2015 Lapkir Masterplan RAD Pangan dan Gizi

(1)

i

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN

Jl. Sudarman No. 1, 0331-421200, bappeda.jemberkab.go.id


(2)

ii

KATA PENGANTAR

Pangan dan Gizi saat ini merupakan kebutuhan mendasar untuk hidup sehat sehingga merupakan isu penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia di suatu daerah. Kecukupan pangan suatu daerah akan terwujud bila di wilayah tersebut ketahanan pangan telah berhasil dicapai. Berdasarkan Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000-2010, Kabupaten Jember merupakan daerah dengan jumlah penduduk mencapai 2.451.081 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk setiap tahunnya mencapai 0,067%. Pertambahan jumlah penduduk ini menyebabkan kebutuhan pangan meningkat. Hingga saat ini belum ada klasifikasi tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Jember untuk mengantisipasi tingkat kondisi kerawanan pangan. Kajian ini bertujuan menganalisis situasi kerawanan pangan di tingkat kecamatan di Kabupaten Jember, menganalisis kesesuaian intervensi dengan situasi kerawanan pangan dan menyusun rekomendasi jenis intervensi pangan.

Data dianalisis secara deskriptif, diklasifikasikan ke dalam enam kategori yaitu : (a) sangat rawan, (b) rawan, (c) agak rawan, (d) cukup tahan, (e) tahan, dan (f) sangat tahan. Dasar yang digunakan adalah indicator kerawanan pangan yaitu akses pangan sesuai indicator FIA (Food Insecurity Atlas) yang digunakan WFP (World Food Programme 2003) yang dipakai dalam analisis kerawanan pangan nasional. Gambaran umum ketersediaan pangan di Kabupaten Jember dianalisis menggunakan data konsumtif normatif per kapita dibanding ketersediaan produksi setara beras.

Akses pangan dianalisis menggunakan dua kriteria, yaitu (a) jumlah rumah tangga miskin, (b) prosentase rumah tangga dengan akses listrik. Kesehatan dan gizi dianalisis menggunakan enam kriteria, yaitu (a) Angka Harapan Hidup (AHH), (b) prevalensi balita gizi kurang, (c) jumlah penduduk per dokter sesuai dengan kepadatan penduduk, (d) persentase rumah tangga ke akses air bersih, (e) persentase anak yang tidak diimunisasi dan (f) tingkat konsumsi pangan. Dari indikator tersebut kemudian diranking sehingga di dapat enam kategori kerawanan pangan di tingkat Kecamatan di Kabupaten Jember.


(3)

iii

Dalam rangka mendorong pengembangan dan peningkatan daya saing Sumber Daya Manusia (SDM) di Kabupaten Jember melalui analisis kerawanan pangan di tingkat kecamatan di Kabupaten Jember, maka kajian mengenai “Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi” perlu dilakukan agar arah kebijakan pembangunan industri prioritas sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Jember dapat segera diwujudkan.

Laporan Akhir ini disusun sebagai informasi awal guna menjelaskan alasan dan pertimbangan logis mengapa kajian ini perlu dilakukan disertai dengan pendekatan penelitian secara sistematis yang menjelaskan teknik-teknik analisis yang shahih dan relevan yang digunakan dalam kajian. Pada laporan ini dijelaskan tahap-tahap analisis kajian secara lengkap, variabel operasional dan parameter-parameter kajian yang diperlukan dalam analisis berserta output kajian yang akan dicapai yang kesemuanya disajikan secara ringkas dan jelas.

Akhirnya kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Semoga Laporan Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Jember, Juni 2015 Penyusun


(4)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Maksud dan Tujuan Kajian ... 3

1.4 Manfaat Kajian ... 4

1.5 Sasaran Kajian ... 4

1.6 Ruang Lingkup Kajian ... 4

BAB II. KERAWANAN DAN KETAHANAN PANGAN 2.1 Difinisi Kerawanan Pangan ... 7

2.2 Indikator Kerawanan Pangan ... 8

2.3 Konsep Ketahanan Pangan ... 11

BAB III. KEBIJAKAN NASIONAL PANGAN DAN GIZI 3.1 Kondisi Pangan dan Gizi Nasional ... 16

3.2 Kebijakan pembangunan gizi masyarakat dalam RPJMN 2015 – 2019 ... 24

3.3 Kebijakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (RPJMN 2015 – 2019) ... 30

BAB IV. KEBIJAKAN PANGAN DAN GIZI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Umum ... 39

4.2 Peranan RAD-PG dalam Percepatan Perbaikan Gizi ... 41

4.3 Konsep Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Jawa Timur 2011-2015 ... 43


(5)

v

BAB V. METODE PENELITIAN

5.1 Desain, Lokasi, dan Waktu Kegiatan ... 57

5.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ... 57

5.3 Metode Pengumpulan Data ... 59

5.4 Metode Analisis ... 60

5.5Definisi Operasional ... 71

5.6 Jadwal Kegiatan ... 73

BAB VI. ANALISISDATA PANGAN DAN GIZI KABUPATEN JEMBER 6.1 Analisis Kondisi Umum Pangan dan Gizi ... 74

6.2 Analisis Wilayah Rawan Pangan ... 78

6.3 Strategi Pencapaian Pangan dan Gizi ... 122

6.4 Rumusan Rencana Aksi Pangan dan Gizi ... 126

BAB VII. KESIMPULAN DAN PENUTUP 7.1 Kesimpulan ... 141

7.2 Penutup ... 142

DAFTAR PUSTAKA ... 143


(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Sasaran RPJMN 2015-2019 tentang peningkatan

status gizi ... 33

Tabel 3.2 Program Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat ... 36

Tabel 4.1 Sasaran Penurunan Kerawanan Pangan dan Peningkatan Gizi Masyarakat ... 52

Tabel 4.2. Sasaran Ketersediaan dan Konsumsi Pangan di Jawa Timur ... 52

Tabel 4.3 Sasaran Pola Pangan Harapan (PPH) ... 53

Tabel 4.4 Indikator Penentuan Prioritas Lokasi Sasaran ... 54

Tabel 4.5 Prioritas Lokasi Sasaran RAD-PG Jawa Timur ... 55

Tabel 5.1 Jenis dan Sumber Data ... 61

Tabel 5.2 Indikator dan Definisi Komponen Kerawanan Pangan ... 62

Tabel 5.3 Penilaian pada masing-masing indikator kerawanan pangan ... 64

Tabel 5.4 Rangking tingkat kerawanan pangan ... 66

Tabel 5.5 Definisi Skala Saaty ... 69

Tabel 5.6 Jadwal Kegiatan ... 73

Tabel 6.1 Angka Kecukupan Protein dan Energi Masyarakat Desa Panduman Kecamatan Jelbuk Kabupaten Jember Tahun 2008 ... 75

Tabel 6.2. Angka Kecukupan Protein dan Energi Masyarakat Desa Puger Wetan Kecamatan Puger Kabupaten Jember Tahun 2008 ... 77

Tabel 6.3 Formula dan Kriteria Penilaian Presentase Rumah Tangga Miskin ... 79

Tabel 6.4 Rumah Tangga Pra-Sejahtera dan Sejahtera I ... 79

Tabel 6.5 Formula dan Kriteria Penilaian Presentase RT dengan akses listrik ... 81

Tabel 6.6 Jumlah Rumah Tangga dengan Akses Listrik ... 81

Tabel 6.7 Formula dan Kriteria Penilaian Angka Harapan Hidup ... 83

Tabel 6.8 Capaian MDGs4 Per Puskesmas Kabupaten Jember Tahun 2014 ... 83

Tabel 6.9 Formula dan Kriteria Penilaian Prevalensi Balita Gizi Kurang ... 85


(7)

vii

Tabel 6.10 Capaian MDGs1 Per Puskesmas Dan Kabupaten Jember Tahun 2014

... 85 Tabel 6.11. Formula dan Kriteria Penilaian Jumlah

Penduduk per Dokter

... 87 Tabel 6.12 Jumlah Tenaga Medis (Dokter Umum &

Spesialis) di Fasilitas Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2014

... 88

Tabel 6.13 Jumlah Tenaga Medis (Dokter Gigi & Dokter Gigi Spesialis) di Fasilitas Kesehatan Kabupaten Jember Tahun 2014

... 90

Tabel 6.14a Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2010

... 92 Tabel 6.14b Perhitungan Rasio Jumlah Penduduk dengan

Jumlah Dokter

... 93 Tabel 6.15. Formula dan Kriteria Penilaian Persentase

Rumah Tangga dengan Akses Air Bersih

... 95

Tabel 6.17 Formula dan Kriteria Penilaian Persentase Balita

yang Tidak Diimunisasi ... 97 Tabel 6.18 (Universal Child Immunization) UCI Kabupaten

Jember ... 97 Tabel 6.19 Formula dan Kriteria Penilaian Tingkat

Konsumsi Pangan ... 99 Tabel 6.20 Pola Pangan Harapan (PPH) Tingkat Ketersediaan

Kelompok Bahan Pangan Kecamatan Kaliwates ... 99 Tabel 6.21 Pola Pangan Harapan (PPH) Tingkat Ketersediaan

Kelompok Bahan Pangan Kecamatan Sumbersari ... 100 Tabel 6.22 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran I (< 100.000) ... 101 Tabel 6.23 Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran II (100.000-149.999)

... 102 Tabel 6.24 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran III (150.000-199.999) ... 103 Tabel 6.25 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran IV (200.000-299.999)

... 104 Tabel 6.26. Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran V (300-000-499.999) ... 104 Tabel 6.27 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran VI (500.000-749.999) ... 104 Tabel 6.28 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran VII (750.000- 999.999) ... 105 Tabel 6.29 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Pedesaan

Golongan Pengeluaran VIII (>1.000.000)


(8)

viii

Tabel 6.30. Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran I (< 100.000)

... 107

Tabel 6.31 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran II (100.000-149.999) ... 107

Tabel 6.32 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran III (150.000- 199.999) ... 108

Tabel 6.33 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran IV (200.000-299.999) ... 109 Tabel 6.34 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran V (300-000-499.999) ... 109

Tabel 6.35 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran VI (500.000-749.999) ... 110

Tabel 6.36 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran VII (750.000-999.999) ... 111

Tabel 6.37 Skor Pola Pangan Harapan Aktual Perkotaan Golongan Pengeluaran VIII (>1.000.000) ... 111

Tabel 6.38 Tingkat Kecukupan Dan Kategori Energi Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember Wilayah Pedesaan ... 112

Tabel 6.39 Tingkat Kecukupan Dan Kategori Energi Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember Wilayah Perkotaan ... 113

Tabel 6.40 Rerata Total Tingkat Kecukupan Dan Kategori Energi Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember Wilayah Pedesaan dan Perkotaan ... 113

