleh pengambil kebijakan. Dalam penelitian kebijakan, peran dari peneliti kebijakan menjadi penting. Eriyatno dan Sofyar 2007 menyatakan bahwa di bidang penelitian kebijakan publik, para peneliti hasus terlibat langsung dan mendalami proses sintesis, karena peran pemerintah dan masyarakat secara umum akan meningkat, terutama dalam pengendalian dan penentuan berbagai aturan atau ketentuan dari model konseptual serta manajemen publik. Danin 2005 menyatakan bahwa kebijakan dalam latar penelitian kebijakan diartikan sebagai tindakan-tindakan yang dimaksudkan untuk memecahkan masalah. Pemecahan masalah oleh pengambil keputusaan dalam hal ini dilakukan atas dasar rekomendasi yang dibuat peneliti kebijakan. Kebijakan yang dihasilkan dipandang sebagai obyek study. Selanjutnya, Eriyatno dan Sofyar 2007 menyatakan bahwa peneliti untuk mengembangkan kebijakan, harus dapat memahami bagaimana membangun kebijakan secara komperhensif atau pun kebijakan yang smart dengan teknik berbasis pengetahuan merumuskan konsepesi instrument pembangunan berkelanjutan dan pencegahan dampak melalui pemikiran yang sintesis. Hasil riset kebijakan yang efektif adalah upaya yang konkrit untuk mencapai tujuan dari sistem yang dikaji. Hasil riset harus mampu mewujudkan harapan-harapan normatif menjadi strategi tindakan yang diperlukan dalam kebijakan. Selanjutnya, dalam penelitian ini akan mengembangkan 3 tiga unsur dari sistem kebijakan menjadi 5 lima unsur atau elemen kebijakan dari sistem kebijakan, yaitu : elemen masalah kebijakan policy problem, elemen tujuan 41 kebijakan policy goals, elemen lingkungan kebijakan environmental policy, elemen tindakan kebijakan action policy dan elemen pelaku kebijakan policy stakeholders . Justifikasi dikembangkannya elemen masalah kebijakan dan tujuan kebijakan sebagai bagian dari sistem kebijakan adalah sebagai berikut : a. Elemen masalah kebijakan; hal ini karena dalam analisis kebijakan bertujuan untuk mencari solusi masalah, sehingga perlu diidentifikasikan dan dianalisis masalah dan penyebab masalah. Perumusan masalah merupakan tahap awal dalam analisis kebijakan. Kebijakan menurut Titmuss dalam Suharto 2010 senantiasa berorientasi kepada masalah problem-oriented dan berorientasi kepada tindakan action-oriented. b. Elemen tujuan kebijakan; dalam pendekatan sistem selalu berorientasi pada tujuan sibernetik Marimin 2004; Eriyatno 2014, sehingga dalam melakukan desain kebijakan penetapan elemen tujuan kebijakan menjadi penting. Institusi kelembagaan Institusi memberikan kesempatan kepada individu atau pun organisasi untuk bertindak. Institusi yang dimaksud baik berupa peraturan formal, sepeti undang- undang, peraturan pemerintah maupun peraturan informal, seperti konsensus, kebiasaan, adat dan lain-lain. Menurut Schmid 1987 bahwa institusi merupakan sekumpulan aturan hubungan yang berlaku di antara anggota-anggota masyarakat yang telah mendefinisikan hak-haknya, hak-hak orang lain, hak-hak istimewa serta tanggung jawabnya Selanjutnya, Pakpahan 1989 menyatakan bahwa institusi atau kelembagaan adalah sistem organisasi dan kontrol terhadap sumberdaya dan dipandang dari sudut individu, kelembagaan merupakan gugus kesempatan bagi individu dalam membuat keputusan dan melaksanakan aktivitasnya. Institusi mencakup aturan formal dan aturan informal North 1990; Chavance 2009. Suatu kelembagaan dicirikan oleh 3 tiga hal utama, yaitu batas jurusdiksi, property right dan aturan representasi. Perubahan kelembagaan dicirikan oleh satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut, oleh karena itu untuk melihat dampak perubahan alternatif kelembagaan perlu diketahui unsur-unsur kelembagaan tersebut. Soedomo 2013 menjelaskan bahwa dalam konteks teori permainan institusi dapat bermakna organisasi, aturan main eksogenus dan keseimbangan dari suatu interaksi permainan sosial endogenus. Batas Kewenangan Schmid 1987 menjelaskan bahwa batas kewenangan diartikan sebagai batas wilayah kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sumberdaya. Batas jurisdiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam masyarakat. Pakpahan 1989. Dalam konteks Undang-Undang otonomi daerah akan menentukan wilayah kewenangan pemerintah kabupaten, kabupaten dan pusat terhadap wilayah perairan laut. batas kewenangan ditentukan oleh perasaan sebagai satu masyarakat, eksternalitas, homogenitas kesamaan keinginan dan skala ekonomi Schmid 1987. Dalam konteks penelitian ini, Perhutani, Pemerintah Daerah dan masyarakat memiliki batas kewenangan atas area wilayah, laham yang dikelolanya. 42 Hak kepemilikan Hak kepemilikan menunjuk pada makna sosial Schmid 1987, hak-hak individu untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya Eggertsson 1990, muncul dari konsep hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum, adat, tradisi atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya Pakpahan 1989. Kepemilikan ownership mencerminkan hak milik yang merupakan sumber kekuatan power untuk mengakses dan mengontrol sumberdaya lahan pesisir. Hak milik merupakan hak yang paling penuh dan paling kuat atas tanah yang dimiliki, dapat diwariskan turun temurun dan dapat dipindahkan kepada pihak lain. Hak kepemilikan dapat diperoleh melalui mekanisme pasar atau transaksi jual beli, mekanisme pemberian dan mekanisme adminstratif Schmid 1987, Pakpahan 1989. Dengan demikian cara mendapatkan hak milik lahan pesisir bisa diakibatkan karena i peralihan, beralih atau dialihkan warisan, jual beli, hibah, ii menurut hukum adat, karena penetapan pemerintah dan undang- undang. Selain bermakna hukum kekuatan hukum, hak kepemilikan mengandung juga makna sosial berupa adanya pengakuan dan kesaksian dari masyarakat. Kepemilikan lahan dalam penelitian ini mengandung juga makna penguasaan artinya pemilik lahan memiliki tanah dengan menguasainya dan tidak menelantarkan tanahnya secara sengaja. Dengan demikian konsepsi kepemilikan lahan pesisir adalah pemilikan tanah dengan dasar penguasaan atas tanah, yang ditunjukkan dengan adanya bukti fisik penguasaan fisik maupun bukti yuridis penguasaan yuridis, sehingga kepunyaan atas lahan bersifat perdata. Sewa, gadai dan hak garap secara yuridis penyewa dan penggarap tidak memiliki lahan, tapi menguasai secara fisik dan pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya. Dengan demikian sewa, gadai dan hak garap merupakan hak atas tanah yang sifatnya sementara. Hal yang berbeda adalah tanah yang dijaminkan, sehingga secara yuridis pemilik tidak menguasai tanah, tetapi secara fisik si pemilik tetap menguasi dan menggarap lahan. ―Menguasai‖ secara fisik dan yuridis merupakan unsur penting dari hak milik artinya si pemilik tanah dapat menyewakan, menggadaikan, meminjamkan, menukarkan, menghibahkan, dan menjual tanah menurut kehendaknya. Eggertsson 1990 menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan hak individu untuk memanfaatkan sumberdaya. Property right menunjuk pada hak-hak khusus untuk memanfatkan, mengontrol dan mempertukatkan aset Bromley 1991. Hak kepemilikan property right merupakan kumpulan hak-hak bundle of right yang diatur oleh aturan tertentu, sehingga Schmid 1987, North 1990 dan Eggertsson 1990 menyatakan bahwa hak kepemilikan merupakan institusi, karena di dalamnya mengandung norma-norma dan aturan main pemanfaatan dan merupakan alat pengatur hubungan antar individu. Ketegasan property right memungkinkan suatu barang dan jasa : i dapat diperjualbelikan tradeable; 2 dapat dipindahtangankan transferable; 3 dapat mengeluarkan pihak yang tidak berhak excludable dan 4 dapat ditegakkan enforceable dan dengan demikian transaksi melalui mekanisme pasar dapat dilakukan, menyewakan, bagi hasil sharing system ataupun kontrak-kontrak lainnya. Di Indramayu tidak ada lahan bermangrove yang bersifat open acces, kecuali tanah timbul yang secara the facto adalah open acces, sehingga perebutan lahan sering terjadi antar individu, 43 antar individu dan desa, antar individu dan Perhutani. Hal ini berarti lahan mangrove ada kejelasan kepemilikannya, namun karena kesulitan dalam melakukan penegakan hak-hak enforceable mengingat luasnya lahan Perhutani serta kelembagaan kontrak yang belum menjamin insentif keuntungan bagi Petambak, maka penebangan mangrove tetap terjadi. Dalam konteks penelitian ini, Perhutani, Pemerintah Daerah dan masyarakat memiliki hak-hak kepemilikan dan penguasan atas lahan yang dikelolanya baik melalui mekanisme administratif, pembelian maupun pemberian. Aturan representasi Aturan representasi mengatur siapa yang berhak terlibat atau berpartisipasi dalam suatu proses pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil akan berakibat terhadap performa. Aturan representasi akan mempengaruhi biaya membuat keputusan, sehingga akan mempengaruhi nilai output. Institusi dimaksudkan untuk mengurangi ketidakpastian North 1990. Dalam konteks penelitian ini, Perhutani dan petambak memiliki aturan representasi dalam pengelolaan tambak wana mina. Dari analisis kelembagaan misalnya kelembagaan kontrak selanjutnya dapat ditujukan untuk kebijakan sebagai narasi kebijakan. Artinya kebijakan intstitusi formal yang dibuat perlu analisis institusi kontrak. Dengan perkataan lain akan mengeksplorasi peran ilmu kelembagaan dalam menelaah proses pembuatan kebijakan pengelolaan mangrove dan pembuat kebijakan pengelolaan perikanan. Proses pembuatan kebijakan 9 membutuhkan analisis kebijakan yang menghasilkan informasi yang relevan. Dengan demikian terjadinya performa yang tidak diharapakan bersumber dari permasalahan institusi. Melalui cara