Modul pratugas pendamping lokal desa tahun 2017

(1)

MODUL

PELATIHAN PRATUGAS

PENDAMPING LOKAL DESA

PLD

PENDAMPINGAN DESA

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014

TENTANG DESA

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA


(2)

(3)

MODUL PELATIHAN PRATUGAS

PENDAMPING LOKAL DESA

PENDAMPINGAN DESA

Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun

2014 tentang Desa


(4)

(5)

MODUL PELATIHAN PRATUGAS PENDAMPING LOKAL DESA

PENDAMPINGAN DESA

Implementasi Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa

PENGARAH : Eko Putro Sandjojo (Menteri Desa, Pembangunan Daerah

Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia)

PENANGGUNG JAWAB: Ahmad Erani Yustika(Dirjen Pembangunan dan

Pemberdayaan Masyarakat Desa)

TIM PENULIS : Ludiro Prajoko,Zaini Mustaqim, Dindin Abdullah Ghozali, Jajang

Koswara,Hasan Rofiqi , Amanulah Fajar Sudrajat, Mohammad Zuhdi.

REVIEWER : Taufik Madjid, Muhammad Fachri, Nur Kholis.

COVER & LAYOUT : Wahjudin Sumpeno, Dindin Abdullah Ghozali.

Cetakan Pertama, Agustus 2016

Diterbitkan oleh:

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL,

DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Jl. TMP Kalibata No. 17 Jakarta Selatan 12740

Telp. (021) 79172244, Fax. (021) 7972242

Website: www.kemendesa.go.id


(6)

(7)

Daftar Istilah dan Singkatan

1. Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya

disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Kewenangan Desa adalah kewenangan yang dimiliki Desa meliputi kewenangan di bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa, dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan adat istiadat Desa.

3. Pemerintahan Desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain

dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.

5. Badan Permusyawaratan Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah

lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.

6. Lembaga Kemasyarakatan adalah lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sesuai

dengan kebutuhan dan merupakan mitra pemerintah dalam memberdayakan masyarakat.

7. Musyawarah Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah musyawarah

antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Badan Permusyawaratan Desa untuk menyepakati hal yang bersifat strategis.

8. Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa atau yang disebut dengan nama

lain adalah musyawarah antara Badan Permusyawaratan Desa, Pemerintah Desa, dan unsur masyarakat yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa untuk menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota. 9. Kesepakatan Musyawarah Desa adalah suatu hasil keputusan dari Musyawarah

Desa dalam bentuk kesepakatan yang dituangkan dalam Berita Acara kesepakatan Musyawarah Desa yang ditandatangani oleh Ketua Badan Permusyawaratan Desa dan Kepala Desa.

10. Peraturan Desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh

Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa.


(8)

untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Desa.

12. Perencanaan pembangunan desa adalah proses tahapan kegiatan yang

diselenggarakan oleh pemerintah Desa dengan melibatkan Badan

Permusyawaratan Desa dan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa.

13. RPJM Desa (Rencana Pembangunan Jangkah Menengah Desa) adalah dokumen

perencanaan untuk periode 6 (enam) tahun yang memuat arah pembangunan desa, arah kebijakan keuangan desa, kebijakan umum dan program dan program Satuan Kerja Perangkat (SKPD) atau lintas SKPD, dan program prioritas kewilayahan disertai dengan rencana kerja.

14. RKP Desa (Rencana Kerja Pemerintah Desa) adalah dokumen perencanaan untuk

periode 1 (satu) tahun sebagai penjabaran dari RPJM Desa yang memuat rancangan kerangka ekonomi desa, dengan mempertimbangkan kerangka pendanaan yang dimutakhirkan, program prioritas pembangunan desa, rencana kerja dan pendanaan serta prakiraan maju, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah desa maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat dengan mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah dan RPJM Desa.

15. Daftar Usulan RKP Desa adalah penjabaran RPJM Desa yang menjadi bagian dari

RKP Desa untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang akan diusulkan Pemerintah Desa kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui mekanisme perencanaan pembangunan Daerah.

16. Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan

uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa.

17. Aset Desa adalah barang milik Desa yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa atau perolehan hak lainnya yang syah.

18. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, selanjutnya disebut APB Desa, adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa.

19. Dana Desa adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja

negara yang diperuntukkan bagi Desa yang ditransfer melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaanmasyarakat Desa.

20. Alokasi Dana Desa, selanjutnya disingkat ADD, adalah dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.


(9)

Kata Pengantar


(10)

(11)

Daftar Isi

Halaman

Daftar Istilah dan Singkatan ………...

Kata Pengantar Dirjen PPMD ……….

Daftar Isi ………

BAB I KURIKULUM PELATIHAN

Latar Belakang ………..

Tujuan Pelatihan ……….

Ruang Lingkup Tugas Pendamping ……….

Struktur Materi Pelatihan ……….

Garis-Garis Besar Program Pelatihan ………..

BAB II PANDUAN MEMBACA MODUL

BAB III RENCANA PEMBELAJARAN

PB 1 Bina Suasana dan Orientasi Pelatihan ………

SPB 1.1 Perkenalan ………..

SPB 1.2 Pengungkapan Harapan Peserta ………

SPB 1.3 Tujuan dan Proses Pelatihan ……….

SPB 1.4 Tata Tertib Peatihan ……….

PB 2 Desa dan Visi Undang-Undang Desa ……….

SPB 2.1 Kondisi dan Dinamika Desa ………..

SPB 2.2 UU Desa sebagai Cara Pandang dan Sarana

Menuju Keberdayaan Desa ………..

PB 3 Tata Kelola Desa ………

SPB 3.1 Kelembagaan dalam Tata Kelola Desa ……….

SPB 3.2 Musyawarah Desa sebagai Basis Tata Kelola dan

Penggerak Demokratisasi Desa ………

SPB 3.3 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Desa ………..

PB 4 Pembangunan Desa ………..

SPB 4.1 Sistem Pembangunan Desa ………

SPB 4.2 Perencanaan Pembangunan Desa ……….

SPB 4.3 Pengelolaan Keuangan Desa ……….

PB 5 Pengembangan Ekonomi Desa ………


(12)

SPB 5.2 BUM Desa sebagai Penggerak perekonomi Desa

PB 6 Penyusunan Peraturan di Desa ……….

SPB 6.1 Pokok-Pokok Penyusunan Peraturan di Desa …….

SPB 6.2 Strategi Fasilitasi Penyusunan Peraturan di Desa ..

PB 7 Penguatan Keberdayaan Masyarakat ……….

SPB 7.1 Pemberdayaan Masyarakat Desa ……….

SPB 7.2 Strategi Penguatan Kader Pemberdayaan

Masyarakat Desa ………..

SPB 7.3 Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakatan

Desa ………..

PB 8 Peningkatan Kapasitas Masyarakat Melalui Pelatihan ………….

SPB 8.1 Konsep Pelatihan Masyarakat ………

SPB 8.2 Keterampilan Dasar Melatih ………

PB 9 Pendampingan ………..

SPB 9.1 Konsep dan Kebijakan Pendampingan ………

SPB 9.2 Keterampilan Pendamping ……….

SPB 9.3 Kinerja Pendamping ……….

PB 10 Membangun Tim Kerja di Desa ………

SPB 10.1 Kerjasama Tim di Desa ………

SPB 10.2 Membangun Jejaring ………...

PB 11 Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL) ……….

SPB 11.1 Pokok-Pokok RKTL ………

SPB 11.2 Menyusun RKTL ………..


(13)

BAB

I


(14)

(15)

Kehadiran Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) menandai babak baru dan perubahan dalam politik pembangunan nasional, dimana Desa menjadi titik tumpu yang mendapatkan perhatian serius. UU Desa diyakini sebagai gerbang harapan menuju kehidupan berdesa yang lebih maju. Sebagai dasar hukum bagi keberadaan Desa, UU Desa mengonstruksi cara pandang baru praksis berdesa (pemerintahan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa). Desa diakui dan dikukuhkan sebagai subjek yang mengatur dan mengurus dirinya sendiri.

Perubahan dan paradigma baru atas Desa itu sangat penting mengingat kondisi objektif dan dinamika desa-desa di Indonesia yang secara umum masih memprihatinkan. Desa identik dengan ketertinggalan dalam semua aspek kehidupan. Kewenangan mengatur dan mengurus dirinya sendiri yang dibarengi dengan memberikan hak-hak Desa, sehingga Desa memiliki kemampuan finansial yang memadai guna melaksanakan kewenangannya, sebagaimana ditegaskan UU Desa, menjadi faktor penggerak peningkatan pembangunan desa yang sekaligus menjadi ruang krusial implementasi UU Desa.

Pembangunan desa sebagai sistem yang dikonstruksi UU Desa, menempatkan masyarakat pada posisi strategis, sebagai sebjek pembangunan. Dengan demikian, masyarakat memiliki ruang dan peran strategis dalam tata kelola Desa, termasuk di dalamnya penyelenggaraan pembangunan Desa. Isu penting dalam konteks ini adalah peningkatan keberdayaan masyarakat, sehingga masyarakat memiliki daya desak yang efektif untuk mewujudkan tata kelola Desa yang baik dan penyelenggaraan pembangunan yang sesuai dan memenuhi aspirasi masyarakat.

Dalam kerangka itulah, Pemerintah menetapkan kebijakan pendampingan

sebagaimana tercantum pada Pasal 2 Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Tahun 2015, yang bertujuan:

 Meningkatkan kapasitas, efektivitas, dan akuntabilitas pemerintahan desa dan pembangunan Desa;

 Meningkatkan prakarsa, kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan desa yang pertisipatif;

 Meningkatkan sinergi program pembangunan desa antar sektor; dan

 Mengoptimalkan aset lokal Desa secara emansipatoris.

Mengingat luasnya ruang lingkup implementasi UU Desa, Pemerintah dalam melaksanakan fungsi pendampingan, dapat melimpahkan sebagaian kewenangannya kepada tenaga ahli profesional dan pihak ketiga (Pasal 112, ayat 4 UU Desa dan Pasal 128, ayat 2 PP 43). Tenaga ahli profesional dimaksud adalah pendamping desa, tenaga teknik dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa (Pasal 5 Permendesa No. 3/2015), termasuk diantaranya adalah Pendamping Lokal Desa (Pasal 129, ayat 1 (a) PP No. 47 Tahun 2015). Dengan demikian, PLD yang akan berhubungan langsung secara


(16)

Salah satu faktor penentu keberhasilan pendampingan adalah kapasitas pendamping, khususnya PLD. Kapasitas dimaksud menunjuk pada kompetensi yang mencakup: (1) pengetahuan tentang perspektif dan kebijakan UU Desa, (2) keterampilan teknis dan fasilitasi pemerintah dan masyarakat Desa dalam mewujudkan tata kelola Desa yang baik, dan (3) sikap kerja yang sesuai dengan tuntutan kinerja pendamping profesional. Upaya meningkatkan kapasitas pendamping oleh Pemerintah, dalam hal ini, Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dilakukan melalui kebijakan pelatihan yang mencakup serangkaian kegiatan latihan, salah satunya adalah pelatihan pra tugas bagi pendamping, khususnya PLD, sebagai pembekalan agar dapat melaksanakan fungsi dan tugasnya secara optimal.

TUJUAN PELATIHAN

Secara umum tujuan pelatihan pra tugas Pendamping Lokal Desa adalah untuk memberikan orientasi dan pembekalan agar siap secara mental, pengetahuan, dan keterampilan sebelum diterjunkan di lokasi tugas.

Secara khusus pelatihan pra tugas Pendamping Lokal Desa bertujuan untuk:

 Memberikan orientasi dan pembekalan kepada Pendamping Lokal Desa sebelum

bertugas di lapangan;

 Meningkatkan pemahaman Pendamping Lokal Desa tentang latar belakang, tujuan,

kebijakan, prinsip-prinsip, prosedur dan ketentuan program pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa;

 Meningkatkan keterampilan Pendamping Lokal Desa dalam memfasilitasi proses perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelestarian program;

 Meningkatkan keterampilan Pendamping Lokal Desa dalam memahami mekanisme

pendampingan;

 Meningkatkan keterampilan dalam membina dan memberi pengarahan kepada

Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa;

 Menumbuhkan komitmen dan sikap kepedulian Pendamping Lokal Desa terhadap


(17)

Mengacu pada Kerangka Acuan Kerja Pendamping Lokal Desa (PLD) yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tahun 2016, ruang lingkup tugas PLD adalah:

No Tugas Pokok Output Kerja Indikator Output

1 Mendampingi

Desa dalam perencanaan pembangunan dan keuangan Desa Perencanaan dan penganggaran Desa berjalan sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku

a) Terlaksananya sosialisasi UU NO. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan turunannya;

b) Terfasilitasinya musyawarah Desa yang partisipatif untuk menyusun RPJM Desa, RKP Desa, dan APB Desa;

c) Tersusunnya rancangan peraturan Desa tentang kewenangan lokal berskala Desa dan kewenangan Desa berdasarkan hak asal usul dan peraturan lain yang diperlukan.

2 Mendampingi

Desa dalam pelaksanaan pembangunan Desa Pelaksanaan pembangunan Desa berjalan sesuai aturan dan ketentuan yang berlaku

a) Adanya koordinasi dengan PD dan pihak terkait mengenai pembangunan Desa;

b) Terfasilitasinya kerjasama antar Desa; c) Terfasilitasinya pelaksanaan

pembangunan Desa yang sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik; d) Terfasilitasinya ketersediaan informasi

publik terkait pembangunan Desa.

3 Mendampingi

masyarakat Desa dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat dan Desa

Penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat dan Desa dengan melibatkan kelompok perempuan, difabel/berkebutuhan khusus, kelompok masyarakat miskin dan marginal.

Terlaksananya kegiatan peningkatan kapasitas kader desa, masyarakat dan kelembagaan Desa.

4 Mendampingi

Desa dalam pemantauan dan evaluasi kegiatan pembangunan Desa Proses pelaksanaan dan evaluasi kegiatan pembangunan Desa berjalan sesuai ketentuan yang berlaku.

a) Terlaksana peningkatan kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pembangunan Desa;

b) Terlaksananya evaluasi pembangunan Desa melalui musyawarah Desa; c) Masyarakat terlibat dalam pelaksanaan


(18)

Materi Pelatihan ini dirumuskan berdasarkan hasil kajian terhadap kompetensi dasar yang harus dimiliki sesuai kerangka acuan kerja yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa. Selanjutnya hasil analisis terhadap kompetensi PLD disusun berdasarkan tingkat penguasaan kompetensi (K1) Pengetahuan, (K2) Sikap dan (K3) Keterampilan yang merujuk pada taksonomi Bloom dan Kartwohl (2001) dengan indikator kedalaman materi sebagai berikut:

Tabel Ruang Lingkup Materi sesuai Tingkat Kompetensi

K1 (Pengetahuan) K2 (Sikap) K3 (Keterampilan)

1. Mengetahuan; 1. Penerimaan 1. Meniru

2. Memahami; 2. Menanggapi 2. Memanipulasi

3. Mengaplikasikan; 3. Penilaian (valuing) 3. Pengalamiahan

4. Menganalisis; 4. Mengorganisasikan 4. Artikulasi

5. Mensintesis; 5. Karakterisasi

6. Mengevaluasi.

Secara rinci setiap pokok-pokok materi ditetapkan tingkat keluasan dan kedalamnya berupa kisi-kisi materi pelatihan yang akan memandu pelatih dalam proses pembelajarannya. Kisi-kisi materi pelatihan diuraikan sebagai berikut:

NO RUMPUN POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN

KOMPETENSI JP K1 (P) K2 (K) K3 (S) Pre Test

1 Bina Suasana

dan Orientasi Latihan 1. Dinamika Kelompok dan Pengorganisasia n Peserta

1.1. Perkenalan 1 2”

1.2. Pengungkapan Harapan peserta

1

1.3. Tujuan dan Proses Pelatihan

1

1.4. Tata Tertib Pelatihan 3 2

2 Perspektif dan

Kebijakan

2. Desa dan Visi Undang-Undang Desa

2.1. Kondisi dan Dinamika Desa

2 3”

2.2. UU Desa sebagai Cara Pandang dan Sarana Menuju Keberdayaan Desa

1,2

3. Tata Kelola Desa 3.1. Kelembagaan dalam Tata

Kelola Desa 1 4”

3.2. Musyawarah Desa sebagai Basis Tata


(19)

(P) (K) (S)

Demokratisasi Desa

3.3. Prinsip-Prinsip Tata Kelola Desa

1

3. Penyelenggaraan

Pemerintahan danPembanguna n Desa

4. Pembangunan Desa

4.1. Sistem Pembangunan Desa

1 16”

1.2. Perencanaan

Pembangunan Desa

1,3 2

1.3. Pengelolaan Keuangan

Desa

1,2 2

5. Pengembangan Ekonomi Desa

5.1. Arah dan Orientasi Pengembangan Ekonomi Desa

1 2”

5.2. BUM Desa sebagai Penggerak perekonomi Desa

1

6. Penyusunan Peraturan di Desa

6.1. Pokok-Pokok

Penyusunan Peraturan di Desa

1 2”

6.2. Strategi Fasilitasi Penyusunan Peraturan di Desa

1

4 Pemberdayaan 7. Penguatan

Keberdayaan Masyarakat

7.1. Pemberdayaan Masyarakat Desa

2 5”

7.2. Strategi Penguatan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

1

7.3. Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakatan Desa 1 8. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Melalui Pelatihan

8.1. Konsep Pelatihan Masyarakat

1 4”

8.2. Keterampilan Dasar

Melatih 2

5 Pendampingan 9. Pendampingan 9.1. Konsep dan Kebijakan

Pendampingan

2 8”

9.2. Keterampilan Pendamping

2

9.3. Kinerja Pendamping 2

10. Membangun Tim Kerja di Desa

10.1. Kerjasama Tim di Desa 2 2”

10.3. Membangun Jejaring 2


(20)

(P) (K) (S)

RKTL 11.2. Menyusun RKTL 3

Post Test Evaluasi


(21)

. Pokok Bahasan Kompetensi Dasar Indikator Keberhasilan Bahasan Metode Media JP

1. Bina Suasana

dan Orientasi Pelatihan

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memberikan respon bagi situasi yang kondusif untuk proses pelatihan

Peserta dapat:  mengatasi situasi

keterasingan

 mengatasi hambatan

psikologis/kecanggugan  saling mengenal antar

peserta dan fasilitator

1.1.Perkenalan Permainan 30”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui harapan yang hendak dicapai selama mengikuti pelatihan

Dapat mengungkapkan kebutuhan, manfaat, dll, yang hendak diperoleh dari mengikuti pelatihan ini

1.2. Pengungkapa n Harapan Peserta Penugasan Perorangan Lembar Kerja Perorangan 15” Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami tujuan dan proses pelatihan ini

Dapat menjelaskan:  tujuan pelatihan

 alur dan kegiatan yang akan dilakukan selama mengikuti pelatihan ini

1.3. Tujuan dan Proses Pelatihan

1. Presentasi 2.Tanya jawab

Slide 15”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memberikan respon bagi terciptanya

Dapat:

 mengenali situasi yang menggangu proses pelatihan

1.4. Tata Tertib Peatihan


(22)

situasi yang tertib selama proses pelatihan

 menyatakan hal-hal yang menjamin ketertiban selama proses pelatihan

 merumuskan aturan

bersama untuk ditaati 2. Desa dan Visi

Undang-Undang Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami kondisi dan dinamika Desa pada umumnya

Dapat menjelaskan:

 penyebab ketertinggalan Desa

 aspek-aspek ketertinggalan Desa

 dampak dari ketertinggalan dimaksud

2.1.Kondisi dan Dinamika Desa 1. Penugasan perorangan 2. Curah pendapat

Lembar Curah Pendapat 45” Setelah mengikuti

sesi ini, peserta:

 mengetahui cara

pandang UU Desa

 memahami

amanat UU Desa untuk mengubah kondisi/keterting galan Desa

Dapat menyebutkan dan mengemukakan:

 perspektif yang mendasari UU Desa

 pengertian azas rekognisi dan subsidiaritas

 keterkaitan azas dengan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa  hakikat Desa sebagai

organisasi warga yang berpemerintahan

 keleluasaan untuk mengatur dan mengurus dirinya

2.2. UU Desa sebagai Cara Pandang dan Sarana Menuju Keberdayaan Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Presentasi 3. Tanya jawab 4. Penugasa n Kelompok  Slide