Tabel 6.41 Tingkat Kecukupan Dan Kategori Protein Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember wilayah Pedesaan ... 114

Tabel 6.42 Tingkat Kecukupan Dan Kategori Protein Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember wilayah Perkotaan ... 115

Tabel 6.43 Rerata Total Tingkat Kecukupan Dan Kategori Protein Konsumsi Masyarakat Kabupaten Jember wilayah Pedesaan dan Perkotaan ... 115

Tabel 6.44 Rekapitulasi Analisis Wilayah Rawan Pangan ... 116

Tabel 6.45 Hasil Pendataan Tinggi Badan Balita Tahun 2014 ... 119

Tabel 6.46 Pair Comparation Matrix ... 122

Tabel 6.47 Pair-wise Comparation Matrix-Ketahanan Pangan ... 123

Tabel 6.48 Pair-wise Comparation Matrix-Status Kesehatan ... 124

Tabel 6.49 Pair-wise Comparation Matrix-Status Gizi ... 124

Tabel 6.50 Overall Composite Weight ... 125


(9)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kerangka berpikir kajian ... 6

Gambar 2.1 Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan ... 9

Gambar 2.2 Kerangka berpikir penyebab masalah gizi (UNICEF 1990) ... 11

Gambar 3.1 Ketersediaan Energi dan Standar Ketersediaan Energi ... 19

Gambar 3.2 Konsumsi Energi dan Standar Konsumsi Energi ... 20

Gambar 3.3 Ketersediaan protein ... 21

Gambar 3.4 Konsumsi protein nasional ... 22

Gambar 3.5 Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) per Provinsi Tahun 2014 ... 22

Gambar 3.6 Konsumsi protein (gram/kap/hari) per provinsi tahun 2014 ... 23

Gambar 3.7 Skor PPH dan Target ... 24

Gambar 3.8 Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 proporsi gizi kurang dan pendek*) pada balita ... 25

Gambar 3.9 Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 Proporsi kurus dan gemuk*) pada balita ... 26

Gambar 3.10 Kecenderungan prevalensi balita stunting di indonesia menurut provinsi ... 27

Gambar 3.11 Rata-rata tinggi badan anak umur 5-18 tahun dibanding rujukan (WHO 2007): 2007 – 2013 ... 27

Gambar 3.12 Sinergi lintas bidang interaksi K/L dalam mengukur hasil pembangunan ... 30

Gambar 3.13 Sasaran RPJMN 2015-2019 tentang peningkatan status gizi ... 33

Gambar 3.14 Intergrasi RAN-PG dan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi ... 34

Gambar 3.15 Konsep RAN-PG ... 35

Gambar 4.1 Kedudukan RAN/RAD-PG dalam perencanaan pembangunan nasional ... 42

Gambar 4.2 Alur pikir RAN/RAD-PG dalam percepatan perbaikan gizi ... 43


(10)

x

Gambar 4.3 Kerangka Konsep Implementasi Rencana Aksi Daerah Pangan Dan Gizi Jawa Timur 2011-

... 46

Gambar 4.4 Status Gizi Balita berdasarkan berat Badan Menurut Provinsi ... 47

Gambar 4.5 Status Gizi Balita berdasarkan berat Badan Jawa Timur, 2010 ... 47

Gambar 4.6 Status gizi balita berdasarkan tinggi badan ... 48

Gambar 4.7 Status gizi balita berdasarkan berat badan ... 48

Gambar 4.8 Peranan Jawa Timur Dalam Penyediaan pangan Nasional ... 49

Gambar 5.1 Tahapan Kajian dan Metode Analisisnya ... 58

Gambar 6.1 Rata-rata tinggi badan anak umur 5-18 tahun dibanding rujukan (WHO): 2007-2013 ... 117

Gambar 6.2 Konsep Jangka Menengah dan Panjang Perbaikan Gizi di Indonesia ... 118

Gambar 6.3 Dasar hukum kebijakan gizi masyarakat ... 121

Gambar 6.4 Kegiatan Direktorat Bina Gizi ... 121

Gambar 6.5 Lokasi sasaran untuk rumah tangga miskin ... 132

Gambar 6.6 Lokasi Sasaran untuk Rasio Jumlah Penduduk/Dokter ... 133

Gambar 6.7 Persentase Desa/Kelurahan (Universal Child Immunization) UCI ... 135

Gambar 6.8 Persentase Balita Pendek dan Sangat Pendek di Puskesmas Kecamatan ... 136


(11)

1

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia diatur dalam UUD 1945 pasal 28 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap individu berhak hidup sejahtera, dan pelayanan kesehatan adalah salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu pemenuhan pangan dan gizi untuk kesehatan warga negara merupakan investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia.

Kebijakan tentang pangan tertuang dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan menyatakan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat. Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan di dalam definisi Ketahanan Pangan yaitu: ”kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau“.

Kecukupan pangan yang baik mendukung tercapainya status gizi yang baik, sehingga akan memperlancar penerapan Program Wajib Belajar 9 Tahun sesuai dengan Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selanjutnya, di dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional tahun 2005-2025 menegaskan bahwa “Pembangunan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya”.

Ketahananan pangan merupakan salah satu prioritas dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Menengah Tahun 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2010. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2010 menginstruksikan perlunya disusun Rencana Aksi Pangan dan Gizi Nasional dan Rencana Aksi Pangan dan Gizi di tingkat provinsi yang dalam proses penyusunannya melibatkan kabupaten dan kota. Rencana


(12)

2

Aksi Pangan dan Gizi disusun dalam program berorientasi aksi yang terstruktur dan terintegratif dalam lima pilar rencana aksi yaitu perbaikan gizi masyarakat, peningkatan aksesibilitas pangan, peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi.

Permasalahan dalam hal konsumsi pangan yang dihadapi, tidak hanya berupa ketidakseimbangan komposisi pangan, tetapi juga masalah masih belum terpenuhinya kecukupan gizi. Penganekaragaman konsumsi pangan mempunyai tujuan utama untuk peningkatan mutu gizi konsumsi pangan. Berkaitan dengan itu, untuk dasar perencanaan dan untuk mengukur keberhasilan, berbagai upaya di bidang produksi, penyediaan dan konsumsi pangan penduduk baik nasional maupun lokal, diperlukan suatu indikator seperti skor Pola Pangan Harapan (PPH).

Berdasarkan data PPLS 2011 yang dikeluarkan oleh BPS, jumlah rumah tangga miskin di Kabupaten Jember mencapai 246.063 RTM. Angka ini merupakan yang tertinggi di Provinsi Jawa Timur. Masih banyaknya jumlah penduduk miskin tersebut ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan, kesehatan, kemampuan daya beli dan pendapatan membawa pengaruh yang signifikan pada Human Development Index (HDI) atau Indek Pembangunan Manusia. Dalam hal ini Kabupaten Jember berada pada posisi bawah bila dibandingkan dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur. Hal ini akan mempengaruhi pemenuhan kebutuhan pangan, kuantitas dan kualitas konsumsi pangan dan status gizi penduduk.

Oleh karena itu, sangatlah penting bagi Pemerintah Kabupaten Jember untuk merumuskan suatu kebijakan perencanaan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis sumberdaya lokal. Hal inilah yang menjadi latar belakang dilakukannya penelitian tetang studi perumusan kebijakan berupa PenyusunanRencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG).

1.2 Perumusan Masalah

Rawan pangan merupakan kondisi tidak tersedianya pangan dengan cukup, baik dari sisi jumlah (kuantitas) maupun mutu (kualitas), aman, dan


(13)

3

terjangkau. Hingga saat ini belum ada klasifikasi tingkat kerawanan pangan di Kabupaten Jember untuk mengantisipasi kondisi rawan pangan.

Upaya pemerintah Kabupaten Jember dalam mengatasi permasalahan gizi buruk berupa PMT (Pemberian Makanan Tambahan), KUK (Kredit Usaha Kecil), penanggulangan kemiskinan serta penyuluhan pangan dan gizi, perbaikan sarana dan prasarana hingga saat ini belum dianalisis pengaruhnya terhadap perbaikan gizi balita di Kabupaten Jember. Kajian ini melakukan penelusuran kesesuaian program yang telah dilakukan instansi terkait terhadap kerawanan pangan.

1.3 Maksud dan Tujuan Kajian

Penelitian ini dimaksudkan agar dapat memberikan arahan dan dijadikan sebagai salah satu bahan bagi pemerintah daerah Kabupaten Jember dalam merumuskan kebijakan pangan dan gizi, dimana program-program yang akan diterapkan diharapkan mampu menyentuh kebutuhan dasar masyarakat, berdaya guna dan berhasil guna. Selain itu dapat juga dijadikan sebagai salah satu acuan dalam menyusun arah kebijakan pembangunan ketahanan pangan, dan pada akhirnya kejadian kerawanan pangan dapat diatasi dan diantisipasi sedini mungkin.

Tujuan Umum dari kegiatan ini adalah:

Merumuskan kebijakan pangan dan gizi untuk mendukung peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagaimana termaktub dalam RPJMD Kabupaten Jember

Tujuan Khusus dari kegiatan ini adalah:

a) Menganalisis situasi pencapaian pangan dan gizi di Kabupaten Jember b) Merumuskan strategi pencapaian pangan dan gizi untuk menanggulangi

wilayah rawan pangan di Kabupaten Jember

c) Merumuskan rencana aksi pangan dan gizi guna mewujudkan ketahanan pangan di Kabupaten Jember.


(14)

4

1.4 Manfaat Kajian

Manfaat dari kajian ini adalah sebagai berikut:

a. Memberikan informasi mengenai produksi dan ketersediaan pangan, distribusi dan akses pangan, dan pola konsumsi pangan di kabupaten Jember.

b. Memberikan informasi tentang peta wilayah rawan pangan di Kabupaten Jember sehingga berguna untuk perumusan kebijakan penentuan sasaran bantuan pangan dan gizi masyarakat.

c. Memberikan informasi mengenai faktor – faktor utama penyebab rawan pangan di kabupaten Jember sebagai dasar untuk menyusun program-program prioritas dalam peningkatan ketahanan pangan.

d. Memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan untuk merencanakan program-program terpadu lintas SKPD dalam rangka menanggulangi wilayah rawan pangan di Kabupaten Jember.

e. Meningkatkan sinergitas lintas SKPD dalam menjalankan program kegiatan terpadu, dan memperbaiki efektifitas intervensi pemerintah dalam program peningkatan produksi pangan dan gizi masyarakat.

1.5. Sasaran Kajian

Sasaran dari kegiatan ini adalah tersusunnya dokumen operasional tentang Rencana Aksi Daerah Pangan Gizi Kabupaten Jember sebagai panduan dan acuan bagi institusi pemerintah, lembaga legislatif, organisasi non pemerintah, institusi masyarakat dan pelaku lain untuk berperan serta meningkatkan kontribusi yang optimal dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan perbaikan gizi.