pandang peran institusi terhadap persoalan perikanan yang tidak semata-mata hanya memandang persoalan kebijakan input dan output, tetapi juga memandang persoalaan pengelolaan mangrove dimana perikanan bergantung pada habitat mangrove tersebut dalam memproduksi nutrien dan habitat bagi ikan. Pada akhirnya, analisis institusi yang masuk ke dalam proses pembuatan kebijakan akan dapat memandang persoalan menjadi lebih sesuai dengan fakta yang dihadapi. Performa Kebijakan dan Kelembagaan Pengelolaan : Sustainability Performa pengelolaan hutan mangrove yang diindikasikan masih adanya degradasi dan belum mendukung aktivitas perikanan menunjukkan institusi yang ada tidak mampu mengendalikan hubungan saling ketergantungan antar manusia dengan mangrove. Tujuan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir yang dikaji adalah untuk mencapai performa keberlanjutan pengelolaan. Makna keberlanjutan secara resmi muncul sejak The World Commission on Environment and Development WCED; Komisi yang dibentuk PBB tahun 1983 dan diketuai Gro Brutland Perdana Menteri Norwegia mulai diskusi dan menginisiasi sustainable development . Laporan Komisi Brundtland tahun 1987 mendefinisikan 9 Proses pembuatan kebijakan merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri atas i penyusunan agenda, ii formulasi kebijakan, iii adopsi kebijakan, iv implementasi kebijakan dan v penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan yang tergantung pada tipe masalah yang dihadapi Dunn 2003. 44 susatainable development sebagai ‗pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kesempatan generasi untuk memenuhi kebutuhannya‘. Menurut Komisi Brundland, pembangunan bekerkelanjutan harus bersandarkan pada kemauan politik pemerintah terhadap keputusan yang dibuatnya. Komponen pembangunan berkelanjutan merupakan triple bottom line yang terdiri dari 3 tiga pendekatan, yaitu : 1. Ekonomi : maksimasi pendapatan dengan menjaga konstan ataupun kenaikan stok kapital 2. Ekologi : menjaga daya resiliansi dan ketahanan sistem biofisik. 3. Sosiokultur : menjaga stabilitas sistem sosiokultur. Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pengeloaan sumberdaya perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan masyarakat perikanan itu sendiri Fauzi dan Anna 2005. Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi biologi ke paradigma rasionalisasi ekonomi kemudian ke paradigma sosialkomunitas. Namun menurut Charles 1994 ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pandangan pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek : - Ecological sustainability keberlanjutan ekologi. Dalam padangan ini Charles 1994 perlu mempertahankan stokbiomas, sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. - Socioeconomic sustainability keberlanjutan sosial-ekonomi. Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan perkataan lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan ini. - Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. - Institutional sustainability keberlanjutan kelembagaan. Dalam kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasayarat ketiga pembangunan keberlanjutan di atas. Keberlanjutan dalam penelitian ini adalah tidak terjadinya degradasi mangrove dan degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai yang berimplikasi terhadap penurunan produksi tambak tradisional dan perikanan tangkap tradisional yang keduanya merupakan usaha sebagian besar petambak dan nelayan. Selanjutnya, melalui desain atau penataan kebijakan institusi yang mampu megendalikan degradasi pada akhirnya akan berimplikasi terhadap socioeconomic sustainability dan community sustainability. Asumsi yang digunakan adalah bahwa suatu kebijakan institusi yang diterapkan akan berkelanjutan sepanjang menujukkan performa ecological sustainability socioeconomic sustainability dan community sustainability. 45 Pentingnya`penataan kebijakan kelembagaan dalam menghasilkan performa yang baik ditegaskan oleh Pakpahan 1989 yang mendefinisikannya sebagai rekayasa kelembagaan atau rekayasa sosial atau restrukturisasi kelembagaan, yaitu upaya melakukan perubahan struktur kelembagaan yang mengatur alokasi sumberdaya untuk mencapai performa yang dikehendaki. Dengan demikian rekayasa sosial dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan mengenai kelembagaan atau institusi yand ditujukan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi. Goldsmith dan Brinkerhoff 1990 lebih menyoroti institusi dan keberlanjutan institusi dalam pembangunan pertanian dan perdesaan. Keberlanjutan kelembagaan yang dimaksud adalah terkait dengan istilah keberlanjutan dalam konteks system yang dilihat dari performa yang dihasilkan. Persoalan sumberdaya alam dan lingkungan, seperti deplesi, degradasi dan depresiasi merupakan persoalan kebijakan institusi. Menurut Rustiadi dan Utara 2006, dampak kelembagaan dalam berbagai degradasi sumberdaya jelas terlihat terutama pada sumberdaya yang memilki karakteristik common pool resources. Penelitian sebagaimana dilakukan Torras and Boyce 1998 dan Katharina 2007 menjadi penegas bahwa degradasi sumberdaya dan lingkungan bukan semata- mata masalah fisik dan ekonomi, namun lebih pada masalah kelembagaan. Senada dengan pernyataan Keraf 2002 bahwa masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, persoalan prilaku. Prilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri. Skema kelembagaan property right yang ada telah menimbulkan masalah terhadap matapencaharian penduduk dan lingkungan. Permasalahan sehubungan otonomi daerah dibutuhkan regulasi di tingkat daerah guna mengakselerasinya Rustandi, Saefulhakim dan Panuju 2011. Penelitian-Penelitian Sebelumnya Referensi penelitian selama ini hanya bersifat parsial dan tidak menggunakan pendekatan integratif dengan memadukan pendekatan analisis degradasi model keterkaitan mangrove-fishery, pendekatan sistem dan analisis kebijakankelembagaan, yakni : a. Nur 2002 meneliti pemanfaatan hutan mangrove secara lestari; Salah satu pemanfaatan hutan mangrove untuk perikanan adalah tambak tumpangsari silvofishery dengan rasio luasan antara tambak dan mangrove sesuai dengan ketentuan Perhutani adalah 20 : 80. Ketentuan ini sulit diimplementasikan karena ketentuan tersebut lebih menekankan aspek ekologi konservasi dan kurang memperhatikan nilai ekonominya, sehingga petambak cenderung meningkatkan luasan tambaknya. Nilai optimum berdasarkan skenario pembobotan parameter ekologi dan ekonomi didapatkan rasio 50 : 50 dan 60 : 40. Nilai rasio ini merupakan nilai optimum bagi pemanfaatan hutan mangrove secara lestari, baik secara ekologi maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa petambak diperbolehkan meningkatkan luas tambak sampai 50 atau 60 dari luas total mangrove untuk meningkatkan keuntungan ekonomi dengan tetap mempertahankan ekosistem mangrove secara lestari. Jika luas tambak lebih dari 80 luas total mangrove, maka eksosistem mangrove tidak akan mampu mendukung sistem kehidupan secara lestari dan kerusakan persisir tidak dapat dihindarkan. 46 b. Hamdan 2007 menganalisis kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, yang menyatakan bahwa pengelolaan perikanan tangkap di Indramayu dengan metode rappfish menunjukan ‗kurang‘ berkelanjutan; c. Sunari 2009 meneliti tentang kebijakan pengembangan ekowisata, yang menyatakan bahwa wilayah pesisir dapat dikembangkan untuk kegiatan ekoswisata, termasuk ekowisata berbasis hutan mangrove dan metode yang digunakan adalah kelayakan pengembangan ekowisata; d. Gumilar 2010 menjelaskan bahwa upaya restorasi pengelolaan hutan mangrove di wilayah pesisir Indramayu cukup berat mengingat banyak faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaannya baik secara ekologis maupun sosial. Masalah prilaku manusia sebagai bagian dari aspek sosial merupakan ancaman yang paling penting bagi keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dan metode yang digunakan adalah AHP. e. Rangkuti 2013 menjelaskan bahwa penutupan mangrove memberikan kontribusi yang nyata terhadap hasil tangkapan udang harian selang kepercayaan 99. Dalam konteks perbaikan pengelolaan minawana disarrankan setidaknya fokus terhadap kelembagaan yakni sistem organisasi dan aturan main. Perbaikan dalam struktur organisasi pengelolaan minawana menjadi langkah pertama dalam perbaikan pengelolaan. Perhutani perlu memberikan kewenangan terhadap LMDH sebagai organisasi resmi yang mengatur pengelolaan di lapangan. Langkah selanjutnya adalah perbaikan pengelolaan minawana dengan perbaikan aturan main dalam pengelolaan. Selanjutnya, mempertegas penegakan hukum dan penerapan sanksi menjadi point penting dalam pengelolaan minawana. Oleh karena itu, pencabutan hak garap akan memberikan efek jera bagi pelaku pelanggaran. f. MacDaugall 1999 menganalisis adanya trade off antara jasa-jasa ekosistem yang dihasilkan mangrove sebagai input tambak dan sebagai lokasi produksi tambak yang menghasilkan udang di the Bahia Almirante, Bocas Del Toro Archipelago, Bocas Del Toro Province, Panama g. Chong 2007 menganalisis interaksi perikanan dan mangrove di Malaysia dan menyebutkan bahwa 1 ha mangrove berkontribusi terhadap coastal fisheries sebesar US846 yr –1 . h. Martosubrtoto dan Naamin 1977 membuktikan adanya hubungan yang positif antara hasil tangkapan udang tahunan dan luas mangrove di seluruh Indonesia. i. Barbier, Strand and Sathirathai 2002 menghitung keterkaitan mangrove dengan udang di Sothern Thailand. NPM nilai produktivitas marjinal mangrove sebesar 15,22 ton -1 km dan nilai NPE nilai produktivitas marjinal effort sebesar 14,093 ton per thousand hours. j. Marlianingrum 2007 menyatakan ada hubungan antara produksi udang, mangrove dan effort dari alat tangkap trammel net. Nilai NPM sebesar 57,997 ton -1 km dan nilai NPE sebesar 0,085 ton per vessel. k. Efrizal 2005 menyatakan bahwa ekosistem mangrove memberikan kontribusi sebesar 44,18 terhadap produksi sumber daya ikan demersal di Kabupaten Bengkalis. l. Hayati, Adrianto dan Wardiatno 2015 menyatakan bahwa terdapat keterkaitan antara mangrove dengan hasil tangkapan udang. Nilai NPM sebesar 313,82 kgha dan NPE sebesar 106,3 kg per trip. 47 3 KONDISI MANGROVE DAN STATUS PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN SEKITAR PANTAI Pendahuluan Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat memiliki kawasan pesisir seluas 68.703 km 2 atau 35 dari luas seluruh kabupaten. Di wilayah pesisir tersebut terdapat vegetasi mangrove terluas di Jawa Barat, namun kondisinya mengalami degradasi Gumilar 2010; Hamdan 2010. Perikanan merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yakni biota akuatik, habitat akuatik dan manusia sebagai pengguna sumberdaya tersebut Lackey, 2005; Widodo dan Suadi, 2008. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa keberadaan biota-ikan tidak terlepas dari kondisi habitatnya dan intervensi manusia yang direpresentasikan dalam penggunaan upaya penangkapan unit effort . Dari aspek budidaya, mangrove memiliki peran dalam pembangunan akukultur berkelanjutan Primavera 2005. Dengan demikian penting untuk mengetahui kondisi mangrove yang merupakan habitat beberapa jenis ikan dan mengetahui aktivitas penangkapan ikan dan mengetahui intervensi manusia yang direpresentasikan dalam menggunakan alat tangkap effort. Aktivitas perikanan tangkap selama ini merupakan tempat bergantungnya kehidupan para nelayan, sehingga perlu dikelola sedemikian rupa, termasuk mengelola sumberdaya yang merupakan natural input bagi keberlanjutan usaha perikanan tersebut. Hilborn et al. 2005 menyatakan bahwa perikanan tangkap dikelola dalam rentang struktur institusi kebijakan yang luas dan termasuk juga pemberian hak atas sumberdaya ikan yang memperhatikan aspek moral-sosial. Dalam konteks pengelolaan perikanan skala kecil, Cinner 2013 menyatakan bahwa perlunya pendekatan institusi untuk mengatasi problem klasik perikanan seperti kegagalan dalam tata kelola, stock ikan yang collaps dan mengurangi kemiskinan. Salah satu aspek penting dalam menentukan kebijakaninstitusi pengelolaan adalah mengetahui kondisi sumberdaya ikan apakah sudah terdegradasi atau belum. Terkait dengan hal terebut, Fauzi dan Anna 2005 berpendapat bahwa informasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi reference point maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya atau belum. Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitaskuantitas sumberdaya alam dapat diperbaharukan, misalnya sumberdaya ikan laut. Degradasi sumberdaya alam penting untuk diperhitungkan, sebab kebijakan pengelolaan yang mengabaikan degradasi akan menghasilkan kebijakan yang misleading. Dengan adanya informasi status sumberdaya diharapkan tidak terjadi mismanagement , seperti yang dikatakan Ruddle and Hickey 2008 bahwa terdapat mismanagement perikanan sekitar pantai di daerah tropik dalam mengimplementasikan program yang mengaplikasikan pendekatan model Barat. Kondisi perikanan di perairan laut Utara Jawa, termasuk perairan sekitar pantai di Indramayu sudah dinyatakan padat tangkap Rahardjo, 1991, namun faktanya sampai saat ini masih banyak nelayan skala kecil yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di perairan sekitar pantai Kabupaten Indramayu 48 dengan menggunakan perahu motor tempel. Padat tangkap menjadi penyebab terjadinya tangkap lebih overfishing dan tangkap lebih itu sendiri merupakan salah satu penyebab terjadinya degradasi sumberdaya ikan. Tangkap lebih dapat diartikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap melebihi jumlah maksimum ikan yang diperbolehkan untuk menjamin kelestarian stok di suatu perairan tertentu dan pada waktu tertentu. Nugroho et al. 2007 menyatakan bahwa besarnya kelimpahan sumberdaya telah mengalami degradasi secara terus menerus baik akibat tingginya tekanan penangkapan maupun penurunan kualitas habitat di kawasan pantai. Sekitar 50,84 nelayan Indramayu merupakan nelayan skala kecil dengan daerah penangkapan ikan di sekitar pantai. Nelayan kecil adalah nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 lima gross ton GT. Sumberdaya ikan di sekitar pantai merupakan target utama usaha penangkapan ikan khususnya ikan demersal oleh nelayan Kabupaten Indramayu dengan menggunakan alat tangkap sero, jaring klitik dan jaring pantai. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai di Kabupaten Indramayu. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi awal bagi pembuatan kebijakan pengelolaan mangrove dan pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai secara berkelanjutan. Pada bagian ini akan dianalisis status sumberdaya ikan sekitar pantai berdasarkan model bioekonomi Gordon-Schafer yang hanya menyatakan hubungan antara hasil tangkapan dengan stok sumberdaya X dan penggunaan effort E. Dalam hal ini tidak menganalisis peran mangrove terhadap produksi tangkapan. Metode Jenis dan sumber Data Jenis data mangrove berupa data time series luas area mangrove atau covarage ‖ ha dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014. Data tersebut selanjutnya digunakan untuk melihat perubahan luasan mangrove dan laju degradasi mangrove. Manson et al 2005 menyatakan bahwa untuk melihat perubahan mangrove dikaitkan dengan perikanan perlu data mangrove secara spasial dan temporal. Untuk melihat times series data dilakukan dengan analisis GIS. Data mangrove berasal dari Citra Satelit LANDSAT 7 +ETM PathRow 121064 perekaman tahun 2000 – 2012 dan LANDSAT 8 OLI PathRow 121064 perekaman 2013 – 2014. Jenis data perikanan tangkap mencakup : i Data sekunder berupa peubah data time series selama 15 tahun dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, yaitu : jenis dan jumlah alat tangkap yang digunakan unit, jumlah armada perikanan unit, jumlah nelayan orang dan jumlah hasil tangkapan catchharvest kg tahun -1 , indeks harga konsumen IHK Kota Cirebon. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan Propinsi Jawa Barat. ii Data primer berupa peubah data cross section : jenis-jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan per trip kg, jenis-jenis dan jumlah biaya-biaya investasi 49 Rp, jenis-jenis dan jumlah biaya-biaya operasional per trip Rp, jenis-jenis ikan dan jumlah hasil tangkapan per trip kg, harga jual ikan di tempat Rp kg -1 , dan lokasi fishing ground tempat dan kedalaman perairan, serta data bioteknis yang meliputi fishing ground, lama waktu trip jam, hari dan teknik penangkapan ikan. Baik data sekunder maupun data primer akan menjadi perhitungan catch per unit effort atau CPUE kgunit, cost per unit effort atau “c”Rp dan profit per unit effort atau ―π‖ Rp yang digunakan dalam analisis keseimbangan bioekonomi statik dan bioekonomi dinamis. Pengumpulan Data dan Penetapan Responden Metode pengumpulan data dan responden terkait dengan mangrove dilakukan sebagai berikut i Pengumpulan data sekunder dilakukan di Instansi Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perhutani dan data dikumpulkan melalui Citra Satelit; ii Pengumpulan data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap staf instansi terkait dan wawancara terstruktur dengan nelayan. Observasi lapangan dilakukan dengan cara melihat, mencatat dan memotret obyek dengan bantuan digital camera foto dokumentasi meliputi kondisi mangrove, wawancara mendalam dengan pemilihan responden secara purposive dan snowballing sampling. Responden yang dipilih secara puposive adalah staf instansi terkait 1 orang staf Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, 4 orang staf Perhutani KPH Kabupaten Indramayu, 4 orang Staf Dinas Perikanan dan Kelautan, 1 orang Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan 2 orang pengurus LMDH. Metode pengumpulan data dan responden terkait dengan perikanan tangkap dilakukan sebagai berikut i Pengumpulan data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat, sedangkan data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap nelayan dan staf instansi terkait. Observasi lapangan dilakukan dengan cara melihat, menghitung, mencatat dan memotret obyek dengan bantuan digital camera foto dokumentasi meliputi kondisi alat penangkapan ikan, perahu, mesin, Pangkalan Pendaratan Ikan PPI, Tempat Pelelangan Ikan TPI, dan jenis-jenis ikan hasil tangkapan nelayan; ii Wawancara dilakukan terhadap nelayan menurut jenis alat tangkap yang yang dioperasikan di sekitar pantai antara lain sero, jaring pantai, jaring klitik. Nelayan yang diwawancarai sebanyak 32 orang yang dipilih secara purposive dengan mempertimbangkan : i Jenis alat tangkap di sekitar pantai meliputi pukat pantai, jaring klitik dan sero relatif homogen dilihat dari ukuran alat tangkap dan skala usaha yang kecil menurut tonase perahu. ii Tempat tinggal nelayan menyebar menurut lokasi iii Waktu melaut yang tidak menentu, sehingga perlu mewawancarai nelayan yang sedang tidak melaut. Analisis Data Kondisi Mangrove Analisis degradasi mangrove atau perubahan luasan mangrove dilakukan dengan mengurangkan luas tutupan mangrove pada periode awal dengan luas tutupan mangrove pada periode akhir. 