KELEMBAGAAN PENGELOLAAN MANGROVE DAN

100 manusia, dan teknologi budidaya dan penangkapan ikan dianggap tetap, maka perubahan institusi misalnya kontrak silvofishery, sistem bagi hasil, kebijakan keharusan menanam mangrove di tambak akan mengubah para aktor yang terlibat dan pada akhirnya akan menentukan performa 28 . Pemahaman institusi menjadi penting untuk menjelaskan fakta degradasi mangrove yang akan berefek pada aktivitas perikanan tangkap dan budidaya tambak sistem silvofishery. Dengan perkataan lain pembahasan akan diarahkan dengan menjelaskan variabel institusi ke dalam pengelolaan jasa lingkungan ekosistem mangrove. Analisis yang digunakan adalah analisis SSP Situasi, Struktur dan Performa yakni menganalisis dampak kelembagaan pengelolaan mangrove guna menghasilkan performa yang diharapkan. Untuk situasi tertentu, perubahan struktur kelembagaan akan mengubah prilaku manusia yang selanjutnya prilaku tersebut dapat menentukan performa. Dengan demikian produksi perikanan sekitar pantai h F dan produksi tambak tradisional- silvofishery Q A tergantung dari kondisi mangrove luas tutupan mangrove dan kondisi mangrove M tersebut tergantung dari ketersediaan lahan L, sedangkan lahan tergantung dari institusi kepemilikan lahan I m termasuk status property right yang dapat mempengaruhi prilaku petambak dalam mengelola mangrove. Keberadaan mangrove sebagai suatu performa pengelolaan mangrove selanjutnya akan menentukan aktivitas usaha perikanan tangkap sekitar pantai. Di sisi lain, kinerja pengelolaan perikanan tangkap dipengaruhi oleh kelembagaan pengelolaan yang ada. Untuk situasi tertentu, struktur kelembagaan perikanan tangkap akan mempengaruhi prilaku nelayan dan dari prilaku nelayan tersebut akan mempengaruhi performa perikanan tangkap. Dengan demikian, untuk performa produksi perikanan tangkap h F selain ditentukan oleh institusi pengelolaan mangrove I M juga ditentukan oleh institusi pengelolaan perikanan tangkap I F yang mempengaruhi nelayan dalam menggunakan upaya penangkapan E F . performa produksi budidaya silvofishery-tambak sederhana Q A dipengaruhi oleh penggunaan faktor-faktor produksi Bibit, B A dan Pakan, P A serta mangrove. Secara sederhana kerangka hubungan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : Perikanan tangkap : h F = fM, E; M=fL; L=fI M dan E=fI F Perikanan budidaya : Q A =fB A , P A , M; M=fI M Apa dan bagaimana bekerjanya institusi mangrove dan institusi perikanan yang mempengaruhi prilaku petambak dan nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya sehingga mempengaruhi performa mangrove dan performa budidaya serta performa perikanan tangkap merupakan fokus utama penelitian pendekatan kelembagaan. Jenis dan sumber data Data yang diperlukan meliputi 2 dua aspek, yaitu: a. Data yang terkait dengan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap. 28 Johnson 1985 dalam Pakapahan 1989 mengemukakan bahwa sumberdaya alam, semuberdaya manusia, teknologi dan kelembagaan merupakan empat faktor penggerak four prime mover dalam pembangunan pertanian. Keempat faktor tersebut merupakan syarat kecukupan sufficient condition untuk mencapai performa pembangunan yang dikehendaki. 101 Data yang dikumpulkan terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh berupa peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perikanan tangkap. Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu dan Propinsi Jawa Barat, Bappeda Indramayu dan sumber-sumber kepustakaan. Data primer berupa batas juridiksi penangkapan, kepemilikan perairan, akses terhadap sumberdaya, konflik akses dan solusinya serta aturan informal dalam akses dan pemanfaatan sumberdaya. b. Data terkait dengan kelembagaan pengelolaan mangrove. Data yang dikumpulkan terdiri atas data sekunder dan data primer. Data sekunder yang diperoleh berupa peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan mangrove, kontrak tambak silvofishery antara Perhutani dan Petambak, sejarah pendirian kelompok tani hutan KTH, struktur organisasi, aturan main kepengelolaan, luasan mangrove yang dikelola batas jurisdiksi, biaya-biaya pengelolaan termasuk biaya transaksi pengelolaan, dan manfaat pengelolaan. Data sekunder diperoleh dari Kantor Perhutani, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu, Bappeda Indramayu dan sumber-sumber kepustakaan. Data primer berupa sumber-sumber interdependensi, batas jurisdiksi, penetapan property right, aturan tidak tertulis, biaya-biaya pengelolaan termasuk biaya transaksi, partisipasi dalam pengelolaan, masalah free riding, koordinasi dengan instansi terkait, bentuk- bentuk pengawasan dan penegakan hukum, struktur insentif dan disentif pengelolaan, akses terhadap sumberdaya, motif penebangan mangrove, dan konflik akses dan solusinya, jenis mangrove, pola silvofishery dan alasanmotivasi anggota masyarakat mengambil mangrove. Metode Pengumpulan Data dan Penetapan Responden Metode pengumpulan data dan responden terkait dengan perikanan tangkap dan mangrove dilakukan seperti halnya pada tujuan 1. Metode Analisis yang digunakan adalah analisis dampak institusi terhadap perfoma tertentu Schmid, 1987. Dalam pendekatan ini akan dilakukan analisis deskriptif terhadap Situasi S, Struktur P dan Performa P` dari kelembagaan pengelolaan mangrove dan pengelolaan perikanan tangkap yang meliputi : - Analisis situasi sebagai sumber ketergantungan yang dilakukan secara deskriptif terhadap karakteritik situasi, yaitu inkompatibilitas, biaya penegakan, dan biaya transaksi. - Analisis struktur kelembagaan yang dilakukan secara deskriptif terhadap batas jurisdiksi, property right dan aturan representasi dilakukan secara deskriptif. - Analisis terhadap performa kelembagaan yang dilakukan secara kuantitatif, yang mencakup performa : perubahan luasan mangrove, status sumberdaya ikan, jumlah effort, jumlah hasil tangkapan, dan rente ekonomi. Performa kelembagaan pengelolaan sumberdaya ikan dan pengelolaan mangrove dianalisis pada Tujuan 1 lihat bab 3 dan Tujuan 2 lihat bab 4. 102 Hasil dan Pembahasan Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Lahan pesisir di Kabupaten Indramayu diupayakan oleh masyarakat untuk pemukiman, pertanian, budidaya tambak, industri dan sebagainya. Pengetahuan tentang status kepemilikan dan fungsi lahan penting untuk mengupayakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Merujuk hal tersebut, analisis dan pembahasan kelembagaan pengelolaan mangrove dalam kasus ini dibedakan menurut status kepemilikan lahan yang merupakan salah satu komponen institusi, yaitu lahan Perhutani dan lahan milik warga termasuk badan usaha. Hal ini dengan pertimbangan sebagai berikut : i Perhutani dan individu-individu menguasai sebagian besar lahan pesisir. Lahan pesisir di Kabupaten Indramayu layak ditanami mangrove Gumilar 2010. ii Tidak ada lahan yang bersifat kepemilikan komunal iii Tidak ada lahan yang bersifat open access. Open acces terjadi pada mangrove yang tumbuh di muara sungai. iv Kepemilikan lahan akan menentukan keputusan apakah mangrove dapat ditanam atau tidak ditanam di lahan tersebut. Bagi Perhutani, lahan merupakan sarana untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan, yang dalam taraf operasional pengalokasian lahan diatur dalam kelembagaan kontrak silvofishery, sehingga melalui kelembagaan kontrak tersebut selanjutnya akan menentukan keputusan apakah petambak kontrak penggarap akan menanam mangrove ataupun tidak. Bagi seorang pemilik, status kepemilikan lahan merupakan sarana untuk memaksimumkan keuntungan, sehingga akan menjadi pertimbangan apakah pemilik tersebut bersedia menanam mangrove atau tidak menanam di lahannya. Dengan demikian, prilaku menanam mangrove di lahan pesisir yang menghasilkan performa covarage mangrove akan ditentukan oleh kelembagaan kepemilikan lahan. 1 Kelembagaan Pengelolaan Mangrove di Lahan Perhutani Kelembagaan pengelolaan mangrove dilihat dari 2 dua sudut pandang, yaitu i kebijakan pengelolaan mangrove dan ii kelembagaan kontrak silvofishery yang mengatur kesepakatan pengelolaan lahan antara Perhutani dan petambak i Kebijakan pengelolaan mangrove Di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu dengan panjang garis pantai 114 km, Perhutani mengelola hutan mangrove di lahan seluas 8.071 ha yang secara administratif berada di 5 kecamatan dan 10 desa. Kawasan yang dikelola Perhutani merupakan kawasan hutan negara 29 yang dikelola oleh Perusahaan Umum Perum Perhutani sebagai badan usaha milik negara di bidang kehutanan 29 Merupakan Kawasan hutan berfungsi lindung dengan krietria kawasan pantai berhutan bakau sesuai SK Menhut No. 419Kpts II1999 RTRW Kabupaten Indramayu 2011-2031. 103 yang seluruh modalnya dimiliki negara berupa kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham. Pengelolaan hutan yang dimaksud adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang tentang Perusahaan Umum Perum Kehutanan Negara. Perusahaan menyelenggarakan kegiatan Pengelolaan Hutan sebagai ekosistem sesuai dengan karakteristik wilayah untuk mendapatkan manfaat yang optimal dari segi ekologi, sosial, dan ekonomi, bagi Perusahaan dan masyarakat. Selanjutnya, perspektif perundang-undangan dan peraturan penguasaan dan pengelolaan kawasan hutan negara di Indramayu dapat dilihat pada Lampiran 9. Hak atas lahan-hutan mangrove diperoleh melalui mekanisme administratif berupa pelimpahan kewenangan atau penugasan pengelolaan hutan negara oleh Pemerintah kepada Perhutani berdasarkan UU No. 411999, PP No. 62007, PP No. 151975, PP No. 722010. Dalam hal pengelolaan tata kelola lahan mangrove, Perhutani tidak diperbolehkan menjual lahan, namun pemanfaatannya dapat dikerjasamakan dengan pihak lain pasal 3 ayat 5 PP No. 722010, sehingga lahan bersifat non transferable melalui mekanisme jual beli. Dalam melaksanakan pengelolaan hutan, Perhutani wajib melibatkan masyarakat sekitar hutan dengan memperhatikan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan dapat dilakukan dengan cara : a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, danatau pelatihan; b. menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan c. melindungi masyarakat dalam berperan serta pada pelaksanaan Pengelolaan Hutan, antara lain memperhatikan dan menindaklanjuti saran dan usul dari masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan sepanjang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan dalam rangka perlindungan hutan. Upaya melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 6 dapat dilakukan dengan cara : a. memberikan dan menyelenggarakan penyuluhan, bimbingan, pendampingan, pelayanan, bantuan teknik, pendidikan, danatau pelatihan; b. menyebarluaskan informasi mengenai proses pengelolaan hutan kepada masyarakat secara terbuka; dan c. melindungi masyarakat dalam berperan serta pada pelaksanaan pengelolaan hutan, antara lain memperhatikan dan menindaklanjuti saran dan usul dari masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan sepanjang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan dalam rangka perlindungan hutan. Terkait dengan pengelolaan lahan mangrove, masyarakat diberikan hak menggarap yang tertuang dalam perjanjiankontrak, sehingga dikenal juga sebagai petambak garap atau penggarap. Secara kelembagaan, hutan mangrove yang dikelola Perhutani berada di wilayah