Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di Bunken Kendari Pada Masa Pendudukan Jepang
A. Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat di Bunken Kendari Pada Masa Pendudukan Jepang
Kehidupan sosial ekonomi merupakan hal yang sangat penting dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan mata pencaharian dan pemenuhan kebutuhan dalam masyarakat, baik secara perorangan maupun secara berkelompok. Sosial ekonomi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat, antara lain sandang, pangan, perumahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Dimana pemenuhan tersebut sangat berkaitan dengan penghasilan.
Perang telah membawa kondisi tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat cenderung untuk tahan terhadap penderitaan yang selalu dibarengi dengan kesulitan dalam berbagai bidang kehidupan. Produksi dan barang kebutuhan lainnya berkurang, sarana perhubungan macet, yang mengakibatkan kesusahan dan penderitaan dikalangan masyarakat. Suami yang merupakan tulang punggung dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari telah dikerahkan untuk kepentingan perang Jepang sebagai romusha.
Daerah Teluk Kendari yang merupakan jalur masuk dan keluarnya hasil bumi penduduk juga mengalami kelumpuhan. Teluk Kendari yang didiami oleh para pedagang-pedagang setempat seperti orang Cina dan bugis, serta orang Bajo sebagai nelayan, juga mengalami kelumpuhan pada perdagangannya. Mobilisasi romusha secara besar-besaran dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Daerah Teluk Kendari yang merupakan jalur masuk dan keluarnya hasil bumi penduduk juga mengalami kelumpuhan. Teluk Kendari yang didiami oleh para pedagang-pedagang setempat seperti orang Cina dan bugis, serta orang Bajo sebagai nelayan, juga mengalami kelumpuhan pada perdagangannya. Mobilisasi romusha secara besar-besaran dan berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh
Bahan-bahan kebutuhan hidup yang umumnya didatangkan dari luar dapat dikatakan hilang dari pasaran. Uang sudah tidak punya nilai karena barang-barang yang dibutuhkan hampir tidak dapat ditemukan walaupun ingin dibayar mahal. Di pasar, kegiatan hanya terbatas pada kebutuhan pokok pangan, hasil pertanian dan nelayan. Inflasi membumbung sangat tinggi, sehingga menjadikan uang sama sekali tidak punya nilai karena memang barang-barang yang dibutuhkan hampir tidak dapat ditemukan walaupun ingin dibayar dengan harga yang tinggi.
Seperti yang diceritakan oleh salah satu narasumber, H.Anton bahwa “pada zaman Jepang barang-barang tidak ada di pasaran, untungnya masih ada
sagu, itu saja yang bisa didapat”. Keadaan perekonomian penduduk juga dipaparkan bahwa “Orang-orang di Kota Kendari terutama pegawai-pegawai hampir tidak mampu untuk membeli beras di pasar. Oleh karena itu, pemerintah mengambil tindakan untuk mengumpulkan beras dengan jalan penukaran kain dan dilarang mengeluarkan beras jika tidak dimasukkan separuh pada pemerintah. Pada setiap bulannya, diperlukan distribusi beras ke Kendari dan Wawotobi untuk pemakaian militer” (Wawancara, 16 Maret 2014).
Pemerintah pendudukan Jepang sangat berkepentingan mendapatkan dukungan logistic untuk pemenangan perang, utamanya beras. Sehingga Jepang membuat kebijakan mengatur distribusi beras, kebijakan ini justru menyengsarakan masyarakat. Berdasarkan kebijakan tersebut, keadaan di pasar tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan masih tergolong sepi, Pemerintah pendudukan Jepang sangat berkepentingan mendapatkan dukungan logistic untuk pemenangan perang, utamanya beras. Sehingga Jepang membuat kebijakan mengatur distribusi beras, kebijakan ini justru menyengsarakan masyarakat. Berdasarkan kebijakan tersebut, keadaan di pasar tidak mengalami perubahan yang signifikan, bahkan masih tergolong sepi,
Selain perdagangan, produksi bahan makanan rakyat juga berkurang karena banyak tenaga yang dikerahkan untuk kebutuhan perang Jepang. Banyak pemuda terutama yang kuat dikerahkan sebagai romusha secara bergilir di proyek-proyek perang, pertahanan dan perkebunan atau mengikuti latihan kemiliteran. Hasil dari rakyat berupa pertanian dan lainnya dikumpulkan oleh Jepang untuk kepentingan atau dikumpulkan di lumbung-lumbung dengan dalih sebagai persiapan jika keadaan lebih memburuk. Hasil rakyat dilarang untuk diperjualbelikan dan kalau kedapatan yang bersangkutan akan mengalami siksaan.