50 Status Perikanan Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dan analisis kuantitatif. Analisis deskriptif menjelaskan gambaran kondisi aktual tentang aktivitas pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai dengan menggunakan jaring pantai, sero dan jaring klitik. Analisis data dilakukan untuk memperoleh gambaran fenomena-fenomena yang berpengaruh serta kaitan antara satu fenomena dengan fenomena lainnya. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan analisis bioekonomi perikanan. Analisis data yang dilakukan untuk mencapai tujuan 1 adalah : 1 Analisis hasil tangkapan dan hasil tangkapan per unit effort CPUE Hasil tangkapan menurut jenis ikan baik dari data sekunder maupun data primer pengamatan, wawancara akan dilakukan identifikasi jenis-jenis ikan sekitar pantai, jenis-jenis ikan yang berasosiasi dengan mangrove dan yang tidak berasosiasi berdasarkan kesesuaian dengan jenis-jenis hasil sampingan dari tambak dan literatur yang ada. Daerah penangkapan ikan fishing ground dan jenis-jenis ikan yang tertangkap diplotkan ke dalam peta untuk selanjutnya ditentukan batas ekologi keterkaitan mangrove dan perikanan tangkap. Setelah data hasil penangkapan harvestcatch dan upaya penangkapan effort dalam bentuk times series diperoleh dan disusun menurut jenis alat tangkap dan jumlah hasil tangkapan selanjutnya dilakukan analisis CPUE. Menurut Gulland 1983 perhitungan CPUE bertujuan untuk mengetahui kelimpahan dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pada suatu daerah perairan tertentu. Dalam hal ini adalah perairan sekitar pantai Kabupaten Indramayu. Nilai CPUE dapat dinotasikan sebagai berikut : t t t effort catch CPUE  3.1 dimana : CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan pada tahun ke-t catch t = hasil tangkapan pada tahun ke-t effort t = upaya penangkapan pada tahun ke-t t = tahun 1,2,…..,n 2 Standarisasi alat tangkap Sumberdaya ikan sekitar pantai dalam hal ini diasumsikan sebagai kumpulan spesies tunggal dan sebagai target sumberdaya yang ditangkap oleh sero, pukat pantai dan jaring klitik. Standarisasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap target sumberdaya ikan beragam, sehingga sangat ada kemungkinan satu spesies ikan tertangkap oleh beberapa alat tangkap yang berbeda. Standarisasi alat tangkap dilakukan dengan maksud untuk menjumlahkan input upaya secara agregat mengingat ketiga alat tangkap memiliki kemampuan daya tangkap yang berbeda. Alat tangkap yang dijadikan standar adalah alat tangkap yang memiliki produktivitas tinggi dominan dalam menangkap sumberdaya perikanan yang menjadi objek penelitian atau memiliki nilai rata-rata CPUE terbesar pada suatu periode waktu dan memiliki nilai faktor daya tangkap Fishing Power Index sama dengan satu Gulland, 1983. Secara matematis menurut Fauzi 2004, input 51 alat tangkap yang akan distandarisasi merupakan perkalian dari fishing power index dengan input upayaeffort dari alat yang distandarisasi. 1 E E i std   3.2 std i t U U   3.3 dimana : E std = effort standar U i = CPUE i = Catch per Unit Effort tangkap ke-i U std = CPUE std = CPUE yang dijadikan stándar 3 Estimasi parameter ekonomi Parameter ekonomi yang digunakan dalam analisis bioekonomi berupa harga ikanoutput p per kg atau per ton dari produksi sumberdaya ikan dan biaya penangkapaninput c dari aktivitas upaya per trip. Semua data harga dan biaya dikonversi ke dalam nilai riil dengan cara menyesuaikannya dengan Indeks Harga Konsumen IHK Kota Cirebon, sehingga pengaruh inflasi dapat dieliminasi. i Standarisasi harga output Data harga hasil tangkapan nelayan output menurut jenis alat tangkap yang digunakan nelayan tangkap diperoleh dari hasil wawancara terhadap responden nelayan. Data tersebut dikonversi ke dalam pengukuran riil dengan cara menyesuaikannya dengan Indeks Harga Konsumen IHK Kota Cirebon. Untuk mendapatkan data harga ikan secara series dilakukan dengan cara mengalikan rasio harga ikan saat ini P t dan Indeks Harga Konsumen IHK t tahun ini dengan IHK t+1 menurut persamaan sebagai berikut : n P P n i i n   3.4 t n n t IHK x IHK P P  3.5 dimana : i = jumlah produksi ikan; P t = harga ikan pada tahun t P n = harga ikan berlaku IHK n = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun standar IHK t = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun t ii Standarisasi biaya input Biaya penangkapan didasarkan pada asumsi hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan, sehingga biaya penangkapan merupakan variabel per hari operasi dan dianggap konstan. Biaya riil pada tahun ke-t diperoleh dari proses perkalian antara biaya riil pada t std didapatkan dari hasil perkalian rata-rata biaya effort per tahun dengan share dari produksi sumberdaya dengan Indeks Harga Konsumen IHK pada tahun t. Biaya per unit upaya standar per tahun alat tangkap adalah : trip biaya x trip C pj    3.6 52 Proporsi produksi alat tangkap adalah : t z pj pj h h C 1        3.7 Maka standarisasi biaya dinotasikan sebagai :   000 . 000 . 1 pj C x pj C pj C  3.8 Sehingga diperoleh nilai biaya riil sebagai berikut :   n t std t IHK xIHK C C  3.9 dimana : C pj = biaya penangkapan; C t = biaya pada tahun t C std = biaya standar ; h pj = produksi total alat tangkap ke-j IHK t = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun t h z = produksi total; t = 1,2,3, .........., n IHK n = indeks harga konsumen komoditas ikan pada tahun standar iii Estimasi discount rate Proses discounting merupakan cerminan dari bagaimana masyarakat berperilaku terhadap ekstraksi sumberdaya alam dan bagaimana masyarakat menilai sumberdaya alam itu sendiri Hanley dan Splash 1995 diacu dalam Fauzi 2004. Dalam ekonomi sumberdaya alam, kegagalan memahami konsep ini akan berdampak pada persepsi yang keliru terhadap sumberdaya alam Fauzi 2004. Discount rate menyangkut nilai yang diukur, sehingga menyebabkan terjadinya variasi untuk nilai discount rate. Variasi discount rate terjadi oleh karena adanya faktor inflasi yang sangat berkorelasi erat dengan discount rate. Atas dasar faktor- faktor inilah, pengukuran discount rate nominal dikurangi laja inflasi Fauzi 2004. Berdasarkan uraian di atas, discount rate yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada beberapa pendekatan yang ada, yaitu pendekatan nilai discount rate berbasis pasar market discount rate dan pendekatan nilai real discount rate Kula 1984 berbasis Ramsey diacu dalam Anna 2003. Pendekatan nilai market discount rate yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam, yaitu sebesar 10 sampai 18 sebagaimana yang digunakan oleh World Bank. Nilai discount rate r dengan teknik Kula 1984 diacu dalam Anna 2003 yaitu : g r .     3.10 dimana  adalah pure time preference,  adalah elatisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam, g adalah pertumbuhan ekonomi. Laju pertumbuhan ekonomi dilakukan dengan teknik Kula 1984, yaitu dengan cara meregresikan : t t C ln ln 1     3.11 dengan t sebagai periode waktu dan C t sebagai konsumsi per kapita pada periode t . hasil dari regresi ini akan menghasilkan formula elastisitas dimana : t C t ln ln 1     3.12 secara matematis persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi : 53 t t C C g t    3.13 Berdasarkan pendekatan yang dilakukan oleh Brent 1990 diacu dalam Anna S 2003, nilai standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya  adalah 1, sedangkan nilai pure time preference  yang dihitung berdasarkan kemungkinan bertahan hidup tidak tersedia di lapangan, sehingga nilai  sebagaimana yang dilakukan oleh Anna S 2003 diasumsikan sama dengan nominal discount rate saat ini dari Ramsey sebesar 15. Nilai discount rate r ini kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui :   r   1 ln  3.14 4 Analisis biofisik Dengan menyusun kembali persamaan 2.13 dalam bentuk persamaan : 2 2 2 bE aE E r K q qKE h     3.15 sehingga dari persamaan 3.15 tersebut diperoleh parameter biofisik r, q dan K. Pengelolaan perikanan menurut model Schaefer yang terbaik adalah pada saat produksi lestari pada titik tertinggi kurva yield-effort titik MSY dengan input yang dibutuhkan E MSY dan titik tersebut diperoleh dari pemecahan turunan pertama terhadap effort dari persamaan 3.15 pada kondisi ∂h∂E = 0, sehingga menghasilkan persamaan : E MSY = r2q atau E MSY = a2b 3.16 Dengan mensubstitusikan persamaan 3.16 ke dalam persamaan 3.15 diperoleh hasil tangkapan pada tingkat MSY : h MSY = rK4 3.17 Dengan memasukkan persamaan 3.17 dan persamaan 3.15 ke dalam persamaan fungsi produksi 2.9 diperoleh biomasstok ikan pada tingkat MSY : X MSY = h MSY qE MSY = K2 3.18 Untuk menduga parameter biofisik r, q dan K dilakukan dengan cara melinearkan persamaan 3.15 dan menuliskan kembali persamaan 3.15 menjadi E r K q qK E h 2   3.19 E CPUE U     3.20 dimana : U = produksi per unit effort CPUE;  = qK ,  = q2 Kr Dari series data produksi dan upaya penangkapan selanjutnya dengan teknik Ordinary Least Square OLS dapat diketahui koefisien α dan β, namun demikian nilai parameter biofisik r, q dan K tidak dapat dilakukan, karena dua koefisien 54 tidak dapat menduga tiga parameter masalah curse of dimensionality. Pendugaan parameter biofisik r, q dan K dapat dilakukan melalui pendekatan CYP Clark, Yoshimoto dan Pooley 1992 yang dirumuskan :              1 1 2 ln 2 2 ln 2 2 ln           t t t t E E r q U r r qK r r U 3.21 Persamaan 3.21, selanjutnya dengan teknik Ordinary Least Square OLS dapat diketahui nilai parameter biofisik r, q dan K masing-masing : 1 1 2 r      3.22 q e k r 2 r 2    3.23 r 2 q     3.24 5 Analisis bioekonomi perikanan Analisis bioekonomi dilakukan dengan cara menambahkan faktor ekonomi, yaitu – faktor harga output p dan biaya input c ke dalam aspek biofisik model matematis Gordon-Schaefer Fauzi 2010. Dalam analisis bioekonomi tujuan utama adalah memperoleh manfaat ekonomi atau rente ekonomi π yang diperoleh dari aktivitas perikanan dalam bentuk persamaan matematis adalah : π F = Total Revenue TR – Total Cost TC = phE – cE 3.25 Dengan memasukkan persamaan 3.15 ke dalam persamaan 3.25 diperoleh persamaan : 3.26 Dari persamaan 3.15 dan persamaan 3.26, selanjutnya diperoleh 3 tiga keseimbangan ekonomi statik model Gordon-Schaefer 10 : 1 Keseimbangan open access, terjadi pada kondisi TR=TC atau π=0. Pada kondisi ini diperoleh nilai-nilai : Biomas X oa = q p c . 