PENDAHULUAN Desain Kebijakan Pengelolaan Terpadu Mangrove Dan Perikanan (Studi Kasus Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat)

2 and Padilla 1999; Barbier 2003; Manson et al 2005; Allen et al 2012, tempat berlindung bagi biota tersebut dari ancaman pemangsa Nagelkerken et al 2008, sebagai habitat ikan Sasekumar et al 1992; Barbier 2003, Saenger et al 2013, baik untuk seluruh siklus hidup maupun sebagian siklus hidupnya Nagelkerken et a l 2008. Sebagai area pembesaran ikan, mangrove mempunyai peranan penting dalam mendukung perikanan komersial Barbier 2000, Allen et al 2012. Mangrove sebagai habitat ikan mempunyai keterkaitan dengan perikanan, sebagai contoh keterkaitan yang erat dengan populasi udang Martosubrtoto dan Naamin 1977; Lee 2004; Islam and Haque 2005; Harahab 2009 dan sebagai habitat penting bagi ikan demersal Barbier dan Strand 1997, Barbier 2000. Perikanan artisanal dengan kontribusi sebesar 85-95 sangat dipengaruhi oleh keberadaan mangrove Islam and Haque 2004. Menurut Lai 1984 Di Fiji sekitar 60 ikan-ikan yang ditangkap menghabiskan waktu di mangrove. Sekitar 70 hasil tangkapan perikanan pantai di Nigeria secara langsung dan tidak langsung bergantung pada mangrove Udoh 2016. Pentingnya memahami interaksi antara mangrove dengan perikanan mengingat jika adanya perubahan dalam ekosistem mangrove, maka akan berefek terhadap perubahan aktivitas perikanan. Secara geografis, Kabupaten Indramayu berada pada posisi 107 o 52‘ - 108 o 36‘ BT dan 6 o 15‘ - 6 o 40‘ LS. Kabupaten Indramayu memiliki luas 2.099,42 km 2 dengan luas seluruh kawasan pesisir sekitar 35 dari luas seluruh kabupaten. Pantainya membujur mulai dari Kecamatan Sukra hingga Kecamatan Karangampel, dengan panjang pantai sekitar 114 km. Selain itu, Kabupaten Indramayu juga memiliki 3 tiga pulau kecil, yaitu Pulau Biawak, Pulau Gosong dan Pulau Candikian. Wilayah pesisir dan perairan laut Kabupaten Indramayu memiliki potensi sumberdaya non hayati seperti tambang dan mineral serta sumberdaya hayati berupa keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi seperti estuaria, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan pantai berpasir. Ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu dilihat peranannya sebagai habitat berbagai biota perairan merupakan ekosistem hutan mangrove terluas di Jawa Barat. Sayangnya, ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu telah mengalami degradasi Sukardjo 1993; Hamdan 2007; Gumilar 2010. Berdasarkan data dari Perhutani 2000, pada tahun 1999 luas hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu tercatat sekitar 12.153 hektar, namun pada awal tahun 2008 luasnya sudah berkurang menjadi 7.807,65 hektar Gumilar 2010 atau sekitar 36 persen. Selanjutnya, menurut Dephut 1999 pada tahun 1999 luas hutan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu tercatat sekitar 17.782,06 hektar, namun pada tahun 2008 luasnya sudah berkurang hanya tinggal 8.062,50 hektar 45,34 yang terdiri dari 7.942,50 hektar 98,51 hutan mangrove daratan binaan dan bukan binaan Perhutani dan 120 hektar 1,49 hutan KKLD di Pulau Biawak Gumilar 2010. Meskipun terdapat program rehabilitasi dari tahun 1995 sampai dengan 2009 dengan luas 4.120 ha di 24 desalokasi berbeda yang dilaksanakan oleh BRLKT, Dinas LH, Wetland, OISCA, Dinas Perkebunan dan Kehutanan BP DAS, Himateka IPB dan Himapikan IPB DPK Kabupaten Indramayu 2009, namun program-program tersebut nampaknya belum mampu mengatasi laju degradasi mangrove. Degradasi mangrove yang diindikasikan dengan menurunnya luasan ha per tahun disebabkan oleh faktor alam dan aktivitas manusia. Gilbert dan Jansen 3 1998 menyatakan bahwa underestimation terhadap nilai total dan aktivitas manusia merupakan penyebab utama degradasi mangrove. Berdasarkan persepsi stakeholders di Indramayu, kerusakan hutan mangrove disebabkan karena faktor alam, seperti abrasi dan aktivitas manusia karena alasan ekonomi Gumilar 2010. Degradasi mangrove diperkirakan akan semakin meningkat dengan memperhatikan persepsi stakeholders seperti disampaikan oleh Gumilar 2010 yang menyatakan bahwa mangrove tidak memiliki manfaat penting bagi kegiatan tambak, penegakan hukum lingkungan dinilai masih kurang memadai dan partisipasi masyarakat dalam pelestarian lingkungan ada kecenderungan mengalami penurunan. Terkait dengan pemanfaatan lahan milik Perhutani yang dikelola dengan sistem silvofishery, fenomena degradasi mangrove diduga karena kontrak antara Perhutani dan petambak penggarap tidak memberikan insentif bagi petambak untuk memenuhi ketentuan rasio mangrove dan tambak sebesar 80:20. Petambak cenderung memperluas lahan garapannya untuk areal budidaya. Menurut Nur 2002 ketentuan rasio luasan 80 : 20 sulit diimplementasikan karena ketentuan tersebut lebih menekankan pada aspek ekologi konservasi dan kurang memperhatikan nilai ekonominya, sehingga petambak cenderung meningkatkan luasan tambaknya. Suhaeri 2005 menyatakan bahwa melalui pendekatan institusi antara lain menerapkan kebijakan kepemilikan dan pengelolaan secara bersama akan menghasilkan skala ekonomi lahan garapan yang memberikan manfaat optimal bagi masyarakat, pemerintah dan lingkungan. Aktivitas perikanan di Kabupaten Indramayu mencakup pemanfaatan potensi sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir. Dilihat dari aspek aktivitas perikanan tangkap, degradasi mangrove memberikan dampak terhadap perikanan tangkap yang beroperasi di sekitar pantai nearshore fishery yang merupakan perikanan skala kecil atau perikanan tradisional 1 . Pada tahun 2014, nelayan di Kabupaten Indramayu berjumlah 40 545 jiwa, 6.115 RTP dengan jumlah armada perikanan perahu sebanyak 6.115 unit. Dari jumlah tersebut terdapat 3.109 unit sekitar 50,84 dan 1.659 RTP sekitar 27,13 merupakan armada dan RTP yang mengoperasikan perahu berbobot di bawah 5 GT dengan daerah penangkapan ikan di sekitar pantai. Nelayan skala kecil yang beroperasi di sekitar pantai Kabupaten Indramayu diantaranya adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap pukat pantai, jaring klitik dan sero dengan hasil tangkapan antara lain dari famili Leiognathidae, Latidae dan Cynoglossidae. Dalam kurun waktu antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, jumlah unit alat tangkap pukat pantai mengalami kenaikan disertai dengan produksi per unit upaya yang cenderung menurun, sedangkan jaring klitik dan sero mengalami penurunan jumlah alat tangkap disertai dengan kenaikan produksi per unit upaya Tabel 1. Dari tabel tersebut dapat dikatakan bahwa performa input effort dan output hasil tangkapan nampaknya terjadi perubahan yang cukup tajam dan diduga adanya faktor kebijakan perikanan yang menyebabkan perubahan respon prilaku nelayan dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Peningkatan jumlah alat tangkap yang memanfaatkan sumberdaya ikan tanpa melihat jumlah maksimum 1 Definisi nelayan kecil menurut UU No. 452009 tentang Perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 lima gross ton GT. 4 ikan yang boleh ditangkap akan menyebabkan semakin terkurasnya sumberdaya ikan. Kebijakan perikanan tangkap dengan tidak memperhatikan jumlah maksimum alat tangkap yang diperbolehkan akan mengancam keberadaan perikanan itu sendiri. Pengelolaan perikanan sesungguhnya terkait dengan pengelolaan stock sumberdaya ikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu desain kebijakan pengelolaan mangrove dan kebijakan perikanan tangkap secara bersamaan untuk menuju keberlanjutan perikanan. Dalam konteks ini kebijakan pengelolaan perikanan dipandang sebagai kebijakan yang mengintegrasikan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove sebagai habitat perikanan dengan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap itu sendiri. Keberadaan ekosistem mangrove dapat berpengaruh terhadap produksi perikanan tangkap dan produksi budidaya tambak tradisional. Mangrove berperan dalam aktivitas budidaya tradisional-silvofishery dengan menghasilkan produk sampingan berkorelasi positif, namun berkorelasi negatif dengan perolehan hasil utama dan pada akhirnya berkorelasi positif dengan direct benefit Haris et al. 2013. Pada tahun 2014 jumlah rumah tangga perikanan budidaya tambak tradisional sekitar 99 dengan hasil utama produksi berupa ikan bandeng dan udang windu serta hasil produksi sampingan berupa ikan kakap putih Lates calcalifer , belanak Mugil cephalus, mujair Oreochomis mossambicus, udang api-api Metapenaeus spp, udang putih Penaeus spp dan jenis-jenis ikan dan udang lainnya. Untuk mendapatkan hasil utama produksi dibutuhkan bibit bandeng nener dan bibit udang benur sebagai input produksi utama, sedangkan untuk memperoleh hasil sampingan, petambak tidak mentransformasikan bibit ikanudang sebagai input produksi. Input tersebut berasal dari ‗alam‘ yang salah satunya bersumber dari perairan