Konsep Ketahanan Pangan 2015 Lapkir Masterplan RAD Pangan dan Gizi

11 Gambar 2.2. Kerangka berpikir penyebab masalah gizi Outcome Penyebab langsung Penyebab tidak langsung Akar masalah Sumber : UNICEF 1990

2.3 Konsep Ketahanan Pangan

Pengertian ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tidak hanya sampai pada level rumah tangga, namun terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, Status gizi anak balita Intake Gizi Status Infeksi Pola asuh pemberian ASI IMPASI, pola asuh psiko- sosial, penyediaan makan- an sapihan, praktek higien dan sanitasi makanan dan kesehatan lingkungan Ketahanan pangan RT Pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan Komunikasi, informasi dan edukasi Kuantitas, kualitas, akses dan pengelolaan sumberdaya rumahtangga dan lingkungan Kondisi budaya, ekonomi, politik dan sosial 12 keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 selain mengatur tentang ketahanan pangan juga memuat tentang kedaulatan pangan, kemandirian pangan. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. Ketahanan pangan mempunyai dimensi sebagai berikut: a Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhanatas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yangbermanfaat bagi pertumbuhan kesehatart manusia; b Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda zat lain yang dapatmengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusiaserta aman dari kaidah agama; c Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air; d Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah Suryana, 2003. Tersedianya pangan tingkat nasional tidak mencerminkan jaminan kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan dimensi fisik dan ekonomi merupakan determinan penting dari ketahanan pangan Braun, et al., 1992. Menurut Sen 1981, kendala akses terhadap pangan terkait dengan lemahnya entitlement faktor kepemilikan di tingkat rumah tangga yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan kontrol terhadap pangan. Hal ini mempunyai hubungan linear dengan tingkat aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan. 13 Konsep perolehan pangan food entitlement paradigm adalah: a indikator akhir ketahanan pangan adalah perolehan pangan cukup bagi individu. Indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu individual food security; b ketersediaan pangan adalah syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu, dan c ketahanan pangan dipandang sebagai sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi kabupaten, lokal, rumah tangga dan individual Simatupang, 2007. Ketahanan pangan dapat terwujud ketika individu memiliki akses fisik dan ekonomi yang konsisten terhadap pangan dengan cukup, aman dan bergizi dalam memenuhi kebutuhan dan preferensi pangannya untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedaulatan pangan lahir dari meningkatnya akses terhadap sistem pangan dan pangan tradisional. Hal ini mensyaratkan kedaulatan politik dan penekanan pada transmisi pengetahuan tradisional Socha, 2012. Dalam Perspektif kesejahteraan, menurut hukum Engel, semakin tinggi pendapatan kesejahteraan individu, pangsa pengeluaran pangan, khususnya pangan pokok, akan semakin berkurang tetapi pangsa pengeluaran nonpangan semakin bertambah. Rumah tangga yang memiliki pangsa pengeluaran pangan relatif tinggi dapat disebut tergolong rumah tangga miskin. Sebaliknya, rumah tangga yang pangsa pengeluaran pangannya relatif rendah dapat disebut rumah tangga sejahtera Saliem, et al. 2006. Cakupan persoalan kemiskinan dan ketahanan pangan memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Menurut Maxwell dan Frankenberger 1992 kemiskinan merupakan salah satu faktor determinan terjadinya ketidaktahanan pangan yang akut chronic food insecurity. Dalam konteks ketahanan pangan, faktor ketersediaan food availability dan aksesibilitas food accessibility pangan merupakan dua faktor penting dalam peningkatan ketahanan pangan rumah tangga Sayogyo, 