Sejarah Masuknya Jepang di Kendari

C. Sejarah Masuknya Jepang di Kendari

Kolonialisasi Jepang di wilayah Sulawesi Tenggara khususnya di daerah daratan, diawali oleh masuknya Jepang pada tahun 1942 di Kota Kendari bersamaan pada saat menyerbu Balikpapan. Jepang melakukan pendaratan di Kendari melalui tiga jalur, yaitu Tombawotu, Pasar Kendari, dan Talia. Pasukan pertama mendarat di Tombawotu yang terletak di Muara Sampara (muara sungai Konaweeha) di pantai timur, sebelah barat laut Kota Kendari pada jam 03.00 subuh.

Pendarat pertama pada subuh hari di Muara Sungai Sampara segera menuju Kendari dengan penunjuk jalan orang Jepang yang bernama Nagata. Pada jam

10.00 siang, pasukan Jepang berjalan kaki ke arah selatan melalui Meraka. Pada 10.00 siang, pasukan Jepang berjalan kaki ke arah selatan melalui Meraka. Pada

Setelah jam 11.00 mereka melanjutkan perjalanan menuju Mandonga yang terletak di km 8 dari Kendari pada persimpangan jalan ke Kendari Dua dimana terdapat lapangan terbang (33 km dari Kota Kendari). Pos (asrama) tentara Belanda di Mandonga dimasuki oleh pasukan Jepang, akan tetapi asrama tersebut telah ditinggalkan oleh penghuninya. Di Mandonga (km 8) ditemukan pula Opseter Kehutanan, Vander Staar yang juga bermaksud menghindar dari Kendari karena adanya pendaratan Jepang. Van der Staar juga ditembak mati di tempat. Setelah dari Mandonga, pasukan Jepang melanjutkan perjalanan ke Lepo-Lepo. Perjalanan pasukan pertama ini dipersiapkan untuk melanjutkan serbuan ke Kendari Dua sebagai pusat pangkalan udara militer Belanda di Kendari, yang juga merupakan pertahanan terakhir Belanda di Kendari (Tamburaka, 2005).

Dalam perjalanan ke Lepo-Lepo, pasukan pertama Jepang tertahan dalam suatu pertempuran oleh pertahanan Belanda di Lepo-Lepo. Pertempuran yang terjadi begitu sengit sehingga dapat menahan kemajuan pasukan Jepang hingga sore hari. Lepo-Lepo adalah tempat pertahanan asrama dari pasukan sukarela yang dibentuk Belanda menjelang kedatangan Jepang. Pertahanan ini dapat ditembus setelah bantuan datang dari pasukan yang mendarat di Kendari. Pasukan Jepang tersebut adalah pasukan pendaratan kedua di Talia dan pendaratan ketiga di pasar Kendari yang mendarat sekitar jam 7 pagi.

Pasukan pendaratan ketiga yang mendarat di Talia tidak melihat adanya tanda-tanda pasukan Belanda disana dan segera menggabungkan diri dengan pasukan kedua. Pasukan kedua dan ketiga ini ketika menuju ke Lepo-Lepo juga mendapat perlawanan yang cukup kuat dari pasukan Belanda di Punggolaka (km 3). Disini adalah cabang dari pangkalan militer Belanda yang lari terus menuju pangkalan udara untuk mengatur perlawanan yang merupakan benteng terakhir Belanda di Kendari.

Dalam perjalanan menuju Kendari Dua, pasukan kedua dan ketiga Jepang kemudian mendapati pasukan pertama yang sedang menghadapi serangan dari pasukan Belanda di Lepo-Lepo. Pasukan Jepang yang pada saat itu diperkuat dengan angkatan udara, laut dan darat dapat mematahkan perlawanan Belanda hingga pukul 17.00 sore hari. Pertempuran ini mengakibatkan kekalahan Belanda, sehingga pasukan Belanda lari menuju Asera, Lasolo, hingga ke Kolaka dan sampai di Enrekang, kemudian menyerah disana.