ekosistem mangrove yang masuk ke dalam tambak untuk kemudian menjadi besar setelah periode waktu tertentu. Hasil sampingan umumnya ditangkap secara harian dengan menggunakan alat tangkap impes yang umumnya dipasang di dekat pintu air. Tabel 1 Performa input dan output perikanan skala kecil di sekitar pantai di Kabupaten Indramayu Tahun Jumlah alat tangkap uniteffort Produksi ton unit -1 tahun -1 Pukat Pantai Jaring Klitik Sero Pukat Pantai Jaring Klitik Sero 2000 268 811 322 22,28 3,18 5,79 2014 1.459 407 225 5,50 6,55 3,5 Perubahan 444,44 49,82 30,12 75,31 105,97 39,55 Sumber : Buku statistik perikanan tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan diolah Dalam kurun waktu tahun antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, jumlah RTP, luas tambak, produksi tambak dan produktivitas tambak tradisional mengalami kenaikan. Selanjutnya, performa input dan output perikanan budidaya tambak dapat dilihat pada Tabel 2. Revitalisasi tambak di Indramayu menuju pada perspektif tambak tradisional, termasuk tambak tumpangsari dibandingkan dengan tambak intensif, telah menjadi perhatian Pemerintah Daerah mengingat tambak intensif selama ini tidak menunjukkan performa yang diharapkan. Selain menimbulkan eksternalitas negatif dengan mengeluarkan sisa pakan dan obat- obatan, tambak intensif juga dihadapkan pada problem penyakit udang. Sampai 5 dengan akhir tahun 2014, hanya 100 RTP atau 1 dari 12.412 RTP yang menerapkan tambak intensif dan semi intensif. Tabel 2 Performa input dan output perikanan budidaya tambak di Kabupaten Indramayu Tahun RTP Luas Tambak Air Produksi ton tahun -1 Bandeng Windu 2000 4.939 12.417,00 3.423,50 2.251 2014 12.412 17.880,25 48.175,62 28.283,98 Perubahan 151,31 44,00 1.307,20 1.156,51 Sumber : Buku statistik perikanan budidaya, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat dan diolah Kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan dan jasa ekosistem mangrove di Kabupaten Indramayu penting didesain guna memberikan arah bagi tercapainya tujuan pembangunan. Bohari 2010 menyatakan bahwa permasalahan pengelolaan wilayah pesisir yang kompleks dan dinamis perlu pendekatan integratif-holistik dengan pendekatan kesisteman. Solusi yang ditawarkan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan adalah skenario kebijakan Progrestik-Optimistik dengan melakukan perbaikan pada atribut yang sensitif. Suharto 2010 menyatakan bahwa dengan adanya kebijakan diharapkan adanya rumusan mengenai berbagai pilihan tindakan dan prioritas yang diwujudkan dalam program-program pelayanan yang efektif untuk mencapai tujuan pembangunan. Kebijakan menurut Titmuss dalam Suharto 2010 senantiasa berorientasi kepada masalah problem-oriented dan berorientasi kepada tindakan action-oriented. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kebijakan adalah seperangkat pernyataan strategis yang didukung oleh fakta Suharto 2010 atau bermakna suatu peraturan atau ketetapan yang mengatur mengenai cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk memecahkan masalah yang ada dan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan Marliana et al 2013. Oleh karena itu, problem penurunan luasan mangrove yang berimbas pada penurunan manfaat bagi perikanan budidaya dan perikanan tangkap serta penurunan stock sumberdaya ikan akibat tingginya aktivitas penangkapan perlu dicarikan suatu solusi kebijakan. Di tengah era otonomi daerah yang menekankan pada perolehan Pendapatan Asli Daerah PAD, kelestarian lingkungan menjadi terabaikan dan sumberdaya alam terdegradasi. Anna dan Fauzi 2005 menyatakan bahwa degradasi sumberdaya penting untuk diperhitungkan, sebab kebijakan pengelolaan yang mengabaikan degradasi sumberdaya alam akan menghasilkan kebijakan yang misleading. Oleh karena itu penting dilakukannya suatu penelitian untuk melihat status sumberdaya serta keterkaitan mangrove dan perikanan, sehingga hasil penelitian diharapkan dapat mendukung pengelolaan wilayah pesisir, termasuk keputusan untuk melakukan kebijakan konservasi dan restorasi habitat. Hal ini mengingat aktivitas perikanan yang berkelanjutan dapat menghasilkan produksi yang berkelanjutan, sehingga mampu menjamin ketersediaan ikan serta kesejahteraan nelayan dan petambak. Guna mencapai keberlanjutan produksi perikanan perlu suatu desain kebijakan pengelolaan. Selanjutnya, preskripsi yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 6 1. Adanya kebijakan pengelolaan terpadu antara pengelolaan mangrove dan pengelolaan perikanan tangkap. Kebijakan ini akan memandang pengelolaan sumberdaya pesisir sebagai satu sistem pengelolaan terpadu antara subsistem pengelolaan mangrove, subsistem pengelolaan perikanan tangkap skala kecil dan sub sistem perikanan budididaya tambak tradisional-silvofishery. Pemahaman terhadap keterkaitan mangrove dan perikanan penting bagi pembuat kebijakan agar dapat memberikan penilaian secara benar terhadap sumberdaya alam dan lingkungan pesisir. 2. Dikaitkan dengan pengembangan minapolitan, Kabupaten Indramayu merupakan salah satu kawasan pengembangan minapolitan di bidang perikanan tangkap dan budidaya 2 . Salah satu keberhasilan pengembangan minapolitan adalah adanya kontinuitas stock ikan sebagai natural input dan kualitas lingkungan perairan yang baik. Oleh karena itu, penting untuk melihat keterkaitan mangrove dan perikanan mangrove-fishery linkages dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut untuk mengatasi degradasi mangrove dan sumberdaya ikan di sekitar pantai.. Hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan suatu kebijakan yang dapat meningkatkan stock sumberdaya ikan dan perbaikan ekosistem mangrove untuk menjaga proporsi antara luas mangrove dan tambak, sehingga dapat meningkatkan hasil tangkapan dan produksi budidaya yang selanjutnya dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan. 3. Kebijakan yang dihasilkan juga dapat bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan coverage mangrove yang dapat berkonstribusi terhadap luasan RTH Ruang Terbuka Hijau dengan target RTH 30 UU No. 262007, sehingga tata ruang wilayah pesisir lebih mencerminkan integrasi berbagai aspek, termasuk memperkuat adaptasi wilayah pesisir terkait dengan perubahan iklim global. Keterkaitan antara mangrove dan perikanan tangkap sudah banyak diteliti antara lain Martosubrtoto dan Naamin 1977; Barbier 2000, Barbier 2003; Lee 2004; Islam and Haque 2005; Faunce and Serafy 2006; Marlianingrum 2007, Chong 2007; Harahab 2009; Allen et al 2012; Saenger et al 2013; Mykoniatis and Ready 2013; Udoh 2016 dan peran mangrove dengan budidaya tambak sudah banyak dibahas dan diteliti antara lain Fahrudin 1996; Muluk C. 2000; Mardawati 2004; Primavera 2005; Rangkuti AR 2013; Haris et al 2013. Penelitian tersebut hanya bersifat parsial, namun keterkaitan antara mangrove M dengan perikanan tangkap F dan tambak A serta analisis kebijakan pengelolaan mangrove dan perikanan secara bersamaan simultan belum dilakukan. Oleh karena itu, penelitian terhadap keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap dan budidaya tambak serta analisis kebijakan pengelolaannya penting dilakukan, sehingga keberlanjutan aktivitas perikanan tangkap dan keberlanjutan budidaya tambak akan terjamin dengan tetap mempertahankan keberadaan mangrove. Selanjutnya, preskripsi yang dihasilkan tersebut dapat mendukung pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. 2 Mengacu kepada keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP No.322010 ditetapkannya 197 kabupatenkota sebagai daerah pengembangan kawasan minapolitan. Minapolitan adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi dan percepatan. 