3.27 Harvest h oa =              K q p c q p c r . . 1 . . 3.28 Effort E oa =        K q p c q r . . 1 3.29 10 Pendekatan statik berguna dalam memahami teori dasar pengelolaan sumberdaya ikan. Dalam model statik, pergerakan dari keseimbangan open access ke tingkat upaya optimal berlangsung seketika secara bersamaan dengan penyesuaian yang terjadi di dalam stok ikan Fauzi 2010. E c E r k q E k q p . . . . . . 2 2                 55 Rente Ekonomi π oa = . x F x p c p        3.30 2 Keseimbangan MSY Maximum Sustainable Yield dimana persamaan 3.15 terjadi pada kondisi ∂h∂E = 0. Pada kondisi ini diperoleh nilai- nilai E MSY , h MSY dan X MSY seperti terlihat pada persamaan 3.16, 3.17 dan 3.18, sedangkan rent ekonomi kondisi MSY adalah : Rent Ekonomi π MSY = p              q r c K r 2 . 4 . 3.31 3 Keseimbangan MEY Maximum Economic Yield yang merupakan solusi optimal dalam rezim pengelolaan terkendali. Keseimbangan MEY terjadi pada saat ∂ π∂E = 0 atau Marginal Cost MC=Marginal Revenue MR dengan nilai-nilai yang diperoleh adalah : Biomas X MEY =        K q p c K . . 1 2 3.32 Harvest h MEY =               K q p c K q p c K r . . 1 . . 1 4 . 3.33 Effor t E MEY =        K . q . p c 1 q 2 r 3.34 Rente Ekonomi π MEY = p.q.K.E E c r E q . . 1         3.35 Selain dengan pendekatan model statik, pengelolaan sumberdaya ikan dapat diselesaikan melalui pendekatan model kontinyu dinamik yang mengasumsikan sumberdaya ikan dikelola secara privat dengan tujuan memaksimumkan manfaat ekonomi dari pemanfaatan sumberdaya. Model kontinyu untuk permasalahan dinamik mengikuti persamaan matematis Fauzi 2010 dalam bentuk : ∫ – 3.36 dengan kendala : t h t x F x t x      Xt ≥ 0, 0 ≤ ht ≤ h max 3.37 Persamaan 3.37 dipecahkan dengan teknik Hamiltonian yang menghasilkan Golden Rule untuk pengelolaan sumberdaya ikan dalam bentuk persamaan : 3.38 dimana : 56 rente marjinal akibat perubahan stok rente marjinal akibat perubahan tangkap panen produktivitas marjinal dari kapital dalam hal ini stok ikan dan persamaan : Fx = h = 3.39 Persamaan rente ekonomi lestari dalam bentuk : 3.40 Dengan memasukkan fungsi produksi Schaefer persamaan 3.15 ke dalam persamaan 3.40 dan menyusun kembali persamaan tersebut, selanjutnya diperoleh persamaan-persamaan sebagai berikut : 3.41 3.42 3.43 3.44 Dengan mensubstitusikan persamaan 3.42, 3.43 dan 3.44 ke dalam persamaan 3.38 diperoleh hasil tangkapan optimal, biomasa optimal dan effort optimal sebagai berikut :                   K x r c pqx c x h 2 1  3.45 [ √ ] 3.46 qx h E  3.47 5 Laju degradasi dan laju depresiasi Secara metematis laju degradasi sumberdaya alam dapat dihitung dengan persamaan Fauzi dan Anna 2005 :    h h I e   1 1 3.48 dimana : ɸ I = laju degradasi sumberdaya ikan  h = produksi lestari pada periode t;  h = produksi aktual pada periode t        K x rx 1 57 Analisis depresiasi sumberdaya ditujukan untuk mengukur perubahan nilai moneter dari pemanfaatan sumberdaya alam. Persamaan depresiasi sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut Fauzi dan Anna 2005 :      e DP   1 1 3.49 dimana : DP  = laju depresiasi;   = rente lestari pada periode t;   = rente aktual pada periode t Hasil dan Pembahasan Kondisi mangrove Dalam membahas keterkaitan mangrove dengan perikanan, gambaran kondisi mangrove penting dideskripsikan terlebih dahulu. Vegetasi mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu berada di lahan Perhutani dan lahan milik masyarakat. Lahan Perhutani dapat dibagi ke dalam 2 dua kelompok besar, yaitu hutan mangrove yang berada di kawasan lindung di daratan seluas 8.071 ha yang dikelola oleh Perhutani dan hutan mangrove alami seluas 120 ha di Pulau Biawak 11 . Lahan milik masyarakat seluas 8.878 ha. Vegetasi mangrove di wilayah daratan terdiri atas 2 dua spesies yaitu Avicennia marina yang merupakan jenis yang dominan dan Rhizhopra apiculata. RTRW Kabupaten Indramayu 2011-2031 menyebutkan bahwa kondisi hutan mangrove di pesisir Kabupaten Indramayu sangat memprihatinkan yang ditunjukkan oleh persen tutupan kurang dari 50 dan kerapatan kurang dari 1.000 pohon per Ha. 12 Dengan menggunakan citra satelit imagery LANDSAT 7 + ETM dan LANDSAT 8 OLI diperoleh luas tutupan vegetasi mangrove baik di lahan Perhutani maupun di lahan milik masyarakat dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 yang dapat dilihat pada Gambar 10, yakni rata-rata seluas 1.763 ha dengan prosentase luasan mangrove di lahan Perhutani sebesar 77,25 dan di lahan masyarakat sekitar 22,75 . Lahan yang dapat dimanfaatkan untuk tambak dan mangrove di wilayah studi seluas 13.949 ha yang terdiri atas lahan milik Perhutani seluas 8.071 ha 58 dan lahan tambak milik masyarakat seluas 5.878 ha 42 dan sempadan pantai 966 ha 7. Antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 luasan mangrove di lahan Perhutani mengalami kecenderungan menurun. Pada tahun 2000 luas mangrove 2006 ha sedangkan pada tahun 2014 seluas 1.185 ha, yang berarti dalam kurun waktu tersebut terjadi penurunan seluas 820 ha atau sekitar 55 ha tahun -1 6,7 tahun -1 . Bila luas mangrove pada tahun 2014 tersebut dibandingkan dengan luas lahan Perhutani, maka mangrove berkurang seluas 6.886 ha atau sekitar 85,32 . 11 Pulau Biawak dengan luas 130 ha. adalah merupakan salah satu gugus pulau di Laut Utara Jawa dengan jarak sekitar 40 km di sebelah utara pantai Indramayu. Pulau Biawak dan pulau sekitarnya Pulau Gosong dan Pulau Candikian. ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD berdasarkan Surat Keputusan Bupati Indramayu Nomor 556Kep.528- Diskanla2004 tentang Penetapan Pulau Biawak dan Sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut. 12 Kepadatan mangrove tergolong sangat padat bila lebih besar dari 1.500 pohon per ha apabila merujuk pada Kepmen LH Nomor 201 Tahun 2004. 58 Dengan status sebagai hutan lindung, seharusnya luasan mangrove di lahan Perhutani adalah 100. Untuk lahan milik masyarakat perorangan luasan mangrove mengalami kenaikan. Pada tahun 2000 luas mangrove 251 ha, sedangkan pada tahun 2014 seluas 381 ha, yang berarti dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan seluas 130 ha atau sekitar 9 ha tahun -1 . Gambar 10 Perkembangan luas mangrove di Kabupaten Indramayu Data AI 10 Secara keseluruhan, pada tahun 2000 luasan mangrove 2.257 ha dan pada tahun 2014 seluas 1.566 ha dan selang pada periode waktu tersebut 15 tahun luasan mangrove mengalami penurunan sebesar 689 ha sekitar 31 atau 46 ha tahun -1 sekitar 6,68 tahun -1 . Dengan demikian mangrove di Indramayu dalam kondisi terdegradasi deforestasi. Selanjutnya, data perubahan luasan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu dalam rentang waktu antara tahun 2000 sampai dengan 2014 dapat dilihat pada Lampiran 1. Status Perikaan Tangkap Aspek Teknis Penangkapan a. Alat tangkap dan armada penangkapan Alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan di sekitar perairan pantai Indramayu adalah pukatjaring pantai, jaring klitik dan sero. Dalam pengoperasiannya di laut, alat tangkap tersebut digerakan oleh perahu bermotor tempel yang berbobot di bawah 5 GT dengan kekuatan mesin penggerak umumnya 20 PK dan berbahan bakar solar. Perkembangan jumlah alat tangkap dalam kurun waktu 15 tahun dapat dilihat pada Gambar 11, sedangkan data series jumlah alat tangkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Optimasi pemanfaatan sumberdaya ikan dengan analisis bioekonomi memerlukan data jumlah input agregat total effort dan hasil tangkapan untuk setip alat tangkap yang digunakan oleh nelayan. Karakteristik perikanan pantai memiliki spesies ikan yang beragam dan ditangkap dengan alat tangkap yang juga beragam, sehingga unit alat tangkap tersebut mempunyai kemampuan teknis yang berbeda dan oleh karenanya perlu dilakukan standarisasi. Standarisasi terhadap alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi diperlukan guna mengetahui masing-masing sumberdaya ikan yang tertangkap. Alat tangkap jaring klitik dan y = -28,746x + 1993 R² = 0,5173 y = -35,523x + 1646,2 R² = 0,5266 y = 6,7768x + 346,87 R² = 0,197 200 500 800 1100 1400 1700 2000 2300 2600 20 00 20 01 20 02 20 03 20 04 20 05 20 06 20 07 20 08 20 09 20 10 20 11 20 12 20 13 20 14 M a n g ro v e h ek ta re Tahun Total Mangrove Perhutani Rakyat 59 sero distandarkan terhadap alat tangkap pukat pantai, dengan pertimbangan bahwa alat tangkap pukat pantai tersebut memiliki produktivitas yang lebih tinggi. Standarisasi alat tangkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 11 Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di sekitar pantai Kabupaten Indramayu b. Area penangkapan ikan dan musim penangkapan ikan Area perairan Kabupaten Indramayu termasuk dalam WPP-RI 712, yaitu perairan Laut Utara Jawa. WPP Laut Utara Jawa merupakan bagian dari paparan Sunda yang seluruhnya merupakan perairan teritorial dengan kedalaman maksimal 70 meter dengan kegiatan penangkapan terbanyak terpusat di Pantai Utara Jawa. Terdapat 14 jenis alat tangkap yang digunakan untuk mengekspoitasi sumberdaya ikan demersal dan pelagis di wilayah pesisir Pantura, yang dapat dibagi menjadi 5 lima kelompok, yaitu 1 Pukat tarik arad dan cotok atau garuk, 2 Pukat kantong cantrang, payang, 3 Pukat cincin, 4 Jaring insang jaring kejer, jaring rampus atau klitik, jaring insang tetap, hanyut, dan trammel net dan 5 Perangkap bubu, sero. Sumber daya ikan demersal dan udang diekspoitasi dengan cepat setelah introduksi alat tangkap pukat tarik pada akhir tahun 1960. Pelarangan terhadap alat tangkap ini menyebabkan berkembangnya alat tangkap tradisional yang diangggap efektif untuk menangkap ikan demersal dan udang, sedangkan ikan pelagis telah lama diekspoitasi dengan payang, pukat cincin, alat bantu cahaya. Status pengusahaan perikanan pelagis kecil sudah mencapai tahap over exploited akibat dari maraknya penggunaan pukat cincin semi-industri. Secara geografis, perairan Pantai Utara Jawa merupakan wilayah yang terbuka pada musim timur maupun musim barat Diskanla Indramayu 2014. Musim penangkapan ikan terjadi pada saat musim barat maupun musim timur dan pada kedua musim tersebut hasil tangkapan berbeda. Pada saat musim barat bulan Januari sampai dengan bulan Maret produksi ikan tidak terlalu banyak, sedangkan pada musim timur bulan Agustus sampai dengan bulan Nopember produksi hasil tangkapan melimpah. Pada musim barat, nelayan relatif tidak banyak yang tidak melaut mengingat kondisi laut berombak besar, sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Daerah penangkapan ikan demersal yang ditangkap berdasarkan musim Diskanla Kabupaten Indramayu 2014 dapat diuraikan sebagai berikut : 300 600 900 1200 1500 1800 2100 20 20 1 200 2 20 3 20 4 200 5 20 6 200 7 20 8 20 9 201 20 1 1 201 2 20 1 3 20 1 4 A la t ta n g k a p e ff o rt u n it Tahun PP KL SR E_total 60 1. Musim Barat bulan Oktober sampai dengan bulan Maret. Pada musim barat, daerah penangkapan ikan berada di 4 empat area yang tersebar di perairan Kabupaten Indramayu, yaitu i pada bagian utara perairan sejauh 35 km dari daratan dengan posisi geografis 108 o 40‘4‘‘ BT dan 5 o 86‘5‘‘ LS dengan kedalaman perairan 10 sampai dengan 40 meter dan luas area 542,14 km 2 . Lokasi ini tidak jauh dari Pulau Candikian, Pulau Gosong dan Pulau Biawak; ii pada bagian timur Kabupaten Indramayu dengan jarak dari daratan 16 km, memiliki luas 199,88 km 2 dan berada pada koordinat 108 o 47‘8‘‘ BT dan 6 o 23‘0‘‘ LS dengan kedalaman perairan 10 sampai dengan 35 meter. Daratan pesisir yang terdekat dengan area ini adalah Kecamatan Juntinyuat, Kecamatan Karangampel, Kecamatan Balongan, Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Pasekan; iii pada bagian tengah ke arah pesisir Kabupaten Indramayu. Area ini berada pada koordinat 108 o 29‘0‘‘ BT dan 6 o 16‘2‘‘ LS dengan kedalaman perairan antara 15 sampai dengan 30 meter dengan luas area 228,3 km 2 . Jarak area ini dengan daratan terdekat sejauh 5 km, yaitu Kecamatan Pasekan dan Kecamatan Cantigi. iv pada bagian barat Kabupaten Indramayu dengan koordinat 108 o 05‘9‘‘ BT dan 6 o 84‘9‘‘ LS dengan jarak dari daratan sejauh 30 km, memiliki luas area 322,26 km 2 dengan kedalaman perairan antara 20 sampai dengan 30 meter. Daratan pesisir terdekat dari area ini adalah Kecamatan Losarang, Kecamatan Kandanghaur, Kecamatan Sukra dan Kecamatan Patrol. Dengan demikian daerah penangkapan ikan pada musim barat seluas 1.292,58 km 2 . 2. Musim Timur bulan April sampai dengan bulan September. Pada musim barat, daerah penangkapan ikan berada di 3 tiga area yang tersebar di perairan Kabupaten Indramayu, yaitu i di sebelah utara perairan Kabupaten Indramayu dengan koordinat 108 o 44‘0‘‘ BT dan 5 o 86‘9‘‘ LS. Jarak area ini dengan daratan sejauh 35 km dan memiliki luas sekitar 416,56 km 2 dengan kedalaman perairan antara 20 sampai dengan 40 meter. Lokasi ini tidak jauh dari Pulau Candikian, Pulau Gosong dan Pulau Biawak; ii pada bagian timur Kabupaten Indramayu dengan koordinat 108 o 44‘4‘‘ BT dan 6 o 15‘7‘‘ LS. Posisi area ini sejauh 10 km dari daratan dengan luas area 349,70 km 2 . Kedalaman perairan antara 10 sampai dengan 30 meter dengan lokasi daratan terdekat adalah Kecamatan Pasekan dan Kecamatan Indramayu; iii pada bagian barat Kabupaten Indramayu sejauh 10 km dengan luas area 204,37 km 2 . Area ini berada pada koordinat 108 o 20‘9‘‘ BT dan 6 o 12‘6‘‘ LS dengan kedalaman perairan antara 15 sampai dengan 40 meter. Daratan pesisir yang terdekat adalah Kecamatan Pasekan, Kecamatan Cantigi, Kecamatan Losarang, Kecamatan Kandanghaur dan Kecamatan Sukra. Dengan demikian daerah penangkapan ikan pada musim timur seluas 970,63 km 2 . Daerah penangkapan ikan alat tangkap pukat jaring pantai, jaring klitik dan sero berada di area perairan Kabupaten Indramayu dengan kedalaman perairan hingga 20 meter, berjarak sekitar 4 mil dari pantai dan dengan dasar perairan berlumpur. Ketiga alat tangkap tersebut dioperasikan secara one day fishing . Alat tangkap pukat pantai merupakan alat tangkap aktif karena dalam pengoperasiannya alat tangkap tersebut ditarik secara aktif mobile, sedangkan alat tangkap jaring klitik dan sero merupakan alat tangkap pasif menetap. Nelayan sudah mengenal daerah penangkapan ikan fishing ground yang diperolehnya dari pengalaman dan juga secara secara turun temurun. Dengan 61 adanya data-data dari nelayan wawancara terkait area penangkapan ikan yang meliputi kedalaman dan jarak dari pantai, kemudian memplotkanya ploting ke dalam peta dan dilakukan perhitungan luas, maka diperloeh daerah penangkapan ikan jaring pantai, jaring klitik dan sero berada di perairan sekitar pantai pada area dengan luas 804 km 2 yang dapat dilihat pada Gambar 12. Luas daerah penangkapan ikan yang tidak jauh dari pantai 804 km 2 terlihat lebih kecil dibandingkan dengan area penangkapan ikan hasil kajian Diskanla Kabupaten Indramayu 2014, yakni 1.292,58 km 2 pada musim barat dan 970,63 km 2 pada musim timur. Aspek Sumberdaya Ikan Volume produksi ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring pantai, jaring klitik dan sero dalam selang periode tahun 2000 hingga tahun 2014 berfluktuatif. Dalam periode waktu tersebut produksi ikan mengalami produksi tertinggi pada tahun 2008 dan pada tahun-tahun berikutnya mengalami kecenderungan menurun. Perkembangan produksi menurut jenis alat tangkap dalam kurun waktu 15 tahun dapat dilihat pada Gambar 13, sedangkan data series produksi menurut ketiga jenis alat tangkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 12 Daerah penangkapan ikan alat tangkap jaring pantai, jaring klitik dan sero Jenis-jenis ikan yang tertangkap dengan alat tangkap jaring pantai, jaring klitik dan sero adalah dari famili Leiognathidae antara lain Leiognathus spp; pepetek, Sciaenidae antara lain tigawaja, gulamah, Synodontidae antara lain Saurida tumbil ; beloso, Bothidae antara lain sebelah, Arridae antara lain Netuma thalassina ; manyung, Plotosidae antara lain sembilang, Nemipteridae antara lain Nemimterus hexadon; kurisi, Clupeidae antara lain tembang, Pomadasyidae antara lain Pomadasys maculatus; gerot-gerot, Polynemoidei antara lain kurau, Sphyraenoidei antara lain alu-alu, Lutjanidae antara lain Lutjanus spp ; kakap merah, Hemiramphidae antara lain julung-julung, Daerah penangkapan Ikan JP=jaring pantai JK=jaring klitik SR=Sero JP JK JK SR JP SR 62 Atherinidae antara lain gerong-gerong, Trichiuridae antara lain Trichiurus spp; layur, Latidae kakap putih dan Mullidae antara lain Upenesus sulphureus; kuniran lihat Lampiran 3. Gambar 13 Perkembangan jumlah produksi setiap jenis alat tangkap Beberapa jenis ikan yang hidup di perairan sekitar pantai merupakan ikan demersal dominan yang merupakan kelompok ikan dengan habitatnya berada di sekitar muara sungai ataupun pantai yang bermangrove dengan dasar perairan berlumpur atau lumpur berpasir. Keberadaan ikan demersal yang tidak terlalu jauh dan dekat dengan pantai, menjadikan keberadaan muara sungai, baik muara besar seperti Sungai Cimanuk, Sungai Cilalanang, Sungai Pangkalan dan Sungai Eretan maupun muara kecil seperti Sungai Prawirakepolo, Prawirodarung, Kesambi, Kalimenir, Kali Cilet, Kali Cemara, Kali Anyar, Kali Song, dan Sungai Gebangswit serta keberadaan mangrove sebagai pemasok nutrien berpengaruh terhadap kelimpahan ikan demersal. Hal ini sesuai dengan Hutabarat 2000 bahwa sedimen di muara sungai dan mangrove terkandung unsur deposit berupa mineral yang berfungsi sebagai nutrient trap yang bersifat absolut terhadap unsur N dan P yang sangat dibutuhkan dalam fotosintesa organisme mikroskopis phytoplankton dan organisme tersebut merupakan parameter utama produktivitas primer perairan. Selain itu, ikan demersal di Pantai Utara Jawa tidak memperlihatkan kecenderungan menggerombol secara musiman Diskanla Indramayu 2014. . Performa Pengelolaan Perikanan Tangkap Sekitar Pantai Performa pengelolaan perikanan menunjukan status perikanan tangkap yang diusahakan oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap pukatjaring pantai, jaring klitik dan sero yang meliputi : a Hasil tangkapan per upaya penangkapan Hasil tangkapan per upaya penangkapan Catch per unit effort; CPUE menunjukan produktivitas alat tangkap. Rata-rata CPUE sebesar 19,99 ton unit -1 tahun -1 . Pada Gambar 14 menunjukkan nilai CPUE yang berfluktuasi dan CPUE tertinggi pada tahun 2006 dan pada tahun-tahun berikutnya mengalami kecenderungan menurun. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sumberdaya ikan sekitar pantai mengalami overfishing secara biologi, mengingat produktivitas 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 20 20 1 200 2 20 3 20 4 200 5 20 6 200 7 20 8 20 9 201 20 1 1 201 2 20 1 3 20 1 4 P ro d u k s i to n u n it Tahun PP KL SR h_total 63 perikanan yang menurun. Selanjutnya, data produksi per upaya penangkapan dapat dilihat pada Lampiran 2. Gambar 14 Kurva hubungan effort-produksi perikanan dan CPUE b. Tingkat pemanfaatan sumberdaya Tingkat pemanfaatan sumberdaya dapat dilihat dari kesenjangan antara performa pengelolaan effort, hasil tangkapan dan rente ekonomi pada keseimbangan statik dan dinamik : keseimbangan open access OA, keseimbangan MSY serta keseimbangan MEY dibandingkan dengan kondisi aktualnya, sehingga dapat menjelaskan apakah perikanan dalam kondisi overfishing atau tidak, baik secara biologi maupun secara ekonomi. Untuk menjelaskan status sumberdaya perikanan sekitar pantai dilakukan analisis terhadap model bioekonomi Gordon-Schaefer dengan pendugaan parameter biofisik menggunakan pendekatan CYP Clarke, Yoshimoto, Pooley 1992. i Analisis optimasi statik pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai Untuk menjelaskan kondisi pengelolaan perikanan terlebih dahulu perlu mendapatkan parameter biologi dan parameter ekonomi. Parameter biologi mencakup tingkat pertumbuhan intrinsik r, koefisien daya tangkap q dan daya dukung lingkungan K yang diperoleh dengan cara menyelesaikan persamaan CYP persamaan 3.21 yang hasilnya dapat dilihat sebagai berikut : LnCPUEU t+1 = 3,93696 - 0,04277 LnCPUEU t - 0,000366 EUt+EU t+1 Persamaan 3.50 t hitung = 2,999 0,9 2,8817 n=14; R 2 =68,79; F hitung =12.12; d DW =1.32 t_test : signifikan at α=0,05; F_test : signifikan at α=0,05 Dilihat dari nilai F = 12,12 yang signifikan pada taraf nyata 0,01 nilai 7,21, nilai R 2 =68,79, serta nilai Durbin-Waston yang menunjukkan tidak adanya autokorelasi dapat dijelaskan bahwa model CYP mampu menjelaskan hubungan variabel hasil tangkapan dan variabel effort. Faktor biaya penangkapan c dan harga ikan p yang merupakan parameter ekonomi menjadi pertimbangan penting, karena besarnya biaya dan harga akan mempengaruhi efisiensi dari usaha penangkapan ikan. Struktur biaya penangkapan dan harga merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara dan data sekunder. Struktur y = 0,8477x + 13,316 R² = 0,2057 y = 197,8x - 141,75 R² = 0,8318 5 10 15 20 25 30 35 40 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 200 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 200 7 200 8 200 9 201 201 1 2 1 2 2 1 3 2 1 4 P r o d u k s i j u ta to n E f f o r t u n it Tahun Effort Produksi y = -1,6136x + 32,895 10 20 30 40 50 60 2 2 1 200 2 2 3 2 4 200 5 2 6 200 7 200 8 2 9 201 2 1 1 2 1 2 201 3 2 1 4 C P U E t to n u n it Tahun A B 64 biaya dari masing-masing alat tangkap dalam bentuk time series tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 diperoleh melalui penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen IHK dari Badan Pusat Statistik BPS Kota Cirebon. Dipilihnya Kota Cirebon karena Kabupaten Indramayu tidak mempunyai statistik IHK dan Kota Cirebon letaknya berdekatan dengan Kabupaten Indramayu. Selanjutnya, parameter biologi dan parameter ekonomi disajikan pada Tabel 4 dan hasil analisis optimasi statik pemanfaatan sumberdaya ikan disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 15, sedangkan penyelesaian persamaan CYP secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 2. Tabel 4 Parameter biologi dan parameter ekonomi pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai Parameter Satuan Nilai Biologi - r pertumbuhan - 1,8359 - q koefisien penangkapan ton unit -1 0,0014023344 - K daya dukung ton tahun -1 43.586 Ekonomi - p harga Rp juta ton -1 tahun -1 6,75 - c biaya Rp juta unit -1 tahun -1 24,55 Dengan memasukan parameter biofisik ke dalam persamaan 3.15, maka persamaan produksi penangkapan dengan pendekatan CYP GS_CYP dapat ditulis dalam notasi : h = 61,1229 E - 0,046688 E 2 Persamaan 3.51 Dengan membandingkan antara tingkat produksi lestari, MSY sebesar 20.005,38 ton tahun -1 dan tingkat produksi MEY sebesar 19.934,61 ton tahun -1 dengan tingkat produksi rataan aktual sebesar 20.097,98 ton tahun -1 Tabel 7, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan oleh kegiatan perikanan perikanan jaring pantai, perikanan jaring klitik dan perikanan sero yang beroperasi di sekitar pantai seluas 804 km 2 dengan kepadatan stok 27,11 ton per km 2 tahun -1 berada dalam kondisi biologi dan ekonomi overfishing. Kondisi tersebut sesuai dengan kajian Diskanla Kabupaten Indramayu 2014 dengan metode swept area, bahwa tingkat pemanfaatan ikan demersal di Kabupaten Indramayu pada area seluas 2.363 km 2 dengan kepadatan stok 20 ton per km 2 tahun -1 telah mengalami overfishing . Hal ini mengingat potensi lestari MSY sebesar 46.243 ton tahun -1 pada area tersebut di bawah produksi aktualnya tahun 2010= 44.618,20 ton; tahun 2011=46.830,80 ton; tahun 2012=48.742,90 ton dan tahun 2014=59.184,70 ton. Selain itu, indikasi overfishing dapat dilihat juga rente ekonomi kondisi aktual yang lebih kecil dari rente optimal pada kondisi sole owner atau maximum economic yield MEY, dan pada kondisi pengelolaan maximum sustainable yield MSY, sehingga menghasilkan selisih rente ekonomi yang besar. Selisih jumlah rente yang besar tersebut disebabkan oleh menurunnya jumlah produksi hasil tangkapan dan meningkatnya effort, sehingga biaya penangkapan yang dikeluarkan tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Dari Tabel 5 dan Gambar 15 dapat dijelaskan bahwa pengelolaan sole owner atau maximum economic yield MEY mempunyai performa yang lebih 65 baik dibandingkan dengan kondisi aktual pengelolaan saat kini, pengelolaan open access OA dan pengelolaan maximum sustainable yield MSY. Dengan demikian kebijakan penurunan upaya penangkapan unit-effort perlu dilakukan agar dapat dicapai keuntungan yang optimal. Tabel 5 Hasil analisis optimasi statik pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai Performa pengelolaan Model pengelolaan Aktual Sole Owner MEY Open AccessOAY MSY Biomass x ton 23.089,43 2.592,30 21.793,28 Produksi h ton 20.097,98 19.934,61 4.476,21 20.005,38 Alat tangkap unit 1.441 616 1.231 655 π juta Rp 100.358 119.028 100.357,51 Meskipun perikanan dalam kondisi lebih tangkap baik secara biologi maupun ekonomi, namun kenyataanya sumberdaya ikan sekitar pantai masih eksis yang berarti nelayan masih tetap melanjutkan aktivitas usahanya. Seperti dijelaskan oleh Lackey 2005; Widodo dan Suadi 2008 bahwa perikanan merupakan suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yang saling berinteraksi, yakni biota akuatik, habitat akuatik dan manusia sebagai pengguna sumberdaya tersebut dan dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa pemahaman status perikanan tidak semata-mata faktor effort saja sebagai unit analisis yang berarti juga keberadaan biota-ikan tidak terlepas dari kondisi habitatnya antara lain ekosistem mangrove dan upaya manusia yang keduanya berkontribusi terhadap perubahan stok ikan. Masih eksisnya aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai diduga : i Masih terdapat mangrove yang menjadi habitat berbagai jenis ikan yang berasosiasi dengan mangrove. Sampai dengan tahun 2014, mangrove di pesisir Indramayu seluas 1.566 ha. ii Terdapat pengaruh musim barat dan musim timur sehingga perikanan sero secara alamiah berada dalam pengelolaan close and open system. Close system memungkinkan stok ikan dapat pulih kembali. iii Secara alamiah terdapat muara-muara sungai estuari yang menyediakan pasokan nutrien, sehingga akan mempengaruhi kehidupan ikan, iv Ikan demersal yang hidup di dasar perairan. Substrat dasar perairan berperan penting bagi kehidupan biota yang hidup di daerah dasar perairan. Dasar perairan adalah habitat bagi bentos, ikan demersal dan juga biota laut lainnya Pujiyati 2008. Kondisi biofisik alamiah tersebut di atas memungkinkan sumberdaya ikan mempunyai peluang yang tinggi untuk pulih. Hal ini terlihat dari analisis parameter biofisik dengan laju pertumbuhan intrinsik yang tinggi r = 1,8359. 66 Gambar 15 Keseimbangan bioekonomi statik sumberdaya ikan sekitar pantai 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 300 600 900 1200 1500 jut a r upi ah Effort unit MR  max. c=MC AR 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 300 600 900 1200 1500 Re nte ek onom i j uta rupi ah Effort unit π MSY π MEY π OA 20.000 40.000 60.000 80.000 100.000 120.000 140.000 160.000 300 600 900 1.200 1.500 TR da n T C jut a r upi ah Effort unit MSY MEY TR TC OA 4000 8000 12000 16000 20000 300 600 900 1200 1500 Yi el ds to ns Effo r t unit MS Y MEY h CYP OA C B D E E M EY E M SY 9000 18000 27000 36000 45000 300 600 900 1200 1500 Sto k to n Effo r t unit MS Y MEY OA A s us tained effort curve yie ld e ffo rt c urv e eco no mi c re nt urv e 67 ii Analisis optimasi dinamik pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai Analisis optimasi dinamik pengelolaan sumberdaya perikanan dilakukan karena tangkapan yield dan upaya penangkapan effort pada kegiatan perikanan tidak bersifat statis. Kegiatan perikanan bergerak mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi pada sumberdaya dan faktor eksternal lainnya. Aspek pemanfaatan sumberdaya perikanan dengan pendekatan model dinamik bersifat intertemporal, maka dalam menganalisis aspek tersebut dijembatani dengan penggunaan discount rate . Perhitungan discount rate dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan tampilan hubungan antara stok ikan, effort, hasil tangkapan dan rente ekonomi dengan discount rate dapat dilihat pada Gambar 16. Hubungan tingkat discount rate dengan biomas, upaya penangkapan effort, produksi dan rente ekonomi optimal dinamik pada sumberdaya ikan di sekitar perairan pantai Kabupaten Indramayu dapat dilihat pada Gambar 16. Pada gambar tersebut menunjukkan tingkat discount rate yang semakin tinggi akan memacu semakin tingganya jumlah effort yang digunakan Gambar 16B, sehingga akan menurunkan stok ikan di perairan Gambar 16A dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju peningkatan effort dan jumlah stok ikan tinggi. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan produksi optimal dan biomasa optimal yang lebih tinggi. Apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol tanpa discount rate, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau maximum economic yield MEY. Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya ikan. Jika discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik sumberdaya ikan akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access OA, sehingga keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus kepada kepunahan sumberdaya ikan. Hal yang sama juga terlihat pada rente ekonomi yang diperoleh, dimana rente ekonomi yang diperoleh akan semakin besar apabila semakin rendahnya tingkat discount rate Gambar 16D, sebaliknya jika tingkat discount rate semakin tinggi maka rente ekonomi yang diperoleh akan semakin kecil. Hal ini berarti bahwa eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebihan saat ini dengan nilai rente ekonomi yang diterima untuk waktu jangka panjang ternyata tidak memberikan nilai rente yang optimal. Peningkatan upaya penangkapan yang berlebihan akan mengakibatkan peningkatan terhadap biaya yang dikeluarkan. Hal ini akan berimplikasi terhadap laju degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai yang semakin cepat. c. Tingkat degradasi dan depresiasi sumberdaya Degradasi dan depresiasi sumberdaya dapat diartikan sebagai penurunan nilai dari sumberdaya baik secara kuantitas maupun kualitas dan manfaat secara ekonomi sebagai dampak dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Hasil tangkapan lestari h MSY sebesar 20.005,38 ton per tahun, sedangkan hasil tangkapan aktual sebesar 20.097,98 ton tahun -1 , maka laju tingkat degradasi adalah 0,2698. Rente ekonomi lestari π MSY sebesar Rp 119.028,49 juta tahun -1 , sedangkan rente ekonomi aktual π aktual sebesar Rp 100.358 juta tahun -1 , maka laju tingkat depresiasi adalah 0,3001. Treshold degradasi diasumsikan terjadi pada saat hasil 68 tangkapan atau rente ekonomi lestari sama dengan hasil tangkapan atau rente ekonomi aktual degradasi, yakni sebesar 0,2689. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sumberdaya ikan sekitar pantai mengalami degradasi dan depresiasi. Gambar 16 Hubungan tingkat discount rate dengan biomas A, effort B, hasil tangkapan C dan rente ekonomi D CYP_U IN150 y = -93,844x + 23040 R² = 0,9995 21.200 21.400 21.600 21.800 22.000 22.200 22.400 22.600 22.800 - 5 10 15 20 B iom as t on Discount Rate y = 1,7745x + 19975 R² = 0,5209 19.970 19.975 19.980 19.985 19.990 19.995 20.000 20.005 20.010 - 5 10 15 20 H ar ve st ri bu t on Discount Rate y = 592,08x 0,0397 R² = 0,9666 600 610 620 630 640 650 660 670 680 - 5 10 15 20 Ef for t uni t Discount Rate y = 1E+07x -0,962 R² = 1 - 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 - 5 10 15 20 R e nt e e konom i R p jut a Discount Rate A B D C 69 Simpulan 1. Performa mangrove dalam selang waktu 15 tahun tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan penurunan sebesar 689 ha sekitar 31 atau 46 ha tahun -1 dan tutupan mangrove di lahan Perhutani dan tambak rakyat sekitar 7 tahun -1 . 2. Sekitar 50,84 nelayan Indramayu merupakan nelayan skala kecil dengan daerah penangkapan ikan di sekitar pantai. Status sumberdaya ikan sekitar pantai yang dilakukan analisis bioekonomi model Gordon-Schaefer dengan mendasarkan pada hubungan antara produksi perikanan tangkap h dengan variabel upaya penangkaan effort; E dari tiga jenis alat tangkap yang beroperasi di sekitar pantai, yaitu jaring pantai, jaring klitik dan sero menunjukkan kondisi overfishing, terdegradasi dan terdepresiasi. 70

4. PENGARUH EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP PERIKANAN TANGKAP SEKITAR PANTAI DAN

BUDIDAYA TAMBAK TRADISIONAL- SILVOFISHERY Pendahuluan Konservasi habitat akan bermakna apabila mampu menyediakan jasa-jasa ekosistem yang bermanfaat bagi manusia. Jasa-jasa ekosistem merupakan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu ekosistem MEA 2005; Liu et al 2010. Salah satu ekosistem pesisir yang banyak menyediakan jasa-jasa bagi kepentingan manusia adalah mangrove. Mangrovofishe berperanan penting bagi aktivitas perikanan tangkap Barbier and Strand 1997; Barbier 2000; Islam and Haque 2004; Udoh 2016 dan bagi budidaya tambak pola tradisional-silvofishery Nur 2002 dengan meningkatkan produktivitas tambak Mardawati 2004, menghasilkan hasil sampingan Haris et al. 2013; Rangkuti 2013 dan merupakan kunci dalam pembangunan akuakultur berkelanjutan Primavera 2005. Subsektor perikanan tangkap dan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu mempunyai peranan penting bagi pembangunan dan merupakan tempat bergantung hidupnya nelayan dan pembudidaya ikan. Kabupaten Indramayu memiliki mangrove yang tumbuh di lahan Perhutani dan lahan masyarakat. Dikaitkan dengan hipotesa bahwa adanya keterkaitan antara mangrove dengan perikanan tangkap dan budidaya tambak tradisional- silvofishery , maka penting untuk memahami interaksi-interaksi tersebut. Hal ini mengingat jika ada perubahan dalam ekosistem mangrove, maka akan berefek terhadap perubahan aktivitas perikanan tangkap dan budidaya tambak tradisional- silvofishery . Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional-silvofishery Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan preskripsi bagi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove, sehingga dapat mendukung perikanan secara berkelanjutan. Metode Jenis dan sumber data Data yang diperlukan terdiri atas : a Data perikanan tangkap: data yang diperlukan sama dengan data yang diperlukan untuk mencapai tujuan 1. b Data budidaya tambak : terdiri atas data primer sekunder. Data sekunder berupa luas tambak, input produksi dan output produksi yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan hasil penelitian Nur 2002 dan Haris et al 2013. Data primer berupa peubah data cross section : jenis-jenis dan jumlah biaya-biaya investasi Rp, jenis-jenis dan jumlah biaya-biaya operasional per musim tanam Rp, jenis-jenis dan jumlah ikan baik hasil utama maupun sampingan dan harga jual hasil panen di tempat Rp kg -1 . 71 Pengumpulan Data dan Penetapan Responden Metode pengumpulan data dan responden terkait dengan perikanan tangkap dilakukan seperti halnya tujuan 1, sedangkan metode pengumpulan data dan responden terkait dengan tambak dilakukan sebagai berikut : - Pengumpulan data sekunder dilakukan di Instansi Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Perhutani. - Pengumpulan data primer diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara mendalam terhadap staf instansi terkait dan wawancara terstruktur dengan petambak. Observasi lapangan dilakukan dengan cara melihat, mencatat dan memotret obyek dengan bantuan digital camera foto dokumentasi meliputi kondisi mangrove, kondisi tambak berbagai pola usaha silvofishery, tradisional, semiintensif, monokultur, polikultur. Wawancara mendalam dengan pemilihan responden secara purposive dan snowballing sampling. Responden yang dipilih secara puposive adalah staf instansi terkait 1 orang staf Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten, 4 orang staf Perhutani KPH Kabupaten Indramayu, 4 orang Staf Dinas Perikanan dan Kelautan, 1 orang Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan 2 orang pengurus LMDH. Wawancara terstruktur dilakukan terahadap 34 petambak yang dipilih secara stratified berdasarkan petambak silvofishery dan non silvofishery menurut blok tambak, yaitu Blok Cantigi, Blok Purwa dan Blok Tegur Analisis Data Analisis pengaruh mangrove terhadap perikanan tangkap Untuk melihat pengaruh eksosistem mangrove apakah sebagai habitat esensial ataupun habitat fakultatif dengan mengikuti model bioekonomi interaksi habitat-perikanan yang dikembangkan Barbier dan Strand Barbier 2000, Foley et al 2009 dan Mykoniatis and Ready 2013. Pengaruh mangrove dapat dilihat secara biologi dari efeknya terhadap pertumbuhan intrinsik dan daya dukung lingkungan dalam fungsi pertumbuhan dan secara ekonomi terhadap penerimaan dan keuntungan Foley et al 2012; Mykoniatis and Ready 2013. 1 Model habitat Fakultatif Model habitat fakultatif mengasumsikan bahwa tidak ada informasi awal yang cukup tentang adanya interaksi mangrove dengan ikan-ikan sekitar perairan pantai. Mengikuti model tersebut hubungan mangrove dengan ikan sekitar pantai yang berasosiasi dengan mangrove dimulai dengan persamaan dinamika stok ikan dengan X t , M t dan E t masing-masing sebagai stok ikan, mangrove dan upaya penangkapan sebagai berikut : Ẋ = FX t ,M t – h X t ,E t 4.1 Persamaan tersebut menyatakan bahwa ekspansi bersih terhadap stok yang terjadi pada saat laju pertumbuhan pada suatu periode tertentu lebih kecil dari laju pemanfaatan. Persamaan tersebut mengasumsikan ∂F∂ X t dan ∂F∂M t ≥0. Dalam fungsi logistik pertumbuhan diasumsikan bahwa mangrove mempengaruhi kedua parameter biofisik pertumbuhan intrinsik r dan daya