Kekalahan Belanda dari Jepang ini membuat berakhirnya perlawanan fisik Belanda, sehingga pada tanggal 26 Januari 1942 diadakanlah upacara penyerahan kekuasaan Belanda ke Jepang di lapangan udara Wolter Monginsidi Kendari. Tentara Jepang kemudian melanjutkan perluasan daerah pendudukannya. Dari Kendari Dua, Jepang kemudian ke Punggaluku membangun sarana tempat tinggal beberapa tentara Jepang. Setelah itu, sebagian ada yang menuju ke Tinanggea dan sebagian lagi menuju Ambesea dan terus ke Torobulu untuk membangun pangkalan militernya.

Setelah penyerahan kekuasaan oleh Belanda terhadap Jepang, Jepang saat itu kemudian menjadi penguasa di Kendari, Kendari Dua dan sekitarnya, yang dilanjutkan dengan mengatur pemerintahannya di Kendari. Pada saat Jepang telah berkuasa, Raja Kendari Tekaka menyatakan takluk kepada Jepang. La Sandara sebagai Kapita Laiwoi kemudian ditetapkan menjadi Raja II di samping Tekaka sebagai Raja I oleh Jepang.

Jepang pada waktu itu segera membangun pertahanannya di Kendari dan sekitarnya. Lapangan terbang Kendari Dua ditingkatkan fasilitasnya sebagai lapangan terbang militer dan kubu-kubu pertahanan dibangun. Teluk Kendari dipersiapkan untuk perbaikan-perbaikan kapal Jepang. Pasukan-pasukan Jepang membanjiri Kendari. Kendari dengan cepat diatur dan dibenahi oleh Jepang sebagai kota yang memegang peranan penting sebagai tempat pertahanan Jepang yang diperkuat kubu-kubu pertahanan di sekitar teluk Kendari hingga di sekitar lapangan terbang Kendari dua. Kendari dijadikan basis komando oleh Jepang dan juga dijadikan sebagai tempat bengkel dan docking (maintenance) serta gudang perbengkelan/peralatan dari tentara Jepang.

Kekuasaan Jepang pada saat itu memaksa Raja Laiwoi sebelumnya Kerajaan Konawe, Kolaka dan Buton-Muna, sehingga pada akhirnya wilayah Afdeling Buton dan Laiwoi yang sekarang adalah Sulawesi Tenggara, masuk dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang. Dengan dikuasainya seluruh wilayah tersebut, maka Kendari dijadikan sebagai pusat penyerangan ke berbagai wilayah Indonesia Timur, atas kepentingan tersebut maka Jepang membangun fasilitas Kekuasaan Jepang pada saat itu memaksa Raja Laiwoi sebelumnya Kerajaan Konawe, Kolaka dan Buton-Muna, sehingga pada akhirnya wilayah Afdeling Buton dan Laiwoi yang sekarang adalah Sulawesi Tenggara, masuk dalam kekuasaan pemerintahan militer Jepang. Dengan dikuasainya seluruh wilayah tersebut, maka Kendari dijadikan sebagai pusat penyerangan ke berbagai wilayah Indonesia Timur, atas kepentingan tersebut maka Jepang membangun fasilitas

Di bidang pemerintahan umum, Jepang tidak melakukan perubahan dan tetap mempertahankan dan memakai system pemerintahan dualisme Belanda dan pemerintahan Swapraja, dan disesuaikan dengan pemerintahan pendudukan militer Jepang. Perubahan sedikit terjadi pada Swapraja Laiwoi (Kendari), dimana Kapita yang merupakan pembesar Kerajaan Laiwoi dijadikan Raja II sedangkan Raja Laiwoi menjadi Raja I. pembagian wilayah bawahan tidak mengalami perubahan, yang diubah hanya nama kesatuan wilayah dan pejabat pemerintahan sipil. Afdeling menjadi Ken dengan Kepala Kenkanrikan. Onderafdeling menjadi Bunken dengan Kepala Bunken Kanrikan. Distrik/Onderdistrik menjadi Gun dengan Kepala Gunco, Kampung menjadi Son yang dikepalai Sonco.