7 Perumusan Masalah Kompleksitas persoalan pengelolaan sumberdaya pesisir yang mencakup degradasi mangrove, overfishing, dan ketidakpastian stock sumberdaya berimbas pada ketidakpastian produksi, sehingga diperlukan suatu pendekatan holistik dalam menelaah pengelolaan sumberdaya pesisir secara berkelanjutan. Kompleksitas sistem pengelolaan dicirikan dengan banyaknya elemen yang menyusun sistem tersebut dan di antara elemen tersebut mempunyai keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Degradasi ekosistem mangrove dan degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai akibat persoalan kelembagaan merupakan masalah yang mendasar dan penting, sehingga perlu dipecahkan melalui analisis kelembagaan. Penelitian ini difokuskan pada fakta terjadinya degradasi mangrove akibat persoalan kelembagaan pengelolaan dan efeknya terhadap aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan terhadap aktivitas budidaya ikan. Sumberdaya ikan selama ini juga diduga sudah mengalami degradasi. Keterkaitan mangrove dengan perikanan akan dianalisis dengan bioekonomi interaksi. Dari berbagai penelitian dan fakta-fakta di lapangan, nampaknya faktor manusia antropogenik lebih mendominasi penyebab degradasi. Prilaku manusia yang eksploitatif terhadap sumberdaya alam dan lingkungan diduga disebabkan oleh kelembagaan pengelolaan yang diterapkan. Terjadinya degradasi sumberdaya mangrove dan sumberdaya ikan secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut : 1 Degradasi mangrove. Tiga kategori lahan yang mengalami degradasi mangrove dilihat dari penyebab dan rezim kepemilikannya adalah a. Lahan milik Perhutani. Degradasi mangrove diduga disebabkan oleh masalah institusi pengelolaan silvofishery dimana proporsi luasan mangrove M dan tambak T dalam kontrak silvofishery tidak memberikan struktur insentif terhadap petambak , sehingga ada kecenderungan petambak menebang mangrove untuk memperluas areal tambaknya. Pengaturan proporsi lahan mangrove dengan luas tambak m 1 agar tidak terjadi penebangan mangrove menjadi problem pada lahan milik Perhutani. b. Lahan milik Pemerintah Daerah. Degradasi mangrove diduga disebabkan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap sempadan sungai dan sempadan pantai. Konversi mangrove menjadi tambak masih terus berlangsung. c. Lahan tambak milik individu masyarakat. Masih adanya persepsi di sebagian besar petambak bahwa memelihara mangrove di areal tambak dalam sistem usaha tambak menimbulkan biaya pengelolaan yang tinggi, seperti timbulnya predator ikanudang dan kesulitan dalam memanen hasil produksi. Meskipun diakui bahwa petambak tradisional masih mengharapkan adanya produk sampingan dengan benih dari alam yang masuk dalam sistem tambak. Oleh karenanya, masalah pengaturan proporsi lahan mangrove dengan luas tambak m 2 agar petambak mau terlibat dalam pemeliharaan mangrove menjadi problem pada lahan milik individu. 8 Perubahan kelembagaan status kepemilikan akan berpengaruh terhadap luasan mangrove, sehingga akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem mangrove baik struktur, fungsi maupun jasa-jasa yang diproduksinya. Ekosistem mangrove memberikan jasa-jasa ekosistem dengan menyediakan pasokan ikan dan udang untuk perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan mendukung aktivitas budidaya tradisional-silvofishery. Dalam kondisi tersebut, ekosistem mangrove dapat dipandang sebagai input bagi kedua aktivitas perikanan tersebut. Perubahan terhadap input meningkatnya luasan mangrove pada akhirnya mampu memasok biota perairan lebih banyak memperbesar carrying capasity dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap pengurangan biaya pemanfaatan dengan makin dekatnya fishing ground makin menuju ke arah pantai dan peningkatan output perikanan. Penurunan biaya operasi penangkapan ikan sangat diharapkan di tengah meningkatnya biaya bahan bakar yang merupakan komponen terbesar biaya operasional. Dengan demikian pengelolaan bagi perikanan tangkap selain pengelolaan habitatnya ecosystem based management juga dilakukan pengelolaan konvensional, yakni kebijakan perikanan yang mampu mempengaruhi prilaku nelayan dalam penggunaan input effort. Bagi aktivitas tambak akan berpengaruh terhadap sediaan pasokan nutrien, kualitas air dan pasokan udangikan sebagai hasil sampingan. 2 Degradasi sumberdaya ikan sekitar pantai Pengelolaan perikanan tangkap di Kabupaten Indramayu saat kini menunjukkan kondisi kurang berkelanjutan Hamdan 2010. Selain karena rusaknya habitat ikan, degradasi juga disebabkan karena kapasitas penangkapan ikan yang berlebih. Performa tragedy of the common akibat rejim pengelolaan open acces s sumberdaya ikan sekitar pantai. Situasi open access dapat mendorong kapasitas penangkapan ikan berlebih over capacity yang diindikasikan dengan meningkatnya upaya penangkapan effort dan menurunnya hasil tangkapan catch per unit effort. Dengan perkataan lain, kondisi tersebut diduga tidak dilakukannya kebijakan perikanan yang mengarah pada optimally management yang mengacu pada konsep MEY maximum economic yields oleh Pemerintah Daerah. Dari hal tersebut di atas dapat disimpulkan adanya 2 dua persoalan penting, pertama: degradasi mangrove sebagai habitat ikan yang berimplikasi terhadap penurunan stock ikan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap aktivitas penangkapan ikan skala kecil serta tambak tradisional dan kedua: overcapacity aktivitas penangkapan ikan. Oleh karena itu kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir yang menyangkut fishery-mangrove linkages dapat dilakukan melalui keterpaduan kebijakan pengelolaan perikanan dan pengelolaan mangrove. Dalam situasi demikian, diperlukan luasan mangrove dengan mempertimbangkan aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional. 9 Gambar 1 Kerangka perumusan masalah dan strategi penyelesaian masalah Perubahan aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai Perubahaan luas area Mangrove Masyarakat private; jual beli grant Perhutani state, administratif, silvofishery Pemda state, sempadan Performa Pengelolaan Saat Kini Situasi „open access fisheries‟ ? Status Kepemilikan Lahan Mangrove Analisis Bioekonomi Interaksi Habitat-Perikanan kondisi open access Kelembagaan Pengelolaan Mangrove Analisis Sistem Dinamik simulasi Situasi „trade off ‟lahan mangrove tambak Analisis Bioekonomi statis dan dinamis Analisis Kelembagaan Kelembagaan Pengelolaan Perikanan Tangkap Perubahan aktivitas budidaya tambak Analisis Fungsi Produksi Ekosistem Mangrove -struktur proses-proses; - fungsi ekosistem -ecosystem services - provisioning services Performa PengelolaanYang Diharapkan Mangrove tidak degradasi, produksinilai produksi tambak perikanan berkesinambungan Kesenjangan : “Masalah” Perumusan Masalah Kebijakan A n al is is IS M Solusi Masalah Tindakan Kebijakan Masalah Kebijakan Tanpa kebijakan status quo Tanpa pengendalian Effort, E dan pengelolaan Mangrove, M Dengan kebijakan Pengendalian Effort, E dan pengelolaan Mangrove, M Mangrove Perikanan Budidaya Penangkapan 10 Tujuan meningkatkan stock sumberdaya ikan melalui rehabilitasi mangrove dapat dilakukan melalui desain kebijakan yang dapat meningkatkan rasio covarage mangrove terhadap ketersediaan lahan pesisir availabe land yang dimiliki oleh institusi berbeda untuk menuju keberlanjutan mangrove. Identifikasi terhadap masalah kebijakan perlu dilakukan untuk memperoleh solusi kebijakan dengan analisis Interpretative Structural Modelling, ISM. Selain itu, agar tidak terjadi degradasi sumberdaya ikan dalam jangka panjang perlu kebijakan pengelolaan perikanan dari berbagai skenario pengelolaan yang dapat mengubah situasi open access menuju optimally managed fishery dengan mengacu pada konsep MEY maximum economic yields. Secara teoritis, analisis optimally managed fishery dapat dilakukan namun preskripsinya sulit diimplementasikan mengingat pertimbangan sosial, ekonomi dan institusi pengelolaan. Oleh karena itu, konsep MEY akan diintegrasikan dengan pendekatan institusi untuk mencapai performa yang diinginkan. Fakta adanya degradasi mangrove, penurunan stock ikan dan kesulitan dalam penerapan preskripsi optimally managed fishery akan diatasi melalui penataan-skenarioan formulasi kebijakan pengelolaan mangrove dan pengelolaan perikanan secara terpadu. Melalui analisis sistem dinamik akan dilakukan simulasi alternatif kebijakan yang berefek pada performa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa adanya fakta degradasi sebagai performa yang tidak diharapkan akibat permasalahan kelembagaan pengelolaan mangrove dan perikanan akan dicarikan solusi untuk menghasilkan performa yang lebih baik. Selanjutnya, perumusan masalah dan strategi penyelesaian masalah dapat dilihat pada Gambar 1. Perumusan masalah penelitian seperti yang telah diuraikan di atas diakhiri dengan pertanyaan penelitian research question sebagai berikut : 1 Bagaimana kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai? Apakah sudah terjadi overfishing dan terdegradasi ? 2 Apakah ada pengaruh mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery ? 3 Apa yang terjadi dengan adanya degradasi mangrove perubahan luasan terhadap produksi perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional-silvofishery secara simultan ? 4 Bagaimana kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan serta performanya saat kini ? 5 Bagaimana struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery ? 6 Bagaimana performa perikanan tangkap dan budidaya tambak pada masa mendatang dengan adanya perubahan luasan mangrove dalam simulasi model dinamik? Dalam bentuk skenario kebijakan, berapa sebenarnya luasan mangrove tolerable yang dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan bagi perikanan tangkap dan budidaya tambak? Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1 Menjelaskan kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai . 11 2 Menganalisis pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional- silvofishery 3 Menganalisis kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam perspektif ekonomi kelembagaan. 4 Mendesain struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional-silvofishery. 5 Mendesain dan memformulasikan skenario alternatif kebijakan terpadu dengan model dinamik keterkaitan mangrove dengan perikanan sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional-silvofishery. Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah 1 Bagi ilmu pengetahuan: sebagai referensi lebih lanjut dalam pengelolaan sumberdaya dan lingkungan di wilayah pesisir dengan memfokuskan pada keterkaitan ekosistem mangrove dengan perikanan. 2 Bagi stakeholders: sebagai masukan informasi bagi pengelolaan mangrove, perikanan tangkap dan budidaya tambak secara terpadu untuk menuju pengelolaan secara berkelanjutan. 3 Bagi Pemerintah Daerah sebagai masukan informasi dalam menyusun kebijakan dan implementasi kebijakan pengelolaan mangrove dan perikanan tangkap secara terpadu untuk menyusun tata ruang pesisir, revitalisasi tambak, pengembangan minapolitan dan mendukung pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Kerangka Pemikiran Jasa-jasa ekosistem merupakan konsep dan tool yang digunakan dalam Millennium Ecosystem Assessment dan suatu perubahan dalam ekosistem akan mempunyai konsekuensi terhadap human well-being MEA 2005. Jasa-jasa ekosistem adalah manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu ekosistem Liu et al. 2010. Dalam suatu ekosistem terdapat struktur dan fungsi-fungsi ekosistem yang merupakan prasyarat bagi tumbuhnya jasa-jasa eksosistem ecosystem services yang berfungsi sebagai provisioning services, regulating services dan culture services . Jasa-jasa tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kesejahteraaanya. Konsep jasa-jasa ekosistem merupakan alat yang berguna bagi konektivitas antara natural system dengan human system Vihervaara et al. 2010 dan menyediakan nilai ekonomi yang penting Costanza et al. 2014 dan perlu dihitung nilainya Liu et al 2010. Dari pendekatan jasa-jasa ekosistem menurut Vihervaara et al. 2010 dan terkait dengan penelitian ini bahwa ekosistem mangrove mempunyai provisioning services dengan menyediakan produk dan jasa-jasa yang dapat dimanfaatkan oleh manusia, seperti menyediakan berbagai jenis ikan dan udang komersial. Bagi kepentingan budidaya, selain menyediakan hasil sampingan budidaya hasil impes, ekosistem mangrove juga memiliki regulating services, seperti memperbaiki kualitas perairan yang pada akhirnya berpengaruh pada hasil produksi. Konektivitas antara natural system dengan human system perlu adanya kelembagaan yang mengatur. Ekstrasi terhadap produk dan jasa-jasa yang disediakan oleh suatu ekosistem 12 dipengaruhi oleh kelembagaan pengelolaan yang berlaku dalam kehidupan. Kelembagaan di sini mencakup batas jusrisdiksi, property right dan aturan representasi yang selanjutnya akan menentukan performa lingkungan pesisir akibat prilaku manusia dalam manfaatkan produk dan jasa-jasa ekosistem tersebut. Berbagai jenis ikan sering ditemui di perakaran mangrove yang terendam air, sehingga mangrove dapat disebut sebagai habitat ikan Lai 1984. Mangrove mempunyai peranan yang penting dilihat dari aspek fisik, ekologi, dan ekonomi Islam and Haque 2004; Dahuri et al. 2008; Harahab 2010, Kusmana dan Istomo 2011; Kustanti 2011. Ekosistem mangrove menyediakan barang dan jasa-jasa lingkungan Gilbert and Janssen 1998; Barbier 2012. Perlindungan mangrove di seluruh dunia hampir seluruhnya didasarkan pada kepentingannya untuk perikanan ataupun terhadap sejumlah spesies langka dan terancam punah Snedaker 1989; Baran and Hambrey 1998, Faunce and Serafy 2006. Dalam konteks penelitian ini, ekosistem mangrove berfungsi sebagai penyedia jasa-jasa lingkungan ecosystem services terhadap perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak. Jasa-jasa ekosistem mangrove tersebut selanjutnya dapat dihitung secara ekonomi. Jasa-jasa ekosistem mangrove terhadap produksi perikanan adalah meyediakan hasil sampingan pada budidaya tambak dan perikanan tangkap sekitar pantai yang dimulai dari produksi serasah mangrove yang menjadi nutrien organik. Nutrien organik dapat dimanfaatkan secara langsung oleh zooplankton dan produsen sekunder lainnya yang selanjutnya dimanfaatkan oleh ikanudang dewasa dan nekton lainnya. Selain dimanfaatkan secara langsung, nutrien organik melalui proses dekomposisi dan leaching selanjutnya menjadi nutrien anorganik. Nutrien anorganik dimanfaatkan oleh alga, epipit dan produsen primer dan selanjutnya dimanfaatkan oleh produsen sekunder dan ikanudang plankton feeder. Selanjutnya, ikanudang tumbuh menjadi dewasa biomas dan sebagian ada yang masuk ke dalam areal tambak yang ditangkap dengan alat tangkap ‗impes‘ dan sebagian ada yang menyebar ke perairan sekitar pantai yang umumnya relatif dangkal dan kemudian ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan alat tangkap tertentu antara lain sero. Jarak menyebarnya jenis- jenis ikan dari garis pantai akan menentukan batasan ekologi keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap. Keberadaan nutrien dan menyebarnya ikan- ikan tersebut tersebut menjadi daya tarik bagi ikan-ikan lain yang tidak berasosiasi dengan habitat mangrove. Kerangka hubungan mangrove dengan perikanan selanjutnya dapat dilihat pada Gambar 2. Setelah melalui pemahaman terhadap fungsi biologi-ekologi mangrove, salah satu tantangan dalam pengelolaan jasa ekosistem dan sumberdaya ikan adalah perlunya memahami secara ekonomi keterkaitan ekosistem mangrove dan perikanan. Keterkaitan tersebut mempunyai nilai. Teknik penilaian dilakukan dengan menghitung indirect value keberadaan mangrove jasa lingkungan dari mangrove sebagai habitat ikan dalam mendukung aktivitas perikanan, mengingat mangrove mempunyai manfaat tidak langsung terhadap perikanan. Dengan memahami konteks keterkaitan dan melakukan penilaian ekonomi secara benar, maka pengelolaan sumberdaya dan jasa lingkungan pesisir dapat menuju kepada performa keberlanjutan. 13 Gambar 2 Kerangka hubungan mangrove dengan perikanan Dari segi kepentingan budidaya tambak, lahan untuk mangrove bersifat trade off dengan lahan untuk tambak yang menghasilkan hasil panen utama, seperti bandeng dan udang windu. Pengembangan tambak untuk mendapatkan hasil utama tersebut akan memerlukan area yang lebih luas. Salah satu upaya pemenuhan area lahan tersebut adalah dengan cara menebang mangrove untuk memperluas areal tambak. Pada taraf tertentu mangrove diperlukan bagi aktivitas budidaya tambak tradisional mengingat fungsinya sebagai regulating services, antara lain memperbaiki kualitas perairan. Dari sisi kepentingan perikanan tangkap, mangrove berfungsi sebagai habitat ikan, shelter dan penyedia makanan sehingga berperan bagi perikanan sekitar pantai Saengger et al 2013. Terdegradasinya mangrove akan berpengaruh terhadap aktivitas perikanan skala kecil yang beroperasi di sekitar pantai Indramayu, yakni pukat pantai, sero dan jaring klitik. Terganggunya aktivitas perikanan selanjutnya akan berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap performa perikanan. Faktor lain yang diduga berdampak terhadap performa perikanan tangkap adalah berlebihnya kegiatan penangkapan ikan over capacity. Implikasi selanjutnya, pembangunan akan mengalami hambatan mengingat biaya sosial-lingkungan lebih tinggi ketimbang dialokasikan pada sumber investasi produktif yang menghasilkan return lebih baik. Nilai ekonomi mangrove-fishery linkages dihitung dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi. Pendekatan fungsi produksi digunakan untuk menilai manfaat tidak langsung indirect value fungsi ekologi ekosistem mangrove sebagai habitat perikanan, sehingga mangrove memiliki peranan untuk mendukung aktivitas perikanan pesisir dengan cara menyediakan envornmental services sebagai spawning ground, feeding ground dan nursery ground. Manfaat tidak langsung fungsi ekologi tersebut merupakan nilai nonmarketed environmental services yang penilaiannya didekati dengan metode surrogate market valuation, yaitu upaya mengestimasi permintaan turunan derived demand terhadap kualitas lingkungan. Informasi barang yang dipasarkan a marketed good digunakan untuk menjelaskan nilai barang yang tidak dipasarkan garis pantai Mangrove M serasah Tambak A, sederhana, wanamina Stock ikan di laut X nutrien anorganik Ikan nekton lain produsen sekunder nutrien organik Perikanan Tangkap nearshore Fn Jenis ikan lainnya dekomposisi leaching produsen primer nearshore offshore Batas ekologi keterkaitan MF Jasa ekosistem : Habitat - nursery ground Perikanan Tangkap inshore Fi 14 a nonmarketed good. Dalam pendekatan fungsi produksi dilakukan 2 dua tahapan, yaitu : i Menentukan pengaruh fisik perubahan sumberdaya ikan dan fungsi ekologi ekosistem mangrove terhadap aktivitas ekonomi. ii Menghitung perubahan nilai barang udang dan ikan yang dipasarkan terkait dengan perubahan kondisi lingkungan ekosistem mangrove Sumberdaya ikan dan fungsi ekologi ekosistem mangrove dianggap sebagai input aktivitas perikanan, sehingga perubahan pada input tersebut dapat berpengaruh terhadap output perikanan dalam bentuk fungsi produksi. Keterkaitan mangrove dengan perikanan akan dianalisis dengan menggunakan model interaksi habitat dengan perikanan dan dari model ini akan menentukan apakah mangrove merupakan habitat esensial, habitat fakultatif ataupun irrelevant habitat . Pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap dapat dilihat dari pengaruhnya terhadap pertumbuhan stok ikan X dari stok ikan tanpa keberadaan mangrove X F menjadi stok ikan dengan adanya mangrove XM F dan juga akan meningkatkan daya dukung dari daya dukung lingkungan awal tanpa mangrove K F menjadi daya dukung lingkungan dengan adanya mangrove KH. Adanya mangrove akan meningkatkan pertumbuhan intrinsik ikan, r dan daya dukung lingkungan, K Foley et al 2012. Dengan mengasumsikan bahwa mangrove dapat mempengaruhi kedua parameter tersebut, maka perubahan mangrove terhadap kedua parameter tersebut akan muncul dalam fungsi logistik pertumbuhan populasi FX yang selanjutnya akan mempengaruhi stok ikan X, yakni pergeseran kurva pertumbuhan tanpa mangrove GL F ke arah kurva pertumbuhan dengan mangrove GL MF seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Pengaruh mangrove terhadap daya dukung dan pertumbuhan ikan Aktvitas perikanan tangkap di wilayah pesisir mensyaratkan kontinuitas stock 3 sumberdaya ikan Gambar 2 dan Gambar 3 untuk keberlanjutan usahanya. Dengan meningkatnya penduduk, maka diperlukan upaya peningkatan produksi perikanan guna memenuhi pangan yang bersumber dari protein ikani. Sayangnya, telah terjadi penurunan stock sumberdaya ikan di perairan sekitar pantai akibat kondisi padat tangkap. Stock ikan sebagai natural input bagi perikanan tangkap 3 Istilah stock identik dengan sistem sumberdaya resources system dalam kerangka analisis kelembagaan menurut Ostrom 1990. . FX, FX,M X KH K F FX,M FX X F XM F degradasi mangrove Kurva GL MF Kurva GL F 15 sekitar pantai dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti biologi, iklim, kondisi ekosistem habitat, kualitas perairan dan aktivitas manusia prilaku, misalnya penggunaan destructive fishing. Dalam penelitian ini, faktor yang menjadi fokus kajian adalah faktor kondisi ekosistem mangrove sebagai habitat ikan dan aktivitas manusia. Untuk kondisi kualitas perairan yang dicerminkan dengan adanya pencemaran laut diasumsikan tidak mempengaruhi stock ikan dan hasil tangkapan dengan pertimbangan : i Pada tahun 2002 kondisi air laut relatif lebih baik dibandingkan baku mutu menurut Kepmen KLH Nomor Kep-02MENKLH1988. Dari pengukuran kualitas air ditemukan konsentrasi Zn dalam kisaran 0,03 – 0,11 mgliter. Dua sampel dari 8 sampel lokasi sampling menunjukan kadar Zn di atas baku mutu. Konsentrasi logam Cu masih di bawah baku mutu, sedang logam Pb mendekati atau sama dengan baku mutu. Dengan penyebaran yang merata, logam Cu dan Zn di duga merupakan kadar alami perairan, sedangkan Pb diduga berasal dari aktivitas pengilangan, lalu lintas kendaraan bermotor dan Sungai Kosambi 4 ii Kejadian pencemaran laut tahun 2008 dan 2010 sudah diatasi dan sampai saat ini tidak ditemui kejadian pencemaran laut yang mengakibatkan kematian ikan. Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa kondisi ekosistem dapat tedegradasi akibat aktivitas manusia, sehingga aktivitas manusialah yang lebih mendominasi terjadinya degradasi sumberdaya mangrove dan sumberdaya ikan. Aktivitas memanfaatkan sumberdaya disebabkan oleh faktor ekonomi dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya. Timbulnya prilaku manusia yang eksploitatif terhadap sumberdaya akibat faktor kelembagaan perlu dipecahkan dalam kerangka analitik ekonomi kelembagaan. Kerangka analitik ini memberikan pemecahan masalah melalui rekayasa kelembagaan untuk menghasilkan performa yang lebih baik. Kelembagaan kebijakan yang dimaksud adalah upaya untuk menggeser GL F ke arah kurva GL MF lihat Gambar 3. Aktivitas budidaya tambak membutuhkan luasan lahan tertentu yang memadai. Ketersediaan lahan yang terbatas di salah satu sisi dan banyaknya aktivitas di sisi lain yang membutuhkan lahan menjadikan penggunaan lahan di wilayah pesisir tersebut bersifat trade off. Untuk memenuhi kebutuhan lahan tambak guna memproduksi hasil panen utama udang dan bandeng sering dilakukan dengan cara mengkonversi hutan mangrove. Upaya konversi tersebut menyebabkan fungsi fisik, biologi-ekologi dan ekonomi mangrove akan hilang. Salah satu fungsi mangrove adalah sebagai habitat berbagai biota perairan yang mempunyai nilai ekonomis penting. Dalam aktivitas perikanan tangkap, biota perairan X tersebut ditangkap dengan menggunakan fishing effort tertentu E, misalnya jumlah unit alat tangkap maupun jumlah trip. Dalam budidaya tambak, pengaruh penurunan mangrove terkait dengan penurunan hasil sampingan tambak. Berdasarkan hal tersebut dapat dihipotesiskan bahwa perubahan luasan mangrove akan berpengaruh terhadap aktivitas budidaya tambak dan aktivitas perikanan tangkap. 4 Studi Investigasi Sumber Pencemar Lingkungan Kabupaten Indramayu Tahun 2003. Kerjasama BPLHP Provinsi Jawa Barat dengan LPPM ITB dalam Dinas Perikanan Jawa barat 2007. Recana Zonasi Kawasan Pesisir dan Laut Kabupaten Indramayu 16 Performa mangrove direpresentasikan dalam bentuk luasan mangrove M, performa budidaya tambak direpresentasikan dalam bentuk hasil panen tambak: ―Q T ―, sedangkan performa aktivitas penangkapan ikan direpresentasikan dalam bentuk hasil tangkapan h F . Adanya perubahan M akan berpengaruh terhadap hasil tambak dan hasil tangkapan. Terjadinya penurunan luasan mangrove atau meningkatnya luasan tambak dihipoteskan akan mengakibatkan peningkatan produksi tambak serta penurunan hasil tangkapan nelayan. Sebaliknya, peningkatan luasan mangrove atau menurunnya luasan tambak akan mengakibatkan penurunan produksi tambak dan peningkatan hasil tangkapan nelayan lihat Gambar 4. Berdasarkan status kepemilikannya, lahan pesisir dimiliki oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan sempadan pantai L SP , Perhutani L PP dan dimiliki oleh masyarakat L PM maka persamaan luasan lahan pesisir, Lp adalah Lp = L SP + L PP + L PM 1.1 Dengan menganggap bahwa lahan pesisir baik lahan milik Perhutani maupun milik rakyat layak ditanami mangrove dan juga layak untuk tambak, maka lahan tersebut dapat digunakan untuk kepentingan tambak dan juga untuk kepentingan mangrove, maka persamaan luasan lahan pesisir menurut penggunaannya adalah Lp = M SP + T SP +M PP +T PP +M PM +T MP 1.2 dimana M SP = luasan mangrove di sempadan pantai; T SP = luasan tambak di sempadan pantai; M PP = luasan mangrove di lahan Perhutani; T PP = luasan tambak di lahan Perhutani; M PM = luasan mangrove di lahan Masyarakat; T MP = luasan tambak di lahan Masyarakat. Pengelolaan mangrove yang berefek pada aktivitas budidaya tambak dan aktivitas perikanan tangkap sesungguhnya tidak terlepas dari penerapan kelembagaan pengelolaan mangrove yang berupaya untuk mempertahankan keberadaan mangrove di lahan pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut : Pertama, perlunya keberadaan mangrove di sempadan pantai L SP yang berfungsi sebagai green belt 5 kawasan lindung minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah pantai Kepres 321990. Apabila luasan lahan sempadan yang menjadi kewenangan pengelolaan Pemerintah Daerah seluas L SP , maka luasan mangrove yang perlu dipertahankan adalah sebesar M SP =m S L SP sedangkan lahan yang dapat dikelola untuk tambak bila ada konversi lahan di sempadan guna mendapatkan hasil tambak adalah seluas T SP =1- m S L SP . Kebijakan mangrove di sempadan pada dasarnya mempertahankan m S =1 atau tidak ada sempadan yang digunakan untuk tambak. Apabila mangrove yang perlu dipertahankan sebagai green belt seluas M SP , maka diperkirakan keberadaan green belt tersebut akan memberikan efek terhadap hasil tangkapan nelayan hanya sebesar h FSP dan sisanya lahan milik Perhutani dan Masyarakat seluas L P – L SP yang digunakan untuk tambak budidaya dengan asumsi seluruh lahan digunakan untuk tambak 5 Sabuk hijau greenbelt adalah Ruang Terbuka Hijau RTH yang memiliki tujuan utama untuk membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu dengan aktivitas lainnya agar tidak saling menggangu. Sabuk hijau di sepadan pantai lebarnya minimal 100 seratus meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. 