1.6. Ruang Lingkup Kajian

Kajian Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Kabupaten Jember meliputi strategi, program dan kegiatan yang akan dilakukan dalam perbaikan pangan dan gizi untuk mewujudkan ketahanan pangan dan meningkatkan status gizi masyarakat di Kabupaten Jember yang tercermin pada tercukupinya kebutuhan pangan baik dari sisi jumlah, keragaman, dan kualitas gizinya.


(15)

5

Rencana Aksi Daerah dikembangkan berdasarkan visi dan misi Kabupaten Jember, Kebijakan dalam RPJMD Kabupaten Jember, komitmen pencapaian tujuan pembangunan millenium (MDGs), serta dokumen kebijakan pembangunan lainnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat. Program dan kegiatan yang dikembangkan diarahkan untuk mencegah, menangani dan menanggulangi wilayah rawan pangan di Kabupaten Jember dari aspek ketersediaan pangan, aspek distribusi dan akses pangan, dan aspek kesehatan dan gizi.

Wilayah rawan pangan dan gizi adalah suatu kondisi yang dicerminkan aspek ketersediaan pangan, aspek akses pangan dan aspek kesehatan dan gizi. 1. Aspek akses pangan

Aspek akses pangan dilihat dari kemampuan memanfaatkan potensi pangan di wilayah sehingga tersedia rumah tangga dalam jumlah dan kaulitas yang cukup. Akses akses pangan dinilai berdasar persentase rumah tangga miskin dan persentase akses jalan memadai.

Persentase rumah tangga miskin adalah gambaran penduduk yang tidak memiliki akses produktif terhadap mata pencaharian. Semakin tinggi persentase rumah tangga miskin, maka semakin kecil akses memperoleh pangan.

Akses jalan menggambarkan kemudahan akses baik ke pasar bagi produsen dan konsumen. Daerah yang terhubung dengan baik akan menerima dukungan infrastruktur lain untuk meningkatkan mata pencaharian penduduk.

Akses kesehatan dan sanitasi dinilai dari fasilitas kesehatan, persentase rumah tangga ke akses air bersih dan rasio jumlah penduduk per dokter terhadap kepadatan penduduk.

Akses fasilitas kesehatan menceritakan rumah tangga mendapat pelayanan kesehatan sehingga kemudahan pelayanan kesehatan menjadi sangat penting dalam rangka menurunkan angka penduduk yang sakit. Akses air minum yang aman dan bersih merupakan penyebab tidak langsung dari rawan pangan dan gizi. Hal ini dikarenakan air yang tidak bersih meningkatkan penduduk yang mengalami sakit dan menurunkan penyerapan makanan.


(16)

6 2. Aspek kesehatan dan gizi

Komponen kesehatan dan gizi merupakan indikator dampak langsung dan tidak langsung terhadap tingkat kerawanan pangan rumah tangga. Dampak langsung dihitung berdasarkan Angka Harapan Hidup (AHH), prevalensi balita gizi kurang (BB/U) dan konsumsi pangan. Akibat tidak langsung dihitung dari indikator rasio jumlah penduduk per dokter, persentase rumah tangga dengan akses air bersih dan persentase anak yang tidak mendapat imunisasi. Indikator yang digunakan merujuk indicator yang digunakan Dewan Ketahanan Pangan RI dan Program Pangan Dunia PBB (2003).

Program pemerintah yang telah dilaksanakan melalui instansi terkait dibandingkan dengan indikator kerawanan pangan pada masing-masing kecamatan. Penilaian yang dihasilkan disampaikan rekomendasi yang sesuai dengan kebutuhan dalam rangka mengurangi tingkat kerawanan pangan pada masing-masing kecamatan. Kerangka berpikir kajian ini adalah sebagai berikut.

Gambar 1.1. Kerangka Berpikir Kajian

(Tingkat kecamatan) Ketersediaan Konsumtif Normatif)

Tingkat

kerawanan pangan Akses pangan 1. Persen RT Miskin 2. Persen RM akses Listrik

Program/Intervensi Pemerintah

Kesehatan dan Gizi

Dampak Langsung: 1. AHH

2. Prevalensi Balita Gizi Kurang 3. Tingkat Konsumsi Pangan Dampak Tak Langsung

1. Rasio Jumlah Penduduk per Dokter

2. Persen Akses Air Bersih 3. Persen Anak Tidak Imunisasi Rekomendasi


(17)

7

BAB II. KERAWANAN DAN KETAHANAN PANGAN

2.1 Definisi Kerawanan Pangan

Kerawanan pangan adalah kondisi ketidakcukupan pangan baik yang dialami daerah, masyarakat atau rumah tangga/individu. Kerawanan pangan dapat terjadi berulang-ulang pada waktu tertentu (kronis) dan dapat pula akibat bencana alam maupun bencana sosial.

Kondisi rawan pangan dapat disebabkan: (a) tidak adanya akses ekonomi bagi rumah tangga /individu untuk memperoleh pangan yang cukup; (b) tidak adanya akses fisik untuk memperoleh pangan yang cukup; (c) tidak tercukupinya pangan untuk kehidupan produktif bagi rumah tangga/individu; (d) tidak terpenuhinya pangan secara cukup baik dalam jumlah, mutu, ragam, keamanan serta keterjangkauan harga (Murniningtyas dan Atmawikarta, 2006); Badan Bimas Ketahanan Pangan (2001).

Rawan pangan merupakan suatu kondisi ketidakmampuan memperoleh pangan cukup dan sesuai untuk hidup sehat dan aktif. Kerawanan pangan terjadi apabila setiap individu hanya mampu memenuhi 80% kebutuhan pangan dan gizi hariannya. Kondisi kerawanan pangan yang lebih parah apabila setiap individu tidak mampu memenuhi 70% dari kebutuhan pangan dan gizi berturut-turut selama 2 bulan diikuti penurunan berat badan (Pusat Pengembangan Distribusi Pangan (DKP), 2005).

Kerawanan pangan dapat dibagi dalam tiga tingkatan, yaitu: (a) tingkat nasional/regional, rumah tangga dan individu. Kerawanan pangan tingkat nasional merupakan situasi dimana pasokan pangan lebih rendah dari permintaan, sehingga harga tidak wajar. Kerawanan pangan nasional dapat disebabkan ketidakmampuan mengimpor pangan yang memadai (Dewan Ketahanan Pangan dan Program PBB (2003).

Dampak kerawanan pangan dan kekurangan gizi dapat terjadi baik pada skala makro dan mikro. Dampak skala mikro adalah pada semua kelompok umur yaitu orang tua, orang dewasa, anak-anak, bayi dan para wanita termasuk wanita hamil. Dampak yang ditimbulkan adalah: (a) malnutrisi pada orang tua, disebabkan kekurangan makanan dan penurunan kesehatan, menyebabkan


(18)

8

kesempatan bekerja dan pendapatan menurun dan umur harapan hidup rendah; (b) penurunan derajat kesehatan dan kemampuan fisik usia produktif dengan tingkat kesakitan meningkat, absensi meningkat, pertumbuhan dan daya tangkap menurun, kriminalitas meningkat; (c) malnutrisi pada wanita hamil dan meningkatnya angka kematian ibu hamil, perkembangan otak janin dan pertumbuhan terhambat, berat bayi lahir rendah; (d) penurunan derajat kesehatan pada anak-anak, keterbelakangan mental, penyapihan yang tidak cukup waktu sehingga mudah terkena infeksi serta kekurangan amkanan; € penurunan berat badan bayi, meningkatnya angka kematian, terganggunya perkembangan mental dan meningkatnya resiko terkena penyakit kronis setelah dewasa. Dampak skala mikro adalah timbulnya permasalahan pada kehidupan masyarakat, ditandai sulitnya mata pencaharian, menurunnya daya beli serta tingginya angka kriminalitas (Deptan 2006).

2.2 Indikator Kerawanan Pangan

Indikator pencapaian ketahanan pangan dibedakan atas indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditunjukkan ketersediaan dan akses pangan. Indikator dampak meliputi indikator langsung maupun tidak langsung. Indikator ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses sumber daya alam, pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dan kerusuhan social. Indikator akses pangan meliputi sumber pendapatan, akses kredit modal, strategi rumah tangga dalam memenuhi kekurangan pangan.

Indikator dampak secara langsung meliputi konsumsi, frekuensi pangan dan status gizi, sedangkan indikator dampak secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan. Setiawan (2002) merangkum beragam indikator ketahanan pangan rumah tangga sesuai aspek ketersediaan akses dan pemanfaatan pangan seperti tertera pada Gambar 2.1.


(19)

9

Gambar 2.1. Faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan

Sumber : Setiawan 2002

Aspek ketersediaan dan stabilitas pangan dipengaruhi oleh sumberdaya (alam, manusia dan sosial) serta produksi pangan (on farm dan off farm). Akses pangan menunjukkan jaminan bahwa setiap rumah tangga dan individu mempunyai sumberdaya cukup dalam memenuhi kebutuhan pangan sesuai ukuran gizi. Akses pangan tercermin dari kemampuan rumah tangga meningkatkan pendapatan dan produksi pangan. Akses pangan tergantung juga pada pengetahuan sumberdaya manusia serta sumberdaya sosial. Aspek pemanfaatan pangan mencerminkan kemampuan mengubah pangan menjadi energi yang tepat untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Pemanfaatan pangan meliputi konsumsi pangan dan status gizi.

Indikator dalam pengukuran ketahanan pangan ada tiga hal, yaitu : (a) ketersediaan energi per kapita, (b) kemiskinan (besarnya pendapatan) dan (c) status gizi anak (banyaknya anak yang menderita malnutrisi (Smith, Obeid, Jensen dan Jhonson, 1999). Tingkat ketersediaan energi per kapita merupakan ukuran dan ketersediaan pangan nasional. Ketersediaan energi per kapita merupakan turunan dari neraca bahan makanan (food balance sheets) dan jumlah penduduk, data produksi dan perdagangan pangan serta penggunaan benih, perubahan stok, tercecer dan yang digunakan untuk makanan digunakan

Ketahanan Pangan

Food availabity Food access Food ulitization

Resources:

Natural Physical Human

Production

Fram Non Farm

Consumption:

Food Non food


(20)

10

untuk mengetahui jumlah komoditas yang tersedia dan dikonsumsi setiap tahun.

Pemerintah telah menyusun perangkat lunak dalam mendeteksi situasi ketahanan pangan sebagai pedoman dalam menentukan kebijakan. Instrumen tersebut diantaranya adalah Food Security Atlas (FSA) yang prinsipnya memberikan informasi tentang situasi pangan di suatu wilayah melalui penjaringan data dan informasi dengan menggunakan indikator yang telah disusun sebagai cerminan factor yang menentukan tingkat kerawanan pangan.