Ibu kota Ken Buton dan Laiwoi adalah Bau-Bau, tetapi pimpinan militernya berkedudukan di Kendari. Dimana Ken Buton dan Laiwoi tetap berbagi atas 3 Bunken , yaitu Bunken Buton, Bunken Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan Bunken Kolaka tetap didalam Ken Luwu (Sulawesi Selatan), namun tak lama kemudian sebagian dimasukkan ke dalam Bunken Malili (Ken Luwu) yaitu Kolaka Utara, sedangkan sebagian lagi dengan nama tetap Bunken Kolaka dimasukkan dalam Buton dan Laiwoi. Namun demikian, jabatan tradisional Swapraja Luwu di Kolaka yaitu Mincara Ngapa tetap diadakan wilayahnya juga meliputi Kolaka Utara (Patampanua). Penggabungan Kolaka ke dalam Ken Buton dan Laiwoi rupanya dilakukan dengan pertimbangan strategi perang, mengingat Ibu kota Ken Buton dan Laiwoi adalah Bau-Bau, tetapi pimpinan militernya berkedudukan di Kendari. Dimana Ken Buton dan Laiwoi tetap berbagi atas 3 Bunken , yaitu Bunken Buton, Bunken Muna, dan Bunken Kendari. Sedangkan Bunken Kolaka tetap didalam Ken Luwu (Sulawesi Selatan), namun tak lama kemudian sebagian dimasukkan ke dalam Bunken Malili (Ken Luwu) yaitu Kolaka Utara, sedangkan sebagian lagi dengan nama tetap Bunken Kolaka dimasukkan dalam Buton dan Laiwoi. Namun demikian, jabatan tradisional Swapraja Luwu di Kolaka yaitu Mincara Ngapa tetap diadakan wilayahnya juga meliputi Kolaka Utara (Patampanua). Penggabungan Kolaka ke dalam Ken Buton dan Laiwoi rupanya dilakukan dengan pertimbangan strategi perang, mengingat

Walaupun Jepang mengatur pemerintahan sipil di Sulawesi Tenggara, jabatan Ken Kanrikan dan Bunken Kanrikan dijabat oleh orang Jepang sedangkan Gunco dan Sunco dijabat oleh orang Indonesia, akan tetapi yang menonjol pada rakyat dalam system pemerintahan Jepang adalah kekuasaan dan kekerasan militer. Semua perintah Jepang saat itu ditujukan demi kepentingan perang untuk mencapai kemenangan melawan sekutu. Rakyat mengalami perlakuan yang lebih pahit dari masa pemerintahan sebelumnya, sehingga rakyat menjadi takut kepada Jepang. Hal ini karena jika rakyat melakukan kesalahan, maka akan mendapat hukuman yang kejam dari Jepang. Selain itu jika dianggap musuh oleh Jepang berarti harus dibunuh, apalagi dianggap sebagai mata-mata musuh.

Kegiatan yang menonjol dalam pemerintahan Jepang adalah pengerahan tenaga rakyat dengan cuma-cuma untuk kepentingan perang Jepang. Rakyat dikerahkan untuk membuat kubu-kubu pertahanan, pembuatan lapangan terbang, pertanian produksi, bekerja di pertambangan, mengangkut keperluan perang Jepang dan lain-lain. Pengerahan tenaga tersebut sangat menyiksa rakyat, sehingga rakyat hampir tidak mempunyai kesempatan untuk bekerja bagi kepentingannya sendiri. Berbagai larangan dan kewajiban dipikulkan Jepang ke pundak rakyat untuk kepentingan pemerintahan dan kesuksesan perangnya.