MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 22 No
.
Pokok Bahasan Kompetensi Dasar Indikator Keberhasilan
Sub Pokok Bahasan
Metode Media
JP
Setelah mengikuti sesi ini, peserta
memahami kerjasama dan jejaring pelaku
Dapat menjelaskan: kondisi yang mendukung
terjalin kerjasama manfaat melakukan
kerjasama bentuk jejaring pelaku di
Desa pola kerja jaringan pelaku di
Desa
10.2. Membangun
Jejaring
Diskusi 15
”
Setelah mengikuti sesi ini, peserta
memahami strategi membangun jejaring
Dapat: menentukan
masalahkebutuhan yang dihadapi
menentukan pihak-pihak yang terkait secara langsung
mendorong para pihak mencapai kesepakatan untuk
tindak lanjut terkait masalahkebutuhan yang
dihadapi Simulasi
45 ”
11. Rencana Kerja
Tindak Lanjut RKTL
Setelah mengikuti sesi ini, peserta
memahami rencana kerja tindak lanjut
Dapat menjelaskan: fungsi RKTL
kaidah penyusunan RKTL aspek-aspek pokok dalam
RKTL 11.1.
Pokok- Pokok RKTL
Diskusi Lembar Diskusi
30 ”
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 23 No
.
Pokok Bahasan Kompetensi Dasar Indikator Keberhasilan
Sub Pokok Bahasan
Metode Media
JP
Setelah mengikuti sesi ini, peserta
menggunakan pengetahuan untuk
menyusun RKTL Dapat menyusun RKTL
11.2. Menyusun
RKTL
Penugasan Perorangan
Lembar Kerja Perorangan
60 ”
Evaluasi Setelah mengikuti
sesi ini, peserta mengetahui
efektivitas pelaksanaan
pelatihan Dapat menilai:
1. kesesuaian modul pelatihan kapasitas Pelatih
2. efektivitas kerja Penyelenggara
1. Evaluasi
Modul 2.
Evaluasi Pelatih
3. Evaluasi
Reaksi
Penugasan Perorangan
Lembar Evaluasi 30
”
Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
|24
EVALUASI PELATIHAN
Dalam rangka memetakan berbagai perubahan mendasar sebelum dan sesudah pelatihan, maka dikembangkan berbagai bentuk evaluasi. Bentuk evaluasi merupakan
opsional yang dapat dikembangkan oleh penyelenggara pelatihan, tim fasilitator, pelatihan dan pihak ketiga. Adapun bentuk yang dikembangkan adalah:
-
Pre dan Post test Merupakan evaluasi tertulis untuk melihat sejauhmana peningkatan pengetahuan
peserta sebelum dan setelah pelatihan.
-
Evaluasi pencapaian setiap sesi materi Evaluasi ini dilakukan dengan metode yang sudah disusun dalam modul setiap SPB.
Evaluasi ini untuk melihat sejuhmana indikator keberhasilan dalam setiap SPB dapat tercapai di setiap akhir sesi atau SPB.
- Refleksi harian
Evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan umpan balik harian baik dari sisi metodologi maupun dukungan penyelenggaraan dalam 1 hari, sehingga dapat
dijadikan dasar dalam perbaikan hari selanjutnya. Hasil refleksi dan umpan balik harian ini akan sangat membantu bagaimana pelatihan dari ke hari akan lebih baik,
dari sisi proses dan outputnya.
-
Evaluasi penyelenggaraan akhir pelatihan Pada hari terakhir pelatihan, dikembangkan proses umpan balik dan evaluasi oleh
peserta. Evaluasi ini bertujuan untuk mengajak peserta menilai sejauhmana pelatihan baik dari sisi metodologi proses, dukungan logistik, partisipasi peserta,
dan lain-lain, mampu meningkatkan kapasitas peserta. Evaluasi ini dapat dikembangkan dengan alat partisipatif terbuka, maupun tertutup dengan
mengembangkan sejumlah daftar pertanyaan yang relevan.
-
Evaluasi independen manajemen pelatihan secara keseluruhan
Jika ingin mengetahui seluruh rangkaian pelatihan sejak TNA, pengembangan paket pelatihan, pelaksanaan pelatihan hingga pasca pelatihan, maka perlu dilakukan
evaluasi yang dilakukan oleh pihak independen secara professional. Evaluasi ini akan sangat membantu bagaimana manajemen pelatihan selanjutnya akan lebih
professional.[]
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 25
BAB
II
PANDUAN MEMBACA MODUL
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 26
Panduan Membaca Modul
Modul Pelatihan bagi Pendamping Lokal Desa PLD ini merupakan bahan pelatihan yang akan dijadikan sebagai bahan pembekalan sekaligus panduan bagi Tenaga Ahli
Kabupaten dan Pendamping Desa dalam mendorong implementasi UU Desa melalui pelatihan yang akan mereka sampaikan kepada Pendamping Lokal Desa. Diharapkan
nantinya, melalui Modul Pelatihan ini, PLD memiliki persepsi yang benar mengenai UU Desa serta terbangun komitmennya untuk terlibat dalam proses mendorong Desa
dalam proses pembangunan. Modul ini dimaksudkan untuk memandu pelatih dalam memfasilitasi proses pelatihan
di tingkat kecamatan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi di lapangan, bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami secara baik dan benar substansi UU
Desa berikut proses implementasinya. Dari hasil analisis kebutuhan pelatihan menunjukkan bahwa kondisi pendamping desa menunjukkan tingkat pemahaman yang
berbeda tentang implementasi Undang-Undang Desa sesuai dengan latar belakang, karakteristik wilayah, dan kondisi sosial yang ada.
Pengalaman menjalani proses pembangunan yang sentralistik semasa era Orde Baru Government Driven Development yang kemudian berubah menjadi pembangunan
partisipatif yang mengedepankan masyarakat sebagai pelaku Community Driven Development
ternyata masih memiliki kelemahan di mana penguatan di masyarakat tidak diiringi penguatan kepada pemerintah desanya. Padahal, sesuai dengan amanat
UU Desa, Desa merupakan subyek pembangunan, persis pada kondisi ini Desa sebagai keseluruhan mencakup pemerintahan desanya serta masyarakat desa, seluruhnya. Desa
pada akhirnya merupakan perpaduan antara Local Self Government LSG serta Self Governing Community
SGC sekaligus. Desa sebagai masyarakat yang berpemerintahan LSG menentukan pemerintahannya
sendiri SGC, membutuhkan pendekatan yang holistik dan integral. Perpaduan konsep antara LSG dan SGC membutuhkan pemahaman yang jernih bagi setiap pelaku
pemberdayaan, terutama sekali bagi siapa pun yang berkomitmen dengan desa. Untuk itulah Modul ini dibuat.
Maksud dan Tujuan Modul pelatihan ini dimaksudkan untuk :
1.
Menyamakan persepsi dan konsep pendampingan desa berbasis pedekatan Desa sebagai Subyek Village Driven Development- VDD seperti diamanatkan dalam UU
Desa; 2.
Mempersiapkan calon Pendamping Desa untuk bisa memfasilitasi proses pelatihan tenaga Pendamping Lokal Desa yang memiliki komitmen dalam rangka mendorong
Desa untuk secara optimal mampu mengimplementasikan proses pembangunan dengan semangat UU Desa;
Dengan sasaran pengguna tersebut, maka format modul yang disiapkan menjawab kebutuhan pengguna. Modul Pelatihan
: menjadi modul pegangan pelatih. Namun
demikian, modul ini juga bisa dipakai oleh siapa saja yang memiliki kepedulian dan
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 27
semangat untuk mendukung Desa melalui implementasi UU Desa. Bagaimana Modul Pelatihan ini Disusun?
Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mendorong disusunnya Modul
Pelatihan bagi Pendamping Lokal Desa melalui : a Kajian Kebutuan : melalui evaluasi atas hasil pelatihan tahun sebelumya dan realitas
kebutuhan di lapangan atas dinamika yang terjadi dalam implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.
b Penyusunan Draft Modul : Draft Modul Pelatihan Pendamping Lokasl Desa disusun oleh Tim yang terdiri dari Tim Penyusun Modul dari Seknas P3MD, KNPKMD, KNPP,
KNPPD serta didukung oleh Tim dari World Bank. Dilengkapidengan Bahan Bacaan dan bahan tayang secara terpisah.
c Workshop Penyelesaian Penulisan Modul, Kurikulum dan Bahan Bacaan Pelatihan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tahun Anggaran 2016 :
Workshop ini sebagai bagian penting untuk membedah Draft Modul I hingga menjadi Modul siap pakai di lapangan;
Modul ini telah mengalami berbagai penyesuaian melalui proses penelaahan, konsultasi dan masukan dari berbagai pihak terutama dari pelatih senior dan
pendamping desa yang ada di lapangan. Oleh karena itu modul pelatihan ini dapat diibaratkan sebagai buku berjalan yang memberikan peluang bagi pembaca atau
pengguna dalam memberikan warna dan penyesuaian sesuai dengan kaidah pembelajaran dan kebutuhan.
Sistematika dan Isi Modul Modul pelatihan ini dirancang menggunakan standar format yang menyertakan pokok-
pokok materi, panduan pelatih, lembar kerja dan lembar tayang presentasi atau beberan atau bahan paparan yang bermanfaat bagi calon pelatih yang akan
menyampaikan materi pelatihan. Modul pelatihan dikemas dalam bentuk panduan bagi pelatih agar mudah digunakan dan memungkinkan dan penyesuaian dengan kondisi
lingkungan belajar peserta. Modul pelatihan ini terdiri dari 11 Pokok Bahasan utama dan 29 Sub Ppokok Bahasan
yang membahas kerangka isi, proses belajar, media dan penilaian terkait bagaimana visi UU Desa serta upaya-upaya implementasinya. Secara rinci struktur materi modul
pelatihan ini dijelaskan sebagai berikut:
Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan
1. Bina Suasana dan Orientasi Latihan
1.1. Perkenalan 1.2. Pengungkapan Harapan Peserta
1.3. Tujuan dan Proses latihan 1.4. Tata Tertib Latihan
2. Desa dan Visi Undang- 2.1. Kondisi dan Dinamika Desa
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 28
Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan
Undang Desa 2.2. UU Desa sebagai Cara Pandang dan Sarana
Menuju Keberdayaan Desa 3. Tata Kelola Desa
3.1.Kelembagaan dalam Tata Kelola Desa 3.2. Musyawarah Desa sebagai Basis Tata Kelola dan
Penggerak Demokratisasi Desa 3.3. Prinsip-Prinsip Tata Kelola Desa
4. Pembangunan Desa 4.1. Sistem Pembangunan Desa
4.2.Perencanaan Pembangunan Desa 4.3. Pengelolaan Keuangan Desa
5. Pengembangan Ekonomi Desa
5.1. Arah dan Orientasi Pengembangan Ekonomi Desa 5.2. BUM Desa sebagai Penggerak perekonomi Desa
6. Penyusunan Peraturan di Desa
6.1. Pokok-Pokok Penyusunan Peraturan di Desa 6.2. Strategi Fasilitasi Penyusunan Peraturan di Desa
7. Penguatan Keberdayaan Masyarakat
7.1. Pemberdayaan Masyarakat Desa 7.2. Strategi Penguatan Kader Pemberdayaan
Masyarakat Desa 7.3. Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakat-an
Desa 8. Peningkatan Kapasitas
Masyarakat Melalui Pelatihan
8.1. Konsep Pelatihan Masyarakat 8.2. Keterampilan Dasar Melatih
9. Pendampingan 9.1. Konsep dan Kebijakan Pendampingan
9.2. Keterampilan Pendamping 9.3. Kinerja Pendamping
10. Membangun Tim Kerja di Desa
10.1. Kerjasama Tim di Desa 10.3. membangun Jejaring
11. Rencana Kerja Tindak Lanjut RKTL
11.1. Rangkuman Hasil Pelatihan 11.2. Evaluasi Penyelenggaraan Pelatihan
11.3. Rencana Kerja Tindak Lanjut RKTL Catatan
1. Modul Pelatihan Bukan Buku Ajar
Modul ini disusun sebagai koridor pembelajaran semata-mata, dan Modul ini didukung oleh BahanBacaan serta Bahan Tayang juga kelengkapan lain yang bisa
digali oleh setiap pelatih sesuai dengankondisi setempat. Dan olah karenanya, Modul ini murni sebagai pemandu.Pengalaman dan kapabilitas Pelatih Pendamping
Desa dan juga Pendamping Teknis Kabupatenakan sangat menentukan hasil dari desain modul yang dikembangkan. Untuk itu, Modul ini tidakdibaca sebagai buku
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 29
tersendiri, melainkan harus dilengkapi dengan Bahan Bacaan yang disediakanserta bacaan dan pengalaman lain yang mendukung.
2. Kaidah Belajar Orang Dewasa
Modul pelatihan ini disusun berdasarkan kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa, pelatih hendaknyatidak menggurui, melainkan sebagai fasilitator menjadi pengarah
atau pengolah proses belajardan mengakumulasikan secara partisipatif-kreatif dari pengalaman yang telah dimiliki peserta. Sebagaisuatu pengalaman, modul ini
diperlakukan layaknya sebagai panduan bukan ―kitab suci‖ yangtidak boleh dirubah.Sebagian bahasan dalam modul pelatihan merupakan refleksi pengalaman
para pemangku kepentinganyang terlibat dalam pendampingan desa. Penjelasan lebih diarahkan sebagai petunjuk praktisdan teknis bagi pelatih yang akan
menggunakannya untuk keperluan pelatihan. Manfaat yang diharapkandari modul ini,
jika dipakai
sebagai alat
untuk menggali
pengalaman dan
merefleksikannyadalam kehidupan nyata dalam berdesa.
3. Kreativitas dan Kondisi Lokal
Kreativitas pelatih fasilitator sangat menentukan dalam proses pengayaan serta kualitas pelatihanyang dilaksanakan. Modul pelatihan ini lebih efektif, jika digunakan
sepanjang tidak
menyalahi aturanatau
prinsip-prinsip dasar pendidikan
partisipatoris. Oleh karenanya, pelatih dapat : a Mengembangkan metodologi serta penggunaan media yang lebih bervariasi.
Namundemikian, tujuan dari Modul ini harus tetap menjadi acuan dasar pelatihan.
b Menggunakan media sekreatif mungkin; c Sebanyak mungkin mengangkat persoalan-persoalan atau issue-isuue yang
terjadi dilokasi pelatihan; d Menggunakan pengalaman peserta sebagai picu pengayaan dan pendalaman
materiOleh karena itu, mendalami dan memahami alur modul dari setiap pokok bahasan menjadi syaratmutlak untuk lebih leluasa dalam pelatihan. Jangan
membatasi diri, kembangkan dan perkaya prosessecara kreatif serta memadukan dengan pengalaman peserta.
4. Cara Menggunakan Modul
Modul pelatihan ini memberikan beberapa petunjuk berupa pilihan belajar yang dapat digunakanoleh pelatih dalam memahami dan menyampaikan materi
pelatihan. Setiap pokok bahasan atausubpokok bahasan berisi tema-tema atau aktivitas belajar yang disusun dengan menggunakanpendekatan induktif atau
deduktif secara bergantian atau bersamaan. Hal ini sangat tergantungkarakteristik materi yang hendak disampaikan. Namun, demikian keselarasan, keterpaduan
dankemudahan penyajian menjadi pertimbangan dalam menggunakan modul pelatihan ini. Oleh karenaitu, pahami kurikulum dan struktur anataomi modul
pelatihan dengan benar, kemudian hubungkandengan struktur materi atau pokok bahasan yang disajikan, sehingga memudahkan mendalami substansimaupun
metodologinya. Jika terdapat hal-hal yang membutuhkan penyesuaian atau
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 30
pengayaan,pelatih dengan mudah dapat mengguna-kan variasi lain tanpa keluar dari kerangka pokokdari modul pelatihan ini.
Dalam setiap bagian atau pokok bahasan terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau modul dengantopik yang beragam dan dapat dipelajari secara mandiri sesuai
dengan materi yang diperlukan.Masing-masing subpokok bahasan dalam modul ini menggambarkan urutan kegiatan pembelajarandan hal-hal pokok yang perlu
dipahami tentang materi yang dipelajari serta keterkaitannya dengantopik lainnya.Dalam setiap subpokok bahasan dilengkapi dengan panduan pelatih yang
membantu dalam mengarahkanproses, media dan sumber belajar, lembar kerja, lembar evaluasi dan lembar informasi ataubahan bacaan. Masing-masing disusun
secara kronologis yang agar memudahkan bagi penggunadengan memberikan alternatif dalam memanfaatkan setiap subpokok bahasan secara luas danfleksibel.
Setiap pokok bahasan dilengkapi dengan bahan bacaan pendukung yang dapat dibagikan secaraterpisah dari panduan pelatihan agar dapat dibaca peserta sebelum
pelatihan di mulai. Pelatih jugadiperkenankan untuk menambah atau memperkaya bahan bacaan untuk setiap subpokok bahasanberupa artikel, buku, juklakjuknis dan
kiat-kiat yang dianggap relevan.Disamping itu, pembaca di berikan alat bantu telusur berupa catatan diberikan termasuk ikon-ikonyang akan memandu dalam
memahami karakteristik materi dan pola penyajian yang harus dilalukandalam pelatihan.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 31
BAB
III
RENCANA PEMBELAJARAN
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 32
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 33
Pokok Bahasan
1
BINA SUASANA DANORIENTASI PELATIHAN
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 34
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 35
Pokok Bahasan
2
DESA DAN VISI UNDANG-UNDANG DESA
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 36
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 37
PB
2
Bahan Bacaan
Desa dan Visi UU Desa
BB 2.2.2
KERANGKA PIKIR UUDESA
A.
Gambaran Umum
Perspektif dimaknai sebagai sikap dan keyakinan terhadap acuan dasar berpikir yang kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam memahami sebuah isu.
Perspektif itu kemudian menuntun dan mengarahkan tindakan. Dengan demikian, ketepatan tindakan, khususnya dalam konteks pemandirian Desa, pemberdayaan
masyarakat, ditentukan oleh ketepatan perspektif berpikir para pelakunya. Perspektif tentang misalnya kemiskinan yang dianut seseorang, jelas akan
menunjukkan sikap dan arah tindakan yang bersangkutan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Penganut perspektif Ekonomis akan melihat kemiskinan
sebagai persoalan modal, teknologi produksi,
pasar….‟ Seorang Pemberdaya kemudian menuntun masyarakat pada berbagai kegiatan untuk mengakses - meningkatkan
modal, keterampilan, bantuan mesin pengolah, dst. Sedangkan penganut perspektif Hak, meyakini kemiskinan terjadi karena tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk
hidup secara layak. Perspektif itu kemudian menuntun pelaku memasuki wilayah „pemenuhuan kewajiban pemerintah‟ hal itu mengantarkan pada persoalanisu tentang
tugas Negara, dan hubungan antara Negara dengan warga negaranya. B.
Perspektif UU No. 6 Tahun 2014
Bagaimana mengetahui atau memahami kerangka pikir yang mendasari konstruksi Undang-Undang Desa? kerangka pikir itu tentu tidak dinyatakan secara naratif atau
langsung dapat terbaca dari pasal-demi pasal yang tertera dalam Undang-Undang Desa, tetapi akan terbaca apabila si pembaca memiliki wawasaninformasi yang
memadai tentang “aliran pemikiran” atau teori berkenaan dengan isu-isu tertentu terkait berbagai aspek penting tentang desa, baik dari segi sejarah, budaya, sosiologis,
politik, pemerintahan, maupun hukum.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 38
Terdapat empat cara pandang terhadap keberadaan desa, sebagimana dipaparkan di bawah ini:
Cara pandang 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat
juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa
yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor”
yang meenjalankan tugas-tugas administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan
administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah.
Cara pandang 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya
kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 51979. Masyarakat sipil tidak
tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.
Bagan: Tipologi cara pandang terhadap desa
Cara pandang 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat self governing community. Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik
yang memuja komunitas masyarakat adat, sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai
property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua,
aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 39
kuat, juga tidak perlu didukung dengan demokrasi perwakilan melalui Badan Perwakilan Desa BPD. Masyarakat, termasuk individu anggota masyarakat, menjadi
titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial social capital serta melakukan
aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu. Cara pandang 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan
komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena
kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman. Metafora ini tentu serupa dengan Liefrinck van der Tuuk 1886-1887 yang membuat
metafora desa sebagai “republik kecil”, setelah dia melakukan penelitian di Buleleng Bali Utara. Negara kecil bukanlah negara dalam negara, melainkan sebagai organisasi
lokal yang memiliki wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya agraria, hutan, sungai, dan sebagainya, livelihood, maupun budaya dan institusi identitas, norma, nilai, aturan,
lembaga, aktor, dll. Desa sebagai negara kecil memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa
makna penting: 1. Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis sosial, basis politik, basis
pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis keamanan. Basis ini merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau
negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial kohesi sosial,
jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial sehingga desa mampu bertenaga secara sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena kontestasi
politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi
arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga.Sebagai basis pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan
yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai
aset-aset ekonomi hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya, yang bermanfaat untuk
sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga:
desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa mau, desa garam, dan lain-lain.
2. Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekadar obyek penerima bantuan pemerintah, tetapi sebagai subyek yang mampu melakukan emansipasi lokal atau
otonomi dari dalam dan otonomi dari bawah untuk mengembangkan asset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 40
3. Desa memiliki property right atau mempunyai aset dan akses terhadap sumberdaya lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama.
4. Desa mempunyai pemerintah desa yang kuat dan mampu menjadi penggerak potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga,
termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah. 5. Pemerintahan desa yang kuat bukan dimengerti dalam bentuk pemerintah dan
kapala desa yang otokratis misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama, tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan desa yang mempunyai kewenangan dan
anggaran memadai, sekaligus mempunyai tatapemerintahan demokratis yang dikontrol check and balances oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa
dan masyarakat setempat. 6. Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis bentukan negara,
tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil. 7. Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem social budaya
yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.
Pesan pokok Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014, diletakkan dalam perspektif paduan antara konsep self governing community dengan Negara kecil Local Self Government,
dengan menekankan keberadaan Desa sebagai organisasi masyarakat yang berpemerintahan, yaitu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.
Mengatur ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa membuat produk hukum Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa.
Mengurus ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa untuk menyelenggarakan segala urusan yang menjadi kewenangan lokal desa, yang dijabarkan pelaksanaannya
dalam empat bidang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan.
Dengan demikian, Desa menjadi paduan antara entitas masyarakat dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan praksis sebelumnya, baik dalam konteks penyelenggaraan
pemerintahan maupun pembangunan misalnya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan yang cenderung melihat dan memilah
masyarakat dengan pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda. UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga merubah secara mendasar perspektif dan pola
hubungan antara Desa dengan Negara. Desa sebagai sebuah entitas diakui keberadaan dan haknya, sebagaimana ditegaskan dalam azas PengakuanRekognisi dan
Subsidiaritas, dan Desa memiliki hubungan langsung dengan Negara, sebagaimana diwujudkan melalui Dana Desa.
Perspektif dan konstruksi yang demikian itu, diorientasikan untuk menguatkan kapasitas Desa menuju Desa yang maju, mandiri, dan demokratis dengan bertumpu
pada nilai-nilai kegotongroyongan serta memulihkan kolektivismekebersamaan dan kepemilikan kolektif atas asset strategis Desa.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 41
C. Kebijakan Baru tentang Desa
Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang selanjutnya, menjadi sebuah titik awal harapan desa untuk bisa menentukan posisi, peran dan
kewenangan atas dirinya. Harapan supaya desa bisa bertenaga secara sosial dan berdaulat secara politik sebagai fondasi demokrasi desa, serta berdaya secara ekonomi
dan bermartabat secara budaya sebagai wajah kemandirian desa dan pembangunan desa. Harapan tersebut semakin menggairah ketika muncul kombinasi antara azas
rekognisi dan subsidiaritas sebagai azas utama yang menjadi jiwa dari undang-undang ini.
Undang-Undang Desa yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60
tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa,
pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat 6 enam
kebijakan pokok yang mengatur tentang desa, yaitu:
1 Penambahan kewenangan desa yakni urusan yang menjadi kewenangan kabupatenkota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.
2 Kepastian sumber keuangan desa, yakni: alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupatenkota paling sedikit
10 sepuluh perseratus setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus. 3 Memperkuat makna demokrasi desa berdasarkan nilai musyawarah untuk mufakat
dalam penetapan kebijakan desa , yakni merubah nomenklatur “Badan Perwakilan
Desa” menjadi “Badan Permusyawaratan Desa”. 4 Memperkuat kedudukan Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa agar
tercipta kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan desa, yakni: a melarang Kepala Desa menjadi pengurus partai politik, b memastikan kedudukan keuangan
kepala desa, dan c Kepala Desa bertanggungjawab kepada BupatiWalikota.
5 Dalam rangka meningkatkan kinerja penyelenggaraan administrasi pemerintahan desa, Kepala Desa dibantu oleh Sekretariat Desa yang dipimpin Sekretaris Desa.
6 Pembentukan Desa merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang sudah ada dilakukan melalui Desa Persiapan.
D. Kewenangan Desa
Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan otonom otonomi asli dijelaskan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kewenangan
dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan Kemasyarakatan desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan
prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat. Selanjutnya dalam pasal 19 Kewenangan Desa meliputi: a kewenangan berdasarkan asal-usul; b kewenangan
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 42
lokal berskala desa; kewenangan yang ditugaskan oeh Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Daerah KabupatenKota; d kewenangan lainnya yang ditugaskanoleh
pemerintah, pemerintah daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah KabupatenKota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat mempunyai empat kewenangan, meliputi:
1 Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan perundang- undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang
sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 2 Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh
untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
kabupatenkota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;
3 Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupatenkota;
4 Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah KabupatenKota sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul paling sedikit terdiri atas:
1 Sistem organisasi masyarakat desa; 2 Pembinaan kelembagaan masyarakat;
3 Pembinaan tanah kas Desa; dan 4 Pengembangan peran masyarakat desa.
Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas:
1 Pengelolaan tambatan perahu; 2 Pengelolaan pasar desa;
3 Pengelolaan tempat pemandian umum; 4 Pengelolaan jaringan irigasi;
5 Pengelolaan lingkungan pemukiman masyarakat desa; 6 Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;
7 Pengembangan dan pembiayaan sanggar seni dan belajar; 8 Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;
9 Pengelolaan embung desa; 10 Pengelolaan air minum berskala desa; dan
11 Pembuatan jalan desa antar pemukiman ke wilayah pertanian.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 43
Pelaksanaan kewenangan lokal berkonsekwensi terhadap masuknya program pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 Undang-Undang Desa menegaskan, bahwa
pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf [a] dan [b] Undang-Undang Desa
diatur dan diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat 4 dan 5: “Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan “Pelaksanaan
program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”.
Selain kewenangan di atas, menteri dapat mentapkan jenis kewenagan desa lain sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal.
Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan KabupatenKota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi sebagai berikut:
1 Kewenangan memutuskan ada pada tingkat desa, sehingga terjadi: 1 pergeseran
kewenangan dari pemerintahan kabupatenkota kepada Pemerintahan Desa, 2 peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan di desa berupa
Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
2 Adanya pembiayaan yang diberikan KabupatenKota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1 pergeseran
anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan desa, dan 2 adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat Desa
dalam skala desa.
3 Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup
kewenangan yang diserahkan. 4 Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintah Desa sesuai
kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh pemangku kepentingan Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, dan Masyarakat Desa
dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawsan pembangunan semakin lebih maksimal.
5 Bila semua kebutuhan lokal dapat teratasi oleh Pemerintah Desa diharapkan akan semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan
program pemerintah.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 44
PB
2
Bahan Bacaan
Desa dan Visi UU Desa
BB 2.2.3
MATRA PEMBANGUNAN DESA
Upaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa hendak dikuatkan dengan menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi halangan utama bagi kemajuan dan
kemandirian Desa. Di sisi lain, upaya tersebut juga diharapkan mampu dikembangkan sebagai daya lenting bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan Desa. Teknokratisme
Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdiri di atas tiga matra. Pertama, Jaring Komunitas Wiradesa Jamu Desa. Matra ini diarahkan untuk
mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan desa sehingga mereka menjadi subyekberdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Kedua,
Lumbung Ekonomi Desa Bumi Desa. Matra ini mendorong muncul dan berkembangnya geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan
partisipan gerakan ekonomi di desa. Ketiga, Lingkar Budaya Desa Karya Desa. Matra ini mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan
komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. 1
Jaring Komunitas Wiradesa Jamu Desa
Matra ini bertujuan untuk memperkuat kualitas manusia dengan memperbanyak kesempatan dan pilihan dalam upayanya menegakkan hak dan martabat. Memajukan
kesejahteraan, baik sebagai individu, keluarga maupun kolektif warga Desa. Masalah yang dihadapi saat ini adalah perampasan daya manusia warga Desa itu yang
ternyatakan pada situasi ketidakberdayaan, kemiskinan dan bahkan marjinalisasi. Fakta ketidakberdayaan itu kini telah berkembang menjadi sebab, aspek dan sekaligus
dampak yang menghalangi manusia warga Desa hidup bermartabat dan sejahtera. Kemiskinan berkembang dalam sifatnya yang multidimensi dan cenderung melanggar
hak asasi. Situasi ini diperburuk dengan dengan adanya ketiadaan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, maupun informasi. Sehingga
kehidupan masyarakat miskin di perdesaan dirasa semakin marjinal. Di sini, matra Jaring Komunitas Wiradesa menjadi dasar dilakukannya tindakan yang mampu
mendorong ekspansi kapabilitas dengan memperkuat daya pada berbagai aspek
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 45
kehidupan manusia warga Desa yang menjangkau aspek nilai dan moral, serta pengetahuan lokal Desa. Penguatan kapabilitas dilakukan dalam rangka peningkatan
stok pengetahuan masyarakat desa, baik melalui pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan diluar sekolah non formal. Melalui penciptaan komunitas belajar dan
balai-balai rakyat sebagai media pencerahan dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat. Tidak hanya sekedar menambah pengetahuan dan keterampilan,
peningkatan kapabilitas masyarakat desa merupakan modal penting dari tegaknya harkat dan martabat masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk mengontrol
jalannya kegiatan ekonomi dan politik. 2
Lumbung Ekonomi Desa Bumi Desa.
Matra kedua dari pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa ini merupakan suatu ikhtiar untuk mengoptimalisasikan sumberdaya di desa dalam rangka
mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Konsep Lumbung Ekonomi Desa merupakan pengejawantahan amanat konstitusi sebagaimana yang
tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Yaitu amanat untuk melakukan pengorganisasian kegiatan ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta penggunaan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Lumbung Ekonomi Desa diarahkan untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan energi dan kemandirian ekonomi
desa. Sebagai basis kegiatan pertanian dan perikanan, desa diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya sendiri dan di wilayah lain, tanpa
melupakan penumbuhan aktivitas ekonomi produktif di sektor hilir. Optimalisasi sumberdaya desa juga mesti tercermin dalam kesanggupan desa memenuhi kebutuhan
energi yang juga merupakan kebutuhan pokok masyarakat desa. Kemandirian ekonomi desa tercermin dari berjalannya aktivitas ekonomi yang dinamis dan menghasilkan
penciptaan lapangan kerja secara berkelanjutan di perdesaan. Termasuk mendorong kemampuan masyarakat desa mengorganisir sumber daya finansial di desa melalui
sistem bagi hasil guna mendukung berlangsungnya kegiatan ekonomi yang berkeadilan.
Aktor utama Lumbung Ekonomi Desa dititikberatkan pada komunitas, tanpa mengesampingkan peran individu sebagai aktor penting kegiatan ekonomi desa. Hal
ini berarti bahwa kegiatan ekonomi di desa utamanya mesti dijalankan secara kolektif berdasarkan prinsip gotong royong yang menjadi ciri khas sosio-kultural masyarakat
Indonesia pada umumnya, dan masyarakat desa pada khususnya. Dari aspek ini, organisasi ekonomi di desa berperan penting dalam memikul beban untuk
menggerakkan aktivitas ekonomi di desa yang memiliki semangat kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial. Organisasi ekonomi itu dapat berupa koperasi,
Badan Usaha Milik Desa BUMDesa, lembaga keuangan mikro, usaha bersama, atau yang lainnya. Selain itu dan tidak kalang pentingnya, lembaga-lembaga ekonomi ini
haruslah memiliki kecakapan dan keterbukaan dalam menjalankan usaha perekonomian di desa. Dalam konteks pelaksanaan UU Desa misalnya, pembentukan
BUMDesa yang kuat mensyaratkan pengelolaan oleh orang-orang Desa yang teruji
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 46
secara nilai dan moral, serta memiliki modal sosial yang kuat, serta mampu mengembangkan kreasi dan daya untuk menjangkau modal, jaringan dan informasi.
Pokok soal yang utama adalah membekali masyarakat dengan aset produktif yang memadai sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar. Sumber
daya ekonomi harus sedapat mungkin ditahan di desa dan hanya keluar melalui proses penciptaan nilai tambah. Di sinilah letak pentingnya intervensi inovasi dan adopsi
teknologi serta dukungan sarana dan prasarana agar proses penciptaan nilai tambah dari kegiatan ekonomi di desa berjalan secara baik. Paradigma lama yang
menempatkan desa sebagai pusat eksploitasi sumberdaya alam dan tenaga tenaga kerja tidak terampil unskill labour telah menyebabkan terus meluasnya persoalan
bangsa, mulai dari: tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, tersingkirnya pengetahuan dan kearifan lokal warga, terabaikannya peran strategis perempuan,
rendahnya daya saing, hingga meluasnya kerusakan lingkungan. Desa harus menjadi sentra inovasi, baik secara sosial, ekonomi, dan teknologi. Inovasi secara sosial
dimaksudkan untuk meningkatkan soliditas dan solidaritas antarwarga dengan memegang kuat nilai-nilai dan budaya luhur di masing-masing desa. Inovasi secara
sosial ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan daya-lenting warga resilience dalam menghadapi berbagai tantangan di depan. Inovasi secara ekonomi dimaksudkan
untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas warga untuk menggeser model ekonomi eksploitatif ke arah ekonomi inovatif yang alat ukur keberhasilannya diantaranya:
terbukanya lapangan pekerjaan di desa, meningkatnya nilai tambah produk, serta berkurang tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Sedang
inovasi secara teknologi adalah sebuah kesadaran untuk mengembangkan teknologi tepat guna berbasis sumberdaya alam lokal, teknologi lokal, dan sumberdaya manusia
lokal.
3 Lingkar Budaya Desa Karya Desa
Matra ini merupakan suatu proses pembangunan desa sebagai bagian dari kerja budaya kolektivisme yang memiliki semangat kebersamaan, persaudaraan dan
kesadaran melakukan perubahan bersama dengan pondasi nilai, norma dan spirit yang tertanam di desa. Matra ketiga ini mensyaratkan adanya promosi pembangunan yang
meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Gerakan pembangunan Desa tidaklah tergantung pada inisiatif
orang perorang, tidak juga tergantung pada insentif material ekonomi, tetapi lebih dari itu semua adalah soal panggilan kultural. Berdasar Lingkar Budaya Desa, gerakan
pembangunan Desa haruslah dilakukan karena kolektivisme, yang di dalamnya terdapat kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, dan kesadaran untuk melakukan perubahan
secara bersama. Dana Desa dalam konteks memperkuat pembangunan dan pemberdayaan Desa misalnya, harus dipahami agar tidak menjadi bentuk
ketergantungan baru. Ketiadaan Dana Desa tidak boleh dimaknai tidak terjadi pembangunan. Karenanya Dana Desa haruslah menghasilkan kemajuan, bukan
kemunduran. Maka, pembangunan Desa dimaknai sebagai kerja budaya dengan norma dan moral sebagai pondasinya, sebagai code of conduct, dan dengan begitu perilaku
ekonomi dalam kehidupan Desa akan mampu menegakkan martabat dan mensejahterahkan.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 47
Tiga Matra pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa tersebut di atas memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Komitmen untuk menjalankan program dan
kegiatan di dalam lingkungan Ditjen PPMD dengan menggunakan pendekatan metode ini, diharapkan dapat melipatgandakan kemampuan mencapai target dan
menghasilkan dampak yang bisa dipertahankan sustained impact untuk kemajuan dan kesejahteraan Desa.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 48
Pokok Bahasan
3
TATA KELOLA DESA
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 49
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 50
PB
3
Bahan Bacaan
Tata Kelola Desa
Bahan Bacaan 1
MUSYAWARAH DESA
PENGERTIAN MUSYAWARAH DESA Istilah musyawarah berasal dari kata syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang
berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal
dengan sebutan
“syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kata Musyawarah menurut bahasa berarti berunding dan berembuk. Pengertian
musyarawarah menurut istilah adalah perundingan bersama antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Musyawarah adalah pengambilan
keputusan bersama yang telah disepakati dalam memecahkan suatu masalah. Cara pengambilan keputusan bersama dibuat apabila keputusan tersebut menyangkut
kepentingan orang banyak atau masyarakat luas. Di bawah ini dirangkum beberapa pengertian musyawarah dari berbagai pandangan
ahli dan literatur, diantaranya:
1. Musyawarah adalah suatu upaya bersama dengansikap rendah hati untuk memecahkan persoalan mencari jalan keluar guna mengambil keputusan
bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.
2. Musyawarah merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk membahas suatu masalah dengan tujuan agar mendapatkan solusi.
Musyawarah merupakan sebuah sistem pengambilan keputusan yang melibatkan dua orang atau lebih dengan menyajikan kepentingankepentingan
sehingga dapat tercipta suatu keputusan yang disepakati bersama.
3. Musyawarah merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk memecahkan suatu masalah atau persoalan atau dengan kata lain sebuah upaya untuk
mencari jalan keluar guna mengambil keputusan bersama dalam menyelesaikan suatu masalah yang melibatkan dua orang atau lebih.
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 51
4. Musyawarah adalah pembahasan untuk menyatukan pendapat dalam penyelesaian suatu masalah yang menyangkut kepentingan bersama.
5. Musyawarah merupakan membicarakan dan menyelesaikan bersama suatu persoalan dan maksud untuk mencapai kata mufakat atau kesepakatan.
Musyawarah Desa merupakan forum tertinggi di Desa yang berfungsi untuk mengambil keputusan atas hal-hal yang bersifat strategis. Menempatkan Musyawarah Desa
sebagai bagian dari kerangka kerja demokratisasi dimaksudkan untuk mengedepankan Musyawarah Desa yang menjadi mekanisme utama pengambilan keputusan Desa.
Dengan demikian, perhatian khusus terhadap Musyawarah Desa merupakan bagian integral terhadap kerangka kerja demokratisasi Desa. Dalam Undang-Undang No. 6
Tahun 2014 tentang Desa mendefinisikan musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah antara BPD, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat
yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.
DASAR PEMIKIRAN MUSYAWARAH DESA Musyawarah desa merupakan institusi dan proses demokrasi deliberatif yang berbasis
desa. Secara historis musyawarah desa merupakan tradisi masyarakat lokal Indonesia. Salah satu model musyawarah desa yang telah lama hidup dan dikenal di
tengahtengah masyarakat desa adalah Rapat Desa rembug Desa yang ada di Jawa. Dalam tradisi rapat desa selalu diusahakan untuk tetap memperhatikan setiap aspirasi
dan kepentingan warga sehingga usulan masyarakat dapat terakomodasi dan memperkecil munculnya konflik di masyarakat.
Beberapa pembelajaran dari pelaksanaan musyawarah dibeberapa tempat seperti Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat, Saniri di Maluku, Gawe rapah di Lombok,
Kombongan di Toraja, Paruman di Bali. Menunjukkan tradisi musyawarah masa lalu cenderung elitis, bias gender dan tidak melibatkan kaum miskin dan kelompk rentan
lainnya. Dasar pemikiran perlunya sebuah musyawarah desa, diantaranya:
1 Mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa bangsa Indonesia
mengedepankan hikmah
dan kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan;
2 Pengambilan keputusan berdasarkan kebutuhan dan kepentingan bersama; 3 Cara mengemukakan pendapat harus berdasarkan akal sehat dan hati nurani,
serta selalu mengutamakan persatuan dan kekeluargaan; 4 Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan keadilan; 5 Keputusan yang telah diambil harus dilaksanakan secara jujur dan
bertanggung jawab oleh semua pemangku kepentingan.
TUJUAN MUSWARAH DESA Musyawarah desa dilaksanakan untuk membuka kebekuan atau kesulitan dalam
pengambilan keputusan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 52
melihat sebuah persoalan pembangunan dari berbagai sudut pandang. Melalui musyawarah desa, keputusan yang dihasilkan sesuai dengan standar dan persepsi
seluruh peserta. Keputusan yang diperoleh dengan musyawarah akan lebih berbobot karena di dalamnya terdapat pendapat, pemikiran dan ilmu dari para peserta.
Musyawarah desa dilakukan untuk memperoleh kesepakatan bersama sehingga keputusan yang akhirnya diambil bisa diterima dan dijalankan oleh semua peserta
dengan penuh rasa tanggung jawab. Dengan demikian, pemaksanaan desa sebagai self governing community
SGC direpresentasikan oleh Musyawarah Desa.
PRINSIP-PRINSIP MUSWARAH DESA Partisipatif.Partisipasi berarti keikutsertaan masyarakat Desa dalam setiap kegiatan
dan pengambilan keputusan strategis Desa. Partisipasi dilaksanakan tanpa memandang perbedaan gender laki-lakiperempuan, tingkat ekonomi miskinkaya, status sosial
tokohorang biasa, dan seterusnya. Dalam Musyawarah Desa, pelaksanaan partisipasi tersebut dijamin sampai dalam tingkat yang sangat teknis. Dalam Pasal 3 ayat 3 huruf
e Permendesa PDTT No. 2 Tahun 2015, diatur bahwa setip unsur masyarakat berhak “menerima pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan
selama berlangsungnya musyawarah Desa” Pasal 3 ayat 3 huruf e Permendesa PDTT No. 2 tahun 2015.
Demokratis.Setiap warga masyarakat berhak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan Musyawarah Desa. Masyarakat diberikan kesempatan sesuai hak dan
kewajibannya untuk menyatakan pandangan, gagasan, pendapat dan sarannya terkait pembahasan hal-hal yang bersifat startegis di desa. Musyawarah desa merupakan
representasi keterwakilan masyarakat dalam penentuan kebijakan pembangunan di desa. Musyawarah mendorong kerjasama, kolektivitas, kelembagaan dan hubungan
sosial yang lebih harmonis. Transparan.Proses Musyawarah Desa berlangsung sebagai kegiatan yang berlangsung
demi kepentingan masyarakat Desa. Sebab itu masyarakat Desa harus mengetahui apa yang tengah berlangsung dalam proses pengambilan keputusan di desa. Prinsip
transparan berarti tidak ada yang disembunyikan dari masyarakat Desa, kemudahan dalam mengakses informasi, memberikan informasi secara benar dan baik dalam hal
materi permusyawaratan. Akuntabel.Dalam setiap tahapan kegiatan Musyawarah Desa yang dilaksanakan harus
dikelola secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat atau pemangku kepentingan baik secara moral, teknis, administratif dan sesuai dengan
peraturan dan ketentuan yang berlaku atau yang disepakati bersama oleh masyarakat, pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
HAK DAN KEWAJIBAN MASYARAKAT Hak masyarakat dalam penyelenggaraan Musyawarah Desa diantaranya mendapatkan
informasi secara lengkap dan benar tentang hal-hal bersifat strategis, pengawasan dan
MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi | 53
perlakuan yang sama dalam menyampaikan aspirasi. Kewajiban masyarakat mendorong swadaya gotong-royong dalam penyusunan kebijakan publik melalui Musyawarah
Desa. Mendorong terciptanya situasi yang aman, nyaman, dan tenteram selama proses berlangsungnya Musyawarah Desa. Melaksanakan komitmen hasil dari musyawarah.
Secara ringkas dapat digambarkan pada bagan berikut:
a. Karakteristik Musyawarah Desa
Musyawarah Desa mempunyai empat karakteristik, yaitu: Pertama, Musyawarah Desa sebagai wadah demokrasi asosiatif. Artinya seluruh elemen desa merupakan
asosiasi yang berdasar pada asas kebersamaan, kekeluargaan dan gotongroyong. Mereka membangun aksi kolektif untuk kepentingan desa. Kekuatan asosiatif ini
juga bisa hadir sebagai masyarakat sipil yang berhadapan dengan negara dan modal. Kedua, Musyawarah Desa sebagai wadah demokrasi inklusif atau demokrasi
untuk semua. Berbagai elemen desa tanpa membedakan agama, suku, aliran, golongan, kelompok maupun kelas duduk bersama dalam pembahasan hal-hal
startegis di desa. Ketiga
, Musyawarah Desa sebagai wadah demokrasi deliberatif. Artinya Musyawarah Desa menjadi tempat untuk tukar informasi, komunikasi, diskusi atau
musyawarah untuk mufakat mencari kebaikan bersama. Keempat, Musyawarah Desa mempunyai fungsi demokrasi protektif. Artinya Musyawarah Desa dapat
menyeimbangkan kedudukan desa dari intervensi negara, modal atau pihak lain yang merugikan desa dan masyarakat.
b. Manfaat Musyawarah Desa