Peta rawan pangan dan gizi menggambarkan tingkat kerawanan masing-masing wilayah, ditinjau dari tiga aspek, yaitu pangan, gizi dan kemiskinan yang berguna bagi pemerintah daerah untuk mengindentifikasi daerah rawan pangan, mempertajam penetapan sasaran untuk tindakan intervensi dan memperbaiki kualitas perencanaan di bidang pangan dan gizi (Dewan Ketahanan pangan 2007).

Penyusunan peta FSA dilakukan pada daerah rawan pangan kronis dan transien. Rawan pangan kronis adalah keadaan rawan pangan berkelanjutan yang terjadi sepanjang waktu. Kondisi ini disebabkan keterbatasan sumber daya alam (SDA) dan keterbatasan sumberdaya manusia (SDM) sehingga menyebabkan kemiskinan. Rawan pangan transiens adalah keadaan rawan pangan yang disebabkan kondisi tidak terduga antara lain: musibah bencana alam, kerusuhan, musim yang menyimpang dan keadaan lain yang bersifat mendadak (Departemen Pertanian 2006).

UNICEF (1990) diacu Atmawikarta dan Murniningtyas (2006) mengembangkan kerangka berpikir mengenai penyebab masalah gizi. Kerangka berpikir UNICEF menjelaskan sitauasi pangan dan gizi di suatu wilayah. Situasi pangan dan gizi yang tidak sesuai akan mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung terhadap outcome. Outcome adalah status gizi balita seperti tertera pada Gambar 2.2.


(21)

11

Gambar 2.2. Kerangka berpikir penyebab masalah gizi

Outcome

Penyebab langsung Penyebab tidak langsung

Akar masalah

Sumber : UNICEF 1990

2.3 Konsep Ketahanan Pangan

Pengertian ketahanan pangan menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tidak hanya sampai pada level rumah tangga, namun terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,

Status gizi anak balita

Intake Gizi Status Infeksi

Pola asuh pemberian ASI/ IMPASI, pola asuh psiko-sosial, penyediaan makan-an sapihmakan-an, praktek higien dan sanitasi makanan dan kesehatan lingkungan Ketahanan

pangan RT

Pelayanan kesehatan dan

kesehatan lingkungan

Komunikasi, informasi dan edukasi

Kuantitas, kualitas, akses dan pengelolaan sumberdaya rumahtangga dan lingkungan

Kondisi budaya, ekonomi, politik dan sosial


(22)

12

keyakinan dan budaya masyarakat untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 selain mengatur tentang ketahanan pangan juga memuat tentang kedaulatan pangan, kemandirian pangan. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.

Ketahanan pangan mempunyai dimensi sebagai berikut: (a) Terpenuhinya pangan yang cukup diartikan ketersediaan pangan dalam arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak dan ikan untuk memenuhi kebutuhanatas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yangbermanfaat bagi pertumbuhan kesehatart manusia; (b) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia dan benda zat lain yang dapatmengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusiaserta aman dari kaidah agama; (c) Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air; (d) Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah (Suryana, 2003).

Tersedianya pangan tingkat nasional tidak mencerminkan jaminan kecukupan pangan di tingkat rumah tangga. Ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan (dimensi fisik dan ekonomi) merupakan determinan penting dari ketahanan pangan (Braun, et al., 1992). Menurut Sen (1981), kendala akses terhadap pangan terkait dengan lemahnya entitlement (faktor kepemilikan) di tingkat rumah tangga yang menyebabkan ketidakmampuan melakukan kontrol terhadap pangan. Hal ini mempunyai hubungan linear dengan tingkat aksesibilitas rumah tangga terhadap pangan.


(23)

13

Konsep perolehan pangan (food entitlement paradigm) adalah: (a) indikator akhir ketahanan pangan adalah perolehan pangan cukup bagi individu. Indikator akhir ketahanan pangan ialah ketahanan pangan individu

(individual food security; (b) ketersediaan pangan adalah syarat keharusan tetapi tidak cukup untuk menjamin perolehan pangan yang cukup bagi setiap individu, dan (c) ketahanan pangan dipandang sebagai sistem hierarkis; ketahanan pangan nasional, provinsi (kabupaten, lokal), rumah tangga dan individual (Simatupang, 2007).

Ketahanan pangan dapat terwujud ketika individu memiliki akses fisik dan ekonomi yang konsisten terhadap pangan dengan cukup, aman dan bergizi dalam memenuhi kebutuhan dan preferensi pangannya untuk kehidupan yang aktif dan sehat. Kedaulatan pangan lahir dari meningkatnya akses terhadap sistem pangan dan pangan tradisional. Hal ini mensyaratkan kedaulatan politik dan penekanan pada transmisi pengetahuan tradisional (Socha, 2012).

Dalam Perspektif kesejahteraan, menurut hukum Engel, semakin tinggi pendapatan (kesejahteraan) individu, pangsa pengeluaran pangan, khususnya pangan pokok, akan semakin berkurang tetapi pangsa pengeluaran nonpangan semakin bertambah. Rumah tangga yang memiliki pangsa pengeluaran pangan relatif tinggi dapat disebut tergolong rumah tangga miskin. Sebaliknya, rumah tangga yang pangsa pengeluaran pangannya relatif rendah dapat disebut rumah tangga sejahtera (Saliem, et al. 2006).

Cakupan persoalan kemiskinan dan ketahanan pangan memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Menurut Maxwell dan Frankenberger (1992) kemiskinan merupakan salah satu faktor determinan terjadinya ketidaktahanan pangan yang akut (chronic food insecurity). Dalam konteks ketahanan pangan, faktor ketersediaan (food availability) dan aksesibilitas (food accessibility) pangan merupakan dua faktor penting dalam peningkatan ketahanan pangan rumah tangga (Sayogyo, 1991; Soehardjo, 1996 dalam Saliem, et al. 2006).

Kemiskinan dibagi atas kemiskinan absolut dan relatif. Kemiskinan absolut terlihat dari kehidupan yang di bawah minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Kemiskinan relatif dilihat dalam perbandingannya dengan segmen yang lebih atas. Dalam konteks


(24)

14

pengukuran kemiskinan absolute, Sajogjo (1997) mengukur berdasarkan pengeluaran perkapita pertahun yang dikonversikan dengan standar kebutuhan beras, yakni kelompok miskin di desa 320 kg dan kota 480 kg; sangat miskin di desa 240 kg dan kota 360 kg; kelompok melarat di desa 180 kg dan kota 270 kg. Sedangkan menurut versi Bank Dunia tingkat kemiskinan dapat dibagi menjadi beberapa kelas yakni : “extreme poverty” yakni dengan ukuran pengeluaran biaya hidup kurang dari 1 dollar AS perhari, dan “poverty” jika kurang dari 2 dollar AS perhari. Penilaian Bank Dunia ini hanya melihat kemiskinan pada tingkat individual saja.

Kemiskinan sangat terkait dengan ketahanan pangan. Saat ini pemerintah menjalankan paradigma ketahanan pangan berkelanjutan melalui tujuh program pemberdayaan masyarakat. Program ketahanan pangan dan program pro penduduk miskin berkontribusi dalam menurunkan kemiskinan relatif dari 24,2 menjadi 16,7 persen selama periode 1998 – 2004.

Analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa: (a) produksi komoditas primer meningkat dan harga pangan stabil; (b) penduduk yang tinggal di pedesaan, terutama bekerja di pertanian dan memiliki pendapatan lebih rendah, cenderung memiliki aksesibilitas pangan lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan; dan (c) kerawanan pangan regional di negara ini masih meluas karena bencana alam, konflik, kelangkaan pangan musiman dan kenaikan harga (Rusastra, et al, 2008).

Committee on World Food Security (2012) menyebutkan penduduk miskin merupakan kelompok rentan terhadap kelaparan. Hal ini karena terbatasnya sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari- hari, juga sangat rentan bahkan terhadap goncangan sangat kecil yang akan mendorong mereka mendekati kemelaratan, kelaparan, dan bahkan kematian dini.

Respon perlindungan sosial yang tepat terhadap kerawanan pangan yang berhubungan dengan kemiskinan kronis adalah bantuan sosial yang dikaitkan dengan usaha pengembangan mata pencaharian yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk. Penduduk yang saat ini tidak miskin tetapi menghadapi resiko kemiskinan di masa datang adalah rentan terhadap kelaparan jika resiko tersebut termaterialisasikan dan tidak dapat melindungi


(25)

15

dirinya sendiri. Penduduk seperti ini membutuhkan jaring pengaman sosial yang efektif. Sistem perlindungan sosial sebaiknya tidak dipandang sebagai beban berat pada sistem fiskal. Intervensi perlindungan sosial yang didesain dengan baik akan baik bagi pertumbuhan dalam pembangunan. Secara khusus, dengan mencegah penurunan aset dan mereduksi resiko personal dalam berinvestasi bagi penduduk miskin, perlindungan sosial dapat menjadi win-win’s trategy yang pro-penduduk miskin dan pro-pertumbuhan.


(26)

16

BAB III. KEBIJAKAN NASIONAL PANGAN DAN GIZI

3.1 Kondisi Pangan dan Gizi Nasional

Pertumbuhan ekonomi di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 4 dekade terakhir ditandai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010, pendapatan nasional kotor per kapita adalah USD 3.956 dan umur harapan hidup rata-rata adalah 71,5 tahun (UNDP, 2010). Walaupun demikian, beberapa indikator keberhasilan pembangunan masih memprihatinkan. Salah satu indikator yang diupayakan percepatan pencapaiannya adalah penurunan jumlah penduduk miskin. Tingkat kemiskinan telah menurun dari 14,1 persen pada tahun 2009 menjadi 13,3 persen pada tahun 2010 (BPS), namun masih diperlukan kerja keras untuk mengakselerasi pencapaian Millenium Development Goals (MDGs). Kesepakatan MDGs tersebut adalah penurunan 50 persen dari kondisi tahun 1990, menjadi 7,5 persen pada tahun 2015. Demikian pula kondisi kelompok rentan ibu dan anak masih mengalami berbagai masalah kesehatan dan gizi, yang ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan angka kematian neonatal, prevalensi gizi kurang (BB/U) dan pendek (TB/U) pada anak balita, prevalensi anemia gizi kurang zat besi pada ibu hamil, gangguan akibat kurang yodium pada ibu hamil dan bayi serta kurang vitamin A pada anak balita. Pada tahun 2007 prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang dan pendek masing-masing 18,4 persen dan 36,8 persen sehingga Indonesia termasuk di antara 36 negara di dunia yang memberi 90 persen kontribusi masalah gizi dunia (UN-SC on Nutrition 2008). Walaupun pada tahun 2010 prevalensi gizi kurang dan pendek menurun menjadi masing-masing 17,9 persen dan 35,6 persen, tetapi masih terjadi disparitas antar provinsi yang perlu mendapat penanganan masalah yang sifatnya spesifik di wilayah rawan (Riskesdas 2010).

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia, hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pada kenyataannya peta penduduk rawan pangan yang diumumkan oleh BPS pada tahun 2009 masih menunjukkan situasi yang sangat memprihatinkan. Jumlah penduduk sangat


(27)

17

rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per orang per hari mencapai 14,47 persen, meningkat dibandingkan dengan kondisi tahun 2008 yaitu 11,07 persen. Rendahnya aksesibilitas pangan, yaitu kemampuan rumah tangga untuk selalu memenuhi kebutuhan pangan anggotanya, mengancam penurunan konsumsi makanan yang

beragam, bergizi-seimbang, dan aman di tingkat rumah tangga. Pada akhirnya akan berdampak pada semakin beratnya masalah kekurangan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rentan yaitu ibu, bayi dan anak.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa masalah gizi adalah masalah intergenerasi, yaitu ibu hamil kurang gizi akan melahirkan bayi kurang gizi. Pada hakekatnya masalah gizi dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat. Intervensi paket kegiatan untuk mengatasi masalah tersebut yang dilaksanakan melalui pelayanan berkelanjutan (continuum care) pada periode kesempatan emas kehidupan (window of opportunity), yaitu sejak janin dalam kandungan, dan bayi baru lahir sampai anak berusia 2 tahun. Di Brazil, revalensi pendek pada anak balita menurun lebih dari 30 persen, yaitu dari 37 persen pada tahun 1974 menjadi 7 persen pada tahun 2006, dengan melakukan empat prioritas penanganan yaitu meningkatkan: (1) akses pelayanan kesehatan dan gizi yang berkelanjutan pada ibu dan anak; (2) akses pendidikan dan informasi pada remaja putri dan perempuan; (3) cakupan penyediaan air dan sanitasi; serta (4) daya beli keluarga (Monteiro et al, 2010). Sedangkan Thailand menurunkan 50 persen kekurangan gizi pada anak hanya dalam waktu 4 tahun (1982-1986) melalui fokus pelayanan untuk kelompok yang sama (SCN News

No. 36 mid-2008). Penelitian di Peru yang melibatkan anak pendek usia 6-18 bulan, membuktikan bahwa dengan intervensi yang tepat ketertinggalan pertumbuhan tinggi badan dapat “dikejar” dan pada usia 4,5-6 tahun dapat mempunyai kecerdasan yang sama dengan anak yang tidak pendek pada masa bayi (Crookston et al, 2010).

Saat ini, situasi gizi dunia menunjukkan dua kondisi yang ekstrem. Mulai dari kelaparan sampai pola makan yang mengikuti gaya hidup yaitu rendah serat dan tinggi kalori, serta kondisi kurus dan pendek sampai kegemukan. Di sisi lain, penyakit menular dan penyakit tidak menular juga meningkat. Sangat


(28)

18

jelas peran gizi berkontribusi bermakna pada penanggulangan ke dua jenis penyakit ini. Untuk mencapai status kesehatan yang optimal, dua sisi beban penyakit ini perlu diberi perhatian lebih pada pendekatan gizi, baik pada masyarakat kaya maupun pada kelompok masyarakat miskin (WHO, 2008). Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada saat sebagian besar bangsa Indonesia masih menderita kekurangan gizi terutama pada ibu, bayi dan anak secara bersamaan masalah gizi lebih cenderung semakin meningkat dan berakibat beban ganda yang menghambat laju pembangunan. Status gizi optimal dari suatu masyarakat telah secara luas diterima sebagai salah satu dari prediktor untuk kualitas sumberdaya manusia, prestasi akademik, dan daya saing bangsa (The Lancet, 37: 340-357).

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010- 2014 secara tegas telah memberikan arah Pembangunan Pangan dan Gizi dengan sasaran meningkatnya ketahanan pangan dan meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat. Program Pembangunan yang Berkeadilan yang terkait dengan Rencana Tindak Upaya Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) telah dituangkan dalam Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010. Salah satu dokumen yang harus disusun adalah Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2011-2015 dan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) 2011-2015 di 33 provinsi. Penyusunan RAN-PG 2011-2015 diawali dengan evaluasi aksi nasional yang tercantum dalam RAN-PG 2006-2010. Banyak kemajuan telah dicapai dalam pembangunan pangan dan gizi yang meliputi perbaikan gizi masyarakat, aksesibilitas pangan, mutu dan keamanan pangan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), dan koordinasi dalam kelembagaan pangan dan gizi. Keberhasilan tersebut antara lain ditandai dengan status gizi masyarakat yang semakin membaik, ketersediaan pangan yang meningkat dan mencukupi kebutuhan penduduk, dikeluarkannya berbagai peraturan perundangan terkait dengan mutu dan keamanan pangan, meningkatnya perilaku individu dan keluarga untuk hidup bersih dan sehat termasuk sadar gizi, serta sudah semakin banyak terbentuk lembaga yang menangani pangan dan gizi di berbagai tingkat administrasi pemerintahan. Walaupun demikian berbagai tantangan masih teridentifikasi sehingga beberapa butir rekomendasi


(29)

19

pada evaluasi RAN-PG 2006-2010 menjadi perhatian utama untuk dijabarkan dalam rencana aksi yang menjadi prioritas pembangunan pangan dan gizi nasional selama lima tahun ke depan. Keterkaitan pembangunan pangan, kesehatan dan gizi dengan penanggulangan kemiskinan, pendidikan, pemberdayaan keluarga dan penyelenggaraan urusan wajib pelayanan masyarakat di daerah perlu diperjelas sehingga setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat mengalokasikan kegiatan-kegiatan prioritas yang saling menunjang sekaligus memberi arah pembangunan kewilayahan.

Perkembangan ketersediaan energi nasional dalam periode 2009-2013 dinyatakan oleh Gambar 3.1 di bawah ini.

Gambar 3.1. Ketersediaan Energi dan Standar Ketersediaan Energi

Sumber : Neraca Bahan Makanan 2009 – 2013

Dari Gambar 3.1 di atas dapat kita ketahui bahwa ketersediaan energi selalu melebihi standar ketersediaan energi. Hal ini membuktikan bahwa hingga saat ini kondisi ketersediaan energi masih dalam keadaan aman.

3320

3754 3646 3896 3849

2200 2200 2200 2200 2200

2009 2010 2011 2012 2013

Ketersediaan Energi (kkal/kap/hari)


(30)

20

Adapun kondisi perkembangan konsumsi energi nasional dari tahun 2009 hingga 2014 dalam satuan kkal/kapita/hari dinyatakan oleh Gambar 3.2 berikut ini.

Gambar 3.2. Konsumsi Energi dan Standar Konsumsi Energi

Sumber : Susenas, BPS 209-2014; diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP

Dari Gambar 3.2 di atas terlihat bahwa konsumsi energi berfluktuasi, tapi cenderung meningkat, dengan pertumbuhan rata-rata 0,3% per tahun. Konsumsi energi tahun 2014 sebesar 97,5% dari AKE 2000 kkal/kap/hari.

Perkembangan ketersediaan dan konsumsi protein nasional dalam kurun waktu 2009-2013 disajikan oleh Gambar 3.3 berikut ini.

1927

2025

2048

1944

1930

1949

2000 2000 2000 2000 2000 2000

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Konsumsi Energi (kkal/kap/hari)


(31)

21

Gambar 3.3. Ketersediaan protein

Sumber : Neraca Bahan Makanan 2009 – 2013

Dari Gambar 3.3 di atas, kita memperoleh gambaran bahwa ketersediaan protein dari tahun 2009 sampai dengan 2013 masih mencukupi. Akan tetapi ada fenomena yang cukup unik, yaitu adanya kenaikan ketersediaan protein antara tahun 2010 hingga 2011.

Berikut ini merupakan gambaran konsumsi protein nasional dalam kurun waktu 2009 hingga 2014 yang dinyatakan oleh Gambar 3.4. Dari Gambar tersebut dapat kita ketahui bahwa konsumsi protein tahun 2009-2014 lebih besar dibandingkan dengan AKP (104,5 – 113,7%). Sedangkan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 0,9% per tahun, namun masih didominasi oleh kontribusi protein nabati yang berasal dari kelompok padi-padian (beras).

87,75 93,4 93,13 88,99 89,26

57 57 57 57 57

2009 2010 2011 2012 2013

Ketersediaan Protein (gr/kap/hari)


(32)

22

Gambar 3.4. Konsumsi protein nasional

Sumber : Susenas, BPS 209-2014; diolah dan dijustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP

Konsumsi Energi Per Provinsi Tahun 2014 disajikan dalam Gambar di bawah ini.

Gambar 3.5. Konsumsi Energi (kkal/kap/hari) per Provinsi Tahun 2014

Sumber : Susenas 2014 triwulan 1; BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP

54,3

57,9

59,1

55,9 55,7 56,6

52 52 52 52 52 52

2009 2010 2011 2012 2013 2014

Konsumsi Protein (gr/kap/hari)

Konsumsi Protein Standar Konsumsi Protein

0 500 1000 1500 2000 2500

Standar AKE 2000 kkal/kap/hari


(33)

23

Dari Gambar 3.5 dapat diketahui bahwa Bali merupakan provinsi yang memiliki nilai konsumsi energi paling tinggi, sedangkan Maluku utara bernilai terendah dan di bawah standar AKE (2000 kkal/kap/hari). Dalam hal ini, Jawa Tumur juga berada di standar AKE nasional.

Konsumsi Protein Per Provinsi Tahun 2014 disajikan oleh Gambar 3.6 di bawah ini.

Gambar 3.6. Konsumsi protein (gram/kap/hari) per provinsi tahun 2014

Sumber : Susenas 2014 triwulan 1; BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP

Dari Gambar 3.6 di atas diperoleh informasi bahwa hampir semua provinsi memiliki AKP di atas standar AKP nasional (52 gram/kap/hari), kecuali Provinsi Maluku Utara.

Perkembangan skor PPH nasional dalam kurun 2009–2014 ditampilkan oleh Gambar 3.7 berikut ini.

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 K e p u la u a n R ia u B a li D I Y o g y a k a rt a N T B D K I Ja k a rt a S u la w e si T e n g g a ra B a n te n G o ro n ta lo S u m a te ra U ta ra S u la w e si U ta ra S u la w e si S e la ta n Ja w a B a ra t K a li m a n ta n T e n g a h K a li m a n ta n S e la ta n R ia u B e n g k u lu S u m a te ra B a ra t S u la w e si T e n g a h Ja w a T e n g a h S u m a te ra S e la ta n Ja w a T im u r P a p u a B a ra t L a m p u n g K a li m a n ta n B a ra t M a lu k u Ja m b i A ce h S u la w e si B a ra t B a n g k a B e li tu n g K a li m a n ta n T im u r P a p u a N T T M a lu k u U ta ra

Standar AKP 52 gram/kap/hari


(34)

24

Gambar 3.7. Skor PPH dan Target

Sumber : Susenas 2009, 2010, (2011-2014 triwulan 1); BPS diolah dan diJustifikasi dengan pendekatan pengeluaran oleh BKP.

Capaian skor PPH Tahun 2014 sebesar 83,4 atau 89,4% dari target skor PPH berdasarkan Perpres No. 22 Tahun 2009 (skor PPH 93,3). Adapun perkembangan rata-rata kualitas konsumsi pangan masyarakat tahun 2011-2014 menunjukkan sedikit penurunan.

3.2. Kebijakan pembangunan gizi masyarakat dalam RPJMN 2015 – 2019

Kondisi Umum

a. Kesehatan ibu dan anak membaik namun belum signifikan dan kesenjangan masih cukup lebar

1. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih cukup tinggi.

2. Disparitas Masih Lebar : Persalinan di fasilitas kesehatan tertinggi berada di DIY (99%) dan terendah berada di Maluku (25,2%); Cakupan Imunisasi dasar lengkap tertinggi berada di DIY (83,1%) dan terendah berada di Papua (29,2%).

b. Status Gizi di Indonesia

1. Permasalahan kekurangan gizi, terutama pendek (stunting)

75,7 85,7 85,6 83,5 81,4 83,4

85,0 86,4 88,1 89,8 91,5 93,3

2009 2010 2011 2012 2013 2014


(35)

25

2. Wasting / kurus dialami oleh 12,1% balita

3. Ibu Hamil di Indonesia mengalami Anemia (37,1%) c. Pengendalian Penyakit

1. Beban ganda penyakit: penyakit menular masih muncul sedangkan penyakit tidak menular semakin meningkat

2. Prevalensi HIV dan AIDS di Indonesia cukup tinggi tahun 2013 adalah 0,43 persen

3. Faktor Risiko PTM (Penduduk >10 th kurang konsumsi buah dan sayur : 93,5%)

d. Fasilitas Pelayanan Kesehatan : Pada pelayanan kesehatan

rujukan, banyak rumah sakit yang belum memenuhi standar ketenagaan.

Proporsi balita gizi kurang dan mengalami stunting ditunjukkan oleh Gambar 3.8.

Gambar 3.8 Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 proporsi gizi kurang dan pendek*) pada balita


(36)

26

Dari Gambar 3.8 di atas dapat diketahui bahwa proporsi gizi buruk dan gizi kurang mengalami kenaikan dari tahun 2007 hingga 2013. Sedangkan untuk proporsi balita sangat pendek mengalami penurunan. Adapun balita yang mengalami pertumbuhan pendek mengalami kenaikan dalam kurun waktu yang sama.

Kondisi nasional balita sangat kurus dan gemuk ditampilkan oleh Gambar 3.9 berikut ini.

Gambar 3.9. Kecenderungan nasional: 2007 – 2013 Proporsi kurus dan gemuk*) pada balita

Sumber Data : Riskesdas 2013

Dari Gambar 3.9 di atas dapat diperoleh informasi bahwa proporsi balita sangat kurus, kurus, maupun gemuk mengalami penurunan dalam rentang waktu enam tahun (2007-2013).

Kecenderungan prevalesi balita stunting secara nasional ditunjukkan oleh Gambar 3.10 di bawah ini.


(37)

27

Gambar 3.10. Kecenderungan prevalensi balita stunting di indonesia menurut provinsi

Sumber Data : Riskesdas 2013

Dari Gambar 3.10 tersebut dapat diketahui bahwa untuk Provinsi Jawa Timur, dari tahun 2007 hingga 2013 prevalensi balita stunting memang mengalami kenaikan, hanya saja tidak terlalu signifikan.

Gambar 3.11. Rata-rata tinggi badan anak umur 5-18 tahun dibanding rujukan (WHO 2007): 2007 – 2013


(38)

28

Gambar 3.11 merupakan informasi tentang adanya selisih antara rata-rata tinggi badan anak 5-18 tahun dengan rujukannya. Untuk anak laki-laki terdapat beda tinggi badan 12,5 cm, sedangkan bagi anak perempuan terdapat selisih tinggi 9,8 cm dengan tinggi referensinya.

Isu ketahanan pangan mempengaruhi gizi masyarakat

Kondisi umum masyarakat adalah sebagai berikut:

• Penduduk sangat rawan pangan yaitu dengan asupan kalori kurang dari 1.400 Kkal per orang per hari mencapai 15,34 persen (BPS, 2010).

• Rata-rata konsumsi kalori penduduk 1930 kkal per kapita masih lebih rendah dari Angka Kecukupan Energi (AKE) yaitu sebesar 2.000 kkal per kapita per hari (2013)

• Ibu hamil mendapat asupan kalori di bawah kebutuhan minimum yaitu 44,4 persen (Riskesdas 2013).

Dari kondisi umum di atas, maka dapat dirumuskan beberapa poin permasalahan yaitu:

Distribusi dan aksesibilitas pangan

Perbaikan Kualitas Konsumsi Pangan dan Gizi Masyarakat

Tidak semua rumahtangga mampu dan memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragamannya

Sehingga tantangan yang harus dihadapi saat ini adalah:

Ketahanan pangan perlu terus ditingkatkan untuk menghindari terjadinya krisis pangan yang akan berdampak pada penurunan konsumsi energi dan penurunan konsumsi zat gizi mikro (vitamin dan mineral) yang sangat diperlukan oleh anak-anak dan ibu hamil. Perlu dilakukan Mitigasi Gangguan Terhadap Ketahanan Pangan.

Isu keamanan dan mutu pangan mempengaruhi gizi masyarakat

Kondisi unum yang berkaitan dengan keamanan dan mutu pangan nasional adalah sebagai berikut:


(39)

29

• Baru sekitar separoh Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) yang memenuhi syarat sebanyak yang memenuhi syarat.

• Sampai dengan tahun 2009, total Industri Rumah Tangga-Pangan (IRT-P) yang ada di Indonesia adalah 33.902.

• Baru sekitar separoh IPRT yang mengikuti Penyuluhan Keamanan Pangan dan memperoleh sertifikat.

• Belum semua tepung terigu difortifikasi.

Permasalahan yang harus dihadapi berkenaan dengan keamanan dan mutu pangan adalah:

• Adanya produk industri pangan yang Tidak Memenuhi Syarat (TMS) yaitu penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) pemanis dan pengawet (benzoat) berlebih, penyalahgunaan bahan berbahaya formalin, boraks, pewarna bukan untuk makanan, dan cemaran mikroba.

• Produk TMS terkait dengan cemaran mikroba masih cukup dominan. Kondisi-kondisi tersebut memunculkan tantangan baru yaitu:

Belum semua Produk Pangan, Garam Beriodium, PJAS dan Tepung Terigu yang diuji memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.


(40)

30

3.3. Kebijakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi (RPJMN 2015 – 2019)

Percepatan perbaikan gizi nasional harus diduung oleh sinergi lintas bidang interaksi K/L dalam mengukur hasil pembangunan yang dinyatakan oleh Gambar 3.12 di bawah ini.

Gambar 3.12. Sinergi lintas bidang interaksi K/L dalam mengukur hasil pembangunan

Sumber Data : Riskesdas 2013

Isu strategis RPJMN 2015-2019 untuk subbidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat adalah sebagai berikut:

1. Peningkatan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja dan Lansia

DETERMINAN DAMPAK UKURAN

KEMKES/DINKES

SPESIFIK

30%

GIZI

KEMATIAN

IBU AKI

ANAK AKB

K/L & SKPD Terkait

SENSITIF

70%

KESAKITAN

PM Prevalensi/Kasus

PTM Prevalensi/Kasus

PREVENTIF-PROMOTIF KURATIF-REHABILITATIF

KEGIATAN INDIKATOR TARGET

KERANGKA PELAKSANAAN

(Dana, Regulasi, Lembaga)

KEGIATAN INDIKATOR TARGET

KERANGKA PELAKSANAAN

(Dana, Regulasi, Lembaga)

RENCANA STRATEGIS- RENCANA AKSI TERSTRUKTUR & TERUKUR


(41)

31

2. Percepatan Perbaikan Status Gizi Masyarakat

3. Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan

4. Peningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar dan Rujukan yang Berkualitas

5. Pemenuhan Ketersediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Pengawasan Obat dan Makanan

6. Pemenuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan

7. Peningkatan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat

8. Peningkatan Manajemen, Penelitian dan Pengembangan, serta Sistem Informasi Kesehatan

9. Pengembangan dan Peningkatan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan 10.Pengembangan Jaminan Kesehatan Nasional

Adapun arah kebijakan RPJMN 2015-2019 yaitu:

1. Akselerasi Pemenuhan Akses Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak, Remaja, dan Lanjut Usia yang Berkualitas

2. Mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat

3. Meningkatkan Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 4. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Dasar yang Berkualitas 5. Meningkatan Akses Pelayanan Kesehatan Rujukan yang Berkualitas 6. Meningkatkan Ketersediaan, Keterjangkauan, Pemerataan, dan Kualitas

Farmasi dan Alat Kesehatan

7. Meningkatkan Pengawasan Obat dan Makanan

8. Meningkatkan Ketersediaan, Persebaran, dan Mutu Sumber Daya Manusia Kesehatan

9. Meningkatkan Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat 10.Menguatkan Manajemen, Penelitian Pengembangan dan Sistem

Informasi

11.Memantapkan Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional Bidang Kesehatan

12.Mengembangkan dan Meningkatkan Efektifitas Pembiayaan Kesehatan Strategi mempercepat Perbaikan Gizi Masyarakat dilakukan melalui langkah-langkah:


(42)

32

a. peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan;

b. peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan, remaja, calon pengantin dan ibu hamil, termasuk pemberian makanan tambahan, terutama untuk keluarga kelompok termiskin dan wilayah DTPK;

c. peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi, sanitasi, hygiene, dan pengasuhan;

d. peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi terutama untuk ibu hamil, wanita usia subur, anak, dan balita di daerah DTPK termasuk melalui upaya kesehatan berbasis masyarakat dan Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif (Posyandu dan Pos PAUD);

e. penguatan pelaksanaan dan pengawasan regulasi dan standar gizi; dan f. penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan

spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan gizi.

Sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk meningkatkan status gizi masyarakat perriode 2015-2019 dinyatakan oleh Tabel 3.13 berikut ini.


(43)

33

Tabel 3.13. Sasaran RPJMN 2015-2019 tentang peningkatan status gizi

No Indikator Status Awal Target

2019

1 Meningkatnya Status Gizi Masyarakat

1. Prevalensi anemia pada ibu hamil (persen) 37,1 (2013) 28 2. Persentase Bayi dengan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR)

10,2 (2013) 8

3. Persentase bayi usia kurang dari 6 bulan yang mendapat ASI eksklusif

38,0 (2013) 50

4. Prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada anak balita (persen)

19,6 (2013) 17

5. Prevalensi wasting (kurus) anak balita (persen) 12 (2013) 9,5 6. Prevalensi stunting (pendek dan sangat pendek)

pada anak baduta (persen)

32,9 (2013) 28

Sumber Data : Riskesdas 2013

Intergrasi RAN-PG dan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi dinyatakan oleh Gambar 3.14 di bawah ini.


(44)

34

Gambar 3.14. Intergrasi RAN-PG dan gerakan nasional percepatan perbaikan gizi

Sumber Data : Riskesdas 2013

Konsep RAN-PG Tahun 2015 – 2019

Kerangka Pikir Aksi untuk Mencapai SDM Berkualitas, melalui pencapaian status dan perkembangan gizi janin & anak yg optimal dipaparkan oleh Gambar 3.15 di bawah ini.

5 PILAR RENCANA AKSI

1. Perbaikan Gizi Masyarakat terutama pada ibu pra-hamil, ibu hamil dan anak 2. Peningkatan

Aksesibilitas Pangan yang beragam 3. Peningkatan

Pengawasan Mutu dan Keamanan Pangan

4. Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) 5. Penguatan

Kelembagaan Pangan dan Gizi

KELUARAN

1. Meningkatnya cakupan ASI Ekslusif, D/S, KN dan K4 2. Meningkatnya tingkat

keragaman konsumsi dan skor PPH

3. Meningkatnya cakupan jajanan anak sekolah yang memenuhi syarat dan produk PIRT

tersertifikasi 4. Meningkatnya jumlah

rumah tangga yang melakukan PHBS 5. Meningkatnya jumlah

kab/kota yang mempunyai SKPD bidang Pangan dan Gizi

6. Meningkatnya peraturan perundangan Pangan dan Gizi

7. Meningkatnya tenaga D3 gizi puskesmas dan PPL kecamatan

SASARAN PEMBANGUNAN PANGAN DAN GIZI PADA TAHUN

2015 • Prevalensi anak balita - Gizi kurang : 15.5%

- Pendek : 32%

• Konsumsi pangan dengan asupan kalori 2.000 Kkal/hr


(45)

35

Gambar 3.15. Konsep RAN-PG

Source: The Lancet, 2013: Executive Summary of The Lancet Maternal and Child Nutrition Series

Strategi Gerakan 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan)Dalam Program Pangan Dan Gizi adalah sebagai berikut:

1. Intervensi fokus pada 1000 Hari Pertama Kehidupan (ibu hamil, dan anaksampai usia 2 tahun)dan dilanjutkan pada usia balita, anak sekolah, remaja, pra hamil, dewasa, dan manula.

2. Perluasan stakeholder melalui kerjasama lintas sektor, pemerintah dan swasta dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat.

Intervensi Gizi Spesifik Berbagai Program - Kesehatan remaja

dan gizi ibu prahamil

- PMT ibu hamil

- Suplementasi/fortifik asi gizi mikro

- Pemberian ASI dan makanan pendamping ASI

- PMT anak

- Penganekaragaman makanan

- Perilaku pemberian makan dan stiulasi

- Penanggulangan gizi buruk akut

- Manajemen dan pencegahan penyakit

- Intervensi gizi dalam kedaruratan

Program Gizi Sensitif dan Pendekatannya - Pertanian dan Ketahanan

Pangan

- Jaminan Sosial Nasional

- Perkembangan anak usia dini

- Kesehatan mental ibu

- Pemberdayaan perempuan

- Perlindungan anak

- Pendidikan dalam kelas

- Sanitasi dan air bersih

- Pelayanan kesehatan dan Keluarga Berencana

Membangun Lingkungan

“Pemungkin/Enabling”

- Evaluasi tepat

- Strategi advokasi

- Koordinasi vertikal dan

horizontal

- Akuntabilitas, regulasi

insentif, peraturan perundangan

- Program kepemimpinan

- Investasi kapasitas

- Mobilisasi sumberdaya lokal

Gizi dan Perkembangan Optimal Janin dan Anak

Pemberian makanan, pola

asuh, stimulasi tumbuh kembang Pemberian ASI, makanan beragam, bergizi seimbang, aman Beban rendah penyakit infeksi Ketahanan pangan, ketersediaan pangan, akses ekonomi, dan pemanfaatan pangan Sumberdaya pengasuhan dan pemberian makanan (pada tataran Ibu, Keluarga , Masyarakat) Akses dan penggunaan pelayanan kesehatan, lingkungan sehat dan aman

Pengetahuan dan bukti Pemerintahan dan politik

Kepemimpinan, kapasitas dan sumber pendanaan Konteks sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan

(nasional dan daerah )

Manfaat pada Siklus Kehidupan

Kesakitan/kematian Perkembangan kognitif, Prestasi dan kapasitas Kualitas org dewasa Kapasitas kerja bayi dan anak motorik, sosio-emosional belajar Obesitas dan PTM Produktivitas


(46)

36

3. Pelibatan akademia, sektor swasta dan masyarakat madani di pusat dan daerah.

4. Peningkatan akuntabilitas serta tatakelola pemerintahan yang baik serta efektif.

5. Menyiapkan monitoring dan evaluasi yang terukur dan indikator keberhasilan yang sejalan dengan RPJMN

Sedangkan Program Lintas 1: Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat dijabarkan ke dalam Tabel 3.2 di bawah ini.

Tabel 3.2. Program Percepatan Perbaikan Gizi Masyarakat

Program Kegiatan

Kementerian Kesehatan

PROGRAM BINA GIZI DAN KESEHATAN IBU DAN ANAK

Pembinaan Gizi Masyarakat

Badan POM

PROGRAM PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN

1. Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya 2. Penilaian Pangan Olahan

3. Surveilans dan Penyuluhan Keamanan Pangan

Kementerian Pertanian

PROGRAM PENINGKATAN DIVERSIFIKASI DAN KETAHANAN PANGAN MASYARAKAT

1. Pengembangan Ketersediaan dan Penanganan Rawan Pangan

2. Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan dan peningkatan keamanan pangan segar


(47)

37 PROGRAM PEMBINAAN DAN

PENGEMBANGAN INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN

1. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan,

Pengembangan, Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi, serta Pengelolaan Pengembangan Infrastruktur Sanitasi dan Persampahan 2. Pengaturan, Pembinaan, Pengawasan

Pengembangan Sumber Pembiayaan dan Pola Investasi dan Penyelenggaraan Serta

Pengembangan Serta Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum

Kementerian Perikanan dan Kelautan

PROGRAM PENINGKATAN DAYA SAING USAHA DAN PRODUK KELAUTAN DAN PERIKANAN

1. Peningkatan Daya Saing Usaha dan Produk Kelautan dan Perikanan

PROGRAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA LAUT, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

1. Kegiatan Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha

Program Kegiatan

Kementerian Komunikasi dan Informasi

PROGRAM PENGEMBANGAN

INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK

1. Pengelolaan dan Penyediaan Informasi 2. Pembinaan dan Pengembangan Kemitraan

Lembaga Komunikasi

BBKBN

PROGRAM KEPENDUDUKAN, KELUARGA BERENCANA DAN PEMBANGUNAN KELUARGA

1. Pembinaan Keluarga Balita dan Anak

2. Pengelolaan program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga Provinsi


(48)

38

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

PROGRAM PERLINDUNGAN ANAK 1. Pemenuhan Hak Kesehatan anak

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

PROGRAM PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, NON FORMAL DAN INFORMAL

1. Penyediaan Layanan Pendidikan Anak Usia Dini 2. Penyediaan Layanan Pendidikan Masyarakat

Kementerian Agama

PROGRAM BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM

1. Pengeloalaan Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi

PROGRAM PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN DESA

1. Fasilitasi Pemberdayaan Adat dan Sosial Budaya Masyarakat


(49)

39

BAB IV. KEBIJAKAN PANGAN DAN GIZI PROVINSI JAWA TIMUR

4.1 Kondisi Umum

undang No.7 Tahun 1996 yang telah direvisi melalui Undang-undang No.18 Tahun 2012, menyatakan bahwa Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi Pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya, kelembagaan, dan budaya lokal. Pemenuhan hak atas pangan dicerminkan pada definisi ketahanan pangan yaitu : “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”. Definisi ketahanan pangan secara luas, diartikan bahwa : (1) terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yang diartikan dengan ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia, (2) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah agama, (3) terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, yang diartikan bahwa pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air, (4) terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yang diartikan pangan mudah diperoleh rumah tangga dengan harga yang terjangkau Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan


(50)

40

pendidikan tersebut akan mendukung komitmen pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015. Komitmen global lain sebagai landasan pembangunan pangan dan gizi adalah: The global Strategy for Health for All 1981, The World Summit for Children 1990, The Forty-eight World Health Assembly 1995, World Food Summit 1996 dan Health for All in the Twenty-first Century 1998.

Sejalan dengan sistem otonomi, pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/ kota dan atau pemerintah desa sesuai kewenangannya, menjadi pelaksana fungsi-fungsi inisiator, fasilitator dan regulator atas penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing. Selanjutnya, penyelenggaraan ketahanan pangan di daerah mengacu pada arah kebijakan, strategi, dan sasaran ketahanan pangan nasional serta pedoman, norma, standart dan kriteria yang telah ditetapkan pemerintah pusat serta mengacu pada Rencana Pembangunan di Jawa Timur.

Pembangunan ketahanan pangan di wilayah Jawa Timur harus dipandang sebagai bagian tidak terlepaskan dari wawasan ketahanan pangan nasional. Keberhasilan Ketahanan Pangan di Jawa Timur sebagai wilayah yang surplus pangan telah menjadi tolok ukur keberhasilan ketahanan Pangan nasional. Oleh karena itu pemerintah Jawa Timur harus terus berupaya memacu pembangunan ketahanan pangan melalui program–proram yang benar-benar mampu memperkokoh ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pembangunan ketahanan pangan yang berdimensi pembangunan Jawa Timur secara menyeluruh akan dapat terlaksana dengan efektif manakala memiliki arah yang jelas dan terukur kinerjanya. Program-program dalam rangka pembangunan ketahanan pangan harus terpadu (integrated), terukur keberhasilannya (measureable) dan berkesinambungan (sustainability). Dengan demikian setiap pelaksanaan program-program pembangunan dalam rangka ketahanan pangan dapat diarahkan dengan benar, dapat dipantau perkembangannya dan selanjutnya dapat dievaluasi keberhasilannya.


(51)

41

4.2. Peranan RAD-PG dalam Percepatan Perbaikan Gizi Legislasi dasar pelaksanaan RAN/RAD-PG

Pelaksanaan RAN/RAD–PG memiliki payung hukum yang kuat karena terdapat 3 UU yaitu :

• UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pangan;

• UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; dan

• UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJP 2005 – 2025

Disamping ketiga peraturan perundang-undangan di atas, program ini juga didukung oleh empat peraturan lainnya yaitu :

• Perpres No. 5 Tahun 2015 tentang RPJMN 2015 - 2019

• Perpres No. 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi

• Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN 2010 – 2014;

• Inpres No. 3 Tahun 2010, dan

Oleh karena itu maka pelaksanaan RAN/RAD–PG merupakan hal penting sebagai amanat Peraturan Perundang-undangan tersebut.

Legislasi pendukung pelaksanaan RAN/RAD-PG

Peraturan pendukung pelaksanaan Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi juga didukung oleh:

Permen PPN / Kepala Bappenas No. 4 Tahun 2013 tentang Pelimpahan

Urusan Pemerintahan Kementerian PPN / Bappenas kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah dalam rangka Penyelenggaraan Dekonsentrasi Tahun Anggaran 2014

Keberadaan Dana Desa sebagai amanat UU No. 6 Tahun 2014 tentang

Desa. Merupakan kesempatan baik bagi percepatan perbaikan gizi khususnya melalui pemenuhan kebutuhan dasar di bidang pangan, gizi dan kesehatan


(52)

42

Kedudukan RAN/RAD-PG dalam perencanaan pembangunan nasional dinyatakan dalam Gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1. Kedudukan RAN/RAD-PG dalam perencanaan pembangunan nasional

Sumber Data : Riskesdas 2013

Adapun alur pikir RAN/RAD-PG dalam percepatan perbaikan gizi dijabarkan melalui Gambar 4.2 di bawah ini.

T

U

JU

A

N

P

E

M

B

A

N

G

U

N

A

N

M

IL

E

N

IU

M

(

M

D

G

s)

RPJPN

RPJMN

RENSTRA K/L VISI dan

MISI PRESIDEN

RKP DAERAH

RKP INPRES No. 1 dan

3 TAHUN 2010

RENSTRA DAERAH

APBD

PELAKSANAAN PROGRAM APBN

RAD-PG

RPJMD RAN-PG


(53)

43

Gambar 4.2. Alur pikir RAN/RAD-PG dalam percepatan perbaikan gizi

Sumber Data : Riskesdas 2013

4.3. Konsep Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Jawa Timur 2011-2015

Seperti banyak diketahui, baik secara nasional maupun global, ketersediaan pangan yang melimpah melebihi kebutuhan pangan penduduk tidak menjamin bahwa seluruh penduduk terbebas dari kelaparan dan gizi kurang. Konsep ketahanan pangan dan gizi yang luas bertolak pada tujuan akhir


(54)

44

dari ketahanan pangan yaitu tingkat kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, sasaran pertama Millenium Development Goals (MGDs) bukanlah tercapainya produksi atau penyediaan pangan, tetapi menurunkan kemiskinan dan kelaparan sebagai indikator kesejahteraan masyarakat. MDGs menggunakan pendekatan dampak bukan masukan. United Nation Development Programme

(UNDP) sebagai lembaga PBB yang berkompeten memantau pelaksanaan MDGs telah menetapkan dua ukuran kelaparan, yaitu jumlah konsumsi energi (kalori) rata-rata anggota rumah tangga di bawah kebutuhan hidup sehat dan proporsi anak balita yang menderita gizi kurang. Ukuran tersebut menunjukkan bahwa MDGs lebih menekankan dampak daripada masukan. Oleh karena itu, analisis situasi ketahanan pangan harus dimulai dari evaluasi status gizi masyarakat diikuti dengan tingkat konsumsi, persediaan dan produksi pangan; bukan sebaliknya. Status gizi masyarakat yang baik ditunjukkan oleh keadaan tidak adanya masyarakat yang menderita kelaparan dan gizi kurang. Keadaan ini secara tidak langsung menggambarkan akses pangan dan pelayanan sosial yang merata dan cukup baik.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, maka dalam penyusunan RAD-PG Jawa Timur 2011-2015 mengacu pada pada keluaran Akses Universal Pangan dan Gizi pada tahun 2015, yakni : Penurunan prevalensi gizi kurang anak balita dan Penurunan Prevalensi pendek anak balita, dan pencapaian konsumsi pangan dengan asupan kalori 2000 Kkal/kapita/hari. Pencapaian harus dilakukan secara bertahap dan indikator keluaran yang terukur, yakni:

1. Meningkatnya cakupan ASI ekslusif, D/S (jumlah anak yang ditimbang terhadap jumlah seluruh anak di wilayah penimbangan tersebut), KN (kunjungan neonatal), dan K4 Kunjungan ke-4

2. Meningkatnya tingkat keragaman konsumsi dan skor Pola Pangan Harapan (PPH)

3. Meningkatnya cakupan jajanan anak sekolah yang memenuhi syarat dan Pangan industri rumah tangga (PIRT) tersertifikasi

4. Meningkatnya jumlah rumah tangga yang melakukan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS)


(55)

45

5. Meningkatnya jumlah kab/kota yang mempunyai SKPD bidang pangan dan gizi

6. Meningkatnya peraturan perundangan pangan dan gizi 7. Meningkatnya tenaga D3 gizi puskesmas dan PPL kecamatan

Pencapaian keluaran ini harus dilakukan melalui serangkaian kegiatan yang dimulai dengan identifikasi tantangan yang dihadapi. Tantangan yang perlu diidentifikasi menyangkut :

1. Sosial dan Budaya : disparitas kemiskinan, disparitas pendidikan, persepsi hak asasi manusia, pemberdayaan keluarga dan kesetaraaan gender, persepsi kesehatan reproduksi, tabu makanan, kepercayaan dan perilaku yang bertentangan dengan kesehatan

2. Sistem pangan dan gizi : sumberdaya manusia, infrastruktur, pembiayaan, implementasi standar pelayanan minimal, ketahanan pangan terkait dengan climate cange, kewaspadaan

3. pangan dan gizi terkait dengan kemiskinan, pengawasan mutu dan keamanan pangan, koordinasi dan kemitraan, pennelitian pangan dan gizi termasuk kurang zat gizi mikro

Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Jawa Timur 2011-2015(RAD-PG 2011-2015) perlu diimplementasikan dengan sistematis sesuai dengan tantangan yang dihadapi dan kegiatan yang terstuktur secara integratif dalam 5 pilar rencana aksi, yang terdiri atas :

1. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak 2. Peningkatan aksesibilitas pangan yang beragam

3. Peningkatan pengawasan Mutu dan keamanan pangan 4. Peningkatan perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) 5. Penguatan kelembagaan pangan dan Gizi.

Gambar 4.3 menjelaskan tentang kerangka Konsep Implementasi Rencana Aksi Daerah Pangan Dan Gizi Jawa Timur 2011-2015.


(56)

46

Gambar 4.3. Kerangka Konsep Implementasi Rencana Aksi Daerah Pangan Dan Gizi Jawa Timur 2011-2015

Sumber : RAD-PG Jatim

4.4 Kondisi Gizi masyarakat Jawa Timur

Tolok ukur yang dapat mencerminkan status gizi masyarakat adalah status gizi pada anak balita yang diukur dengan berat badan dan tinggi badan menurut umur dan dibandingkan dengan standar baku rujukan WHO (2005).


(57)

47

Posisi Jawa Timur dalam status gizi berdasarkan berat badan cukup baik dibandingkan dengan Propinsi lain yang ada di Indonesia (Gambar 4.4 ).

Gambar 4.4 Status Gizi Balita berdasarkan berat Badan Menurut Provinsi

Sumber : Riskesdas, 2010 dan Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2011

Jika dibandingkan dengan target MDGs yang harus dicapai pada tahun 2015 yakni gizi buruk dan kurang sebesar 15.5 %, maka Jawa Timur dalam “posisi aman”, karena jauh melampai target MDGs. (Gambar 4.5).

Gambar 4.5. Status Gizi Balita berdasarkan berat Badan Jawa Timur, 2010


(58)

48

Gizi buruk yang terjadi di jawa Timur sebesar 2.5 % dan gizi kurang sebesar 9.3 %. Namun penurunan gizi buruk dan kurang masih terus harus diturunkan mengingat Jawa Timur populasi penduduknya sangat besar.

Status Gizi Balita berdasarkan tinggi badan dan BB/TU disajikan dalam Gambar 4.6 dan 4.7. Status gizi balita berdasarkan tinggi dan berat badan. Di samping Target MDGs menekankan pada stus Gizi balita berdasarkan berat badan, juga berdasarkan tinggi badan. Target MDGs pada tahun 2015 diharapkan balita dengan staus sangat pendek dan pendek maksimal 32 %.

Gambar 4.6 dan 4.7. Status gizi balita berdasarkan tinggi badandan berat badan


(59)

49

Jumlah Balita sangat pendek dan pendek di Jawa Timur sebesar 36 %, sehingga dalam masih di atas target MDGs tahun 2015 sebesar 32 %. Oleh karena itu diperlukan usaha penurunan sebesar 1 % setiap tahunnya.

Aksesibilitas pangan

Jawa Timur merupakan daerah sentra pangan di Indonesia, bahkan secara umum merupakan propinsi yang terbesar kontribusinya dalam penyediaan pangan nasional. Oleh karena itu pembangunan dalam peningkatan produksi pangan di Jawa timur sekaligus merupakan suatu penyediaan pangan secara nasional. Gambaran Peranan Jawa Timur dalam penyediaan pangan disajikan dalam Gambar 4.8.

Gambar 4.8. Peranan Jawa Timur Dalam Penyediaan pangan Nasional

Sumber : Badan Ketahanan Pangan (diolah)

Dari Gambar 4.8 dapat kita ketahui bahwa Provinsi Jawa Timur memasok hampir 45% gula nasional, diikuti dengan kedelai dan jagung.

Rencana Aksi Percepatan Target Pembangunan Pangan Dan Gizi

Rencana aksi percepatan target pembangunan pangan dan gizi dijabarkan dalam strategi dan kebijakan yang akan dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur.


(1)

179

Hasil perhitungan dengan teknik AHP berdasarkan pendapat ketiga pakar menunjukkan bahwa urutan prioritas strategi pembangunan pangan dan gizi yang sebaiknya diterapkan adalah : 1) penguatan kelembagaan pangan dan gizi, 2) peningkatan aksesibilitas pangan, 3) peningkatan perbaikan gizi masyarakat, 4) peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan, 5) peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.


(2)

180

Dokumentasi


(3)

181


(4)

182

Survei ke Bidang Ekonomi-Ketahanan Pangan Pemkab. Jember


(5)

183


(6)