kerja Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan BKPH Indramayu, Kesatuan Pemangkuan Hutan KPH Indramayu, Perusahaan Umum Kehutanan Negara Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Secara hirarki, lingkup wilayah kerja Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten dipimpin Kepala Unit terdapat 14 KPH dipimpin AdministraturKepala KPH, 110 BKPH dipimpin AsperKepala BKPH dan 382 RPHResort Polisi Hutan dipimpin Mantri HutanKepala Resort. Pengelolaan kawasan hutan di KPH Indramayu diorganisasikan dalam 6 BKPH yaitu BKPH Indramayu, BKPH Cikawung, 104 BKPH Sanca, BKPH Haurgeulis, Plosokerep dan BKPH Jatimunggul dan 21 RPH. Masing-masing RPH punya pelaksana lapangan untuk kegiatan tanaman, pemeliharaan, penjarangan, keamanan, pembantu penyuluh sosial, pembantu lingkungan, dan tebangan. BKPH Indramayu mengelola hutan mangrove yang meliputi 4 empat wilayah kerja RPH, yaitu RPH Purwa, RPH Cangkring, RPH Cemara dan RPH Pabean Ilir yang secara administratif berada di Kecamatan Losarang, Pasekan, Cantigi, Kandanghaur dan Kecamatan Sindang. Selaku BUMN, selama ini kontribusi Perum Perhutani KPH Indramayu kepada masyarakat cukup besar, baik kontribusi secara langsung maupun kontribusi tidak langsung terutama terkait penyediaan lahan bagi masyarakat, sharing kayu, dana PKBL dan pengelolaan hutan payau. Dalam pengelolaan lahan Perhutani Perhutani sebagai pelaku usaha kehutanan, Kemenhut selaku pembuat kebijakan dan Dishut selaku pelaku kebijakan, perubahan kebijakan pengelolaan mangrove dalam bentuk pola silvofishery yang diterapkan sejak tahun 1975 diharapkan dapat mengubah prilaku petambak, sehingga degradasi mangrove sebagai suatu performa yang tidak diharapkan tidak dapat terjadi. Silvofishery merupakan sebuah narasi kebijakan suatu keyakinan atau cara berpikir yang mampu memutuskan keseimbangan antara mangrove dan tambak, sehingga tercapainya tujuan ekologi, sosial dan ekonomi. Faktanya, meskipun telah ada implementasi kebijakan silvofishery, masalah degradasi mangrove masih tetap terjadi. Adanya kesenjangan antara performa mangrove yang diharapkan dengan kinerja faktual yang ada merupakan masalah kebijakan policy problem 30 yang dalam hal ini adalah masalah kebijakan pengelolaan mangrove pola silvofishery. Adaya masalah kebijakan perlu adanya pemecahan masalah yang sesungguhnya pemecahan masalah tersebut adalah elemen kunci dalam analisis kebijakan. Degradasi mangrove merupakan masalah kebijakan, sehingga perlu upaya strukturisasi masalah kebijakan. Selanjutnya, masalah kebijakan sebagai bagian dari sistem kebijakan pengelolaan mangrove dan upaya strukturisasi masalah kebijakan dianalisis pada Bab 6. ii Kelembagaan kontrak silvofishery Kontrak silvofishery merupakan bentuk institusi aturan main pengelolaan lahan Perhutani guna mewujudkan tujuan kelestarian mangrove tujuan ekologi dan tujuan kesejahteraan masyarakat tujuan ekonomi dan dipandang dari sudut ekonomi, kontrak merupakan aktivitas ekonomi dimana setiap aktivitas ekonomi membutuhkan biaya baik biaya operasional maupun biaya transaksi guna menghasilkan output. Dalam kontrak tersebut terdapat struktur insentif dan disentif bagi pelaku kontrak. Pertanyaan yang diajukan sehubungan adanya fakta degradasi mangrove adalah mengapa institusi kontrak silvofishery yang dikelola Perhutani tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkan dalam mempertahankan luasan mangrove sebesar 80 dan mengapa kontrak tersebut belum menjamin prilaku petambak untuk melaksanakan pengelolaan silvofishery. Masalah degradasi bukan masalah biofisik semata, tetapi lebih pada masalah keputusan individu yang keputusan tersebut dapat dipengaruhi oleh institusi yang berlaku. 30 Nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terealisasi, yang dapat diidentifikasikan, untuk kemudian dapat diatasi melalui tindakan publik Dunn 2003. 105 Dari sudut pandang Perhutani, pengelolaan lahan bertujuan untuk mempertahankan mangrove dengan tidak mengabaikan peran kehutanan sosialnya. Performa yang diinginkan oleh Perhutani adalah terjaganya proporsi luasan mangrove dan tambak, yakni 80 untuk areal mangrove dan 20 untuk areal tambak badan air. Tujuan mencapai performa tersebut dijabarkan dalam bentuk kelembagaan kontrak antara Perhutani dan petambak penggarap yang mengatur pengelolaan lahan Perhutani untuk kepentingan mangrove dan perikanan. Pola silvofishery sesungguhnya merupakan bentuk lain dari pola pengusahaan lahan selain pola bagi hasil, sewa dan gadai yang selama ini dikenal oleh masyarakat. Kelembagaan bagi hasil, sewa dan gadai diikat dan direpresentasikan dalam bentuk perjanjiankontrak baik tertulis maupun tidak tertulis. Dilihat dari iuran yang dikeluarkan petambak, kelembagaan silvofishery lebih mirip dengan kelembagaan sewa, hanya dalam silvofishery batas menggarap lahan ditentukan selama satu tahun sepanjang petambak mampu menghasilkan performa yang diharapkan Perhutani. Hak garap atas tambak sewaktu-waktu bisa dipindahkan kepada penggarap lain bila penggarap menunjukkan performa yang buruk, sedangkan hak memanfaatkan lahan dalam kelembagaan sewa terjadi sepanjang masa sewa. Dalam kontrak silvofishery terdapat pengaturan hak dan kewajiban serta struktur insentif-disentif bagi petambak yang menggarap lahan Perhutani lahan garapan. Lahan tersebut merupakan lahan kawasan hutan yang dikelola petambak dengan luas tidak melebihi ketentuan maksimum yang ditetapkan oleh Perhutani. Dalam satu luasan lahan garapan terdapat caren dikenal juga sebagai parit atau bodeman yang merupakan bagian luasan lahan dan diperuntukan bagi pemeliharaan ikan serta rabak yang merupakan bagian luasan lahan yang ditanami vegetasi mangrove. Pola tanam yang digunakan adalah pola empang parit silvofishery dimana letak caren mengelilingi tambak. Kontrak pada dasarnya mengandung dimensi pertukaran risiko antara Perhutani dan Petambak. Proses pertukaran tersebut tidak melalui mekanisme pasar, sehingga pilihannya adalah kelembagaan kontrak silvofishery yang tertuang dalam bentuk Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Kawasan Hutan Mangrove dengan Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM. Diterapkan sejak 2001 sesuai SK Direksi Perhutani No. 136KPTSDir2001. Sistem PHBM menganut pada prinsip pengelolaan hutan community based forest management CBFM dan resources based forest management RBFM. Prinsip pengelolaan hutan CBFM mengandung makna bahwa dalam pengelolaan hutan tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan perusahaan tetapi juga untuk kepentingan masyarakat, sehingga dalam pengelolaannya melibatkan masyarakat sekitar kawasan hutan mulai dari perencanaan, pengelolaan sampai dengan pengawasannya. Prinsip pengelolaan hutan PHBM mengandung makna bahwa dalam pengelolaan hutan Perum Perhutani tidak hanya bertumpu kepada hasil hutan kayu dan hasil hutan lainnya saja, tetapi meliputi pengelolaan seluruh sumberdaya hutan yang terkandung di dalam maupun yang ada di permukaan lahan hutan, seperti: air, agribisnis, wisata alam, dan lainnya, yang ditujukan untuk mengoptimalkan manfaat hutan bagi perusahaan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem PHBM, hutan terbagi dalam Hutan Pangkuan Desa HPD dan dibuatkan lembaga yang disebut Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH. LMDH merupakan organisasi berbadan hukum, terdapat struktur 106 kepengurusan dan mempunyai ADART. Kerjasama dituangkan dalam Surat Perjanjian Kerjasama PHBM antara Perum Perhutani dengan LMDH yang merupakan kegiatan kerjasama PHBM secara menyeluruh pada petak-petak hutan pangkuan dalam suatu wilayah desa. Dalam perjanjian kerjasama tersebut juga disebutkan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak LMDH dan Perum Perhutani dan mekanisme berbagi dengan nilai dan proporsi berbagi yang telah ditentukan dari hasil pengelolaan sumberdaya hutan. Minawana yang diterapkan di Indonesia diperkenalkan oleh Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Minawana yang diperkenalkan di Indonesia, pada awalnya dikenal dengan istilah tambak tumpangsari, tambak empang parit, atau hutan tambak Primavera 2000. Saat ini konsep minawana ini dikenal luas dengan istilah silvofishery. Pada awalnya pengembangan minawana didasari oleh adanya konversi ekosistem mangrove secara ilegal menjadi tambak sejak tahun 1970-an. Untuk mengurangi potensi konflik antara pembangunan tambak dan konservasi mangrove, Departemen Kehutanan RI melalui Perum Perhutani kemudian mengembangkan program Kehutanan Sosial Social Forestry pada tahun 1976. Program tersebut kemudian dikenal dengan minawana. Pada program ini, masyarakat diberikan kesempatan untuk memanfaatkan ekosistem mangrove. Pemanfaatan ini ditujukan untuk usaha perikanan tanpa merusak ekosistem mangrove dan diharapkan kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada saat yang sama ekosistem mangrove tetap lestari. Namun dalam penerapannya di lapangan, pola minawana yang telah diterapkan oleh Departemen Kehutanan RI maupun yang dipraktekkan oleh masyarakat belum dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bahkan ekosistem mangrove cenderung rusak. Kegiatan minawana berupa empang parit pada kawasan ekosistem mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1976. Pada tahun 1977 di kawasan mangrove di Cilacap, minawana sudah mulai dikembangkan sebagai upaya reboisasi dan memberikan lapangan kerja bagi masyarakat. Sementara itu sejak tahun 1986 BPKH Ciasem Pamanukan telah menerapkan strategi Perhutanan Sosial PS yang pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif sebagai penggarap tambak dan udang serta wajib memelihara ekosistem mangrove. Pola ini kemudian disempurnakan pada tahun 1988 dengan program minawana Perhutani 1984. Perkembangan terakhir dengan SK Direksi Perhutani No.682KPTSDir2009 tentang pedoman PHBM aplikasinya adalah kawasan hutan KPH Indramayu telah dikerjasamakan dengan masyarakat setempat dan pada Hutan Payau, terdapat pola empang parit atau silvofishery. Dalam institusi kontrak silvofishery Perjanjian Kerjasama mengisyaratkan adanya property right yang dimiliki oleh Perhutani yang diperoleh melalui mekanisme adminstratif dari Negara. Perhutani menjabarkan struktur institusi dalam bentuk-bentuk butir-butir kontrak antara Perhutani dan Petambak dalam pemanfaatan perhutanan sosial. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, selanjutnya akan dikaji struktur kelembagaan kontrak, prilaku dan performa kontrak, sehingga akan dicapai preskripsi untuk mencapai performa yang diharapkan, misalnya perlu dilakukan penataan institusi kontrak 31 , antara lain 31 Institusi kontrak mengarahkan pada prilaku aktor petambak untuk mengambil keputusan. Penataan institusi dimaksudkan pada upaya pelestarian mangrove dengan tetap memperhatikan pedapatan petambak yang selama ini melakukan tindakan mempeluas luas lahan garapan yang 107 dengan cara pengaturan distribusi hak dan kewajiban dalam bentuk pemberian property right dan batas jurisdiksi setelah mempertimbangkan karaktersitik pengusahaan hutan mangrove yang dikelola Perhutani, yaitu biaya transaksi 32 . Indikator untuk mengukur performa adalah tutupan mangrove dalam kurun waktu 2000-2014. Dalam pengelolaan lahan Perhutani terdapat 2 dua sumber permasalahan, yaitu 1 konflik; engelolaan silvofishery melibatkan dua kepentingan antara Perhutani dan Petambak. Perhutani menghendaki dipertahankannya mangrove selua 80 sementara petambak terus memperluas luasan tambak dengan cara menebang ataupun mematikan mangrove, 2 tingginya biaya pengawasan kontrak karena Perhutani tidak mampu mengamankan property right-nya akibat luasnya lahan. Dua kondisi tersebut menyebabkan fenomena penunggangan gratis free rider dan prilaku mencari rente rent seeking behavior. Prilaku petambak yang masih menebang mangrove atau pun kesadaran yang rendah dalam menanam mangrove mengindikasikan gagalnya upaya pelestarian mangrove. Fungsi hutan sebagai barang publik yang diamanatkan kepada Perhutani belum berjalan dengan baik. Pentingnya pelestarian hutan belum diadopsi oleh petambak secara maksimal malahan kapitalisasi lahan semakin menggejala. Fakta di lapangan menunjukkan banyak petambak dapat menggarap lahan lebih dari 2 ha. Mangrove di tambak silvofishery tidak sesuai yang diharapkan dengan tutupan 80 lihat Gambar 26. Keuntungan dari tambak masih menjadi dorongan utama ketimbang pelestarian mangrove. Gambar 26 Tipikal kondisi mangrove di lahan silvofishery-Perhutani Pengelolaan jasa lingkungan ekosistem mangrove yang menghasilkan performa tertentu tidak terlepas dari pengaruh variabel institusi. Dengan demikian hipotesis yang diajukan adalah perubahan performa covarage mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu tergantung dari kelembagaan yang mampu memberikan struktur insentif ataupun disentif bagi petambak ‗kontrak‘ untuk melakukan penanaman ataupun penebangan mangrove. Menurunnya tidak sesuai dengan ketentuan kontrak. Penataan hak-hak kontrak perlu dalam meningkatkan performa. 32 Biaya transaksi adalah biaya untuk mengukur nilai atribut barang dan jasa information cost yang akan dipertukarkan, biaya untuk melindungi hak atas barang exclution cost, serta biaya untuk menetapkan kontrakperjanjian contractual cost dan biaya untuk menjalankan perjanjian policing cost North 1991. 108 performa covarage mangrove akibat kelembagaan pengelolaan yang tidak mampu menggerakkan petambak untuk berkontribusi dalam meningkatkan coverage mangrove, bahkan cenderung sebaliknya. Sepanjang periode tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 diasumsikan hanya terjadi trade off antara penggunaan lahan untuk mangrove dan penggunaan lahan untuk tambak. Trade off bermakna adanya pemanfaatan lahan yang dicirikan adanya incompatibility yang berarti bahwa luasan lahan yang digunakan untuk tambak akan meniadakan pemanfaatan lahan untuk mangrove dan juga sebaliknya. Hal ini bermakna juga bahwa mangrove mempunyai option value untuk kegiatan yang lain. Analisis dan pembahasan mengenai keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap sekitar pantai dan keterkaitan mangrove dengan budidaya tambak tradisional tidak membedakan antara mangove di lahan Perhutani dan di lahan milik masyarakat. Dengan perkataan lain, keterkaitan tersebut mencakup keseluruhan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu. Analisis dan pembahasan mengenai keterkaitan mangrove dengan budidaya tambak dapat dilihat dari hubungan antara luasan mangrove dengan hasil utama dan hasil sampingan tambak, sedangkan analisis keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap sekitar pantai akan dilihat hubungan antara luasan mangrove dengan produksi hasil tangkapan. Keterkaitan tersebut sudah dianalisis dan dibahas pada bab 4 dan mangrove merupakan habitat bagi biota perairan sekitar pantai yang dapat mendukung perikanan pantai, sedangkan bagi budidaya tambak keberadaan mangrove di tambak berperan dalam perolehan hasil sampingan tambak namun menunjukkan hubungan yang menurun terhadap hasil utama tambak. Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan hasil tambak harus ada ruang untuk budidaya ruang untuk biota perairan dan ruang untuk mangrove. Dengan demikian, penanaman mangrove akan efektif apabila di sempadan pantai, zona khusus mangrove dan penanaman mangrove di pinggir pematang tanggul. Masih adanya hasil sampingan di tambak meskipun mangrove di tambak secara rata-rata prosentase tutupannya kecil diduga masih adanya pasokan benih alami dari ekosistem mangrove yang ada zona muara Sungai Cimanuk, saluran tambak Gambar 27 A, sungai Gambar 27B, zona inti di Cantigi dan mangrove di pematang tanggul tambak serta beberapa muara sungai yang kesemuanya merupakan bagian dari ekosistem mangrove. A B Gambar 27 Tipikal mangrove di saluran tambak A dan di sungai B 109 Tingginya biaya pengawasan untuk menjaga hutan mangrove menjadikan Perhutani akan mempertukarkan lahannya dengan curahan waktu petambak agar berkontribusi dalam menjaga keberadaan mangrove. Kontrak diharapkan mampu mereduksi biaya pengawasan dan juga mampu memenuhi harapan petambak untuk memperoleh pendapatan. Dengan demikian institusi kontrak dapat mendorong terjadinya kesepakatan untuk melakukan transaksipertukaran. Institusi yang efektif akan mendorong terjadinya kerjasama dan mampu mengurangi biaya transaksi. Selanjutnya, analisis kelembagaan kontrak pengelolaan hutan dengan menggunakan analisis SSP situasi, struktur dan performa dapat diuraikan sebagai berikut : Situasi Situasi lahan Perhutani menunjuk pada karakteristik lahan dan perairan yang ditumbuhi mangrove sebagai sumber interdependensi. Relevan dengan kasus yang diamati, situasi sebagai sumber interdependensi yang merupakan batas jurisdiksi dilakukannya pengelolaan mangrove hanya dibatasi dari sisi inkompatibilitas, biaya eksklusi dan biaya transaksi yang dapat diuraikan sebagai berikut 33 : a. Pemanfaatan yang tidak kompatibel Lahan untuk mangrove dan lahan untuk tambak berada dalam situasi yang dicirikan adanya inkompatibilitas. Bila keseluruhan lahan digunakan untuk tambak berarti akan meniadakan penggunaan lahan untuk mangrove dan sebaliknya bila keseluruhan luas lahan digunakan untuk mangrove berarti akan meniadakan pemanfaatan lahan untuk tambak 34 . Oleh karena itu pilihan pola silvofishery sesungguhnya merupakan solusi dalam situasi inkompatibilitas. Secara teoritik dalam mengalokasikan sumberdaya lahan, maka faktor kepemilikan merupakan hal penting dalam mengendalikan situasi inkompatibilitas Pakpahan 1989. Secara de jure Perhutani memiliki lahan dengan penggunaan lahan untuk kawasan lindung dan tambak silvofishery. Namun demikian adanya situasi yang dicirikan dengan adanya karakteristik biaya ekslusi tinggi menyebabkan fakta penebangan mangrove masih menggejala. b. Biaya ekslusi tinggi Dalam melakukan pengawasan areal mangrove seluas 8.071 ha, Perhutani menghadapi situasi biaya ekslusi tinggi. Keberadaan masyarakat di desa-desa sekitar Hutan Pangkuan Desa HPD berpotensi akan menebang mangrove untuk berbagai keperluan. Selain itu, meskipun sudah diterapkan pola kerjasama sistem silvofishery , petambak masih menebang mangrove guna memperluas tambak, sehingga proporsi luasan mangrove terhadap tambak mengecil. Situasi ini menyebabkan Perhutani melakukan berbagai cara guna melakukan pengawasan 33 Sumber interdependensi yang lain adalah skala ekonomi, joint impact goods, surplus dan interdependensi antar generasi Pakpahan 1989. 34 Trade off terjadi juga pada bagian lahan yang berada di tengah yang dikenal sebagai rabak, yakni pilihan untuk ditanami vegetasi mangrove atau pilihan untuk dibuat ‗pelataran‘ bagian tambak yang letaknya di tengah dan biasanya lebih dangkal, tempat dilakukannya pemupukan untuk menumbuhkan klekap. Secara teknis, adanya pelataran yang luas akan meningkatkan jumlah ikan yang ditebar, memudahkan ikan bergerak serta menumbuhkan klekap sebagai pakan alami ikan. Trade off tidak terjadi pada caren bagian dari tambak yang letaknya di pinggir dekat pematangtanggul dan biasanya dibuat lebih dalam. 110 dan penegakan hukum 35 , antara lain melakukan pengawasan rutin. Meskipun sudah ada kontrak silvofishery antara Perhutani dan petambak, namun morale hazard 36 masih dilakukan oleh petambak dengan melakukan tindakan menebang ataupun mematikan vegetasi mangrove dengan tujuan memperluas areal tambak dengan tujuan agar ikan bandeng memiliki ruang gerak lebih luas. Meskipun Perhutani memiliki kewenangan di bidang penegakan hukum melalui tindakan pemaksaan dalam mengatasi penebangan mangrove, Perhutani lebih mengedepankan tindakan preventif dan persuasif, misalnya melakukan penyuluhan-penyuluhan. Secara kuantitatif besarnya biaya ekslusi sulit dihitung, namun tingginya biaya ekslusi dapat diindikasikan sebagai berikut : - mahalnya biaya untuk melakukan pemagaran atas areal seluas 8.063 ha da merupakan hal yang tidak mungkin - mahalnya biaya monitoring sehingga tidak mungkin bagi Perhutani memasang ‗monitor‘ di setiap areal tambak silvofishery. - untuk melakukan kegiatan pengawasan dilakukan oleh mandor hutan dengan cakupan areal yang luas c. Biaya transaksi tinggi Kontrak PHMB atau kontrak silvofishery merupakan proses transaksi yang melibatkan antara Perhutani dan Petambak. Transaksi berlangsung bukan tanpa biaya dan tentunya perlu memperhitungkan siapa yang menanggung biaya tersebut. Dalam proses kerjasama terdapat biaya-biaya yang timbul, yang dikenal dengan biaya transaksi 37 . Biaya transaksi yang tinggi akan menghambat tercapainya output yang diinginkan dan karena proses kerjasama merupakan proses ekonomi, maka biaya transaksi yang tinggi akan menurunkan nilai ekonomi. Dari sudut petambak, aktivitas budidaya terkait dengan kontrak silvofishery mengeluarkan biaya transaksi antara lain sebagai berikut : 35 Perum Perhutani memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan preventif dan represif di bidang lingkungan untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan yaitu : 1. mengadakan patroliperondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; 2 memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya; 3 Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; 4 Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; 5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; 6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan. 36 Merupakan ketidakjujuran atau karakter tidak baik dari petambak yang secara sengaja mendorong terjadinya kerugian atau memperparah kerugian yang terjadi, antara lain i dengan sengaja tidak mengeluarkan atau membendung air laut di dalam tambak silvofishery, sehingga bibit bakau yang baru ditanam akan mati karena tenggelam; ii dengan sengaja mengeringkan tambak, sehingga tanaman bakau khususnya bibit bakau yang baru tumbuh akan mati, karena kekurangan pasokan air laut, iii dengan sengaja ‗melukai‘ batang mangrove, sehingga pohon mangrove perlahan-lahan akan mati. Kondisi cuaca yang sangat panas pada saat musim kemarau, khususnya saat pengaruh El Nino membuat tanaman mangrove banyak yang mati. 37 Biaya transaksi dapat dibedakan atas 1 biaya membuat kontrak, 2 biaya informasi dan 3 biaya pemantauan dan pelaksanaan hukum. Biaya kontrak adalah biaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, misalnya negoisasi, biaya infomasi adalah biaya informasi untuk mengumpulkan produk atau input baik berupa harga, kualitas dan jumlah, sedangkan policing cost terkait exclution cost. 111 1. Memperpanjang kontrak silvofishery dengan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 80.000,00 antara lain untuk keperluan fotocopy dokumen dan lain-lain 2. Menghadiri pertemuan tahunan dengan biaya yang dikeluarkan antara lain untuk bensin rokok Rp 30.000,00 3. Biaya konsumsi sekitar Rp 40.000,00 untuk pertemuan insidental baik dengan mandor atau pun petambak lainnya dalam rangka mencari keterangan tentang perpanjangan kontrak. Dari sudut Perhutani, kontrak silvofishery mengeluarkan biaya transaksi antara lain sebagai berikut : 1. Pertemuan tahunan; ditujukan untuk sosialisasi dan dilaksanakan setahun dua kali yang dihadiri oleh petambak, Pemerintahan Desa, Muspika, Dishutbun dan beberapa tokoh masyarakat. Dalam pertemuan dibahas antara lain menentukan bagian- bagaian dari iuran ―sharing iuran‖ Poktan, Desa, Dishutbun dan Perhutani serta masalah tegakan mangrove. Lama pertemuan sekitar 2-3 jam dengan jumlah biaya untuk pertemuan yang dikeluarkan oleh Perhutani sekitar Rp 2 juta. Anggota yang hadir hampir 100 anggota Poktan wilayah Purwa sekitar 500 orang 2. Mandor mendatangi lokasi tambak dan petambak baik rutin maupun insidental. Dalam satu kali pemantauan diperlukan biaya kurang lebih Rp 50.000 per kunjungan hari 3. Memasang pengumumanpemberitahuan tentang mangrove dan tambak di lokasi-lokasi tertentu seperti warung makan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam mengelola lahan mangrove Perhutani menghadapi situasi yang dicirikan adanya adanya inkompatibilitas, biaya ekslusi yang tinggi dan biaya transaksi yang tinggi. Pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan hutan mangrove lebih kecil dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan. Status mangrove yang merupakan kawasan lindung menjadikan Perhutani terbatas dalam memperoleh pendapatan, misalnya dari penjualan kayu mangrove. 