Dalam usaha meningkatkan produksi maka rakyat diberikan bimbingan dalam bidang pertanian dan diadakan lumbung desa. Keadaan tersebut tidak mampu merubah keadaan ekonomi rakyat yang sangat berkurang karena secara praktis usaha perdagangan mati sama sekali. Hal ini sesuai dengan penuturan H.Anton, bahwa “Memang masyarakat waktu itu tidak memiliki keterampilan bertani utamanya padi dan juga banyak orang yang justru bekerja pada proyek- proyek konstruksi Jepang” (Wawancara, 16 Maret 2014).
Pada bidang pertanian, Jepang juga menggalakkan penanaman tanaman untuk kepentingan ekspor. Kapas dan kelapa diperintahkan oleh Jepang kepada rakyat untuk ditanam, adapun di Ambesea (Kendari bagian selatan), Jepang Pada bidang pertanian, Jepang juga menggalakkan penanaman tanaman untuk kepentingan ekspor. Kapas dan kelapa diperintahkan oleh Jepang kepada rakyat untuk ditanam, adapun di Ambesea (Kendari bagian selatan), Jepang
Minyak kelapa diolah dari hasil onderneming kelapa peninggalan Belanda di Tampunabale (Buton) dan Tobea (Muna). Kayu jati di Muna diolah secara besar-besaran oleh perusahaan Jepang yang diambil alih dari perusahaan Belanda. Tambang nikel di Pomalaa dan aspal di Banabungi diolah dengan pengerahan tenaga secara bergilir dari kampung-kampung. Hasil dari bahan perdagangan ini dikerjakan oleh rakyat dengan penuh penderitaan, hingga banyak yang meninggal. Hasil yang dikerjakan tidak dinikmati oleh rakyat baik langsung maupun tidak langsung. Untuk menyalurkan hasil tambang aspal di Banabungi ke daerah-daerah lain, pelaut-pelaut Buton dengan perahu-perahunya dikerahkan. Pengangkutan dengan perahu ini sampai ke Pulau Bangka. Keuntungan yang diambil oleh para pelayar dalam hal ini adalah jika kembali dapat membeli kebutuhan, utamanya bahan makanan.
Namun akibat adanya pasar gelap yang dilakukan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya, Jepang menambah lagi pengawasan hasil produksi agar tidak ada perdagangan gelap. Masyarakat harus menyerahkan hasil-hasil produksi pertanian kepada Jepang sehingga bahan makanan sangat sulit. Ridwan (2003 :
44) menyatakan bahwa semua hasil pertanian hanya boleh dijual kepada Jepang 44) menyatakan bahwa semua hasil pertanian hanya boleh dijual kepada Jepang
Menurut H.Anton, “Sebenarnya kita masih bisa mendapatkan bahan makanan tapi itu bisa dilakukan orang-orang kaya waktu itu mereka membelinya di masyarakat. Tapi kalau ketahuan di hukum mati atau dijadikan romusha ”. L ebih lanjut H.Anton menceritakan bahwa “sangat menyedihkan kehidupan pada waktu itu, makan tidak ada, pakaian tidak ada, susah sekali. Bahkan orang di kota
bisa makan sembarangan” (Wawancara, 16 Maret 2014). Untuk memenuhi kebutuhan makanannya, masyarakat mengkonsumsi berbagai jenis ubi hutan atau apa saja yang penting dapat dimakan. Terkadang karena kelaparan, tempat sampah menjadi tempat paling favorit bagi masyarakat untuk mendapatkan makanan, orang berebut makanan sisa buangan makan orang Jepang. Selain itu Jepang memerintahkan rakyat untuk memakan bekicot.