17 akan memberikan efek terhadap produksi utama budidaya tambak sebesar Q TSP lihat Gambar 4. Kedua, kelembagaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masayarakat PHBM atau social forestry untuk mempertahankan luasan mangrove pada lahan Perhutani yang dikelola dengan pola silvofishery. Dengan menganggap bahwa luasan lahan yang dimiliki Perhutani seluas L PP data aktual lahan Perhutani seluas 8.071 ha, maka luasan mangrove yang perlu dipertahankan pada pola silvofishery adalah sebesar M PP =m P L PP , sedangkan lahan yang dapat dikelola untuk tambak guna mendapatkan hasil tambak adalah seluas T PP =1- m P L PP . Berdasarkan ketentuan Perhutani perbandingan mangrove dan tambak pada pola silvofishery masing-masing adalah 80 : 20 , sehingga berdasarkan ketentuan tersebut luasan mangrove dan luasan tambak masing-masing adalah 0,8L PP dan 0,2L PP. Dengan demikian untuk mengelola lahan Perhutani dengan pola silvofishery dengan memperhatikan aspek finansial, ekonomi dan lingkungan pada dasarnya adalah penerapan kebijakan dengan mengelola proporsi lahan untuk mangrove dan lahan untuk tambak, yaitu ―m P ‖. Ketiga, kelembagaan kepemilikan dan penguasaan lahan pada lahan milik masyarakat. Keputusan untuk menanam mangrove atau pun membuka tambak tergantung pada pemilik lahan. Apabila lahan yang dimiliki masyarakat adalah seluas L PM , maka luasan mangrove pada tambak rakyat adalah M PM =m R L PM sedangkan luas lahan yang dapat dikelola untuk tambak seluas 1- m R L PM . Dengan demikian untuk meningkatkan kontribusi masyarakat untuk menamam mangrove pada lahannya dengan suatu kebijakan tertentu sesungguhnya adalah mengelola propo rsi lahan untuk mangrove dan untuk tambak yaitu ―m R ‖. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa pemanfaatan lahan bersifat trade off antara penggunaan lahan untuk mangrove dan penggunaan lahan untuk tambak atau tergantung dari rasio antara lahan untuk mangrove dan lahan untuk tambak, yaitu ―m‖ m S ; m P dan M R yang dalam bentuk persamaan dapat ditulis : Lp = [m S L SP +1-m S L SP ]+[m P L PP +1 - m P L PP ] +[m R L PM +1-m R L PM ] 1.3 dimana Lp adalah lahan pesisir, L SP adalah lahan sempadan, L PP adalah lahan Perhutani, L PM adalah lahan masyarakat, m S adalah rasio luasan mangrove dan tambak di lahan sempadan; m P adalah rasio luasan mangrove dan tambak di lahan Perhutani; dan m R adalah rasio luasan mangrove dan tambak di lahan masyarakat. Selanjutnya, hipotetis hubungan antara luasan mangrove dengan produksi budidaya tambak dan produksi perikanan tangkap sekitar pantai dapat dilihat pada Gambar 4. Adanya keterkaitan perikanan dengan mangrove dapat dijadikan dasar dilakukannya upaya penataan kelembagaan pengelolaan sumberdaya pesisir. Upaya pengelolaan mangrove misalnya rehabilitasi dilakukan dengan melihat kepemilikan lahan pesisir yang berbeda dan pengelolaan sumberdaya perikanan nearshor e misalnya pengurangan effort. Pemerintah Daerah dalam kerangka otonomi daerah perlu menetapkan kebijakan pengelolaan dari berbagai skenario agar diperoleh performa pengelolaan mangrove dan perikanan yang berorientasi pada pembangunan wilayah pesisir berkelanjutan sutainable coastal development . Oleh karena itu, suatu kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir untuk meningkatkan nilai ekonomi kawasan pesisir dengan mempertimbangkan 18 mangrove-fishery linkages perlu memperhatikan kelembagaan kepemilikan lahan untuk area mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap. Gambar 4 Hipotetis hubungan antara luasan mangrove M dengan hasil produksi tambak Q T dan produksi perikanan tangkap sekitar pantai h F Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa interaksi mangrove dengan perikanan terjadi karena adanya manfaat mangrove terhadap perikanan dengan menyediakan makanan dan sebagai habitat ikan, sehingga adanya perubahan coverage mangrove akan memberikan efek terhadap perikanan. Selain pengaruh dari keberadaan mangrove, performa perikanan juga dipengaruhi oleh variabel perikanan itu sendiri, seperti perubahan unit effort yang digunakan. Perubahan kedua variabel luasan mangrove dan unit effort disebabkan oleh adanya kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan perikanan yang mempengaruhi prilaku pemanfaat sumberdaya pesisir. Dengan demikian ada 2 dua persoalan kelembagaan pengelolaan yang menimbulkan kompleksitas permasalahan perlu dipecahkan dan diselesaikan dengan kerangka analitik ekonomi kelembagaan dan pendekatan sistem. Kerangka analitik ekenomi kelembagaan penting dalam menjelaskan suatu kelembagaan yang berfek pada perubahan prilaku individu yang selanjutnya menghasilkan suatu performa tertentu Schmid 1987; North 1990; Eggertsson 1990; Wiggins and Davis 2006; Chavance 2009. Kerangka analitik ekonomi kelembagaan menggunakan teori dampak kelembagaan terhadap performa yang dikembangkan Schmid 1987 yang menekankan pada analisis situasi sebagai sumber interdependensi, struktur kelembagaan batas jurisdiksi, hak kepemilikan, aturan representasi serta performa kelembagaan. Teori ini menekankan bahwa perubahan pada situasi berbeda dengan penerapan kelembagaan yang sama akan menghasilkan performa yang berbeda dan demikian juga situasi yang sama dengan penerapan kelembagaan yang berbeda akan menghasilkan performa yang berbeda. h F L SP M SP h FSP Q TSP Q T Q Tmax h Fmax L P M max Kurva hasil tambak Kurva hasil tangkapan Mangrove 19 Sebaliknya, situasi yang sama dengan penerapan kelembagaan yang sama akan mengahasilkan performa yang sama. Gambar 5 Kerangka pemikiran . Aktivitas Manusia Menyediakan pangan protein ikani Menyerap tenaga kerja, Memperoleh devisa Meningkatkan pendapatan nelayan Pengembangan wilayah pesisir Habitat Hasil Tangkapan Iklim, pantai Biologi Ekosistem Mangrove ecosystem services Penurunan kualitas air Penggunaan input perikanan Kelembagaan Pengelolaan Mangrove dan Perikanan - Batas jurisdiksi -Hak kepemilikan -Aturan Representasi Aktivitas penangkapan ikan Keterangan : Lingkup penelitian Situasi Kepentingan Perikanan Budidaya Tambak Kepentingan Perikanan Tangkap di Laut nearshore Kepentingan Aktivitas Lain perikanan inshore, pariwisata, kayu bakar dll Nutrien serasah, Kualitas perairan Produksi Stock ikan Sampingan Utama Penggunaan input budidaya trade off lahan maksimal minimal Habitat, serasah Ke bi jakan T at a Kelola 20 Fakta terjadinya degradasi mangrove dan sumberdaya ikanstock akibat yang bersumber dari permasalahan kelembagaan pengelolaan penyebab akan dinalisis terhadap batas jurisdiksi, hak kepemilikan dan aturan representasi dikaitkan dengan situasi sebagai sumber interdependensi. Pendekatan sistem dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan Eriyatno dan Sofyar 2007; Hartisari 2007; Eriyatno 2012. Dalam pendekatan ini akan dilakukan identifikasi stakeholders dan kebutuhannya, melakukan analisis dan pemodelan serta menyusun strategi kebijakan untuk mengatasi degradasi. Dengan menggunakan kedua pendekatan tersebut akan dihasilkan tata kelola pengelolaan dengan performa yang diharapkan pada masa mendatang yang lebih baik setelah terlebih dahulu dilakukan simulasi input terkendali yang diharapkan. Selanjutnya, kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu dengan fokus utama wilayah pesisir yang mempunyai potensi pengembangan perikanan dan permasalahan degradasi mangrove dan degradasi sumberdaya ikan. Potensi tersebut selama ini dimanfaatkan oleh nelayan skala kecil yang melakukan aktivitas penangkapan ikan di sekitar pantai dan petambak. Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Januari 2015 sampai dengan Juni 2016. Rancangan Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran dan perumusan masalah seperti diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat degradasi mangrove dan efeknya terhadap aktivitas perikanan tangkap dan budidaya tambak serta mencari alternatif kebijakan terbaik untuk mengelola sumberdaya mangrove dengan memperhatikan keterkaitan mangrove dan perikanan. Kebijakan yang terpilih selanjutnya dapat diaplikasikan untuk mengelola ekosistem mangrove yang mempunyai jasa-jasa lingkungan guna mendukung usaha perikanan. Kebijakan pengelolaan perikanan tangkap akan mengatur jumlah effort untuk menuju pengelolaan perikanan berkelanjutan dan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove akan mengatur proporsi lahan mangrove dengan lahan budidaya dari berbagai kepemilikan lahan berbeda. Oleh karenanya, pengelolaan sumberdaya pesisir dipandang sebagai suatu sistem pengelolaan yang terdiri atas subsistem mangrove, subsistem budidaya tambak dan subsistem perikanan tangkap. Rancangan penelitian yang dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian adalah mencakup pengumpulan berbagai jenis data dari berbagai sumber data, metode pengambilan data dan penetapan responden, metode analisis data serta keluaran yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 3. Struktur Disertasi Bab 1 menyajikan latar belakang dilakukannya penelitian mengingat selama ini penelitian hanya melihat