 Lembar Kerja Kelompok

 UU No.6/2014


(23)

sendiri

 keharusan mengelola Desa secara demokratis dan inklusif

 penyerahan hak Desa oleh Negara (DD, ADD)

 Tri Matra Desa 3. Tata Kelola

Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui

kelembagaan dalam tata kelola Desa

Dapat menyebutkan dan mengemukakan:

 Pemangku Kepentingan

dalam tata kelola Desa  Pelaku dalam pemerintahan

Desa

 kelompok pelaku strategis dalam masyarakat

 hubungan antar pelaku

kunci 3.1.Kelembagaan dalam Tata Kelola Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Penugasa n Kelompok 3. Presentasi

 Lembar Kerja Kelompok  Slide Presentasi

60”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami fungsi strategis Musyawarah Desa sebagai basis tata kelola dan demokratisasi Desa

Dapat menjelaskan:

 hakikat Musyawarah Desa

 penyelenggara Musyawarah

Desa

 cakupan materi yang harus dibahas dalam Musyawarah Desa

 peserta Musyawarah Desa

3.2. Musyawarah Desa sebagai Basis Tata Kelola dan Penggerak Demokratisasi Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Penugasa n Kelompok


(24)

 kedaulatan peserta Musyawarah Desa

 pengambilan keputusan

dalam Musyawarah Desa Setelah mengikuti

sesi ini, peserta mengetahui prinsip-prinsip tata kelola Desa

Dapat:

 menyebutkan prinsip-prinsip tata kelola (partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas)

 mengemukakan pengertian

prinsip-prinsip diatas

 menunjukkan cara

mewujudkan prinsip-prinsip diatas 3.3 Prinsip-Prinsip Tata Kelola Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Diskusi 3. Presentasi

 Lembar Diskusi  Slide Presentasi

60”

4. Pembangunan

Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui sistem pembangunan Desa

Dapat:

 mengemukakan tujuan

pembangunan Desa

 menyebutkan pemangku

kepentingan pembangunan Desa

 mengemukakan pengertian

pendekatan “Desa Membangun”

 mengemukakan kaidah

pembangunan Desa (sesuai prinsip tata kelola Desa,

4.1. Sistem

Pembangunan Desa 1. Penugasan perorangan 2. Curah Pendapat 3. Penugasan Kelompok 4. Presentasi

 Lembar Curah

Pendapat  Lembar Kerja

Kelompok  Slide Presentasi


(25)

mencakup semua aspek kehidupan berdesa, prakarsa dan keswadayaan warga, inklusif)

 mengemukakan kaitan

pembangunan Desa dengan keharusan mengurus dirinya sendiri

 mengemukakan

pembangunan Desa sebagai perwujudan kewenangan lokal berskala Desa

 mengemukakan

pembangunan sebagai proses yang sistematis Setelah mengikuti

sesi ini, peserta:

 mengetahui pokok-pokok perencanaan pembangunan Desa  memberikan respon terhadap perwujudan prinsip-prinsip Dapat:

 mengemukakan pengertian

perencanaan pembangunan Desa

 menyebutkan jenis dokumen

perencanaan pembangunan Desa

 mengemukakan alur proses

dan tahapan kegiatan penyusunan RPJM Desa

 mengemukakan alur proses

4.2.Perencanaan Pembangunan Desa 1. Penugasan perorangan 2. Diskusi 3. Penugasan Kelompok 4. Presentasi

 Lembar Diskusi  Lembar Penugasan

Kelompok  Slide

270


(26)

tata kelola

 menerapkan

pengetahuan untuk memfasilitasi perbaikan perencanaan pembangunan Desa

dan tahapan kegiatan penyusunan RKP Desa

 mengemukakan

pokok-pokok materi/isi RKP Desa

 mengemukakan alur proses

dan tahapan kegiatan penyusunan APB Desa

 mengemukakan struktur APB

Desa

Dapat menunjukkan cara mewujudkan prinsip-prinsip (partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas) dalam alur proses dan tahapan kegiatan

perencanaan pembangunan Desa

Dapat:

 memfasilitasi keterwakilan perempuan dalam Tim Penyusun RPJM Desa  memfasilitasi penyusunan

rencana kerja Tim Penyusun RPJM Desa


(27)

data dan sketsa desa  memfasilitasi kajian potensi

dan masalah desa

 memfasilitasi penyusunan Rancangan RKP Desa  memfasilitasi penyusunan

belanja bidang pembinaan kemasyarakatan

danpemberdayaan  memfasilitasi perhitungan

alokasi Siltap dan

Operasional terkait dengan pendapatan dari swadaya Setelah mengikuti

sesi ini, peserta:

 mengetahui pokok-pokok pengelolaan keuangan Desa  memberikan respon terhadap perwujudan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Desa  menggunakan Dapat:

 mengemukakan pengertian

pengelolaan keuangan Desa

 mengemukakan alur proses

dan tahapan kegiatan pengelolaan keuangan Desa

 mengemukakan ketentuan

pokok pengelolaan keuangan Desa

 mengemukakan

prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Desa 4.3.Pengelolaan Keuangan Desa 1. Penugasan perorangan 2. Curah Pendapat 3. Penugasan Kelompok 4. Presentasi

 Lembar Kerja Perorangan  Lembar Curah

Pendapat  Lembar Kerja

Kelompok  Slide

360


(28)

pengetahuanuntu k memfasilitasi perbaikan pengelolaan keuangan Desa

Dapat menunjukkan cara mewujudkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan Desa dalam tahapan kegiatan pengelolaan keuangan Desa Dapat:

 memfasilitasi penyusunan RAB/RPD

 memfasilitasi pengajuan SPP  memfasilitasi penyusunan

rencana kerja pelaksanaan kegiatan

 memfasilitasi proses pengadaan barang dan jasa di Desa

 memfasilitasi keterwakilan perempuan dalam

pembentukan pelaksana kegiatan

 memfasilitasi pengerjaan buku kas umum

 memfasilitasi penyusunan laporan realisasi APB Desa

5. Pengembanga

n Ekonomi

Setelah mengikuti sesi ini, peserta

Dapat:

 mengidentifikasi potensi

5.1. Arah dan Orientasi

1. Penugasa

n

 Lembar Curah Pendapat


(29)

Desa mengetahui arah dan orientasi pengembangan ekonomi Desa pengembangan ekonomi desa

 menjelaskan peran Desa dalam penguasaan aset-aset strategis di Desa

 menjelaskan kepemilikan kolektif atas kegiatan usaha ekonomi Desa Pengembanga n Ekonomi Desa peroranga n 2. Curah Pendapa 3. Presentasi

 Slide Presentasi

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui fungsi dan peran BUM Desa sebagai penggerak perekonomi Desa

Dapat menyebutkan fungsi dan peran BUM Desa dalam

pengembangan ekonomi desa

5.2. BUM Desa sebagai Penggerak perekonomi Desa 1. Diskusi 2. Presentasi

 Lembar Diskusi  Slide

45”

6. Penyusunan

Peraturan di Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui pokok-pokok penyusunan peraturan di Desa

Dapat:

 mengungkapkan fungsi

peraturan

 menyebutkan jenis

peraturan di Desa

 mengemukakan kaidah

penyusunan peraturan  menyusun sistematika

peraturan

6.1. Pokok-Pokok Penyusunan Peraturan di Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Diskusi 3. Role Play

LembarDiskusi 60”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui strategi

Dapat:

 mencatat permasalahan

terkait materi peraturan

6.2. Strategi Fasilitasi Penyusunan


(30)

memfasilitasi penyusunan peraturan di Desa

yang disusun

 menentukan narasumber

yang terkait permasalahan dimaksud  menyampaikan permasalahan dimaksud kepada narasumber  menyediakan contoh/rujukan peraturan yang sesuai Peraturan di Desa

7. Penguatan

Keberdayaan Masyarakat

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami konsep pemberdayaan masyarakat

Dapatmenjelaskan:

 pemberdayaan sebagai

proses sosial-politik

 tahapan pemberdayaan

masyarakat

 pemberdayaan bertumpu

pada hak-hak masyarakat

 pemberdayaan untuk

meningkatkan posisi dan daya tawar masyarakat

 pemberdayaan untuk

mewujudkan kemandirian masyarakat

7.1. Pemberdayaa n Masyarakat Desa 1. Penugasa n peroranga n 2. Diskusi 3. Presentasi

 Lembar Diskusi Kelompok  SlidePresentasi

45”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui strategi

Dapat:

 mengenali

kekurangan/kelemahan

7.2. Strategi Penguatan Kader

1. Diskusi 2. Role Play


(31)

penguatan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

KPMD

 mengenali penyebab

kekurangan/kelemahan dimaksud

 menentukan cara untuk

mengatasi

kekurangan/kelemahan dimaksud

Dapat menggunakan

teknikkomunikasi inter personal  Diskusi Kelompok Terarah

Pemberdayaa n Masyarakat Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui strategi penguatan Lembaga Kemasyarakatan Desa

Dapat:

 mengidentifikasi kekurangan/kelemahan Lembaga Kemasyarakatan Desa

 menguraikan penyebab

kekurangan/kelemahan dimaksud

 merumuskan cara untuk

mengatasikekurangan/kelem ahan dimaksud

Dapat menggunakan teknik

7.3.Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakat an Desa

1. Diskusi 2. Role Play


(32)

Diskusi Kelompok Terarah

8. Peningkatan

Kapasitas Masyarakat Melalui Pelatihan

Setelah mengikuti sesi ini, peserta mengetahui konsep pelatihan masyarakat

Dapatmengemukakan:  pengertian

pelatihanmasyarakat  pendekatan pelatihan

masyarakat

 tujuan pelatihan masyarakat

 menyebutkan aspek-aspek

kompetensi 8.1 Konsep Pelatihan Masyarakat 1. Penugasa n peroranga n 2. Curah Pendapat 3. Presentasi

 Lembar Curah Pendapat  Slide Presentasi

45”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta dapat menerapkan

keterampilan dasar melatih untuk memfasilitasi pelatihan

Dapat mengemukakan jenis-jenis keterampilan dasar yang harus dimiliki untuk melatih (komunikasi, mendengar, mengapresiasi, dan mengendalikan forum) Mempraktikkan teknik:  bertanya  mendengar  mengapresiasi

 mengendalikan forum

8.2. Keterampilan Dasar Melatih 1. Diskusi 2. Praktik  LembarDiskusi  LembarPraktik 135 ”

9. Pendampingan Setelah mengikuti

sesi ini, peserta memahami konsep pendampingan

Dapat menjelaskan:

 pengertian pendampingan

 tujuan pendampingan

 misi pendampingan

9.1. Konsep dan Kebijakan Pendampinga n 1. Penugasa n peroranga n LembarDiskusiKelompo k 45”


(33)

masyarakat  tanggungjawab dan tugas pendamping

 klasifikasi dan jenis pendamping  posisi PLD

2. Diskusi Kelompok

Setelah mengikuti sesi ini, peserta menerapkan keterampilan fasilitasi dalam pelaksanaan kegiatan pendampingan Dapat mempraktikkan:

 teknik mengelola dinamika kelompok

 teknik membangun

kesadaran kritis

 teknik merumuskan gagasan

bersama

9.2.Keterampilan Pendamping

Praktik 225

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami evaluasi kinerja PLD

Dapat menjelaskan:  pengertian kinerja

 ketentuan evaluasi kinerja  mekanisme evaluasi kinerja  aspek-aspek yang dievaluasi  tindak lanjut hasil evaluasi

kinerja

9.3. Kinerja Pendamping 1. Diskusi 2. Presentasi  LembarDiskusi  Slide 90”

10. Membangun

Tim Kerja di Desa

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami peta pemangku

kepentingan di Desa

Dapat menjelasan:  pelaku kunci di Desa  fungsi dan peran para

pelaku

 hubungan/relasi antar pelaku

10.1. Kerjasama Tim di Desa

1. Penugasa

n

peroranga n

2. Diskusi


(34)

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami kerjasama dan jejaring pelaku

Dapat menjelaskan:

 kondisi yang mendukung

terjalin kerjasama

 manfaat melakukan

kerjasama

 bentuk jejaring pelaku di Desa

 pola kerja jaringan pelaku di Desa

10.2. Membangun Jejaring

Diskusi 15”

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami strategi membangun jejaring

Dapat:

 menentukan

masalah/kebutuhan yang dihadapi

 menentukan pihak-pihak

yang terkait secara langsung

 mendorong para pihak

mencapai kesepakatan untuk tindak lanjut terkait

masalah/kebutuhan yang dihadapi

Simulasi 45”

11. Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL)

Setelah mengikuti sesi ini, peserta memahami rencana kerja tindak lanjut

Dapat menjelaskan:  fungsi RKTL

 kaidah penyusunan RKTL

 aspek-aspek pokok dalam RKTL

11.1. Pokok-Pokok RKTL


(35)

Setelah mengikuti sesi ini, peserta menggunakan pengetahuan untuk menyusun RKTL

Dapat menyusun RKTL 11.2. Menyusun

RKTL

Penugasan Perorangan

Lembar Kerja Perorangan

60”

Evaluasi Setelah mengikuti

sesi ini, peserta mengetahui efektivitas pelaksanaan pelatihan

Dapat menilai:

1. kesesuaian modul pelatihan kapasitas Pelatih

2. efektivitas kerja Penyelenggara

1. Evaluasi Modul 2. Evaluasi

Pelatih 3. Evaluasi

Reaksi

Penugasan Perorangan


(36)

opsional yang dapat dikembangkan oleh penyelenggara pelatihan, tim fasilitator, pelatihan dan pihak ketiga. Adapun bentuk yang dikembangkan adalah:

- Pre dan Post test

Merupakan evaluasi tertulis untuk melihat sejauhmana peningkatan pengetahuan peserta sebelum dan setelah pelatihan.

- Evaluasi pencapaian setiap sesi materi

Evaluasi ini dilakukan dengan metode yang sudah disusun dalam modul setiap SPB. Evaluasi ini untuk melihat sejuhmana indikator keberhasilan dalam setiap SPB dapat tercapai di setiap akhir sesi atau SPB.

- Refleksi harian

Evaluasi ini bertujuan untuk mendapatkan umpan balik harian baik dari sisi metodologi maupun dukungan penyelenggaraan dalam 1 hari, sehingga dapat dijadikan dasar dalam perbaikan hari selanjutnya. Hasil refleksi dan umpan balik harian ini akan sangat membantu bagaimana pelatihan dari ke hari akan lebih baik, dari sisi proses dan outputnya.

- Evaluasi penyelenggaraan akhir pelatihan

Pada hari terakhir pelatihan, dikembangkan proses umpan balik dan evaluasi oleh peserta. Evaluasi ini bertujuan untuk mengajak peserta menilai sejauhmana pelatihan baik dari sisi metodologi proses, dukungan logistik, partisipasi peserta, dan lain-lain, mampu meningkatkan kapasitas peserta. Evaluasi ini dapat dikembangkan dengan alat partisipatif terbuka, maupun tertutup dengan mengembangkan sejumlah daftar pertanyaan yang relevan.

- Evaluasi independen manajemen pelatihan secara keseluruhan

Jika ingin mengetahui seluruh rangkaian pelatihan sejak TNA, pengembangan paket pelatihan, pelaksanaan pelatihan hingga pasca pelatihan, maka perlu dilakukan evaluasi yang dilakukan oleh pihak independen secara professional. Evaluasi ini akan sangat membantu bagaimana manajemen pelatihan selanjutnya akan lebih professional.[]


(37)

BAB

II


(38)

Modul Pelatihan bagi Pendamping Lokal Desa (PLD) ini merupakan bahan pelatihan yang akan dijadikan sebagai bahan pembekalan sekaligus panduan bagi Tenaga Ahli Kabupaten dan Pendamping Desa dalam mendorong implementasi UU Desa melalui pelatihan yang akan mereka sampaikan kepada Pendamping Lokal Desa. Diharapkan nantinya, melalui Modul Pelatihan ini, PLD memiliki persepsi yang benar mengenai UU Desa serta terbangun komitmennya untuk terlibat dalam proses mendorong Desa dalam proses pembangunan.

Modul ini dimaksudkan untuk memandu pelatih dalam memfasilitasi proses pelatihan di tingkat kecamatan. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan kondisi di lapangan, bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami secara baik dan benar substansi UU Desa berikut proses implementasinya. Dari hasil analisis kebutuhan pelatihan menunjukkan bahwa kondisi pendamping desa menunjukkan tingkat pemahaman yang berbeda tentang implementasi Undang-Undang Desa sesuai dengan latar belakang, karakteristik wilayah, dan kondisi sosial yang ada.

Pengalaman menjalani proses pembangunan yang sentralistik semasa era Orde Baru (Government Driven Development) yang kemudian berubah menjadi pembangunan partisipatif yang mengedepankan masyarakat sebagai pelaku (Community Driven Development) ternyata masih memiliki kelemahan di mana penguatan di masyarakat tidak diiringi penguatan kepada pemerintah desanya. Padahal, sesuai dengan amanat UU Desa, Desa merupakan subyek pembangunan, persis pada kondisi ini Desa sebagai keseluruhan mencakup pemerintahan desanya serta masyarakat desa, seluruhnya. Desa pada akhirnya merupakan perpaduan antara Local Self Government (LSG) serta Self Governing Community (SGC) sekaligus.

Desa sebagai masyarakat yang berpemerintahan (LSG) menentukan pemerintahannya sendiri (SGC), membutuhkan pendekatan yang holistik dan integral. Perpaduan konsep antara LSG dan SGC membutuhkan pemahaman yang jernih bagi setiap pelaku pemberdayaan, terutama sekali bagi siapa pun yang berkomitmen dengan desa. Untuk itulah Modul ini dibuat.

Maksud dan Tujuan

Modul pelatihan ini dimaksudkan untuk :

1. Menyamakan persepsi dan konsep pendampingan desa berbasis pedekatan Desa sebagai Subyek (Village Driven Development- VDD) seperti diamanatkan dalam UU Desa;

2. Mempersiapkan calon Pendamping Desa untuk bisa memfasilitasi proses pelatihan

tenaga Pendamping Lokal Desa yang memiliki komitmen dalam rangka mendorong Desa untuk secara optimal mampu mengimplementasikan proses pembangunan dengan semangat UU Desa;

Dengan sasaran pengguna tersebut, maka format modul yang disiapkan menjawab kebutuhan pengguna. Modul Pelatihan : menjadi modul pegangan pelatih. Namun demikian, modul ini juga bisa dipakai oleh siapa saja yang memiliki kepedulian dan


(39)

Bagaimana Modul Pelatihan ini Disusun?

Direktorat Jenderal Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mendorong disusunnya Modul Pelatihan bagi Pendamping Lokal Desa melalui :

a) Kajian Kebutuan : melalui evaluasi atas hasil pelatihan tahun sebelumya dan realitas kebutuhan di lapangan atas dinamika yang terjadi dalam implementasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa.

b) Penyusunan Draft Modul : Draft Modul Pelatihan Pendamping Lokasl Desa disusun

oleh Tim yang terdiri dari Tim Penyusun Modul dari Seknas P3MD, KNPKMD, KNPP, KNPPD serta didukung oleh Tim dari World Bank. Dilengkapidengan Bahan Bacaan dan bahan tayang secara terpisah.

c) Workshop Penyelesaian Penulisan Modul, Kurikulum dan Bahan Bacaan Pelatihan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Tahun Anggaran 2016 : Workshop ini sebagai bagian penting untuk membedah Draft Modul I hingga menjadi Modul siap pakai di lapangan;

Modul ini telah mengalami berbagai penyesuaian melalui proses penelaahan, konsultasi dan masukan dari berbagai pihak terutama dari pelatih senior dan pendamping desa yang ada di lapangan. Oleh karena itu modul pelatihan ini dapat diibaratkan sebagai buku berjalan yang memberikan peluang bagi pembaca atau pengguna dalam memberikan warna dan penyesuaian sesuai dengan kaidah pembelajaran dan kebutuhan.

Sistematika dan Isi Modul

Modul pelatihan ini dirancang menggunakan standar format yang menyertakan pokok-pokok materi, panduan pelatih, lembar kerja dan lembar tayang (presentasi atau beberan atau bahan paparan) yang bermanfaat bagi calon pelatih yang akan menyampaikan materi pelatihan. Modul pelatihan dikemas dalam bentuk panduan bagi pelatih agar mudah digunakan dan memungkinkan dan penyesuaian dengan kondisi lingkungan belajar peserta.

Modul pelatihan ini terdiri dari 11 Pokok Bahasan utama dan 29 Sub Ppokok Bahasan yang membahas kerangka isi, proses belajar, media dan penilaian terkait bagaimana visi UU Desa serta upaya-upaya implementasinya. Secara rinci struktur materi modul pelatihan ini dijelaskan sebagai berikut:

Pokok Bahasan

Sub Pokok Bahasan

1. Bina Suasana dan Orientasi Latihan

1.1. Perkenalan

1.2. Pengungkapan Harapan Peserta 1.3. Tujuan dan Proses latihan 1.4. Tata Tertib Latihan


(40)

Undang Desa 2.2. UU Desa sebagai Cara Pandang dan Sarana Menuju Keberdayaan Desa

3. Tata Kelola Desa 3.1.Kelembagaan dalam Tata Kelola Desa

3.2. Musyawarah Desa sebagai Basis Tata Kelola dan Penggerak Demokratisasi Desa

3.3. Prinsip-Prinsip Tata Kelola Desa

4. Pembangunan Desa 4.1. Sistem Pembangunan Desa

4.2.Perencanaan Pembangunan Desa 4.3. Pengelolaan Keuangan Desa 5. Pengembangan Ekonomi

Desa

5.1. Arah dan Orientasi Pengembangan Ekonomi Desa 5.2. BUM Desa sebagai Penggerak perekonomi Desa 6. Penyusunan Peraturan di

Desa

6.1. Pokok-Pokok Penyusunan Peraturan di Desa 6.2. Strategi Fasilitasi Penyusunan Peraturan di Desa 7. Penguatan Keberdayaan

Masyarakat

7.1. Pemberdayaan Masyarakat Desa

7.2. Strategi Penguatan Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa

7.3. Strategi Penguatan Lembaga Kemasyarakat-an Desa

8. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Melalui Pelatihan

8.1. Konsep Pelatihan Masyarakat 8.2. Keterampilan Dasar Melatih

9. Pendampingan 9.1. Konsep dan Kebijakan Pendampingan

9.2. Keterampilan Pendamping 9.3. Kinerja Pendamping

10. Membangun Tim Kerja di Desa

10.1. Kerjasama Tim di Desa 10.3. membangun Jejaring 11. Rencana Kerja Tindak

Lanjut (RKTL)

11.1. Rangkuman Hasil Pelatihan

11.2. Evaluasi Penyelenggaraan Pelatihan 11.3. Rencana Kerja Tindak Lanjut (RKTL)

Catatan

1. Modul Pelatihan Bukan Buku Ajar

Modul ini disusun sebagai koridor pembelajaran semata-mata, dan Modul ini didukung oleh BahanBacaan serta Bahan Tayang juga kelengkapan lain yang bisa digali oleh setiap pelatih sesuai dengankondisi setempat. Dan olah karenanya, Modul ini murni sebagai pemandu.Pengalaman dan kapabilitas Pelatih (Pendamping Desa dan juga Pendamping Teknis Kabupaten)akan sangat menentukan hasil dari desain modul yang dikembangkan. Untuk itu, Modul ini tidakdibaca sebagai buku


(41)

2. Kaidah Belajar Orang Dewasa

Modul pelatihan ini disusun berdasarkan kaidah-kaidah pendidikan orang dewasa, pelatih hendaknyatidak menggurui, melainkan sebagai fasilitator menjadi pengarah atau pengolah proses belajardan mengakumulasikan secara partisipatif-kreatif dari pengalaman yang telah dimiliki peserta. Sebagaisuatu pengalaman, modul ini

diperlakukan layaknya sebagai panduan bukan ―kitab suci‖ yangtidak boleh dirubah.Sebagian bahasan dalam modul pelatihan merupakan refleksi pengalaman para pemangku kepentinganyang terlibat dalam pendampingan desa. Penjelasan lebih diarahkan sebagai petunjuk praktisdan teknis bagi pelatih yang akan menggunakannya untuk keperluan pelatihan. Manfaat yang diharapkandari modul

ini, jika dipakai sebagai alat untuk menggali pengalaman dan

merefleksikannyadalam kehidupan nyata dalam berdesa.

3. Kreativitas dan Kondisi Lokal

Kreativitas pelatih/ fasilitator sangat menentukan dalam proses pengayaan serta kualitas pelatihanyang dilaksanakan. Modul pelatihan ini lebih efektif, jika digunakan

sepanjang tidak menyalahi aturanatau prinsip-prinsip dasar pendidikan

partisipatoris. Oleh karenanya, pelatih dapat :

a) Mengembangkan metodologi serta penggunaan media yang lebih bervariasi. Namundemikian, tujuan dari Modul ini harus tetap menjadi acuan dasar pelatihan.

b) Menggunakan media sekreatif mungkin;

c) Sebanyak mungkin mengangkat persoalan-persoalan atau issue-isuue yang

terjadi dilokasi pelatihan;

d) Menggunakan pengalaman peserta sebagai picu pengayaan dan pendalaman

materiOleh karena itu, mendalami dan memahami alur modul dari setiap pokok bahasan menjadi syaratmutlak untuk lebih leluasa dalam pelatihan. Jangan membatasi diri, kembangkan dan perkaya prosessecara kreatif serta memadukan dengan pengalaman peserta.

4. Cara Menggunakan Modul

Modul pelatihan ini memberikan beberapa petunjuk berupa pilihan belajar yang dapat digunakanoleh pelatih dalam memahami dan menyampaikan materi pelatihan. Setiap pokok bahasan atausubpokok bahasan berisi tema-tema atau aktivitas belajar yang disusun dengan menggunakanpendekatan induktif atau deduktif secara bergantian atau bersamaan. Hal ini sangat tergantungkarakteristik materi yang hendak disampaikan. Namun, demikian keselarasan, keterpaduan dankemudahan penyajian menjadi pertimbangan dalam menggunakan modul pelatihan ini. Oleh karenaitu, pahami kurikulum dan struktur anataomi modul pelatihan dengan benar, kemudian hubungkandengan struktur materi atau pokok bahasan yang disajikan, sehingga memudahkan mendalami substansimaupun metodologinya. Jika terdapat hal-hal yang membutuhkan penyesuaian atau


(42)

Dalam setiap bagian atau pokok bahasan terdiri dari beberapa subpokok bahasan atau modul dengantopik yang beragam dan dapat dipelajari secara mandiri sesuai dengan materi yang diperlukan.Masing-masing subpokok bahasan dalam modul ini menggambarkan urutan kegiatan pembelajarandan hal-hal pokok yang perlu dipahami tentang materi yang dipelajari serta keterkaitannya dengantopik lainnya.Dalam setiap subpokok bahasan dilengkapi dengan panduan pelatih yang membantu dalam mengarahkanproses, media dan sumber belajar, lembar kerja, lembar evaluasi dan lembar informasi ataubahan bacaan. Masing-masing disusun secara kronologis yang agar memudahkan bagi penggunadengan memberikan alternatif dalam memanfaatkan setiap subpokok bahasan secara luas danfleksibel. Setiap pokok bahasan dilengkapi dengan bahan bacaan pendukung yang dapat dibagikan secaraterpisah dari panduan pelatihan agar dapat dibaca peserta sebelum pelatihan di mulai. Pelatih jugadiperkenankan untuk menambah atau memperkaya bahan bacaan untuk setiap subpokok bahasanberupa artikel, buku, juklak/juknis dan kiat-kiat yang dianggap relevan.Disamping itu, pembaca di berikan alat bantu telusur berupa catatan diberikan termasuk ikon-ikonyang akan memandu dalam memahami karakteristik materi dan pola penyajian yang harus dilalukandalam pelatihan.


(43)

BAB

III


(44)

(45)

Pokok Bahasan

1

BINA SUASANA DANORIENTASI

PELATIHAN


(46)

(47)

Pokok Bahasan

2

DESA DAN VISI UNDANG-UNDANG

DESA


(48)

(49)

PB

2

Bahan Bacaan

Desa dan Visi UU Desa

BB 2.2.2

KERANGKA PIKIR UUDESA

A. Gambaran Umum

Perspektif dimaknai sebagai sikap dan keyakinan terhadap acuan dasar berpikir yang kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam memahami sebuah isu. Perspektif itu kemudian menuntun dan mengarahkan tindakan. Dengan demikian, ketepatan tindakan, khususnya dalam konteks pemandirian Desa, pemberdayaan masyarakat, ditentukan oleh ketepatan perspektif berpikir para pelakunya.

Perspektif tentang (misalnya) kemiskinan yang dianut seseorang, jelas akan menunjukkan sikap dan arah tindakan yang bersangkutan dalam upaya memberdayakan masyarakat. Penganut perspektif Ekonomis akan melihat kemiskinan

sebagai persoalan modal, teknologi produksi, pasar….‟ Seorang Pemberdaya kemudian

menuntun masyarakat pada berbagai kegiatan untuk mengakses - meningkatkan modal, keterampilan, bantuan mesin pengolah, dst. Sedangkan penganut perspektif Hak, meyakini kemiskinan terjadi karena tidak terpenuhinya hak masyarakat untuk hidup secara layak. Perspektif itu kemudian menuntun pelaku memasuki wilayah

„pemenuhuan kewajiban pemerintah‟ hal itu mengantarkan pada persoalan/isu tentang

tugas Negara, dan hubungan antara Negara dengan warga negaranya.

B. Perspektif UU No. 6 Tahun 2014

Bagaimana mengetahui atau memahami kerangka pikir yang mendasari konstruksi Undang-Undang Desa? kerangka pikir itu tentu tidak dinyatakan secara naratif atau langsung dapat terbaca dari pasal-demi pasal yang tertera dalam Undang-Undang Desa, tetapi akan terbaca apabila si pembaca memiliki wawasan/informasi yang

memadai tentang “aliran pemikiran” atau teori berkenaan dengan isu-isu tertentu terkait berbagai aspek penting tentang desa, baik dari segi sejarah, budaya, sosiologis, politik, pemerintahan, maupun hukum.


(50)

Cara pandang 1: memandang desa hanya sebagai wilayah administratif, yang kemudian melahirkan desa birokratis, dengan cirikhas: pemerintah desa lemah dan masyarakat juga lemah. Cara pandang ini terjadi juga dalam praktik, terbukti banyak desa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, yang tidak memiliki pemerintahan desa yang kuat dan masyarakat yang kuat. Desa semacam ini tidak menghadirkan kepala

desa sebagai pemimpin lokal yang kuat, kecuali hanya sebagai pesuruh atau “mandor”

yang meenjalankan tugas-tugas administratif dari atas. Desa tidak memberikan manfaat kepada warga secara hakiki, kecuali hanya memberikan pelayanan administratif. Demikian juga dengan kondisi masyarakat yang tidak memiliki inisiatif dan swadaya yang kuat, kecuali hanya tergantung pada bantuan dari pemerintah. Cara pandang 2: memandang desa sebagai kepanjangan tangan negara, atau disebut sebagai desa korporatis. Desa semacam ini menampilkan pemerintah desa, khususnya kepala desa, yang kuat dalam melayani warga dan mengontrol masyarakat, sebagaimana diterapkan oleh Orde Baru dengan UU No. 5/1979. Masyarakat sipil tidak tumbuh di desa, sehingga melahirkan kepala desa yang dominatif dan otokratis tanpa kontrol dari masyarakat.

Bagan: Tipologi cara pandang terhadap desa

Cara pandang 3: memandang desa sebagai persekutuan masyarakat (self governing community). Ada dua aliran dalam cara pandang ini. Pertama, aliran komunitarian klasik yang memuja komunitas (masyarakat adat), sebuah komunitas yang sangat kuat memiliki ikatan komunal dan kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya lokal sebagai property rights mereka. Termasuk memiliki demokrasi komunitarian, yakni demokrasi yang menolak kebebasan individu dan lebih mengutamakan kebaikan bersama. Kedua, aliran libertarian, yang memadang desa tidak perlu memiliki pemerintah desa yang


(51)

titik central perhatian cara pandang ini. Artinya setiap individu harus kuat, sadar akan hak-haknya, dan kemudian membangun modal sosial (social capital) serta melakukan aksi kolektif dalam wadah masyarakat untuk mencapai kehendak dan tujuan kolektif itu. Cara pandang 4: memandang desa bukan sekadar kampung halaman, perkumpulan komunitas, pemukiman penduduk atau wilayah administratif, tetapi sebagai entitas

seperti “Negara kecil”. Konsep “Negara Kecil” sengaja kami beri “tanda petik” karena

kami posisikan sebagai sebuah metafora yang bisa memudahkan pemahaman.

Metafora ini tentu serupa dengan Liefrinck van der Tuuk (1886-1887) yang membuat

metafora desa sebagai “republik kecil”, setelah dia melakukan penelitian di Buleleng

Bali Utara. Negara kecil bukanlah negara dalam negara, melainkan sebagai organisasi lokal yang memiliki wilayah, kekuasaan, rakyat, sumberdaya (agraria, hutan, sungai, dan sebagainya), livelihood, maupun budaya dan institusi (identitas, norma, nilai, aturan, lembaga, aktor, dll). Desa sebagai negara kecil memiliki pemerintahan yang kuat sekaligus masyarakat yang kuat. Sebagai negara kecil, desa mempunyai beberapa makna penting:

1. Sebagai negara kecil desa berfungsi sebagai basis sosial, basis politik, basis pemerintahan, basis ekonomi, basis budaya dan basis keamanan. Basis ini merupakan fondasi. Jika fondasi negara kecil ini kuat maka bangunan besar atau negara besar yang bernama NKRI akan menjadi lebih kokoh. Sebagai basis sosial, desa merupakan tempat menyemai dan merawat modal sosial (kohesi sosial, jembatan sosial, solidaritas sosial dan jaringan sosial) sehingga desa mampu bertenaga secara sosial. Sebagai basis politik, desa menyediakan arena kontestasi politik bagi kepemimpinan lokal, sekaligus arena representasi dan partisipasi warga dalam pemerintahan dan pembangunan desa. Dengan kalimat lain, desa menjadi arena bagi demokratisasi lokal yang paling kecil dan paling dekat dengan warga.Sebagai basis pemerintahan, desa memiliki organisasi dan tatapemerintahan yang mengelola kebijakan, perencanaan, keuangan dan layanan dasar yang bermanfaat untuk warga. Sebagai basis ekonomi, desa sebenarnya mempunyai aset-aset ekonomi (hutan, kebun, sawah, tambang, sungai, pasar, lumbung, perikanan darat, kerajinan, wisata, dan sebagainya), yang bermanfaat untuk sumber-sumber penghidupan bagi warga. Sudah banyak contoh yang memberi bukti-bukti tentang identitas ekonomi yang memberikan penghidupan bagi warga: desa cengkeh, desa kopi, desa vanili, desa keramik, desa genting, desa wisata, desa ikan, desa kakao, desa mau, desa garam, dan lain-lain.

2. Desa sebagai negara kecil bukan hanya sekadar obyek penerima bantuan

pemerintah, tetapi sebagai subyek yang mampu melakukan emansipasi lokal (atau otonomi dari dalam dan otonomi dari bawah) untuk mengembangkan asset-aset lokal sebagai sumber penghidupan bersama.


(52)

lokal yang dimanfaatkan secara kolektif untuk kemakmuran bersama.

4. Desa mempunyai pemerintah desa yang kuat dan mampu menjadi penggerak

potensi lokal dan memberikan perlindungan secara langsung terhadap warga, termasuk kaum marginal dan perempuan yang lemah.

5. Pemerintahan desa yang kuat bukan dimengerti dalam bentuk pemerintah dan kapala desa yang otokratis (misalnya dengan masa jabatan yang terlalu lama), tetapi lebih dalam bentuk pemerintahan desa yang mempunyai kewenangan dan anggaran memadai, sekaligus mempunyai tatapemerintahan demokratis yang dikontrol (check and balances) oleh institusi lokal seperti Badan Perwakilan Desa dan masyarakat setempat.

6. Desa tidak hanya memiliki lembaga kemasyarakatan korporatis (bentukan negara),

tetapi juga memiliki organisasi masyarakat sipil.

7. Desa bermartabat secara budaya, yang memiliki identitas atau sistem social budaya yang kuat, atau memiliki kearifan lokal yang kuat untuk mengelola masyarakat dan sumberdaya lokal.

Pesan pokok Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014, diletakkan dalam perspektif paduan antara konsep self governing community dengan Negara kecil (Local Self Government), dengan menekankan keberadaan Desa sebagai organisasi masyarakat yang berpemerintahan, yaitu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Mengatur ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa membuat produk hukum (Peraturan Desa, Peraturan Bersama Kepala Desa, dan Peraturan Kepala Desa). Mengurus ditunjukkan dengan hak dan kewenangan Desa untuk menyelenggarakan segala urusan yang menjadi kewenangan lokal desa, yang dijabarkan pelaksanaannya dalam empat bidang (penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan pembinaan kemasyarakatan).

Dengan demikian, Desa menjadi paduan antara entitas masyarakat dan pemerintah. Hal ini berbeda dengan praksis sebelumnya, baik dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan maupun pembangunan (misalnya melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan) yang cenderung melihat dan memilah masyarakat dengan pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda.

UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga merubah secara mendasar perspektif dan pola hubungan antara Desa dengan Negara. Desa sebagai sebuah entitas diakui keberadaan dan haknya, sebagaimana ditegaskan dalam azas Pengakuan/Rekognisi dan Subsidiaritas, dan Desa memiliki hubungan langsung dengan Negara, sebagaimana diwujudkan melalui Dana Desa.

Perspektif dan konstruksi yang demikian itu, diorientasikan untuk menguatkan kapasitas Desa menuju Desa yang maju, mandiri, dan demokratis dengan bertumpu pada nilai-nilai kegotongroyongan serta memulihkan kolektivisme/kebersamaan dan kepemilikan kolektif atas asset strategis Desa.


(53)

C. Kebijakan Baru tentang Desa

Lahirnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang selanjutnya, menjadi sebuah titik awal harapan desa untuk bisa menentukan posisi, peran dan kewenangan atas dirinya. Harapan supaya desa bisa bertenaga secara sosial dan berdaulat secara politik sebagai fondasi demokrasi desa, serta berdaya secara ekonomi dan bermartabat secara budaya sebagai wajah kemandirian desa dan pembangunan desa. Harapan tersebut semakin menggairah ketika muncul kombinasi antara azas rekognisi dan subsidiaritas sebagai azas utama yang menjadi jiwa dari undang-undang ini.

Undang-Undang Desa yang didukung PP No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dan PP No. 60 tentang, Dana Desa yang Bersumber dari APBN, telah memberikan pondasi dasar terkait dengan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa.

Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terdapat 6 (enam) kebijakan pokok yang mengatur tentang desa, yaitu:

1) Penambahan kewenangan desa yakni urusan yang menjadi kewenangan

kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa.

2) Kepastian sumber keuangan desa, yakni: alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh kabupaten/kota paling sedikit 10% (sepuluh perseratus) setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.

3) Memperkuat makna demokrasi desa berdasarkan nilai musyawarah untuk mufakat

dalam penetapan kebijakan desa, yakni merubah nomenklatur “Badan Perwakilan

Desa” menjadi “Badan Permusyawaratan Desa”.

4) Memperkuat kedudukan Kepala Desa sebagai Kepala Pemerintahan Desa agar

tercipta kesinambungan penyelenggaraan pemerintahan desa, yakni: (a) melarang Kepala Desa menjadi pengurus partai politik, (b) memastikan kedudukan keuangan kepala desa, dan (c) Kepala Desa bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota. 5) Dalam rangka meningkatkan kinerja penyelenggaraan administrasi pemerintahan

desa, Kepala Desa dibantu oleh Sekretariat Desa yang dipimpin Sekretaris Desa.

6) Pembentukan Desa merupakan tindakan mengadakan Desa baru di luar Desa yang

sudah ada dilakukan melalui Desa Persiapan.

D. Kewenangan Desa

Desa sebagai sebuah entitas pemerintahan otonom (otonomi asli) dijelaskan dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mempunyai kewenangan dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan Kemasyarakatan desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan adat istiadat. Selanjutnya dalam pasal 19 Kewenangan Desa meliputi: (a) kewenangan berdasarkan asal-usul; (b) kewenangan


(54)

pemerintah, pemerintah daerah Provinsi atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 19 dan 103 Undang-Undang Desa disebutkan, Desa dan Desa Adat

mempunyai empat kewenangan, meliputi:

1) Kewenangan berdasarkan hak asal usul. Hal ini bebeda dengan

perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan bahwa urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa;

2) Kewenangan lokal berskala Desa dimana desa mempunyai kewenangan penuh

untuk mengatur dan mengurus desanya. Berbeda dengan perundang-undangan sebelumnya yang menyebutkan, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

3) Kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota;

4) Kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan Desa berdasarkan hak asal-usul paling sedikit terdiri atas:

1) Sistem organisasi masyarakat desa;

2) Pembinaan kelembagaan masyarakat;

3) Pembinaan tanah kas Desa; dan

4) Pengembangan peran masyarakat desa.

Kewenangan lokal berskala desa paling sedikit terdiri atas:

1) Pengelolaan tambatan perahu;

2) Pengelolaan pasar desa;

3) Pengelolaan tempat pemandian umum;

4) Pengelolaan jaringan irigasi;

5) Pengelolaan lingkungan pemukiman masyarakat desa;

6) Pembinaan kesehatan masyarakat dan pengelolaan pos pelayanan terpadu;

7) Pengembangan dan pembiayaan sanggar seni dan belajar;

8) Pengelolaan perpustakaan desa dan taman bacaan;

9) Pengelolaan embung desa;

10) Pengelolaan air minum berskala desa; dan


(55)

pemerintah ke ranah desa. Pasal 20 Undang-Undang Desa menegaskan, bahwa pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan lokal berskala Desa (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf [a] dan [b] Undang-Undang Desa)

diatur dan diurus oleh Desa. Pasal ini terkait dengan Pasal 81 ayat (4 dan 5):

“Pembangunan lokal berskala Desa dilaksanakan sendiri oleh Desa” dan “Pelaksanaan

program sektoral yang masuk ke Desa diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk

diintegrasikan dengan Pembangunan Desa”.

Selain kewenangan di atas, menteri dapat mentapkan jenis kewenagan desa lain sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan lokal.

Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa akan berimplikasi sebagai berikut:

(1) Kewenangan memutuskan ada pada tingkat desa, sehingga terjadi: 1) pergeseran

kewenangan dari pemerintahan kabupaten/kota kepada Pemerintahan Desa, 2) peningkatan volume perumusan peraturan perundang-undangan di desa berupa Peraturan Desa, Peraturan Kepala Desa, dan Keputusan Kepala Desa.

(2) Adanya pembiayaan yang diberikan Kabupaten/Kota kepada Desa dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan tersebut, sehingga terjadi: 1) pergeseran anggaran dari pos perangkat daerah kepada pos pemerintahan desa, dan 2) adanya program pembangunan yang bisa mengatasi kebutuhan masyarakat Desa dalam skala desa.

(3) Adanya prakarsa dan inisiatif pemerintahan desa dalam mengembangkan aspek budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup di wilayahnya sesuai ruang lingkup kewenangan yang diserahkan.

(4) Adanya prakarsa dan kewenangan memutuskan oleh Pemerintah Desa sesuai

kebutuhan masyarakat Desa, sehingga keterlibatan seluruh pemangku kepentingan (Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan, dan Masyarakat Desa) dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawsan pembangunan semakin lebih maksimal.

(5) Bila semua kebutuhan lokal dapat teratasi oleh Pemerintah Desa diharapkan akan

semakin meningkat partisipasi masyarakat dalam mendukung keberhasilan program pemerintah.


(56)

PB

2

Bahan Bacaan

Desa dan Visi UU Desa

BB 2.2.3

MATRA PEMBANGUNAN DESA

Upaya pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa hendak dikuatkan dengan menyelesaikan masalah-masalah yang menjadi halangan utama bagi kemajuan dan kemandirian Desa. Di sisi lain, upaya tersebut juga diharapkan mampu dikembangkan sebagai daya lenting bagi peningkatan kesejahteraan kehidupan Desa. Teknokratisme Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa berdiri di atas tiga matra.

Pertama, Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu Desa). Matra ini diarahkan untuk mengarusutamakan penguatan kapabilitas manusia sebagai inti pembangunan desa sehingga mereka menjadi subyekberdaulat atas pilihan-pilihan yang diambil. Kedua, Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa). Matra ini mendorong muncul dan berkembangnya geliat ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik dan partisipan gerakan ekonomi di desa. Ketiga, Lingkar Budaya Desa (Karya Desa).

Matra ini mempromosikan pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain.

1) Jaring Komunitas Wiradesa (Jamu Desa)

Matra ini bertujuan untuk memperkuat kualitas manusia dengan memperbanyak kesempatan dan pilihan dalam upayanya menegakkan hak dan martabat. Memajukan kesejahteraan, baik sebagai individu, keluarga maupun kolektif warga Desa. Masalah yang dihadapi saat ini adalah perampasan daya manusia warga Desa itu yang ternyatakan pada situasi ketidakberdayaan, kemiskinan dan bahkan marjinalisasi. Fakta ketidakberdayaan itu kini telah berkembang menjadi sebab, aspek dan sekaligus dampak yang menghalangi manusia warga Desa hidup bermartabat dan sejahtera. Kemiskinan berkembang dalam sifatnya yang multidimensi dan cenderung melanggar hak asasi. Situasi ini diperburuk dengan dengan adanya ketiadaan akses terhadap kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, maupun informasi. Sehingga kehidupan masyarakat miskin di perdesaan dirasa semakin marjinal. Di sini, matra Jaring Komunitas Wiradesa menjadi dasar dilakukannya tindakan yang mampu mendorong ekspansi kapabilitas dengan memperkuat daya pada berbagai aspek


(57)

stok pengetahuan masyarakat desa, baik melalui pendidikan formal di sekolah maupun pendidikan diluar sekolah (non formal). Melalui penciptaan komunitas belajar dan balai-balai rakyat sebagai media pencerahan dengan basis karakteristik sosial dan budaya setempat. Tidak hanya sekedar menambah pengetahuan dan keterampilan, peningkatan kapabilitas masyarakat desa merupakan modal penting dari tegaknya harkat dan martabat masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk mengontrol jalannya kegiatan ekonomi dan politik.

2) Lumbung Ekonomi Desa (Bumi Desa).

Matra kedua dari pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa ini merupakan suatu ikhtiar untuk mengoptimalisasikan sumberdaya di desa dalam rangka mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Konsep Lumbung Ekonomi Desa merupakan pengejawantahan amanat konstitusi sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 UUD 1945. Yaitu amanat untuk melakukan pengorganisasian kegiatan ekonomi berdasar atas asas kekeluargaan, penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, serta penggunaan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lumbung Ekonomi Desa diarahkan untuk melakukan segala tindakan yang diperlukan untuk mewujudkan kedaulatan pangan, ketahanan energi dan kemandirian ekonomi desa. Sebagai basis kegiatan pertanian dan perikanan, desa diharapkan mampu memenuhi kebutuhan pangan di wilayahnya sendiri dan di wilayah lain, tanpa melupakan penumbuhan aktivitas ekonomi produktif di sektor hilir. Optimalisasi sumberdaya desa juga mesti tercermin dalam kesanggupan desa memenuhi kebutuhan energi yang juga merupakan kebutuhan pokok masyarakat desa. Kemandirian ekonomi desa tercermin dari berjalannya aktivitas ekonomi yang dinamis dan menghasilkan penciptaan lapangan kerja secara berkelanjutan di perdesaan. Termasuk mendorong kemampuan masyarakat desa mengorganisir sumber daya finansial di desa melalui sistem bagi hasil guna mendukung berlangsungnya kegiatan ekonomi yang berkeadilan.

Aktor utama Lumbung Ekonomi Desa dititikberatkan pada komunitas, tanpa mengesampingkan peran individu sebagai aktor penting kegiatan ekonomi desa. Hal ini berarti bahwa kegiatan ekonomi di desa utamanya mesti dijalankan secara kolektif berdasarkan prinsip gotong royong yang menjadi ciri khas sosio-kultural masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat desa pada khususnya. Dari aspek ini, organisasi ekonomi di desa berperan penting dalam memikul beban untuk menggerakkan aktivitas ekonomi di desa yang memiliki semangat kolektivitas, pemerataan, dan solidaritas sosial. Organisasi ekonomi itu dapat berupa koperasi, Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa), lembaga keuangan mikro, usaha bersama, atau yang lainnya. Selain itu dan tidak kalang pentingnya, lembaga-lembaga ekonomi ini haruslah memiliki kecakapan dan keterbukaan dalam menjalankan usaha perekonomian di desa. Dalam konteks pelaksanaan UU Desa misalnya, pembentukan


(58)

Pokok soal yang utama adalah membekali masyarakat dengan aset produktif yang memadai sehingga akses terhadap sumber daya ekonomi menjadi lebih besar. Sumber daya ekonomi harus sedapat mungkin ditahan di desa dan hanya keluar melalui proses penciptaan nilai tambah. Di sinilah letak pentingnya intervensi inovasi dan adopsi teknologi serta dukungan sarana dan prasarana agar proses penciptaan nilai tambah dari kegiatan ekonomi di desa berjalan secara baik. Paradigma lama yang menempatkan desa sebagai pusat eksploitasi sumberdaya alam dan tenaga tenaga kerja tidak terampil (unskill labour) telah menyebabkan terus meluasnya persoalan bangsa, mulai dari: tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, tersingkirnya pengetahuan dan kearifan lokal warga, terabaikannya peran strategis perempuan, rendahnya daya saing, hingga meluasnya kerusakan lingkungan. Desa harus menjadi sentra inovasi, baik secara sosial, ekonomi, dan teknologi. Inovasi secara sosial dimaksudkan untuk meningkatkan soliditas dan solidaritas antarwarga dengan memegang kuat nilai-nilai dan budaya luhur di masing-masing desa. Inovasi secara sosial ini nantinya diharapkan dapat meningkatkan daya-lenting warga (resilience)

dalam menghadapi berbagai tantangan di depan. Inovasi secara ekonomi dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas warga untuk menggeser model ekonomi eksploitatif ke arah ekonomi inovatif yang alat ukur keberhasilannya diantaranya: terbukanya lapangan pekerjaan di desa, meningkatnya nilai tambah produk, serta berkurang tekanan terhadap eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan. Sedang inovasi secara teknologi adalah sebuah kesadaran untuk mengembangkan teknologi tepat guna berbasis sumberdaya alam lokal, teknologi lokal, dan sumberdaya manusia lokal.

3) Lingkar Budaya Desa (Karya Desa)

Matra ini merupakan suatu proses pembangunan desa sebagai bagian dari kerja budaya (kolektivisme) yang memiliki semangat kebersamaan, persaudaraan dan kesadaran melakukan perubahan bersama dengan pondasi nilai, norma dan spirit yang tertanam di desa. Matra ketiga ini mensyaratkan adanya promosi pembangunan yang meletakkan partisipasi warga dan komunitas sebagai akar gerakan sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain. Gerakan pembangunan Desa tidaklah tergantung pada inisiatif orang perorang, tidak juga tergantung pada insentif material (ekonomi), tetapi lebih dari itu semua adalah soal panggilan kultural. Berdasar Lingkar Budaya Desa, gerakan pembangunan Desa haruslah dilakukan karena kolektivisme, yang di dalamnya terdapat kebersamaan, persaudaraan, solidaritas, dan kesadaran untuk melakukan perubahan secara bersama. Dana Desa dalam konteks memperkuat pembangunan dan pemberdayaan Desa misalnya, harus dipahami agar tidak menjadi bentuk ketergantungan baru. Ketiadaan Dana Desa tidak boleh dimaknai tidak terjadi pembangunan. Karenanya Dana Desa haruslah menghasilkan kemajuan, bukan kemunduran. Maka, pembangunan Desa dimaknai sebagai kerja budaya dengan norma dan moral sebagai pondasinya, sebagai code of conduct, dan dengan begitu perilaku ekonomi dalam kehidupan Desa akan mampu menegakkan martabat dan


(59)

memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Komitmen untuk menjalankan program dan kegiatan di dalam lingkungan Ditjen PPMD dengan menggunakan pendekatan (metode) ini, diharapkan dapat melipatgandakan kemampuan mencapai target dan menghasilkan dampak yang bisa dipertahankan (sustained impact) untuk kemajuan dan kesejahteraan Desa.


(60)

Pokok Bahasan

3


(61)

(62)

PB

3

Bahan Bacaan

Tata Kelola Desa

Bahan Bacaan 1

MUSYAWARAH DESA

PENGERTIAN MUSYAWARAH DESA

Istilah musyawarah berasal dari kata syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Istilah lain dalam tata Negara Indonesia dan kehidupan modern tentang musyawarah dikenal dengan sebutan “syuro”, “rembug desa”, “kerapatan nagari” bahkan “demokrasi”. Kata Musyawarah menurut bahasa berarti "berunding" dan "berembuk". Pengertian musyarawarah menurut istilah adalah perundingan bersama antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan keputusan yang terbaik. Musyawarah adalah pengambilan keputusan bersama yang telah disepakati dalam memecahkan suatu masalah. Cara pengambilan keputusan bersama dibuat apabila keputusan tersebut menyangkut kepentingan orang banyak atau masyarakat luas.

Di bawah ini dirangkum beberapa pengertian musyawarah dari berbagai pandangan ahli dan literatur, diantaranya:

1. Musyawarah adalah suatu upaya bersama dengansikap rendah hati untuk

memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan keduniawian.

2. Musyawarah merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang

untuk membahas suatu masalah dengan tujuan agar mendapatkan solusi. Musyawarah merupakan sebuah sistem pengambilan keputusan yang melibatkan dua orang atau lebih dengan menyajikan kepentingankepentingan sehingga dapat tercipta suatu keputusan yang disepakati bersama.

3. Musyawarah merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk memecahkan

suatu masalah atau persoalan atau dengan kata lain sebuah upaya untuk mencari jalan keluar guna mengambil keputusan bersama dalam menyelesaikan suatu masalah yang melibatkan dua orang atau lebih.


(1)

2 Kelompok Nelayan  Terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat nelayan

 Menjadi kelompok penerima manfaat pembangunan

 Mengutus perwakilannya dalam Badan Musyawarah Desa

 Terlibat dalam proses musyawarah desa

 Terlibat dalam pembahasan peraturan desa 3 Organisasi

Masyarakat Adat

 Terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat adat

 Menjadi kelompok penerima manfaat pembangunan

 Mengutus perwakilannya dalam Badan Permusyawaratan Desa

 Terlibat dalam proses musyawarah desa

 Terlibat dalam pembahasan peraturan desa adat

4 Organisasi

Keagamaan

 Terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat adat

 Menjadi kelompok penerima manfaat pembangunan

 Mengutus perwakilannya dalam Badan Musyawarah Desa

 Terlibat dalam proses musyawarah desa 5 Organisasi

Perempuan

 Terlibat dalam proses perencanaan pembangunan desa dan pemberdayaan

 Menjadi kelompok penerima manfaat pembangunan

 Mengutus perwakilannya dalam Badan Musyawarah Desa

 Terlibat dalam proses musyawarah desa

 Terlibat dalam pembahasan peraturan desa

6 Organisasi  Terlibat dalam proses perencanaan


(2)

 Menjadi kelompok penerima manfaat pembangunan

 Mengutus perwakilannya dalam Badan Musyawarah Desa

 Terlibat dalam proses musyawarah desa

 Terlibat dalam pembahasan peraturan desa 7 NGO  Membangun kerjasama dalam program

ekonomi di pedesaan

 Membantu desa dalam proses pemberdayaan masyarakat desa

Mengembangkan Kerjasama

Pijakan berpikir yang mendasari perlunya membangun relasi jaringan sosial dan kerjasama dalam melakukan pembangunan desa dan pemberdayaan desa, antara lain:

Pertama, pengembangan jaringan sosial dan kerjasama di pedesaan diformulasikan untuk mewujudkan desa yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti: pangan, energi, pendidikan dan kesehatan. Kemandirian desa tidak berarti Desa terlepas dari kesaling-tergantungan dengan desa yang lain, melainkan terjadi “net -benefit” yang dihasilkan dari pertukaran antara desa.

Kedua, pengembangan potensi jaringan sosial di wilayah pedesaan ditekankan pada aspek keberlanjutan, yakni:

1. Keberlanjutan ekologi, dimana pemanfaatan sumber daya alam dilakukan dengan tidak merusak lingkungan dan senantiasa memperhatikan daya dukung ekologinya. 2. Keberlanjutan sosial ekonomi yang mengacu pada kesejahteraan masyarakat

pedesaan.

3. Keberlanjutan komunitas masyarakat pedesaan yang mengacu pada terjaminnya peran masyarakat dalam pembangunan dan jaminan akses komunitas pada sumber daya alam.

4. Keberlanjutan institusi yakni mencakup institusi politik, institusi sosial-ekonomi dan institusi pengelola sumber daya (Arif Satria: 2011).

Ketiga, pengembangan kerjasama dengan pihak ketiga hendaknya tidak membuat desa mengalami ketergantungan baru. Dalam hal ini, tiga aktor yang bisa terlibat dalam proses kerjasama, yakni:

a. Masyarakat desa dengan kekuatan kelembagaan sosial dan ekonomi yang dimilikinya serta kemampuan mengelola sumberdaya yang berkelanjutan.


(3)

c. Pemerintah yang berfungsi untuk memberikan penguatan kelembagaan sosial ekonomi kepada desa dan jaminan keamanan dan legal kepada pengusaha/swasta.

Keempat, pendamping desa harus mampu mengidentifikasi dan menjahit seluruh kekuatan ekonomi dan politik di wilayah pedesaan untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemberdayaan. Jaringan sosial pada dasarnya merupakan mitra strategis Desa yang harus senantiasa dijaga dan dikembangkan untuk memajukan pembangunan di Desa.

Tujuan membentuk jaringan sosial dan mengembangkan kerjasama di Desa sebagai berikut:

1. Untuk mewujudkan desa yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti pangan, energi, kesehatan, pendidikan, air bersih, dsb.

2. Untuk membangun dan menumbuhkan semangat kolektivitas, kegotongroyongan dan trust building dari kelompok-kelompok sosial di masyarakat desa.

3. Agar desa mempunyai perencanaan pembangunan desa dan strategi pemberdayaan masyarakat desa yang mencakup: potensi, rencana strategis, perencanaan ruang, perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan dan strategi aksi yang menjadi dasar dalam mengembangkan kerjasama antar desa maupun dengan pihak ketiga.

4. Agar desa mempunyai badan kerjasama antar desa yang dihasilkan melalui musyawarah desa.

5. Agar berkembang aktivitas ekonomi berbasis pedesaan yang mampu bersaing dalam pasar lokal, regional dan global serta dapat diandalkan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara berkelanjutan.

Selain tujuan diatas, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan oleh para pendamping desa dalam membangun jaringan sosial dan kerjasama, yaitu sebagai berikut:

1. Pendamping harus meyakini, mengakui dan menghargai bahwa setiap individu/lembaga memiliki potensi yang merupakan modal dasar dalam merealisasikan visi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

2. Modal dasar tersebut perlu dikembangkan dan ditingkatkan mutunya, serta dipadukan lewat proses dialog dan musyawarah dalam wadah jaringan.

3. Musyawarah dan dialog adalah roh dari pendampingan desa.

4. Pendamping desa meyakini potensi jaringan sosial yang peduli terhadap masalah pedesaan, memiliki fungsi penting dan strategis, sehingga selalu menjadi pusat perhatian pendamping desa.

5. Pendamping desa harus senantiasa menciptakan peluang dengan mengembangkan sistem dan mekanisme, agar potensi jaringan sosial yang terbentuk senantiasa terlibat dalam proses pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.


(4)

Model pendekatan dalam kerja jaringan:

1. Model kontak person. Biasanya dilakukan oleh seseorang yang merupakan tokoh kunci dari lembaga, sering menggunakan pendekatan pribadi, loby (silaturahmi), mediasi dan lain-lain.

2. Model kerja sama. Dapat dilakukan dengan pemerintah, asosiasi, perguruan tinggi, lembaga keuangan atau kelompok profesi lainnya dengan isu-isu yang sejenis dan sifatnya memberikan bantuan stimulan, teknikal asistensi pada program yang sama. 3. Model aliansi. Kerja sama antar forum/lembaga untuk menyuarakan isu yang sama,

misalnya: ALIANSI GERAKAN PENGENTASAN KEMISKINAN yang terdiri dari pendamping desa, Pemda, NGO, dll.

4. Model koalisi. Beberapa forum/lembaga melakukan merger menggunakan satu nama, misal: KOALISI PENGENTAS KEMISKINAN PEDESAAN, bersifat sementara (ad hoc) dipimpin oleh seorang koordinator.[]


(5)

(6)

KEMENTERIAN DESA, PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL

DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA