Korteks Olfaktorius Adaptasi Penciuman

Gambar 2.5Proyeksi skematik neuroreseptor olfaktorius ke bulbus olfaktorius Huriyati et al, 2013.

2.2.3 Korteks Olfaktorius

Terdapat 3 komponen korteks olfaktorius, yaitu pada korteks frontal merupakan pusat persepsi terhadap penciuman Ballenger 2002.Pada area hipotalamus dan amygdala merupakan pusat emosional terhadap odoran, dan area enthorinal merupakan pusat memori dari odoran. gambar 2.6 Universitas Sumatera Utara Gambar 2.6 Korteks olfaktorius Huriyati et al, 2013. Saraf yang berperan dalam sistem penciuman adalah nervus olfaktorius N I. Filamen saraf mengandung jutaan akson dari jutaan sel-sel reseptor. Satu jenis odoran mempunyai satu reseptor tertentu, dengan adanya nervus olfaktorius kita bisa mencium bau seperti bau strawberi, apel, dan lain-lain. Saraf lain yang terdapat dihidung adalah saraf somatosensori trigeminus N V. Letak saraf ini tersebar diseluruh mukosa hidung dan kerjanya dipengaruhi rangsangan kimia maupun nonkimia. Kerja saraf trigeminus tidak sebagai indera penghidu tapi menyebabkan seseorang dapat merasakan stimuli iritasi, rasa terbakar, rasa dingin, rasa geli dan dapat mendeteksi bau yang tajam dari amoniak atau beberapa jenis asam. Ada anggapan bahwa nervus olfaktorius dan nervus trigeminus berinteraksi secara fisiologis. Saraf lain yang terdapat dihidung yaitu sistem saraf terminal NO dan organ vomeronasal VMO. Sistem saraf terminal merupakan pleksus saraf ganglion yang banyak terdapat di mukosa sebelum melintas ke lempeng kribriformis. Fungsi saraf terminal pada manusia belum diketahui pasti. Organ rudimeter vomeronasal disebut juga organ Jacobson’s. Pada manusia saraf ini tidak berfungsi dan tidak ada hubungan antara organ ini dengan otak. Pada Universitas Sumatera Utara pengujian elektrofisiologik, tidak ditemukan adanya gelombang pada organ ini Doty et al, 2006, dalam Bailey 2006.

2.2.4 Adaptasi Penciuman

Telah umum diketahui bahwa jika seseorang secara terus menerus terpajan oleh bau tertentu bahkan bau yang paling tidak mengenakkan, persepsi bau akan menurun dan akhirnya berhenti. Fenomena yang kadang-kadang bermanfaat ini disebabkan oleh adaptasi, atau desensititasi, yang relative cukup cepat terjadi pada system olfaktorius. Fenomena ini diperantarai oleh Ca 2+ yang bekerja melalui kalmodulin atau kanal ion bergerbang-nukleotida siklik cyclic nucleotide gated, CNG. Jika CNG A4 dihilangkan, adaptasi akan melambat Ganong 2008: 197. Adaptasi bersifat spesifik untuk bau tertentu, dan responsivitas terhadap bau lain tidak berubah. Ada yang membersihkan odoran dari tempat pengikatan di reseptor olfaktorius sehingga sensasi bau tidak terus-menerus ada setelah sumber bau hilang. Di mukosa penciuman baru-baru ini didektesi adanya beberapa enzim pemakan bau yang berfungsi sebagai pembersih molekuler, membersihkan molekul-molekul odoriferous sehingga mereka tidak terus-menerus merangsang reseptor olfaktorius. Enzim-enzim pembersih odoran ini secara kimiawi sangat mirip dengan enzim detoksifikasi yang ditemukan di hati. Kemiripan ini mungkin bukan kebetulan. Para peneliti berspekulasi bahwa enzim-enzim hidung mungkin memiliki fungsi rangkap sebagai pembersih mukosa olfaktorius dari odaran lama dan mengubah bahan-bahan kimia yang berpotensi toksi menjadi molekul yang tidak membahayakan. Detoksifikasi semacam ini akan memiliki fungsi yang sangat penting, karena terbukanya saluran antara mukosa olfaktorius dan otak Sherwood, 2009: 250.

2.2.5 Gangguan Penciuman