keterkaitan mangrove dengan perikanan tangkap dan mangrove dengan budidaya tambak tradisional-silvofishery. Dengan keterkaitan 21 secara bersamaan akan terlihat efek penurunan luasan mangrove terhadap aktivitas perikanan tangkap dan budidaya tambak. Permasalahan degradasi mangrove dan degradasi sumberdaya ikan diuraikan dengan disertai analisis penyelesaian masalahnya. Bab 2 menyajikan kepustakaan terkait dengan penelitian yang meliputi environmental science yang menjadi dasar keilmuan sampai kepada perkembangan pentingnya suatu jasa ekosistem mangrove bagi aktivitas perikanan tangkap dan perikanan tangkap. Kepustakaan kelembagaan disampaikan dalam rangka memberikan preskripsi terhadap pengelolaan mangrove agar tercapai performa yang diinginkan. Bab 3 membahas kondisi mangrove dan status perikanan sekitar pantai yang ditangkap dengan jaring pantai, jaring klitik dan sero dengan model bioekonomi konvensional-Gordon Schaefer yang hanya mendasarkan pada hubungan antara hasil tangkapan dan effort tanpa keberadaan variabel mangrove. Status sumberdaya yang terdegradasi dan terdepresiasi merupakan masalah dalam keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya yang selanjunya menjadi informasi dalam preskripsi pengelolaan perikanan. Bab 4 membahas pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap dengan menggunakan model bioekonomi interaksi mangrove dan perikanan dan membahas pengaruh mangrove terhadap budidaya tambak tradisional-silvofishery. Masalah degradasi mangrove akan berefek terhadap perikanan tangkap dan budidaya tambak. Bab 5 membahas kelembagaan pengelolaan mangrove di lahan Perhutani yang direpresentasikan oleh kontrak silvofishery dan kelembagaan pengelolaan mangrove di lahan masyarakat. Kelembagaan pengelolaan mangrove masih menghasilkan performa mangrove yang terdegradasi dalam kurun waktu 15 tahun. Kelembagaan perikanan tangkap ditunjukan dengan masalah ketidakhadiran peraturan yang dapat mengendalikan jumlah effort, sehingga menghasilkan performa perikanan dalam kondisi overfishing. Bab 6 membahas sistem kebijakan mangrove mengingat mangrove dalam kondisi terdegradsi dan sebagai variabel independen yang akan mempengaruhi aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai dan budidaya tambak pola tradisional- silvofishery. Permasalahan degradasi mangrove dan solusinya dianalisis melalui pendekatan sistem kebijakan yang terdiri atas elemen masalah kebijakan policy problem, elemen tujuan kebijakan policy goals, elemen lingkungan kebijakan environmental policy, elemen tindakan kebijakan strategik strategic action policy dan elemen pelaku kebijakan policy stakeholders. Bab 7 membahas alternatif kebijakan terpadu pengelolaan mangrove dengan target sempadan dengan luasan mangrove 7 , target RUTR dengan luasan 14 , target silvofishery berkelanjutan dengan luasan 50 dan silvofishery Perhutani dengan luasan mangrove 80 serta kebijakan territorial fishing right dan kebijakan pengendalian effort dengan jumlah optimal 1.747 unit. Bab 8 membahas secara umum keterkaitan-keterkaitan tujuan penelitian disertai dengan analisis yang digunakan. Tindakan kebijakan pengelolaan mangrove dalam mencapai target yang diharapkan dengan memperhatikan aspek lingkungan, kelembagaan dan ekonomi. Semakin tinggi target luasan mangrove yang ditetapkan akan membutuhkan kebijakan restorasi yang dijabarkan dalam program dan kegiatan dengan skala yang lebih besar. 22 Tabel 3 Tujuan penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, analisis data dan keluaran yang diharapkan No Tujuan Penelitian dan Output yang Diharapkan Jenis Data Sekunder Metode Pengumpulan dan Sumber Data Sekunder Jenis Data Primer Metode Pengumpulan Data Primer Analisis data Keluaran 1. Menjelaskan kondisi mangrove dan status pemanfaatan sumberdaya ikan sekitar pantai Pada tujuan 1 ini akan dihasilkan performa mangrove dan perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishing dengan menganalisis hubungan antara produksi perikanan h dengan upaya penangkapan sebagai E. Data sekunder meliputi: i Data mangrove : -Jenis mangrove, -Luas mangrove menurut kepemilikan lahan Perhutani, Tambak Rakyat, Pemda sempadan sungailaut ii Data perikanan -Jumlah alat tangkap - Jumlah armada perikanan -Jumlah nelayan per jenis alat tangkap -Produksi ikan dan nilai produksi per jenis alat tangkap -IHK Data sekunder diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Barat dan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Indramayu. Data primer mangrove meliputi: - Jenis mangrove - Pola silvofishery - Jumlahvolume mangrove yang diambil dari lahan Perhutani dan sepadan sungailaut - Alasan penebangan mangrove Data primer perikanan tangkap meliputi : a Aspek Bioteknis - Fishing ground - Lama trip jam - Metode dan teknik penangkapan ikan b Aspek Pernerimaan usaha - Hasil tangkapan per trip - Harga jual ikan c Aspek Struktur Biaya - Biaya investasi kapal, alat tangkap, mesin dan peralatan pendukung - Biaya operasional per trip antara lain : bahan bakar, perbekalan konsumsi, es Pengumpulan data primer mangrove dilakukan dengan cara : -Observasi Lapangan -Wawancara mendalam dengan responden yang dipilih secara i purposive sampling dengan pertimbangan bisa berkomunikasi dan memberikan informasi akurat sesuai dengan panduan wawancara Responden adalah staf instansi terkait Staf Perhutani, Staf Dinas Perikanan dan Kelautan, Staf Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Petambak silvofishery, Pengambil mangrove ii snowbowlling sampling dengan pertimbangan bahwa responden pengambil mangrove hanya diketahui oleh informan tertentu Pengumpulan data primer perikanan tangkap dilakukan dengan cara : i Observasi Lapangan , ii Wawancara mendalam dengan nelayan 6 responden yang dipilih secara purposive menurut jenis alat tangkap yang dioperasikan di sekitar pantai sero, jaring pantai, jaring klitik. Nelayan yang diwawancarai adalah nelayan yang berpengalaman dan bisa berkomunikasi, iii Wawancara terstruktur terhadap nelayan sebanyak 32 responden berdasarkan stratifikasi alat tangkap dan dominsili Singaraja, - Analisis GIS - Analisis degradasi mangrove - Analisis Bioekonomi statik - Analisis Bioekonomi dinamik kontinu - Analisis degradasi dan depresiasi - Data time series mangrove - Laju degradasi deforestasi mangrove - Parameter biofisik r, q, K - Parameter ekonomi p, c - Biomass X, unit effort e, harvest h , rente ekonomi π pada kondisi open acces , MSY dan MEY analisis bioekonomi statik dan analisis dinamik kontinu - Status sumberdaya : biological overfishing, economic overfishing , laju degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan 23 Cantigi dan Eretan . No Tujuan Penelitian dan Output yang Diharapkan Jenis Data Sekunder Metode Pengumpulan dan Sumber Data Sekunder Jenis Data Primer Metode Pengumpulan Data Primer Analisis data Keluaran 2. Menganalisis pengaruh ekosistem mangrove terhadap perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional-silvofishery Pada tujuan 2 ini akan dihasilkan : a. Performa perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishing dengan menganalisis hubungan antara produksi perikanan h dengan upaya penangkapan E dan mangrove M b. Performa perikanan budidaya dengan menganalisis hubungan antara produksi utama tambak primary production dan produksi sampingan secundary production dengan Mangrove. Data sekunder meliputi i Data mangrove: diperoleh seperti pada tujuan a ii Data perikanan tangkap diperoleh seperti pada Tujuan 2. Data sekunder aspek budidaya meliputi : - Produksi, - Luas tambak Pengumpulan data sekunder dilakukan di Instansi Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Perhutani, Citra Satelit - Data primer meliputi - Jenis mangrove - Pola silvofishery - Jumlahvolume mangrove yang diambil dari lahan Perhutani dan sepadan sungailaut - Alasan penebangan mangrove Data primer aspek perikanan tangkap seperti pada Tujuan 1. Data primer aspek budidaya meliputi : -harga komoditas -input dan output - Pengumpulan data primer mangrove dan perikanan tangkap seperti pada Tujuan 1. Pengumpulan data primer tambak dilakukan : -Observasi Lapangan -Wawancara dengan petambak tradisional dan petambak silvofishery sebanyak 34 orang menurut blok yang dipilih secara purposive dengan pertimbangan ada petambak Perhutani dan petambak non Perhutani, yaitu Blok Cantigi, Blok Purwa dan Blok Tiris. - Analisis bioekonomi interaksi mangrove dengan perikanan - Analisis fungsi produksi Cobb Douglas - Model Habitat Esensial, Model Habitat Fakultatif - Perubahan harvest dan revenue economic loss setiap perubahan luasan mangrove - Kerugaian ekonomi akibat deforestasi mangrove. 3. Menganalisis kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap dalam perspektif ekonomi kelembagaan. Pada tujuan 3 akan dihasilkan deskripsi kelembagaan pengelolaan Data sekunder meliputi : - peraturan-peraturan dan kebijakan- kebijakan yang terkait dengan perikanan tangkap - peraturan-peraturan dan kebijakan- kebijakan yang terkait dengan mangrove, Pengumpulan data sekunder di Instansi Terkait Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi dan Kabupaten, Dinas Perkebuan dan Kehutanan, Perhutani, Bappeda. Data primer berupa : - Data institusi perikanan: batas juridiksi penangkapan, kepemilikan lahan perairan, akses terhadap sumberdaya, konflik akses dan solusinya, aturan informal dalam akses Pengumpulan data primer dilakukan seperti pada Tujuan 2. Analisis dampak institusi terhadap performa analisis situasi, analisis batas jurisdiksi, analisis property right , analisis aturan representasi Deskripsi kelembagaan pengelolaan mangrove dan kelembagaan pengelolaan perikanan tangkap. 24 No Tujuan Penelitian dan Output yang Diharapkan Jenis Data Sekunder Metode Pengumpulan dan Sumber Data Sekunder Jenis Data Primer Metode Pengumpulan Data Primer Analisis data Keluaran mangrove dan pengelolaan perikanan, sehingga menghasilkan atau menyebabkan performa pengelolaan seperti yang diuraikan dan dianalisis pada tujuan 1 dan tujuan 2. kontrak tambak silvofishery antara Perhutani dan Petambak, sejarah pendirian kelompok, struktur organisasi, aturan main kepengelolaan, luasan mangrove yang dikelola batas jurisdiksi, biaya- biaya pengelolaan termasuk biaya transaksi pengelolaan, benefit pengelolaan. - sumberdaya. Data institusi mangrove: sumber interdependensi, batas jurisdiksi, penetapan property right , aturan tidak tertulis, biaya-biaya pengelolaan termasuk biaya transaksi, partisipasi dalam pengelolaan, koordinasi dengan instansi terkait, pengawasan dan penegakan hukum, struktur insentif dan disentif pengelolaan, akses terhadap sumberdaya, motif penebangan mangrove, konflik akses dan solusinya. 4. Mendesain struktur kebijakan pengelolaan mangrove secara berkelanjutan untuk mendukung aktivitas perikanan tangkap sekitar pantai nearshore fishery dan budidaya tambak tradisional-silvofishery Data sekunder meliputi : - Hasil analisis tujuan 1, tujuan 2 dan tujuan 3 - Kepustakaan - Data sekunder seperti pada tujuan 1 dan 2. Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui : -K ajian referensi -Pengumpulan data seperti pada tujuan 1 dan 2. Data primer berupa : - pendapat pakar tentang elemen kebijakan dan beberapa subelemen dari setiap elemen. Pengumpulan data primer dilakukan melalui : -Wawancara mendalam dengan pakar untuk merancang kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove. Responden pakar dipilih secara puposive . Analisis Kebijakan Analisis ISM Desain struktur kebijakan pengelolaan mangrove 5 Mendesain dan memformulasikan skenario alternatif kebijakan terpadu dengan model dinamik keterkaitan mangrove dengan perikanan sekitar pantai dan budidaya tambak tradisional. Hasil analisis tujuan 1, 2, 3, 4, dan tujuan 4. Hasil analisis tujuan 1, 2, 3 dan tujuan 4. Hasil analisis tujuan 1, 2, 3, dan tujuan 4. Hasil analisis tujuan 1, 2, 3, dan tujuan 4. -Analisis model dinamik -Simulasi - Model dinamik keterkaitan mangrove dengan perikanan 25

2. TINJAUAN PUSTAKA

Lingkungan dan jasa lingkungan Ilmu lingkungan mengintegrasikan berbagai ilmu yang mempelajari antara jasad hidup termasuk manusia dengan lingkungannya Soeriaatmadja 1977 yang merupakan ilmu baru dan baru saja mantap peranannya setelah sekitar tahun 1940-an Soeriaatmadja 1977. Makna lingkungan tidak terlepas dari makna lingkungan hidup seperti tercantum menurut Undang-undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup UUPPLH Nomor 322009, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Masalah lingkungan pada dasarnya telah terjadi sejak zaman pertama kali bumi diciptakan Machmud 2011. Masalah lingkungan semakin terasa sejak revolusi industri dan teknologi yang memberikan dampak negatif dan positif Napitupulu 2013. Di sisi lain, Mitchell et al. 2010 menyatakan bahwa perubahan, kompleksitas, ketidakpastian dan konflik merupakan hal penting dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Beranjak dari meningkatnya pembangunan, permasalahan lingkungan hidup dan kepentingan lingkungan hidup dalam memproduksi jasa-jasa lingkungan yang berguna bagi kesejahteraan masyarakat diperlukan suatu konsep keberlanjutan pembangunan. Komisi Brutland dalam The World Commission on Environment and Development WCED tahun 1987 mendefinisikan pembangunan beerkelanjutan sebagai pembangunan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kesempatan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pembangunan berkelanjutan merupakan triple bottom line terdiri dari 3 tiga tujuan, yaitu : 1 ekonomi : maksimisasi pendapatan dengan menjaga konstan ataupun kenaikan stok kapital, 2 ekologi : menjaga daya resiliansi dan ketahanan sistem biofisik dan 3 sosiokultur : menjaga stabilitas sistem sosiokultur. Dengan demikian, tujuan pengelolaan pesisir terpadu sesungguhnya adalah menjaga ketersediaan sumberdaya alam dan jasa- jasa ekosistem secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang dan untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan suatu kebijakan yang memperhatikan kepentingan lingkungan dan masyarakat. Ekologi sebagai basis dasar ilmu lingkungan Soeriaatmadja 1977 dan pembahasannya tidak terlepas dari ekosistem yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan. Ekosistem merupakan suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara mahluk hidup dengan lingkungannya Setyono 2011. Ekosistem memproduksi jasa-jasa lingkungan dan jasa-jasa tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia guna memenuhi kesejahteraannya, sehingga mempunyai nilai ekonomi yang penting Costanza et al. 2014 dan perlu dihitung nilainya Liu et al 2010. Perhatian terhadap jasa-jasa ekosistem semakin meningkat sejak adanya Millennium Ecosystem Assessment MEA 2005. Salah satu ekosistem yang memproduksi jasa-jasa lingkungan yang bermanfaat bagi manusia adalah ekosistem mangrove. 26 Pengelolaan wilayah pesisir dan keterkaitan ekosistem di wilayah pesisir Dahuri et al. 2008 menyatakan bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai coastline, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas boundaries, yaitu batas yang sejajar garis pantai longshore dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai cross-shore. Selain itu, Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara eksositem darat dan laut yang dipengaruhi perubahan di darat dan laut. 6 Dikaitkan dengan UU RI Nomor 452009 tentang perikanan dapat diartikan bahwa dalam wilayah pesisir tersebut mencakup perairan dan ekosistem sebagai suatu lingkungan sumberdaya ikan, sehingga pengelolaan wilayah pesisir mencakup juga pengelolaan perikanan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Pengelolaan wilayah pesisir dan lautan mengandung dimensi ruang dan waktu, multi aktor dengan berbagai kepentingannya, kompleksitas permasalahan dan performa yang beragam. Brown et al 2001 menyatakan bahwa pengelolaan kawasan pesisir adalah isu yang kompleks. Kompleksitas bersumber dari kesamaan faktor yang memandang sedemikian penting keberadaan sumberdaya pesisir, yaitu a wilayah pesisir menyediakan barang dan jasa, b wilayah pesisir mencakup rentang regional, sehingga sukar untuk membatasi setiap akses ke wilayah tersebut, c adanya kondisi lingkungan yang berbeda pada rentang permukaan air dan daratan, d wilayah pesisir berperan penting dalam aspek budaya dan menyokong interaksi sosial dalam berbagai cara. Dengan kompleksitas permasalah tersebut, maka wilayah pesisir yang memiliki beragam sumberdaya alam harus dikelola secara baik untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu Integrated Coastal Zona Management, ICZM. 7 Dahuri et al 2008 menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah pengelolaan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pesisir dengan cara melakukan penilaian menyeluruh tentang 6 Dalam konteks penelitian ini ruang lingkup pengelolaan boundaries secara administratif mengikuti konsepsi menurut Undang-Undang Nomor UU No. 1 Tahun 2014, yaitu ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 dua belas mil laut di ukur dari garis pantai. 7 Bentuk lain pengelolaan wilayah pesisir adalah pengelolaan secara sektoral. Menurut Dahuri et al. 2008, pengelolaan secara sektoral biasanya berkaitan dengan hanya satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanan tangkap, tambak, pariwisata, pelabuhan atau industri minyak dan gas. Pengelolaan semacan ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan yang melakukan aktivitas pembangunan pada wilayah pesisir dan lautan yang sama. Selain itu, pendekatan sektoral semacam ini pada umumnya tidak atau kurang mengindahkan dampaknya terhadap yang lain, sehingga dapat mematikan usaha sektor lain.