Posisi pela/ gandong dan Relasi Islam -Kristen Dalam konflik yang terjadi salah satu m ekanism e sosial yang

2. Posisi pela/ gandong dan Relasi Islam -Kristen Dalam konflik yang terjadi salah satu m ekanism e sosial yang

kem udian diin troduksi un tuk m en ghen tikan pertikaian an tara m assa “m erah” dan “putih” m en gun akan pen dekatan kultural ya k n i p ela / g a n d o n g . Up a ya in i t e r n ya t a t id a k b a n ya k m en un jukkan hasil yan g n yata. Terlihat dari sem akin ban yak upaya penyelesaian yang dilakukan, toch konflik m asih terjadi lagi. Men an ggapi kon d isi ter sebu t, d apat d ipetakan 2 (d u a) per spektif:

p er t a m a , kem acet an p ela / g a n d on g sebagai in st r u m en “penyelesaian” konflik, dapat dianggap gagal karena selam a 32 t ah u n keku asaan Or d e Bar u , p ar t isip asi m asyar akat san gat ditekan. Pola penyelasaian konflik lebih banyak m engandalkan keku a t a n n ega r a ( P olr i/ TN I ) d a r ip a d a keku a t a n ku lt u r a l m asyarakat. Akibatnya ketika terjadi konflik yang sem acam itu, pela/ gan don g kem udian tidak dapat berbuat banyak. Salah satu dam pak UU Pem erin tahan Desa yan g diterapkan pem erin tah adalah, sistem / pranata m asyarakat tidak diakui padahal sebagai sistem n ilai, pela/ gan don g m em erlukan peran gkat struktural yan g dapat m en yan ggahn ya.

92 Pot r et R et a k N u sa n t a r a

Kedua , dalam perspektif historis, pela/ gandong tidak akan dapat berhasil dipakai sebagai instrum en penyelesaian konflik (Islam -Kristen ). Pen dapat in i bertolak dari teori bahwa pela/ gan don g bukanlah sebuah relasi antar agam a, tetapi ia adalah relasi kem anusiaan dari dua pihak yang m elakukan janji (‘angkat s u m p a h ’) u n t u k h id u p s e b a ga i d u a o r a n g b e r s a u d a r a . Persaudaraan itu m elewati batas-batas kenyataan prim ordial.

Kedua perspektif di atas m engandung kebenaran m asing- m asing. Nam un perlu dijelaskan di sini latar belakang, secara sin gkat, proses pem ben tukan pela/ gan don g di an tara n egeri- negeri Islam -Kristen di Maluku Tengah. Hal ini dianggap penting sebagai sandaran epistem ik m enem patkan pela/ gandong dalam k o n t e k s s o s ia l m a s ya r a k a t M a lu k u ( p e m a n gk u n ya ) . P e la

seben arn ya berasal dari kata peia yan g berarti ‘saudara’. 11 Ia p e r t a m a k a li d ip a k a i u n t u k m e n u n ju k p a d a h u b u n ga n per sau d ar aan yan g d iban gu n m elalu i per seku tu an k a k eha n / kakihan g dalam konteks m asyarakat suku di pulau Seram . Makna

d ar i h u bu n gan in i san gat p en t in g d ikait kan d en gan t r ad isi ‘perburuan kepala’ m anusia di antara suku-suku di sana. Yang akan diburu/ pengayauan adalah kepala dari m ereka yang bukan ‘saudara’. J ika itu ‘saudara’ m aka perkelahian bahkan perdebatan

pun dilaran g. 12 Kom itm en m ereka adalah hidup un tuk salin g tolong m enolong satu dengan yang lain. Karena itu kom itm en saudara pela adalah kom itm en untuk m engusahakan hidup satu ber sam a yan g lain . Dar i tr adisi k a k eha n / k a k iha n g in ilah ia m engalam i perluasan sebagai akibat proses m igrasi suku-suku yan g m en yebar ke selur u h pulau bah kan yan g m en yebar ke pulau-pulau kecil di sekitarnya.

Pela yang pertam a di Maluku, terjadi antara negeri Batum erah dan n egeri Passo. 13 Pada saat terjadin ya h ubun gan itu, yan g nam pak adalah tindakan untuk m au sedia m em bantu yang lain. Begitu pula hubungan pela yang terjadi antara Waai dan Morella. Pela in i d isebabkan per an an Mor ela yan g m en yem bu n yikan wanita-wanita dan anak-anak orang Waai yang ketika itu sedang

Kon flik M aluk u 93

keluar negerinya karena m em bantu VOC m enaklukkan Ternate dan kekuatan utara yang lain. Ketika pulang dari sana, barulah or a n g-or a n g Mor ela m em b er ika n kem b a li a n a k-a n a k d a n perem puan Waai kepada keluarga m ereka. Hubungan gandong m em iliki latar yang agak berbeda. Hubungan ini biasanya ditandai dengan ikatan persaudaraan yang m engikat elit yang pada saat itu m em im p in m er eka. H u bu n gan H at u h ah a Am ar im a ad alah perikatan sebagai 5 (lim a) saudara gandong. Mereka terpecah dengan Hulaliu (Kristen) karena dalam perjanjian Alaka (pasca perang Alaka) – saat itu Hatuhaha diwakili Hulaliu– VOC m em inta satu negeri dari persekutuan Hatuhaha Am arim a (Islam ) m enjadi Kristen. J ika perm intaan ini ditolak, m aka VOC akan m enggem pur

h abis keku at an Islam d i H at u h ah a, p u lau H ar u ku . Kar en a kecintaannya pada persaudaraan, m aka Hulaliu kem udian m enjadi Kristen, yang kem udian ditangisi oleh keem pat saudaranya yang lain (Pelauw, Rohom oni, Hulaliu Kabauw, Kailolo, dan terakhir ini Ori).

J ika dilihat struktur epistem iknya, hubungan pela/ gandong bukan lah r elasi an tar agam a. Gagasan p ela/ gan don g adalah gagasan persaudaraan yang tidak bertolak dari perbedaan agam a. Kehidupan antar sekutu pela yang berbeda agam a m em ang baik, selalu dijaga dan m engandung kesakralan religius. Nam un realitas perbedaan agam a bukanlah aspek yang m enjadi inti dari pela sebagai sebuah paradigm a tentang nilai. Refleksi orang Maluku ten tan g sudara adalah kon disi ketika m an usia itu tam pil apa adanya dalam realitas kem anusiaannya. Kendati hubungan sekutu p ela Islam -Kristen baik, n am un h al itu h an ya terbatas pada sekutu pela saja. Ia tidak bersifat general bagi sem ua negeri. Hal itu terlihat jelas dalam pengalam an konflik. Dalam proses konflik, tidak pernah terjadi konflik antar sekutu pela/ gandong. Nam un itu hanya terbatas pada sekutu pela, karena tetap akan terjadi penyerangan pada daerah-daerah lain yang tidak berhubungan pela . 14

Den ga n b egit u jela s b a h wa p er sp ekt if p ela b u ka n la h

94 Pot r et R et a k N u sa n t a r a

perspektif yang bertolak dari perbedaan agam a, tetapi perspektif persaudaraan,”J ika kita bersaudara, m aka perbedaan itu tidak m enjadi penting. Malahan kita akan saling m enghargai perbedaan yan g dim iliki. Tapi jika kita bukan saudara, walaupun sam a (m aksudnya, seagam a), bukan berarti kita tidak berkonflik”. Pela sebenarnya sebuah relasi yang sangat ekslusif sebatas hubungan antar saudara. Perspektif ini yang utam a dalam m em aham i relasi dalam pela. Pem aham an itu pun m em iliki latar historis yang nyata, perjum paan Islam dan Kristen di Maluku Tengah terlalu sarat dan terbeban dengan pengalam an pahit yang m enem patkan kedu an ya pada posisi ekseku tor satu ter h adap yan g lain . Ia m erupakan aspek yang lebih riil ketim bang sebuah keharm onisan. Bah kan jika h en d ak m en d ekat i h u bu n gan ked u an ya d alam p er sp ektif sejar ah kebu d ayaan , m aka tid ak d item u kan akar hubungan Islam dan Kristen di Maluku (Tengah). Sejak keduanya

h ad ir d i Malu ku (Ten gah ) belu m t er d ap at seben t u k “kar ya bersam a” yang terlihat m aterialitasnya (kebudayaan). Hal ini m em ang ironis, tetapi justru itu juga yang lebih nyata.

Dengan dem ikian, tidak akan m engecoh seandainya pela/ gan don g dilihat sebagai persekutuan antar saudara. Lepas dari itu, pem aham an untuk m em aham i realitas itu akan hilang. Kendati dem ikian satu hal yang harus dilakukan dengan pela/ gandong adalah kekuatan etik yang m enjadi nilai relasi antar sekutu pela u n tu k bagaim an a h al itu d apat d itr an sfor m asikan ke d alam kehidupan publik. Artinya jika seorang individu (secara kolektif ) telah m en em patkan oran g lain – dalam kesalin gberbedan ya, agam a atau suku– pada posisi yang setara, m aka itu dapat m enjadi kekuatan yang dapat m endorong terciptanya kehidupan publik yang lebih berm artabat dan m engabdi bagi kem anusiaan.