1991; Soehardjo, 1996 dalam Saliem, et al. 2006. Kemiskinan dibagi atas kemiskinan absolut dan relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas. Dalam konteks 14 pengukuran kemiskinan absolute, Sajogjo 1997 mengukur berdasarkan pengeluaran perkapita pertahun yang dikonversikan dengan standar kebutuhan beras, yakni kelompok miskin di desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin di desa 240 kg dan kota 360 kg; kelompok melarat di desa 180 kg dan kota 270 kg. Sedangkan menurut versi Bank Dunia tingkat kemiskinan dapat dibagi menjadi beberapa kelas yakni : “extreme poverty” yakni dengan ukuran pengeluaran biaya hidup kurang dari 1 dollar AS perhari, dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS perhari. Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja. Kemiskinan sangat terkait dengan ketahanan pangan. Saat ini pemerintah menjalankan paradigma ketahanan pangan berkelanjutan melalui tujuh program pemberdayaan masyarakat. Program ketahanan pangan dan program pro penduduk miskin berkontribusi dalam menurunkan kemiskinan relatif dari 24,2 menjadi 16,7 persen selama periode 1998 – 2004. Analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa: a produksi komoditas primer meningkat dan harga pangan stabil; b penduduk yang tinggal di pedesaan, terutama bekerja di pertanian dan memiliki pendapatan lebih rendah, cenderung memiliki aksesibilitas pangan lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan; dan c kerawanan pangan regional di negara ini masih meluas karena bencana alam, konflik, kelangkaan pangan musiman dan kenaikan harga Rusastra, et al, 2008. Committee on World Food Security 2012 menyebutkan penduduk miskin merupakan kelompok rentan terhadap kelaparan. Hal ini karena terbatasnya sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari- hari, juga sangat rentan bahkan terhadap goncangan sangat kecil yang akan mendorong mereka mendekati kemelaratan, kelaparan, dan bahkan kematian dini. Respon perlindungan sosial yang tepat terhadap kerawanan pangan yang berhubungan dengan kemiskinan kronis adalah bantuan sosial yang dikaitkan dengan usaha pengembangan mata pencaharian yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk. Penduduk yang saat ini tidak miskin tetapi menghadapi resiko kemiskinan di masa datang adalah rentan terhadap kelaparan jika resiko tersebut termaterialisasikan dan tidak dapat melindungi 15 dirinya sendiri. Penduduk seperti ini membutuhkan jaring pengaman sosial yang efektif. Sistem perlindungan sosial sebaiknya tidak dipandang sebagai beban berat pada sistem fiskal. Intervensi perlindungan sosial yang didesain dengan baik akan baik bagi pertumbuhan dalam pembangunan. Secara khusus, dengan mencegah penurunan aset dan mereduksi resiko personal dalam berinvestasi bagi penduduk miskin, perlindungan sosial dapat menjadi win- win’s trategy yang pro-penduduk miskin dan pro-pertumbuhan. 16 BAB III. KEBIJAKAN NASIONAL PANGAN DAN GIZI 3.1 Kondisi Pangan dan Gizi Nasional Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan nasional kotor per kapita adalah USD 3.956 dan umur harapan hidup rata-rata adalah 71,5 tahun UNDP, 2010. Walaupun demikian, beberapa indikator keberhasilan pembangunan masih memprihatinkan. Salah satu indikator yang diupayakan percepatan pencapaiannya adalah penurunan jumlah penduduk miskin. Tingkat kemiskinan telah menurun dari 14,1 persen pada tahun 2009 menjadi 13,3 persen pada tahun 2010 BPS, namun masih diperlukan kerja keras untuk mengakselerasi pencapaian Millenium Development Goals MDGs. Kesepakatan MDGs tersebut adalah penurunan 50 persen dari kondisi tahun 1990, menjadi 7,5 persen pada tahun 2015. Demikian pula kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih mengalami berbagai masalah kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian neonatal, prevalensi gizi kurang BBU dan pendek TBU pada anak balita, prevalensi anemia gizi kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan akibat kurang yodium pada ibu hamil dan bayi serta kurang vitamin A pada anak balita. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 persen dan 36,8 persen sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen kontribusi masalah gizi dunia UN-SC on Nutrition 2008. Walaupun pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masing-masing 17,9 persen dan 35,6 persen, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan Riskesdas 2010. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia, hal ini sesuai dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kenyataannya peta penduduk rawan pangan yang diumumkan oleh BPS pada tahun 2009 masih menunjukkan situasi yang sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk sangat 17 rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per orang per hari mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas pangan, yaitu kemampuan rumah tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan anggotanya, mengancam penurunan konsumsi makanan yang beragam, bergizi-seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya akan berdampak pada semakin beratnya masalah kekurangan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak. Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa masalah gizi adalah masalah intergenerasi, yaitu ibu hamil kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi. Pada hakekatnya masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Intervensi paket kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut yang dilaksanakan melalui pelayanan berkelanjutan continuum care pada periode kesempatan emas kehidupan window of opportunity, yaitu sejak janin dalam kandungan, dan bayi baru lahir sampai anak berusia 2 tahun. Di Brazil, revalensi pendek pada anak balita menurun lebih dari 30 persen, yaitu dari 37 persen pada tahun 1974 menjadi 7 persen pada tahun 2006, dengan melakukan empat prioritas penanganan yaitu meningkatkan: 1 akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkelanjutan pada ibu dan anak; 2 akses pendidikan dan informasi pada remaja putri dan perempuan; 3 cakupan penyediaan air dan sanitasi; serta 4 daya beli keluarga Monteiro et al, 2010. Sedangkan Thailand menurunkan 50 persen kekurangan gizi pada anak hanya dalam waktu 4 tahun 1982-1986 melalui fokus pelayanan untuk kelompok yang sama SCN News No. 36 mid-2008. Penelitian di Peru yang melibatkan anak pendek usia 6-18 bulan, membuktikan bahwa dengan intervensi yang tepat ketertinggalan pertumbuhan tinggi badan dapat “dikejar” dan pada usia 4,5-6 tahun dapat mempunyai kecerdasan yang sama dengan anak yang tidak pendek pada masa bayi Crookston et al, 2010. Saat ini, situasi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrem. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori, serta kondisi kurus dan pendek sampai kegemukan. Di sisi lain, penyakit menular dan penyakit tidak menular juga meningkat. Sangat 18 jelas peran gizi berkontribusi bermakna pada penanggulangan ke dua jenis penyakit ini. Untuk mencapai status kesehatan yang optimal, dua sisi beban penyakit ini perlu diberi perhatian lebih pada pendekatan gizi, baik pada masyarakat kaya maupun pada kelompok masyarakat miskin WHO, 2008. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada saat sebagian besar bangsa Indonesia masih menderita kekurangan gizi terutama pada ibu, bayi dan anak secara bersamaan masalah gizi lebih cenderung semakin meningkat dan berakibat beban ganda yang menghambat laju pembangunan. Status gizi optimal dari suatu masyarakat telah secara luas diterima sebagai salah satu dari prediktor untuk kualitas sumberdaya manusia, prestasi akademik, dan daya saing bangsa The Lancet, 37: 340-357. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional RPJMN 2010- 2014 secara tegas telah memberikan arah Pembangunan Pangan dan Gizi dengan sasaran meningkatnya ketahanan pangan dan meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Program Pembangunan yang Berkeadilan yang terkait dengan Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium MDGs telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010. Salah satu dokumen yang harus disusun adalah Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi RAN-PG 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi RAD-PG 2011-2015 di 33 provinsi. Penyusunan RAN-PG 2011-2015 diawali dengan evaluasi aksi nasional yang tercantum dalam RAN-PG 2006-2010. Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan dan gizi yang meliputi perbaikan gizi masyarakat, aksesibilitas pangan, mutu dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat PHBS, dan koordinasi dalam kelembagaan pangan dan gizi. Keberhasilan tersebut antara lain ditandai dengan status gizi masyarakat yang semakin membaik, ketersediaan pangan yang meningkat dan mencukupi kebutuhan penduduk, dikeluarkannya berbagai peraturan perundangan terkait dengan mutu dan keamanan pangan, meningkatnya perilaku individu dan keluarga untuk hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, serta sudah semakin banyak terbentuk lembaga yang menangani pangan dan gizi di berbagai tingkat administrasi pemerintahan. Walaupun demikian berbagai tantangan masih teridentifikasi sehingga beberapa butir rekomendasi 19 pada evaluasi RAN-PG 2006-2010 menjadi perhatian utama untuk dijabarkan dalam rencana aksi yang menjadi prioritas pembangunan pangan dan gizi nasional selama lima tahun ke depan. Keterkaitan pembangunan pangan, kesehatan dan gizi dengan penanggulangan kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan keluarga dan penyelenggaraan urusan wajib pelayanan masyarakat di daerah perlu diperjelas sehingga setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD dapat mengalokasikan kegiatan-kegiatan prioritas yang saling menunjang sekaligus memberi arah pembangunan kewilayahan. Perkembangan ketersediaan energi nasional dalam periode 2009-2013 dinyatakan oleh Gambar 3.1 di bawah ini. Gambar 3.1. Ketersediaan Energi dan Standar Ketersediaan Energi Sumber : Neraca Bahan Makanan 2009 – 2013 Dari Gambar 3.1 di atas dapat kita ketahui bahwa ketersediaan energi selalu melebihi standar ketersediaan energi. Hal ini membuktikan bahwa hingga saat ini kondisi ketersediaan energi masih dalam keadaan aman. 3320 3754 3646 3896 3849 2200 2200 2200 2200 2200 2009 2010 2011 2012 2013 Ketersediaan Energi kkalkaphari Ketersediaan Energi Standar Ketersediaan Energi 20 Adapun kondisi perkembangan konsumsi energi nasional dari tahun 2009 hingga 2014 dalam satuan kkalkapitahari dinyatakan oleh Gambar 3.2 berikut ini. Gambar 3.2. Konsumsi Energi dan Standar Konsumsi Energi Sumber : Susenas, BPS 209-2014; diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Dari Gambar 3.2 di atas terlihat bahwa konsumsi energi berfluktuasi, tapi cenderung meningkat, dengan pertumbuhan rata-rata 0,3 per tahun. Konsumsi energi tahun 2014 sebesar 97,5 dari AKE 2000 kkalkaphari. Perkembangan ketersediaan dan konsumsi protein nasional dalam kurun waktu 2009-2013 disajikan oleh Gambar 3.3 berikut ini. 1927 2025 2048 1944 1930 1949 2000 2000 2000 2000 2000 2000 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Konsumsi Energi kkalkaphari Konsumsi Energi Standar Konsumsi Energi 21 Gambar 3.3. Ketersediaan protein Sumber : Neraca Bahan Makanan 2009 – 2013 Dari Gambar 3.3 di atas, kita memperoleh gambaran bahwa ketersediaan protein dari tahun 2009 sampai dengan 2013 masih mencukupi. Akan tetapi ada fenomena yang cukup unik, yaitu adanya kenaikan ketersediaan protein antara tahun 2010 hingga 2011. Berikut ini merupakan gambaran konsumsi protein nasional dalam kurun waktu 2009 hingga 2014 yang dinyatakan oleh Gambar 3.4. Dari Gambar tersebut dapat kita ketahui bahwa konsumsi protein tahun 2009-2014 lebih besar dibandingkan dengan AKP 104,5 – 113,7. Sedangkan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,9 per tahun, namun masih didominasi oleh kontribusi protein nabati yang berasal dari kelompok padi-padian beras. 87,75 93,4 93,13 88,99 89,26 57 57 57 57 57 2009 2010 2011 2012 2013 Ketersediaan Protein grkaphari Ketersediaan Protein Standar Ketersediaan Protein 22 Gambar 3.4. Konsumsi protein nasional Sumber : Susenas, BPS 209-2014; diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Konsumsi Energi Per Provinsi Tahun 2014 disajikan dalam Gambar di bawah ini. Gambar 3.5. Konsumsi Energi kkalkaphari per Provinsi Tahun 2014 Sumber : Susenas 2014 triwulan 1; BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP 54,3 57,9 59,1 55,9 55,7 56,6 52 52 52 52 52 52 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Konsumsi Protein grkaphari Konsumsi Protein Standar Konsumsi Protein 500 1000 1500 2000 2500 Standar AKE 2000 kkalkaphari 23 Dari Gambar 3.5 dapat diketahui bahwa Bali merupakan provinsi yang memiliki nilai konsumsi energi paling tinggi, sedangkan Maluku utara bernilai terendah dan di bawah standar AKE 2000 kkalkaphari. Dalam hal ini, Jawa Tumur juga berada di standar AKE nasional. Konsumsi Protein Per Provinsi Tahun 2014 disajikan oleh Gambar 3.6 di bawah ini. Gambar 3.6. Konsumsi protein gramkaphari per provinsi tahun 2014 Sumber : Susenas 2014 triwulan 1; BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP Dari Gambar 3.6 di atas diperoleh informasi bahwa hampir semua provinsi memiliki AKP di atas standar AKP nasional 52 gramkaphari, kecuali Provinsi Maluku Utara. Perkembangan skor PPH nasional dalam kurun 2009–2014 ditampilkan oleh Gambar 3.7 berikut ini. 0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 K e p u la u a n R ia u B a li D I Y o g y a k a rt a N T B D K I Ja k a rt a S u la w e si T e n g g a ra B a n te n G o ro n ta lo S u m a te ra U ta ra S u la w e si U ta ra S u la w e si S e la ta n Ja w a B a ra t K a li m a n ta n T e n g a h K a li m a n ta n S e la ta n R ia u B e n g k u lu S u m a te ra B a ra t S u la w e si T e n g a h Ja w a T e n g a h S u m a te ra S e la ta n Ja w a T im u r P a p u a B a ra t L a m p u n g K a li m a n ta n B a ra t M a lu k u Ja m b i A ce h S u la w e si B a ra t B a n g k a B e li tu n g K a li m a n ta n T im u r P a p u a N T T M a lu k u U ta ra Standar AKP 52 gramkaphari 24 Gambar 3.7. Skor PPH dan Target Sumber : Susenas 2009, 2010, 2011-2014 triwulan 1; BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP. Capaian skor PPH Tahun 2014 sebesar 83,4 atau 89,4 dari target skor PPH berdasarkan Perpres No. 22 Tahun 2009 skor PPH 93,3. Adapun perkembangan rata-rata kualitas konsumsi pangan masyarakat tahun 2011- 2014 menunjukkan sedikit penurunan. 3.2. Kebijakan pembangunan gizi masyarakat dalam RPJMN 2015 – 2019 Kondisi Umum a. Kesehatan ibu dan anak membaik namun belum signifikan dan kesenjangan masih cukup lebar 1. Angka Kematian Ibu AKI dan Angka Kematian Bayi AKB masih cukup tinggi. 2. Disparitas Masih Lebar : Persalinan di fasilitas kesehatan tertinggi berada di DIY 99 dan terendah berada di Maluku 25,2; Cakupan Imunisasi dasar lengkap tertinggi berada di DIY 83,1 dan terendah berada di Papua 29,2. b. Status Gizi di Indonesia 1. Permasalahan kekurangan gizi, terutama pendek stunting 75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4 85,0 86,4 88,1 89,8 91,5 93,3 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Skor PPH Target Perpres Nomor 22 Tahun 2009 25 2. Wasting kurus dialami oleh 12,1 balita 3. Ibu Hamil di Indonesia mengalami Anemia 37,1 c. Pengendalian Penyakit 1. Beban ganda penyakit: penyakit menular masih muncul sedangkan penyakit tidak menular semakin meningkat 2. Prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia cukup tinggi tahun 2013 adalah 0,43 persen 3. Faktor Risiko PTM Penduduk 10 th kurang konsumsi buah dan sayur : 93,5 d. Fasilitas Pelayanan Kesehatan : Pada pelayanan kesehatan rujukan, banyak rumah sakit yang belum memenuhi standar ketenagaan. Proporsi balita gizi kurang dan mengalami stunting ditunjukkan oleh Gambar 3.8. Gambar 3.8 Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 proporsi gizi kurang dan pendek pada balita Sumber Data : Riskesdas 2013 26 Dari Gambar 3.8 di atas dapat diketahui bahwa proporsi gizi buruk dan gizi kurang mengalami kenaikan dari tahun 2007 hingga 2013. Sedangkan untuk proporsi balita sangat pendek mengalami penurunan. Adapun balita yang mengalami pertumbuhan pendek mengalami kenaikan dalam kurun waktu yang sama. Kondisi nasional balita sangat kurus dan gemuk ditampilkan oleh Gambar 3.9 berikut ini. Gambar 3.9. Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 Proporsi kurus dan gemuk pada balita Sumber Data : Riskesdas 2013 Dari Gambar 3.9 di atas dapat diperoleh informasi bahwa proporsi balita sangat kurus, kurus, maupun gemuk mengalami penurunan dalam rentang waktu enam tahun 2007-2013. Kecenderungan prevalesi balita stunting secara nasional ditunjukkan oleh Gambar 3.10 di bawah ini. 27 Gambar 3.10. Kecenderungan prevalensi balita stunting di indonesia menurut provinsi Sumber Data : Riskesdas 2013 Dari Gambar 3.10 tersebut dapat diketahui bahwa untuk Provinsi Jawa Timur, dari tahun 2007 hingga 2013 prevalensi balita stunting memang mengalami kenaikan, hanya saja tidak terlalu signifikan. Gambar 3.11. Rata-rata tinggi badan anak umur 5-18 tahun dibanding rujukan WHO 2007: 2007 – 2013 Sumber Data : Riskesdas 2013 28 Gambar 3.11 merupakan informasi tentang adanya selisih antara rata-rata tinggi badan anak 5-18 tahun dengan rujukannya. Untuk anak laki-laki terdapat beda tinggi badan 12,5 cm, sedangkan bagi anak perempuan terdapat selisih tinggi 9,8 cm dengan tinggi referensinya. Isu ketahanan pangan mempengaruhi gizi masyarakat Kondisi umum masyarakat adalah sebagai berikut: • Penduduk sangat rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per orang per hari mencapai 15,34 persen BPS, 2010. • Rata-rata konsumsi kalori penduduk 1930 kkal per kapita masih lebih rendah dari Angka Kecukupan Energi AKE yaitu sebesar 2.000 kkal per kapita per hari 2013 • Ibu hamil mendapat asupan kalori di bawah kebutuhan minimum yaitu 44,4 persen Riskesdas 2013. Dari kondisi umum di atas, maka dapat dirumuskan beberapa poin permasalahan yaitu: Distribusi dan aksesibilitas pangan Perbaikan Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat Tidak semua rumahtangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragamannya Sehingga tantangan yang harus dihadapi saat ini adalah: Ketahanan pangan perlu terus ditingkatkan untuk menghindari terjadinya krisis pangan yang akan berdampak pada penurunan konsumsi energi dan penurunan konsumsi zat gizi mikro vitamin dan mineral yang sangat diperlukan oleh anak-anak dan ibu hamil. Perlu dilakukan Mitigasi Gangguan Terhadap Ketahanan Pangan. Isu keamanan dan mutu pangan mempengaruhi gizi masyarakat Kondisi unum yang berkaitan dengan keamanan dan mutu pangan nasional adalah sebagai berikut: • Belum semua Garam Beriodium yang beredar memenuhi syarat. 29 • Baru sekitar separoh Pangan Jajanan Anak Sekolah PJAS yang memenuhi syarat sebanyak yang memenuhi syarat. • Sampai dengan tahun 2009, total Industri Rumah Tangga-Pangan IRT-P yang ada di Indonesia adalah 33.902. • Baru sekitar separoh IPRT yang mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dan memperoleh sertifikat. • Belum semua tepung terigu difortifikasi. Permasalahan yang harus dihadapi berkenaan dengan keamanan dan mutu pangan adalah: • Adanya produk industri pangan yang Tidak Memenuhi Syarat TMS yaitu penggunaan Bahan Tambahan Pangan BTP pemanis dan pengawet benzoat berlebih, penyalahgunaan bahan berbahaya formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, dan cemaran mikroba. • Produk TMS terkait dengan cemaran mikroba masih cukup dominan. Kondisi-kondisi tersebut memunculkan tantangan baru yaitu: Belum semua Produk Pangan, Garam Beriodium, PJAS dan Tepung Terigu yang diuji memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. 30

3.3. Kebijakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi RPJMN 2015 – 2019