38 Struktur kelembagaan Pengelolaan Lahan Perhutani Struktur kelembagaan pengelolaan lahan Perhutani menunjuk pada aturan main antara Perhutani dengan petambak yang memungkinkan petambak berprilaku sedemikian rupa dalam menjaga proporsi mangrove dan tambak masing-masing sebesar 80 dan 20 . Struktur kelembagaan terdiri atas batas jurisdiksi, property right dan aturan representasi. i Batas Jurisdiksi Batas jurisdiksi pengelolaan kawasan hutan oleh Perhutani adalah lahan seluas 8.071 ha dan wilayah 10 desa-desa sekitar yang terdapat di 5 kecamatan. Dalam batas kewenangan tersebut, Perhutani melakukan berbagai program dalam upaya mengelola mangrove, mempertahankan, mengawasi dan melakukan penegakan hukum. Batas jurisdiksi pengelolaan lahan silvofishery bagi petambak adalah andil seluas 2 ha. Dalam batas kewenangan tersebut, petambak melakukan pola budidaya tambak sesuai dengan perjanjian PHBM yang telah disepakati bersama. Meskipun dalam perjanjian kerjasama diberlakukan 2 ha, namun dalam 38 Diskusi mendalam dengan Kepala Perencanaan Perhutani Wilayah Jabar 2016 112 faktanya terdapat petambak yang mempunyai lahan garapan lebih dari 2 ha 39 . Tambak yang dikelola petambak dikenal sebagai ‗tambak kawasan‘. Masalah lahan silvofishery yang digarap oleh petambak menjadi sorotan tersendiri dimana masih banyak dijumpai kasus-kasus petambak yang mengelola lahan Perhutani hingga puluhan hektar dengan cara membeli lahan garapan dari petambak lainnya. Dengan demikian terjadi akumulasi lahan garapan milik Perhutani yang dikelola oleh beberapa petambak yang mempunyai lahan garapan yang sangat luas. Akumulasi lahan ini bertentangan dengan pemerataan pengelolaan lahan kepada masyarakat yang selanjutnya akan berefek terhadap pemerataan pendapatan. ii Property Right Perhutani mengelola hutan negara di pesisir Kabupaten Indramayu yang diperuntukan sebagai hutan lindung vegetasi mangrove alami dan lahan silvofishery vegetasi mangrove alami dan vegetasi mangrove rehabilitasi. Lahan Perhutani diperoleh melalui mekanisme administratif dari Pemerintah kepada Perhutani berupa pelimpahan kewenangan pengelolaan hutan negara. Property right akan bermakna manakala terdapat pengakuan secara de jure dan de facto. Secara de jure, Perhutani memiliki property right atas lahan seluas 8.071 ha dan secara de facto berupa adanya pengakuan petambak terhadap property right Perhutani yang tertuang dalam perjanjian PHBM kontrak silvofishery. Secara de facto masyarakat sekitar dan instansi terkait mengakui adanya kawasan hutan milik Perhutani, seperti pencantuman kawasan mangrove dalam RTRW Kabupaten Indramayu. Dengan adanya ketegasan property right, sesungguhnya pemilik lahan dapat melakukan mekanisme jual beli tradeable. Namun demikian sesungguhnya lahan tersebut tidak bersifat tradeable dan hanya bisa dilakukan upaya pemidahan hak garapan dari satu petambak ke petambak lainnya transferable atas persetujuan Perhutani. Tambak yang dikelola petambak seluas 2 ha berupa lahan garapan milik Perhutani yang dikuatkan dalam buku garapan. Jual beli lahan garapan tidak diperbolehkan dalam rangka pemindahan hak garapan, namun yang berlaku adalah ganti rugi atas pembuatan tambak yang besarnya bervariasi menurut lokasi tambak antara Rp 70 juta hingga Rp 120 juta. Faktor kepemilikan dalam mengalokasikan sumberdaya lahan merupakan hal penting untuk mengendalikan situasi inkompatibilitas. Meskipun Perhutani hanya mempunyai hak mengelola hutan negara melalui mekanisme adminstratif, namun Perhutani telah mampu mengendalikan situasi inkompatibilitas dengan menetapkan pola silvofishery. Dari aspek property right, kawasan mangrove adalah hutan milik negara yang diperuntukan untuk hutan lindung mangrove alami dan silvofishery alami dan rehabilitasi yang pengelolaannya dikuasakan kepada Perhutani. Secara de jure Perhutani memiliki lahan tersebut namun de facto Perhutani tidak bisa berbuat banyak ketika penebangan mangrove masih terus menggejala. Perhutani tidak mampu menegakan property right yang dimilikinya ketika berhadapan dengan situasi biaya ekslusi yang tinggi, sementara pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan mangrove relatif rendah. 39 Dalam buku garapan tidak memungkinkan penggarap mempunyai beberapa hak garapan atas nama sendiri dan atas nama orang lain 113 iii Aturan Representasi Aturan representasi menunjuk pada peran serta masyarakat di desa-desa sekitar hutan yang mempunyai Hutan Pangkuan Desa HPD, khususnya penggarap tambak dalam pengelolaan lahan Perhutani. Terdapat 10 sepuluh desa sekitar hutan yang mempunyai HPD seluas 8.071 ha, LMDH sebanyak 71 unit dengan anggota KTH sebanyak 36 kelompok dan 4.366 orang Tabel 12. Kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat dilakukan dengan semangat kemitraan, yakni berbagi dalam hal pemanfaatan lahan, pemanfaatan waktu, pemanfaatan hasil dalam pengelolaan sumberdaya hutan iuran IRH dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling mendukung. Dalam mewujudkan keberhasilan pengelolaan hutan, pihak Perhutani membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove sebagai petambak atau penggarap lahan silvofishery melalui program PHBM. Tabel 12 Desa-Desa sekitar hutan yang mempunyai Hutan Pangkuan Desa HPD No KecamatanDesa Nama LMDH a Anggota LMDH Luas HPD Ha KTH b orang I. Losarang 1 - Cemara Mangrove Mina 8 1.996 2.406,56 II Pasekan 2 - Karanganyar Sarapati 9 797 892,00 3 - Pabean Ilir Karya Wana 4 292 460,60 4 - Pagirikan Bangsal Sari 4 299 352,65 5 - Pasekan Wana Keci 2 275 366,60 6 - Totoran Paluh Adin Jaya 5 188 258,35 III Sindang 7 - Babadan Jaka Tarub 3 371 446.35 IV Kandang Haur 8 - Parean Girang Parean Jaya 1 148 294,85 V Cantigi 9 - Cangkring Karya Wana Lestari 7 754 829,35 10 - Lamaran Tarung Lamaran Tarung Jaya 1 1.204 1.624,30 Jumlah 44 6.324 7.485,26 a Lembaga Masayarakat Desa Hutan; b Kelompok Tani Hutan Sumber : Perum Perhutani, 2014 Keterlibatan petambak dalam program PHBM untuk mengelola lahan Perhutani diwujudkan dalam wadah Lembaga Masyarakat Desa Hutan LMDH 40 yang dibentuk oleh masyarakat sekitar desa yang difasilitasi oleh pemerintah desa 40 Organisasilembaga dengan anggota kelompok petambak penggarap yang dibentuk oleh masyarakat desa yang berada di dalam atau di sekitar hutan untuk mengatur dan memenuhi kebutuhannya melalui interaksi terhadap hutan dalam konteks sosial, ekonomi, politik dan budaya. LMDH dalam menjalankan usaha ekonomi produktif dapat mendirikan Koperasi LMDH yang akta pemendiriannya ditetapkan oleh Notaris. LMDH dibentuk pada tahun 2015 yang ada di masing-masing desa administrasi di KPH dan merupakan pengganti dari Kelompok Tani Hutan KTH. LMDH dibentuk oleh Perhutani dan pengurusnya ditunjuk juga oleh Perhutani. Pada kenyatanya merupakan perpanjangan tangan dari Perhutani terutama pada saat pengambilan retribusi sewa lahan dari penggarap tambak. 114 dan Perum Perhutani. Dalam upaya untuk memberdayakan dan merubah taraf hidup petambak, organisasi LMDH berperan dalam : a. Memfasilitasi petambak dan pihak yang berkepentingan dalam proses penyusunan rencana, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kegiatan PHBM. b. Menselaraskan kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan sesuai dengan kegiatan pembangunan wilayah dan kondisi serta karakteristik sosial petambak sebagai tujuan mensejahterakan dan merubah taraf hidup petambak. c. Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta petambak dan pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan dan keberlangsungan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan mangrove. d. Meningkatkan pendapatan negara, desa, petambak dan pihak yang berkepentingan secara simultan. Pada tahun 2014 LMDH diganti dengan Kelompok Tani Pelestari Hutan Poktan LH yang pendiriannya disahkan berdasarkan Akta Notaris. Perhutani membina 18 Poktan LH dan dalam satu Poktan membawahi 1 resor RPH dengan anggota sekitar 500 orang. Poktan berada dalam pembinaan mandor, sedangkan mandor bertanggung jawab terhadap mantri. Poktan bertujuan untuk berperan aktif menghijaukan dan melestarikan sumberdaya hutan di daerah hutan payau bersama Perum Perhutani sebagai pengelola Hutan Negara yang berfungsi lindung dan meningkatkan pemberdayaan Masyarakat Hutan Desa MDH dan para pihak guna mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat setempat secara adil dan berkelanjutan. Dalam mengelola lahan Perhutani, petambak terikat dengan perjanjian kerjasama PKS atau kontrak yang telah disepakati bersama. PKS ditandangani antara Petambak Penggrap dengan Asisten Perhutani Asper. Kontrak merupakan representasi dari kelembagaan pengelolaan lahan Perhutani dengan sistem PHBM. Dalam kontrak terdapat butir-butir kontrak yang mengandung struktur klaim 41 seperti terlihat pada Tabel 13. Dilihat dari butir-butir kontrak, kontrak PHBM cenderung kepada Perhutani selaku pemilik sumberdaya 14 klaim, sehingga Perhutani mampu mengendalikan butir-butir kontrak. Di dalam kontrak dimaknai hanya ada struktur hak dan kewajiban saja dan tidak nampak struktur insentif bagi petambak, misalnya adanya perpanjangan hak garapan bila petambak memenuhi perjanjian serta ada insentif bila petambak berhasil melakukan pola tanam sesuai dengan arahan Perhutani. Disentif dalam kontrak lebih nyata bila dibandingkan dengan insentif, misalnya adanya pencabutan hak garapan atas lahan. Dari sudut petambak, kontrak belum mampu memenuhi harapannya bila dibandingkan dengan kehilangan biaya oportunitas atas kapital dan curahan waktu kerjanya. Dalam kontrak masih adanya ketimpangan hak dan kewajiban diantara pelaku kontrak dan kontrak lebih condong kepada Perhutani selaku pemilik lahan. Hal ini sangat beralasan mengingat property right merupakan hak untuk memanfaatkan sumberdaya Eggertsson 1990, sehingga pemegang property right dapat memindahkan hak tersebut, termasuk mengendalikan butir-butir kontrak. 41 Struktur klaim mengikuti pendekatan Tatuh 1992 dan Yulianto 1997 yang terdiri atas klaim positif, klaim negatif dan klaim bersama. 115 Tabel 13 Struktur klaim dalam Kontrak-Perjanjian Kerjasama Pemanfaatan Kawasan Hutan Mangrove dengan Sistem Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat PHBM No. Butir-butir kontrak Perhutani Petambak Keterangan 1 Menetapkan batas maksimum luas tambak garapan yang dapat dikelola Petambak + - Batas jurisdiksi 2 Transfer hak garap kepada Petambak lain atau pun pihak lain + - Batas jurisdiksi, faktanya banyak petambak yang meyewakan lahan garapannya kepada petambak lain 3 Kawasan hutan negara yang dikelola + - Hak kepemilikan 4 Musyawarah LMDHKTH untuk menetapkan luas lahan garapan bagi Petambak Aturan Representasi 5 Mengatur pola tanam pemanfaatan lahan di bawah tegakan mangrove + - 6 Memberikan pembinaan + - 7 Meyediakan bibit bakau untuk penanaman dan penyulaman 8 Mencabut dan membatalkan perjanjian secara sepihak bila ada pengalihan hak garapan + - 9 Mencabut dan membatalkan perjanjian secara sepihak bila pemanfaatan lahan tidak sesuai pola tanam + - 10 Mencabut dan membatalkan perjanjian secara sepihak bila melakukan penebangan liar tanaman bakau-bakau + - 11 Mencabut dan membatalkan perjanjian secara sepihak bila pembukaan lahan garapan dengan menggunakan alat berat + - 12 Dana Iuran Rehabilitasi Hutan IRH + - Sangsi berupa penutupan lahan bila tidak membayar IRH tahun 2014 IRH sebesar Rp 120.000ha. Pembagian IRR adalah Perum Perhutani 77,5 , Petambak 10 , Petugas Pungut 10 dan Pemerintah Desa 2,5 13 Menanammenyulam tanaman pokok bakau- bakau - + Prosentase tumbuh lebih dari 95 14 Tidak melebarkan parit, menggali parit dan atau pun membuat tanggul + - Perubahan andil dengan seijin Pihak Perhutani 15 Tidak memindahkan tanggul dan atau memasang bambu atau benda lain yang dapat mempersempit laju air. + - 16 Menyediakan saprotan - + Pelaksanaan budidaya - + 17 Tidak menenggelamkan dan mengeringkan tanaman yang berakibat kematian tanaman + - 18 Tidak menggunakan pupukbahan kimia yang melebihi dosis atau pun kategori peptisida yang dilarang yang berakibat kematian tanaman + - 19 Pelaksanaan panen dan pemasaran hasil - + 20 Menjaga dan memelihara kelestarian kawasan 21 Melaksanakan monitoring dan evaluasi Keterangan : Klaim positif + = hak untuk mengklaim Klaim negatif - = kewajiban pengakuan atas klaim positif pihak lain Klaim bersama 0 = tuntutan dan pengakuan secara bersama-sama Kelembagaan kontrak sesungguhnya sebagai salah satu tujuan untuk mengatasi penebangan mangrove yang masih terus menggejala. Dalam implement asi kontrak, masih ada ‗ketidakpatuhan‘ petambak dalam melaksanakan butir-butir kontrak PHBM yang dicirikan dengan adanya penebangan mangrove guna memperluas tambak. Hal-hal yang dilakukan Perhutani dalam menekan laju degradasi mangrove adalah : 116 a. Seleksi petambak dengan cara melihat performa tambak sebelumnya dalam berusaha dan mematuhi kontak, sehingga tidak terjadi adverse selection. b. Pengawasan rutin terhadap tambak-tambak silvofishery dan hutan lindung mangrove c. Menanam mangrove di tambak-tambak Gambar 28 dan saluran-saluran tambak. d. Pembentukan kelembagaan KTH dan LMDH ataupun Kelompok Tani Pelestari Hutan Poktan e. Kerjasama dengan pemerintahan desa. f. Kerjasama dengan aparat penegak hukum g. Meningkatkan komunikasi dan pemberian informasi fungsi mangrove dan manfaat mangrove : menghasilkan kayu bakar, udangikan harian Gambar 28 Penanaman mangrove di lahan-lahan kritis milik Perhutani Performa Pengelolaan Perhutani memiliki property right dan kewenangan untuk mengelola lahan Pemerintah seluas 8.071 ha yang diperoleh melalui mekanisme administratif. Situasi lahan mangrove dicirikan adanya inkompatibilitas antara mangrove dan tambak, meskipun situasi sudah dikendalikan dengan adanya property right, namun Perhutani tidak mampu menghadapi biaya ekslusi yang tinggi. Pengelolan tata kelola mangrove oleh Perhutani dilakukan secara hirarki organisasi ‗perum‘ namun demikian dalam prakteknya dilakukan dengan cara bekerjasama dengan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk perjanjiankontrak silvofishery. Kelembagaan kontrak aturan main yang dicerminkan dalam butir butir kontrak memiliki struktur klaim yang condong terhadap Perhutani. Dalam pelaksanaanya banyak pelanggaran terhadap butir-butir kontrak tersebut, antara lain i lahan garapan disewakan dan dampaknya penyewa tambak tidak bertanggung jawab terhadap keberadaan mangrove butir kontrak nomor 2 Tabel 13 dan ii petambak kontrak tidak menanam atau menyulam pohon bakau butir kontrak nomor 13, Tabel 13. Pada akhirnya, pelanggaran tersebut berujung pada perluasan areal untuk tambak. Rendahnya petambak dalam pelestarian mangrove tercermin juga dalam ‗ketidaklancaran‘ untuk membayar IRH Rp 170.000 ha - 1 tahun -1 yang sesungguhnya merupakan Willingness to pay WTP. Secara teoritik, kelembagaan akan mempengaruhi perfoma. Terdapat perspektif yang berbeda antara petambak dengan Perhutani dalam memahami 117 covarage mangrove dan produktivitas tambak sebagai suatu performa. Kawasan lahan Perhutani di pesisir Kabupaten Indramayu dicirikan oleh situasi pemanfaatan yang tidak kompatibel, biaya transaksi dan biaya ekslusi tinggi. Struktur kelembagaan pengelolaan mangrove pada lahan Perhutani dicirikan oleh property right lahan yang tidak bersifat tradeable, namun hanya bersifat transferable 42 dengan cara melakukan pemindahan hak garapan dari satu petambak ke petambak yang lain. Pengakuan property right lahan Perhutani dari petambak dan pemindahan hak garapan tercermin dalam struktur kontrak PHBM. Situasi biaya ekslusi tinggi dihadapi oleh Perhutani dalam mempertahankan property right yang diperolehnya melalui mekanisme admninistratif, sehingga masih menimbulkan performa coverage mangrove yang terus menurun akibat moral hazard petambak maupun penduduk yang berdomisili di sekitar kawasan mangrove. Selain memberikan manfaat ekonomi terhadap petambak, kontrak silvofishery pada dasarnya memperbesar kontribusi masyarakat dalam menjaga hutan mangrove. Secara de jure Perhutani menguasai lahan, namun secara de facto Perhutani tidak bisa berbuat banyak ketika upaya penebangan mangrove masih menggejala. Dengan perkataan lain Perhutani masih belum mampu menegakan property right atas lahan mangrove mengingat biaya ekslusi yang tinggi. Pengelolaan sumberdaya untuk mencapai keragaan dengan proporsi mangrove dan tambak empang sebesar 80 dan 20 dalam situasi biaya ekslusi sangat tinggi. Struktur kontrak yang condong kepada pemilik lahan Perhutani dan belum mampu mengendalikan prilaku petambak untuk mempertahankan luasan mangrove sesuai kesepakatan kontrak. Hasil kajian Nur 2002, ketentuan 80 untuk mangrove dan empang 20 banyak berubah menjadi 20 untuk mangrove dan 80 untuk empang. Kelembagaan pengelolaan silvofishery menunjukkan performa atau status sumberdaya mangrove yang mengalami penurunan luasan sebesar 46 ha per tahun telah diuraikan pada Bab 3. Lahan milik Perhutani seluas 8.071 ha, sedangkan luas mangrove sekitar 1.362 ha, yang berarti tutupan mangrove di lahan Perhutani hanya sekitar 15 dibandingkan luas lahan yang dimiliki. Lahan Perhutani sekitar 58 dari luas tambak di wilayah studi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontrak silvofishery belum mampu memberikan insentif bagi petambak. 2 Kelembagaan Pengelolaan Mangrove di Lahan Masyarakat Vegetasi mangrove tumbuh di lahan tambak milik rakyat yang dikenal sebagai tambak milik. Hak kepemilikan lahan tambak property right diperoleh melalui mekanisme atau transaksi jual beli, sehingga kepemilikan bisa dipindahtangankan transferable. Pemilik lahan dapat memutuskan secara bebas pemanfaatan lahan termasuk mengelola mangrove dengan cara mengelola lahannya sendiri, pola bagi hasil, gadai dan sistem sewa. Meskipun lahan dikelola dengan pola bagi hasil, gadai atau pun sewa namun keputusan menanam mangrove atau tidak menanam tetap ditentukan oleh pemilik tambak. Dengan demikian penyakap, penyewa ataupun penggadai tidak memiliki kewenangan untuk menanam atau pun menebang mangrove di tambak, apalagi menjual lahan 42 Ketegasan property right merupakan syarat dalam mekanisme pasar dimana komoditas tradeable dan transferable. 118 yang bukan miliknya. Tambak milik perseorangan dikenal juga sebagai ‗tambak milik‘ private property right dan untuk membedakannya dengan tambak Perhutani tambak kawasan. Pengakuan hak milik dicerminkan adanya legalitas kepemilikan lahan tambak berbentuk sertifikat atau pun girik desa dan juga adanya pengakuan masyarakat terhadap lahan tersebut. Pakpahan 1989, menyatakan bahwa tidak ada seseorangpun yang menyatakan hak milik tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Pengesahan diatur dalam hukum, adat, tradisi maupun konsensus. Adanya kejelasan hak milik private property right; individual rights memungkinkan pemilik tambak dapat menyewakan tambak, menggadai ataupun sistem bagi hasil. Baik pemilik yang menggarap lahannya sendiri, penyewa, maupun penggarap bagi hasil memiliki kewenangan mentransformasikan input produksi menjadi output produksi dengan tujuan memaksimumkan profit. Terkait dengan keberadaan mangrove di tambak milik, pemilik tambak berwenang untuk menentukan menanam atau tidak menanam mangrove, termasuk menebang mangrove di kolom air maupun di pematang tambak. Meskipun petambak mengerti akan peranan mangrove menyediakan makanan alami, khususnya api- api karena daunnya mudah lapuk, penghalang angin yang menimbulkan ombak di tambak, sehingga dapat merusak tanggul, sebagai peneduh namun dalam sudut pandang petambak, baik petambak kontrak silvofishery maupun petambak milik keberadaan mangrove berpengaruh terhadap produksi, yakni : 1. Keberadaan mangrove di tambak di pelataran yang terlalu rapat akan mengurangi ruang gerak ikan bandeng, karena ikan bandeng perlu ke pelataran yang luas dan jika di bodeman caren saja ruang gerak ikan maupun udang tidak cukup leluasa. 2. Mengurangi penggunaan luasan lahan untuk aktivitas budidaya, sehingga akan mengurangi penggunaan input produksi dan selanjutnya akan berpengaruh pada pencapaian hasil produksi. 3. Biji mangrove yang jatuh di tambak akan cepat tumbuh dan mangrove semakin banyak, sehingga akan membatasi ruang gerak bandeng. Di sisi lain, ikan bandeng membutuhkan ‗pelataran‘ yang luas untuk ‗bergerak‘ dan dengan pelataran yang luas agar ‗klekap‘ sebagai pakan alami ikan akan banyak. Jenis mangrove yang biasanya ditanam di tengahpelataran tambak adalah Rhizophora sp. Jarak tanam mangrove di pelataran umumnya 1m x 2m pada saat mangrove masih kecil. Setelah tumbuh membesar 4-5 tahun mangrove harus dijarangkan. Tujuan penjarangan ini untuk memberi ruang gerak yang lebih luas bagi komoditas budidaya. Selain itu sinar matahari dapat lebih banyak masuk ke dalam tambak dan menyentuh dasar pelataran, untuk meningkatkan kesuburan tambak. 4. Mangrove akan menimbulkan kesulitan saat panen, karena akar mangrove atau ‗jeruju‘ akan merobek jaring sehingga ikan dapat meloloskan diri dari jaring. Selain itu jeruju dapat melukai kaki. Sebagian besar panen dilakukan dengan cara menjaring ikan terlebih dahulu, setelah itu panen udang dilakukan dengan cara mengeringkan tambak. 5. Mangove akan menarik predator burung, biawak, ular, kepiting untuk berkumpul di tambak dan pada akhirnya akan memangsa ikanudang. 6. Daun dan ranting mangove yang jatuh ke air dalam waktu beberapa hari dapat membusuk dan menimbulkan bau ‗busuk‘. 119 7. Mangrove merupakan habitat kepiting, sehingga menjadi daya tarik bagi pencari kepiting, sehingga perlu dilakukan tindakan pengawasan menjaga terhadap tambak misalnya mencegah orang memancing ikan, mencuri impes dan akhirnya menimbulkan biaya pengawasan yang lebih tinggi. Keputusan untuk menanam atau pun tidak menanam mangrove di lahan milik perseorangan sepenuhnya tergantung pada pemilik tambak meskipun status tambak adalah gadai, sewa atau pun bagi hasil. Performa mangrove pada lahan tambak milik individu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 2000 luas mangrove 251 ha sedangkan pada tahun 2014 seluas 381 ha, yang berarti dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan seluas 130 ha atau sekitar 9 ha tahun -1 lihat bab 3. Hal ini mengindikasikan meningkatnya kesadaran akan pentingnya mangrove terutama sebagai penahan tanggulpematang untuk mencegah pengikisan, sehingga masyarakat berupaya menanam mangrove di tambaknya Gambar 27. Lahan tambak milik masyarakat seluas 16.635 ha, sedangkan luas mangrove rata-rata dalam periode tahun 2000 sampai dengan 2014 seluas 401 ha sehingga tutupan mangrove hanya sekitar 8 dibandingkan luas lahan yang ada sekitar 60 dari lahan tambak di wilayah studi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa meskipun luas mangrove ada kecenderungan meningkat, namun tutupan mangrove di tambak milik rakyat sangat rendah. Terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang perduli dengan pengelolaan mangrove, antara lain seperti Kelompok Pantai Lestari di Karang Song, Kelompok, Kelompok Putra Tiris di Desa Pabean Ilir dan Kelompok Mina Tegur. Gambar 29 Pematang yang terkikis ombak dan angin A dan penanaman mangrove di lahan masyarakat tambak milik B. Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Tangkap Perikanan tangkap dikelola dalam rentang struktur institusi yang luas , termasuk di dalamnya institusi formal, seperti peraturan, kebijakan dan keputusan-keputusan yang dibuat suatu instansi. Dalam bagian ini akan dibahas apakah institusi formal yang dijabarkan dalam bentuk penerapan peraturan di bidang perikanan sudah mampu atau belum dalam mengendalikan prilaku nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan secara berkelanjutan. Dengan melihat institusi yang diterapkan akan terlihat performa yang dihasilkan dan bila performa tersebut tidak menunjukkan performa yang diharapkan maka akan dilakukan penataan institusi. 120 Penataan institusi perikanan tangkap dimaksudkan perlu adanya perubahan institusi di sektor tersebut guna menghasilkan performa yang diharapkan dengan asumsi faktor-faktor lainnya dianggap tetap, seperti sumberdaya alam, teknologi, modal finansial dan sumberdaya manusia. Di sektor perikanan tangkap, keberadaan stock sumberdaya ikan merupakan syarat keharusan important factor , sedangkan keempat faktor lainnya merupakan syarat kecukupan sufficient condition. Institusi perikanan mampu menggerakan sumberdaya manusia nelayan untuk menggunakan kapital dan menerapkan teknologi penangkapan, sehingga pada akhirnya berimplikasi pada keberadaan stock ikan itu sendiri. Sebagai contoh suatu wilayah perikanan tanpa kehadiran institusi pengelolaan perikanan open acces condition akan menggerakan prilaku nelayan untuk berlomba-lomba menggunakan unit penangkapan sebagai proksi dari kapital dan teknologi guna mengeksploitasi sumberdaya ikan. Hal tersebut akan berakibat terjadinya tragedy of the commons, sehingga pada saat tertentu akan terjadi performa hasil penangkapan harvest dan upaya penangkapan effort pada kondisi open acces equilibrium. Dengan demikian penataan institusi perikanan tangkap dimaksudkan untuk mencegah kondisi open acces equilibrium dan mencapai keseimbangan Maximum Economic Yield MEY. Mengikuti pendekatan kebijakan perikanan model Gordon-Schaefer, institusi perikanan fisheries regime terkait dengan pengendalian terhadap prilaku manusia nelayan dalam menggunakan effort guna mengeksploitasi sumberdaya ikan. Prilaku menyangkut manusia sebagai subyek untuk memanfaatkan sumberdaya ikan sebagai obyek. Oleh karenanya, pengetahuan tentang institusi yang terkait dengan kebijakan pemerintah institusi formal perlu mendapat perhatian karena selama ini ada anggapan bahwa bahwa sumberdaya ikan sebagai input yang dapat dieksploitasi secara bebas tanpa memperhatikan kelestariannya. 1 Peraturan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan di perairan pantai Kabupaten Indramayu selama ini sudah dimanfaatkan oleh nelayan dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. Pemanfaatan sumberdaya ikan tidak terlepas dari kebijakan pengelolaan perikanan yang mempengaruhi prilaku nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan tersebut. Historis institusi pengelolaan sumberdaya ikan yang didayagunakan oleh perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu seperti tertera pada Lampiran 14. Hal- hal yang terkait dengan kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan, yaitu : i Pengelolaan sumber daya pesisir, khususnya sumberdaya ikan diatur mulai dari tingkat internasional, nasional dan daerah dan cukup banyak institusi pemerintah sektoral yang menangani, diantaranya Dinas Perikanan dan Kelautan, Kantor Lingkungan Hidup, Dinas Pehubungan Laut, serta Keamanan Laut. Pengelolaan wilayah pesisir sejauh 4 mil saat kini menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi yang semula menjadi kewenangan Pemerintah KotaKabupaten. ii Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya laut dan perikanan sangat terbatas pada kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat. Bahkan jika melihat pada PerMen.KKP 17MEN2006 tentang Usaha Perikanan, kewenangan pemberian izin oleh pemerintah daerah hanya diberikan kepada perusahaan perikanan yang berdomisili di wilayah administrasinya. Dengan demikian, kewenangan tersebut bukan kewenangan terhadap wilayah lautnya. 121 iii Tidak ada pengelolaan sumberdaya perikanan berdasar hukum adat ataupun berbasis masyarakat. iv Undang-Undang Perikanan dan peraturankebijakan di bawahnya belum menyentuh aspek pengelolaan perikanan dan pengelolaan habitat yang berperan penting dalam mendukung perikanan hanya Pulau Biawak yang difokuskan pada pengelolaan terumbu karang. v Kebijakan terkait dengan perikanan tangkap yang beroperasi di sekitar pantai dalam tingkat nasional khususnya pengaturan jalur penangkapan untuk menghindari konflik dan perlindungan perikanan skala kecil cukup memadai, namun dalam tingkat daerah tidak ada peraturan yang membatasi jumlah alat tangkap tangkap untuk beroperasi di sekitar pantai dengan perahu di bawah 5 GT. Kapal ikan kecil dengan ukuran 5 GT ke bawah tidak perlu ijin tapi hanya perlu adanya tanda pendaftaran dari pemerintah kabupaten tempat kapal tersebut berpangkalan. Meskipun pengelolaan sumberdaya pesisir menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dan pengelolaan perikanan skala kecil dalam kewenangan pengelolaan Pemerintah Kabupaten, namun tidak ada perijinan. Ditinjau dari institusi pengelolaan perikanan dapat dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan nelayan kecil yang melakukan usaha penangkapan ikan sekitar pantai berada dalam situasi open access . Dikaitkan dengan karakteristik ruang laut dan sumberdaya ikan yang open access maka dapat diperkirakan bahwa sumberdaya ikan sekitar pantai akan terus mengalami tekanan akibat meningkatnya jumlah alat tangkap yang beroperasi. 2 Analisis Dampak Institusi terhadap Performa : Situasi, Struktur dan Performa Perikanan Tangkap Situasi Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai, pemahaman tentang situasi sebagai sumber interdependensi perlu ditelaah. Situasi menunjuk pada karakteristik wilayah perairan dan sumberdaya ikan yang merupakan sumber interdependensi. Relevan dengan kasus yang diamati, situasi sebagai sumber interdependensi wilayah perairan laut Kabupaten Indramayu yang merupakan batas jurisdiksi dilakukannya pengelolaan sumberdaya ikan sekitar pantai hanya dibatasi dari sisi inkompatibilitas dan biaya eksklusi yang dapat diuraikan sebagai berikut 43 : a. Pemanfaatan yang tidak kompatibel. Pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan sekitar pantai seluas 800 km 2 oleh nelayan jaring pantai, sero dan jaring klitik dicirikan oleh pemanfaatan yang tidak kompatibel incompatibility. Area penangkapan ikan dari ketiga penangkapan ikan yang menjadi sumber interdependensi adalah : i Perikanan jaring pantai beroperasi pada area perairan dengan kedalaman antara 3 sampai dengan 15 meter dan jarak dari pantai antara 10 meter sampai dengan 3000 mil 43 Sumber interdependensi yang lain adalah skala ekonomi, joint impact goods, biaya transaksi, surplus dan interdependensi antar generasi Pakpahan 1989. 122 ii Perikanan jaring klitik beroperasi pada area perairan dengan kedalaman antara 4 sampai dengan 12 meter dan jarak dari pantai 100 sampai dengan 3000 meter iii Perikanan jaring sero beroperasi pada area perairan dengan kedalaman antara 4 sampai dengan 12 meter dan jarak dari pantai 100 sampai dengan 3000 meter Situasi ini menunjuk pada pemanfaatan sumberdaya ikan fishing operation oleh nelayan atau kelompok nelayan akan mengurangi atau meniadakan pemanfaatan sumberdaya ikan oleh nelayan atau kelompok nelayan yang lain. Situasi yang dicirikan oleh pemanfaatan sumberdaya yang tidak kompatibel menimbulkan konflik lokasi spaceacces conflict dan konflik alat tangkap fishing gear conflict. Konflik akan semakin menggejala manakala terdapat penggunaan metode dan teknologi penangkapan ikan seperti fishing gear, fishing boat yang berbeda dalam memanfaatan sumberdaya ikan dengan jenis yang sama dan pada area perairan yang sama. Pemanfaatan sumberdaya ikan di lokasi penelitian terjadi space conflict antara pukatjaring pantai arad dengan bubu, dan juga dengan jaring klitik. Sifat penangkapan jaring arad yang aktif 44 seringkali mengenai bubu yang dipasang di dasar perairan dan mengenai jaring klitik yang dipasang di permukaan perairan. Pengoperasian alat tangkap jaring arad dan jaring klitik relatif tidak minimbulkan space conflict . Apabila nelayan yang sudah melakukan operasi penangkapan pada lokasi fishing ground tertentu, maka nelayan lain tidak akan melakukan kegiatan penangkapan ikan pada lokasi fishing ground yang sama. Meskipun demikian, nelayan jaring klitik tetap mengeluh dengan beroperasinya jaring arad, mengingat jaring tersebut dirasakan eksploitatif terhadap sumberdaya ikan. Konteks perebutan wilayah penangkapan pada perikanan sero tidak terjadi. Nelayan sero tidak akan mengusir atau memaksa nelayan sero yang telah memasang seronya terlebih dahulu pada lokasi perairan tertentu. Di antara nelayan sero terdapat aturan tidak tertulis untuk tidak saling berebut lokasi. Secara teoritik dalam mengalokasikan sumberdaya dalam bentuk ruang perairan, maka faktor kepemilikan merupakan hal yang penting dalam mengendalikan situasi inkompatibilitas. Dalam kasus pemanfaatan sumberdaya ikan di lokasi penelitian kepemilikan ruang laut tidak ditemui dan nampaknya akan sulit diterapkan untuk alat tangkap yang bersifat mobile, seperti jaring arad dan jaring pantai. Sifat sumberdaya yang bergerak dan kondisi laut yang tidak menentu menjadi kan nelayan berprilaku ‗mengejar ikan hunting‘. Untuk alat tangkap sero yang bersifat statis, faktor kepemilikan dapat dimungkinkan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa nelayan sero memiliki semacam property right atas lokasi tertentu, meskipun tidak ada bukti kepemilikan de jure yang merupakan sumber pengakuan dari orang lain. Salah satu implikasi adanya kepemilikan atas lokasi yang yang sah dan diakui memungkinkan lokasi dapat diperjualbelikan bersifat tradeable, namun lokasi yang sudah terpasang alat tangkap sero tidak bisa diperjualbelikan.Pengakuan atas lokasi hanya untuk beberapa bulan saja ketika sero dipasang. Nelayan yang lain mengakui akan keberadaan sero dan tidak berani mengusir keberadaan sero tersebut. Dengan demikian secara de facto lokasi 44 Penangkapan ikan fishing operation dilakukan dengan cara menarik jaring dengan kecepatan tertentu. Agar ikan terjerat jaring lama penarikan jaring antara 30 – 60 menit. 123 tersebut berada dalam penguasaan seorang nelayan sero bila sero sudah terpasang. Namun demikian ketika sero dibongkar karena faktor arus dan angin yang kuat, maka pengakuan yang bersifat sesaat dan konsensus tidak berlaku lagi. Hal ini berarti bahwa lokasi tersebut menjadi bebas akses bagi nelayan siapapun juga. b. Biaya ekslusi tinggi Dalam situasi biaya ekslusi tinggi, pemilik hanyalah berupa gugus kosong Pakpahan 1989 apabila biaya untuk mencegah pihak lain yang memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki sesorang jauh lebih besar dari nilai manfaat yang diperolehnya. Kepemilikan hanya mampu untuk mengendalikan situasi inkompatibilitas, namun tidak mampu mengatasi sumber interdependensi yang lain, khususnya biaya ekslusi yang tinggi. Ketidakpastian stock ikan dalam suatu wilayah perairan menimbulkan problem biaya ekskusi tinggi, sehingga tidak mungkin bagi nelayan untuk menjaga dan mengawasi lokasi suatu wilayah perairan tertentu yang diklaim menjadi miliknya. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir, situasi akan lebih kompleks manakala terdapat situasi inkompatibilitas yang disertai dengan tingginya biaya eksklusi, karena dalam kondisi tersebut akan menimbulkan masalah free rider bila pengelolaan dilakukan dengan berbasis pada kelompok. Kondisi ini menjadikan kepemilikan oleh individu akan sulit untuk eksis dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Hal ini sesuai dengan pendapat Tatuh 1992 bahwa variasi dalam derajat interdependensi dalam situasi pemanfaatan yang tidak kompatibel dipengaruhi oleh tingkat biaya ekslusi. Nelayan sero di Blok Kali Dudukan, Desa Singaraja Kecamatan Balongan menghadapi situasi pencurian ikan yang sudah terkumpul terperangkap di bunuhan pada malam hari. Situasi ini menyebabkan nelayan akan melakukan tindakan pengawasan dan penjagaan sero pada malam hari. Nelayan akan berangkat pada sore hari untuk memasang sero dan bermalam di lokasi sero 45 . Pada keesokan pagi harinya nelayan kembali ke landing base dengan membawa ikan. Pencurian ikan dalam bunuhan akan meningkat manakala saat musim ikan yang dikenal dengan along. Adanya tindakan pengawasan tersebut menimbulkan exclution cost antara Rp 20.000 – Rp 30.000 per trip untuk pembelian makanan, minuman dan rokok. Pada musim cumi-cumi, nelayan tidak semata-mata menjaga seronya tetapi memasang lampu guna menarik cumi-cumi agar masuk ke bunuhan. Di antara nelayan sero, sesungguhnya terdapat kondisi saling mengawasi keadaan sero milik nelayan lainnya dan saling melaporkan bila terjadi kerusakan atau pun pencurian. Dengan demikian telah terjadi trust building mechanism di antara nelayan sero. Bangunan kepercayaan tersebut penting dalam mereduksi biaya pengawasan, manakala seorang nelayan tidak dapat menjaga seronya. Struktur kelembagaan pengelolaan sumberdaya Struktur kelembagaan pengelolaan sumberdaya menunjuk pada aturan main yang berlaku dalam pengelolaan sumberdaya yang memungkinkan nelayan berprilaku sedemikian rupa dalam memanfaatkan sumberdaya. Struktur 45 Untuk beberapa lokasi lain yang tidak ada kasus pencurian ikan, nelayan biasanya mengambil ikan di bunuhan pada pagi hari dan setelah ikan diambil semuanya sero kemudian dipasang kembali, sehingga sero tidak dijaga pada malam hari. 124 kelembagaan pengelolaan sumberdaya terdiri atas batas jurisdiksi, property right dan aturan representasi. i Batas jurisdiksi Wilayah perairan sekitar pantai yang merupakan fishing ground alat tangkap jaring pantai, sero dan jaring arad berada pada area seluas 804 km 2 . Saat berlakunya UU UU No. 32 Tahun 2004 jurisdiksi pengelolaan laut sejauh 4 mil dari pantai berada dalam kewenangan Pemerintah Kabupaten, namun sejak diberlakukannya UU No.232014 tentang Pemerintah Daerah kewenangan untuk mengelola sumberdaya alam di laut paling jauh 12 dua belas mil laut dilakukan oleh Provinsi. Namun demikian Pemerintah Kabupaten masih memiliki kewenangan mengelola wilayah pesisir daratan yang secara horizontal adalah panjang pantai 112 km dan mengelola aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan skala kecil. ii Property Right Dalam sejarah perkembangan perikanan di Kabupaten Indramayu, sejak dahulu tidak ada sistem kepemilikan perairan pantai yang bersifat private property right maupun communal property right, sehingga tidak dikenal pengelolaan berbasis fishing right seperti halnya pengelolaan di Jepang dan pengelolaan sumberdaya secara tradisional ‗sistem sasi tradisional fishing right‘ yang diterapkan oleh masyarakat di beberapa tempat di wilayah pesisir Provinsi Maluku. Nelayan dari luar antara lain Subang, Indramayu, Brebes dan Tegal atau yang dikenal dengan nelayan ‗andon‘ sering beroperasi di wilayah perairan Indramayu dan sampai saat ini tidak ada konflik akses dalam perebutan fishing ground . Bagi aktivitas perikanan, status perairan sekitar pantai adalah open acess. Open access merupakan ketidakadaan property right atas wilayah perairan, sehingga nelayan menangkap ikan apa saja, berapapun jumlahnya, kapan saja, dimana saja dan dengan alat tangkap apa saja sepanjang alat tersebut tidak dilarang menurut peraturan yang berlaku. Sero merupakan alat tangkap statis dan memerlukan lokasi tetap dengan kondisi arus tidak besar. Nelayan sero pada dasarnya bebas memasang alat tangkapnya di lokasi manapun sepanjang tidak mengganggu mobilitas atau menutup akses nelayan lain ke fishing ground dan masih adanya bagian sero khususnya bunuhan yang masih terpasang di perairan. Keberadaan bunuhan menjadi penting dalam konteks adanya pengakuan terhadap sero. Sepanjang bunuhan masing terpasang di perairan, maka masih ada pengakuan terhadap lokasi tersebut, meskipun bagian sero lainnya seperti penaju ataupun sayap tidak ada misalnya bagian tersebut diangkat untuk diperbaiki atau akan diganti. Dengan demikian berarti bahwa sepanjang bunuhan masih tertancap di perairan, maka nelayan lain tidak boleh memasang sero pada lokasi tersebut. Dengan demkian ada pengakuan atas lokasi tersebut milik seorang nelayan namun lokasi tersebut tidak bisa diperjualbelikan. Property right 46 akan bermakna manakala ada pengakuan secara de jure and de facto, sehingga bisa tradeable sepanjang mampu mengatasi biaya ekslusi. 46 Ketegasan property rights adalah pentingnya pengakuan secara the de jure and de facto Juan- Camilo Cárdenas 2008. 125 iii Aturan Representasi Aturan representasi menunjuk pada peran serta nelayan jaring pantai, jaring klitik dan sero dalam pengelolaan sumberdaya yang mencakup perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan sumberdaya. Pembentukan kelompok nelayan masih dalam konteks teknis yang belum menyentuh pada bentuk-bentuk pengelolaan perikanan. Representasi nelayan yang diwakili oleh kelompok- kelompok nelayan menurut alat tangkap berfokus pada permintaan perbaikan prasarana dan sarana tempat pendaratan ikan, tempat pelelangan ikan, bantuan alat tangkap dan pengadaan bahan bakar minyak. Keberadaan representasi nelayan tersebut belum menyentuh pada aspek pengelolaan sumberdaya, seperti pengaturan bersama lokasi fishing ground, pengaturan alat tangkap yang digunakan dan musim penangkapan. Performa pengelolaan Fishing ground merupakan areal perairan yang dicirikan oleh situasi pemanfaatan perairan yang tidak kompatibel dan biaya ekslusi tinggi. Struktur kelembagaan pengelolaan dicirikan ketiadaan property right untuk nelayan atas perairan sekitar pantai serta tidak adanya representasi dari nelayan dalam pengelolaan sumberdaya yang diatur oleh pemerintah. Meskipun sudah ada kewenangan dalam pengelolaan menurut udang-undang, saat ini Pemerintah Daerah belum melakukan tata kelola perikanan tangkap yang mengarah pada optimally fishery managed , yakni belum ada kebijakan pembatasan input seperti membatasi jenis dan jumlah alat tangkap ataupun jenis kapal dan output seperti membatasi jenis ikan dan jumlah tangkapan berdasarkan kuota tertentu, pemberian property right territorial use right 47 serta close and open season 48 . Selain itu, tidak ada kebijakan yang mengarah kepada co-management atau pun community base fishery management. Situasi wilayah perairan pantai dan kelembagaan pengelolaan perikanan secara the facto adalah open access 49 . Pengelolaan sumberdaya untuk mencapai keragaan optimal dalam situasi open 47 Sistem ini menempatkan nelayan sebagai pemegang fishing right berhak melakukan kegiatan perikanan di suatu wilayah perairan tertentu, sementara nelayan yang tidak memiliki fishing right atas perairan tersebut tidak diizinkan beroperasi di wilayah itu. Selain mengatur siapa yang berhak melakukan kegiatan perikanan, juga ada aturan main jenis ikan yang ditangkap, jumlah yang boleh ditangkap, kapan dan dengan alat apa kegiatan perikanan dilakukan. 48 Dari pengamatan lapangan close and open season system terjadi secara alamiah pada perikanan sero. Nelayan sero dari Desa Cantigi dan Desa Cangkring pada musim barat Nopember sampai dengan April tidak melakukan aktivitas penangkapan di wilayah perairan Kecamatan Cantigi, sehingga di perairan tersebut terjadi close season. Pada bulan-bulan tersebut mereka melakukan ‗andon‘ atau lokasi penangkapan berpindah ke perairan sekitar Desa Singaraja, Kecamatan Balongan . Jarak dari tempat asal sekitar 20 mil dari tempat asal. Sebaliknya, pada musim timur mereka kembali memasang sero di perairan Kecamatan Cantigi sehingga di perairan terjadi open season dan di perairan Singaraja terjadi close season. 49 Tidak cocoknya manajemen konvensional perikanan atau pengelolaan perikanan tangkap model Barat Mahon 1997; Ruddle and Hickey 2008, seperti penerapan kuota terhadap catch dan pembatasan effort, maka diperlukan pengelolaan perikanan tersendiri. Kondisi open access memungkinkan pengelolaan sumberdaya ikan berbasis property right, mengingat asumsi pengelolaan ini adalah kondisi open acess Ruddle, 2012, misalnya communal property right sepanjang mampu mengatasi free rider, biaya transaksi dan biaya ekslusi dalam proses kerjasama pengeloaan sumberdaya. 126 access akan sulit dicapai mengingat adanya masalah free rider, inkompatibilitas dan biaya ekslusi yang tinggi. 50 Sintesis dampak kelembagaan pengelolaan mangrove serta kelembagaan perikanan dan performanya Berdasarkan analisis kelembagaan mangrove pada lahan Perhutani dan lahan rakyat tambak milik dapat dijelaskan kelembagaan pengelolaan mangrove sebagai berikut : 1 Kelembagaan kontrak silvofishery yang dijabarkan dalam butir-butir kontrak belum mampu memberikan insentif bagi petambak kontrak dalam memperoleh keuntungan tercermin dari batas kewenangan jurisdiksi kewenangan mengelola luasan tambak jauh lebih kecil dibandingkan dengan luasan mangrove yakni proporsi mangrove dan tambak yang diharapkan adalah 80:20. Fakta di lapangan proporsinya adalah 15 : 85 dan jauh di bawah kondisi ideal, yaitu 50 : 50 seperti yang disarankan Nur 2004 agar tercapainya tujuan ekologi, ekonomi dan sosial. 2 Kelembagaan lahan milik rakyat menunjukkan kebebasan menentukan penanaman mangrove atau tidak. Persepsi sebagian besar petambak adalah bahwa keberadaan mangrove tidak menguntungkan bagi usaha tambak, seperti mengurangi area untuk budidaya, menghambat panen, mendatangkan predator. Pada sisi lain institusi kepemilikan lahan pada tambak rakyat tambak milik sudah menunjukkan pengelolaan secara mandiri dan terdapat kecenderungan peningkatan mangrove, meski menunjukkan hubungan yang lemah R 2 = 19,7; Gambar 10. Saat kini proporsi mangrove dan tambak adalah 6 : 94. Dengan adanya kelembagaan pengelolaan mangrove tersebut di atas berefek terhadap performa mangrove dalam selang waktu 15 tahun tahun 2000 sampai dengan tahun 2014 menunjukkan penurunan sebesar 689 ha sekitar 31 atau 46 ha tahun -1 dan tutupan mangrove di lahan Perhutani dan tambak rakyat sekitar 7 tahun -1 . Kelembagaan pengelolaan perikanan adalah i tidak ada peraturan yang membatasi jumlah penangkapan PerMen.KKP 17MEN2006; ii tidak adanya pengelolaan berbasis property right; iii tidak adanya peraturan berbasis pengendalian hasil tangkapan. Dengan tidak eksisnya kelembagaan pengelolaan perikanan sekitar pantai atau dalam kondisi the facto open acess, maka performa status sumberdaya ikan tanpa adanya variabel mangrove telah terdegradasi dan terdepresasi seperti telah diuraikan pada Bab 3. Dari sisi perikanan tangkap, keberadaan mangrove mampu meningkatkan daya dukung stok ikan yang berimplikasi meningkatkan performa perikanan, sehingga efek terhadap penurunan mangrove akan berefek terhadap penurunan performa perikanan Gambar 19. Dengan demikian peningkatan mangrove akan berefek terhadap meningkatnya performa perikanan jumlah upaya penangkapan, jumlah hasil tangkapan dan rente ekonomi. Dari sisi perikanan budidaya tambak, perubahan terhadap luasan mangrove akan mempengaruhi hasil utama tambak dan 50 Property right mampu ditegakan dan mendatangkan profit sepanjang dapat menutupi biaya ekslusi, seperti halnya nelayan sero yang melakukan pengawasan dan penjagaan sero pada malam hari. 127 hasil sampingan tambak. Dalam hal ini diasumsikan bahwa kelembagaan pengelolaan tambak tergantung dari kelembagaan pengelolaan mangrove. Dari analisis dampak kelembagaan terhadap performa dapat disimpulkan bahwa perubahan kelembagaan mangrove misalnya kontrak silvofihery akan mempengaruhi performa mangrove penurunan luasan mangrove. Penurunan luasan mangrove akan mempengaruhi performa perikanan tangkap menurunkan hasil tangkapan dan penerimaan usaha dan performa budidaya tambak akan meningkatkan hasil panen dan penerimaan usaha dari hasil utama, namun akan menurunkan hasil sampingan tambak. Efek perubahan luasan mangrove terhadap performa perikanan tangkap dan budidaya tambak dapat dilihat pada Gambar 22 sampai dengan Gambar 25. Simpulan 1. Perhutani memiliki kewenangan mengelola lahan Pemerintah seluas 8.071 ha yang diperoleh melalui mekanisme administratif. Property right dikelola dengan cara berkerjasama dengan masyarakat melalui kelembagaan kontrak silvofishery yang aturan mainnya dijabarkan dalam butir-butir kontrak. Struktur kontrak memiliki klaim yang condong kepada Perhutani dan belum mampu memberikan insentif bagi petambak kontrak untuk memperoleh keuntungan, sehingga keberadaan mangrove cenderung mengalami penurunan. 2. Property right lahan masyarakat sebagian besar diperoleh melalui transaksi jual beli mekanisme pasar. Tata kelola mangrove menurut kebebasan dan kesadaran pemilik lahan dan sudah menunjukkan pengelolaan mangrove secara mandiri, sehingga performa mangrove terdapat kecenderungan meningkat. 3. Dilihat dari sisi historis, yuridis tidak ada regulasi pembatasan alat tangkap dan property right tidak ada kepemilikan individu dan komunal terhadap areal penangkapan ikan dan sumberdaya ikan sekitar pantai di Kabupaten Indramayu berada dalam situasi open access. Kelembagaan perikanan tangkap dicirikan dengan situasi inkompatibitas dan biaya penegakan yang tinggi dengan struktur kelembagaan yang open acces, sehingga belum mencapai performa yang diharapkan dengan terjadinya overfishing, terdegradasi dan terdepresiasi. 4. Perubahan kelembagaan pengelolaan mangrove akan berefek terhadap performa perubahan luasan mangrove dan perubahan luasan mangrove akan berefek terhadap performa budidaya. Perubahan kelembagaan pengelolaan mangrove yang efeknya terahadap perubahan luasan mangrove serta adanya perubahan kelembagaan pengelolaan perikanan secara bersama-sama akan mempunyai efek terhadap performa perikanan tangkap. 128

6. KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE UNTUK

MENDUKUNG PERIKANAN TANGKAP SEKITAR PANTAI DAN TAMBAK TRADISIONAL- SILVOFISHERY Pendahuluan Kabupaten Indramayu memiliki ekosistem hutan mangrove di terluas di Jawa Barat, namun kondisinya telah mengalami degradasi. Degradasi disebabkan abrasi, tekanan penduduk dan aktivitas pembangunan yang terus meningkat Gumilar 2010. Ekosistem mangrove mempunyai peranan dalam memproduksi jasa-jasa lingkungan yang berguna bagi aktivitas perikanan tangkap dan aktivitas budidaya tambak tradisional-silvofishery. Kondisi perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu menunjukkan kurang berkelanjutan dilihat dari aspek ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, etika dan kelembagaan, yang salah satu penyebabnya adalah rusaknya ekosistem mangrove Hamdan 2007. Keberlanjutan tambak silvofishery akan tercapai dengan proporsi luasan mangrove dan tambak adalah 50:50 atau 40:60 Nur 2002. Adanya potensi mangrove dan peranannya terhadap perikanan di salah satu sisi dan adanya permasalahan degradasi di sisi lain mengindikasikan perlunya intervensi kebijakan pengelolaan mangrove. Suatu kebijakan memiliki desain tertentu. Desain adalah model yang merupakan suatu bentuk yang dibuat untuk merumuskan suatu gejala atau proses Ramli 2010. Kebijakan mangrove akan dianalisis melalui pemodelan struktural model struktur, yang akan menjabarkan format dan struktur daripada pengukuran kuantitatif, sehingga pemodelan ini dapat dipandang sebagai pemodelan deskriptif Eriyatno 2012 dengan teknik ISM Interpretative Structural Modelling . Dengan adanya intervensi kebijakan diharapkan performa mangrove yang direpresentasikan dalam luasan mangrove akan meningkat, sehingga dapat memproduksi jasa-jasa lingkungan yang berguna bagi perikanan. Penelitian ini bertujuan mendesain struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak. Metode Kerangka Pendekatan Model kebijakan pengelolaan mangrove dapat dinyatakan sebagai grafik dan diagram untuk menerangkan, menjelaskan, dan memprediksikan elemen- elemen subsub elemen suatu kondisi masalah kebijakan mangrove dan juga untuk memperbaikinya dengan merekomendasikan serangkaian tindakan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Permasalahan degradasi mangrove yang tidak terstrukur akan ditemukenali untuk kemudian akan dicarikan solusi pengelolaan yang juga akan dianalisis secara terstruktur. Pengelolaan mangrove akan meningkatkan produksi jasa-jasa ekosistem mangrove yang akan berefek terhadap aspek biofisik antara lain keberadaan stok ikan dan aspek bioekonomi antara lain hasil tangkapan dan penerimaan 129 perikanan. Di sisi lain keberadaan stok ikan dan aktivitas perikanan dipengaruhi oleh kebijakan pengelolaan perikanan misalnya restocking, pengendalian upaya penangkapan, pengendalian hasil tangkapan. Dalam bagian ini akan dianalisis dan dibahas sistem kebijakan mangrove mengingat mangrove sebagai variabel independen yang akan mempengaruhi aktivitas perikanan lihat Gambar 30. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sistem kebijakan 51 yang terdiri atas elemen masalah kebijakan policy problems, elemen tujuan kebijakan policy goals, elemen lingkungan kebijakan environmental policy, elemen tindakan kebijakan strategik strategic action policy dan elemen pelaku kebijakan policy stakeholders dengan prosedur perumusan sebagai berikut : 1. Perumusan masalah kebijakan. Masalah kebijakan merupakan output dalam tahapan perumusan masalah. Dalam kebijakan diperlukan informasi yang relevan policy-relevant information guna mengatasi masalah publik. Salah satu informasi yang penting adalah terkait dengan masalah kebijakan yang akan menjawab ‗pertanyaan apa hakekat permasalahan‘. Kebijakan yang menunjukkan performa adanya gap antara kondisi faktual dengan kondisi yang diharapkan mengindikasikan adanya masalah kebijakan. Dalam analisis kebijakan, adanya kesenjangan fakta dan tujuan yang diharapkan perlu diupayakan suatu solusi kebijakan. Dunn 2003 menjelaskan bahwa dalam analisis kebijakan, perumusan masalah guna menghasilkan informasi suatu masalah kebijakan mengambil prioritas di atas pemecahan masalah. Oleh karena itu, informasi mengenai masalah kebijakan sifat, ciri dan struktur masalah perlu menerapkan suatu metode dalam memahami masalah, sehingga dihasilkan pemahaman masalah yang benar dan untuk selanjutnya dilakukan pemecahan masalah yang tepat dengan metode yang tepat. 2. Perumusan tujuan kebijakan. Kebijakan yang diambil sebegai solusi masalah Dunn 2003 perlu berorientasi tujuan. Penetapan tujuan kebijakan diperlukan sebagai dasar pijakan dalam merumuskan alternatif intervensi tindakan yang diperlukan serta menjadi pijakan standar penilaian apakah langkah intervensi tersebut bisa disebut ―gagal‖ atau ―berhasil‖. 3. Perumusan lingkungan kebijakan : Lingkungan kebijakan merupakan konteks khusus di mana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan yang terjadi, yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik tindakan. 4. Perumusan pelaku kebijakan. Definisi masalah kebijakan tergantung dari pola keterlibatan pelaku kebijakan yang khusus, yaitu individukelompok individu yang mempunyai andil dalam kebijakan karena peranannya dalam mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Kelompok warga negara, agen pemerintah, partai politik dan analis kebijakan sering menangkap secara berbeda informasi yang sama mengenai lingkungan kebijakan. 5. Perumusan tindakan kebijakan. Tindakan kebijakan merupakan tindakan untuk mengatasi masalah kebijakan dan hasilnya akan terlihat dengan membandingkan ‗sesuatu yang dilakukan‘ dengan ‗sesuatu yang tidak dilakukan statusquo‘. 51 Merupakan pengembangan dari sistem kebijakan menurut Dunn 2003 yang terdiri dari 3 tiga unsur, yaitu kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan.