Attacks and population of pine woolly aphid (Pineus boerneri Annand.) on Pinus merkusii Jungh. et de Vriese

(1)

PERILAKU SERANGAN DAN JUMLAH POPULASI

KUTULILIN PINUS (

Pineus boerneri

Annand.)

PADA

Pinus merkusii

Jungh. et de Vriese

SAID FIRMAN FURQAN

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERILAKU SERANGAN DAN JUMLAH POPULASI

KUTULILIN PINUS (

Pineus boerneri

Annand.)

PADA

Pinus merkusii

Jungh. et de Vriese

SAID FIRMAN FURQAN

Skripsi

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada

Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

ABSTRACT

SAID FIRMAN FURQAN. Attacks and Population of Pine Woolly Aphid (Pineus boerneri Annand.) on Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Supervised by OEMIJATI RACHMATSJAH.

Pinus Jungh. et de Vriese is the only native species of pine that grows in Indonesia, having various advantages (fast-growing, pioneering, and producing wood and sap) so that it is used as a plant for in various regions in Indonesia. The attacks of plant disturbing organisms (PDO) can reduce the function of forest. Today the problem of pine stands is the presence of pine woolly aphid attacks that can cause the tree death. The objectives of this study were (1) to examine the behavior of pine woolly aphid attack, and (2) to determine the number of individuals in the population of pine woolly aphid based on three types of attack (mild, moderate, and severe). The experiment used in this study was a randomized group. The difference in the number of lice on the observations by the method of sticking transmission and direct transmission was then tested with the variance analysis using SPSS 16.0 software. The result was that the pine woolly aphid attack on the seedlings of P. merkusii did not significantly affect the upper, middle, or bottom parts of seedlings. The attacks tended to occur evenly on the three parts. Furthermore, in counting the number of individuals in the pine woolly aphid population, it was found that the type of attacks had significantly different effects on the number of individuals on infected plants. The more severe the attack, the higher the number of individuals would be in the population of pine woolly aphid.


(4)

RINGKASAN

SAID FIRMAN FURQAN. Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese. Dibimbing oleh OEMIJATI RACHMATSJAH.

Pinus merkusii Jungh. et de Vriese adalah satu-satunya spesies pinus yang tumbuh asli di Indonesia, dengan berbagai keunggulan (cepat tumbuh, pionir, dan menghasilkan kayu dan getah), sehingga digunakan sebagai tanaman reboisasi dan penghijauan di berbagai wilayah di Indonesia. Serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dapat menurunkan fungsi hutan. Saat ini yang menjadi masalah pada tegakan pinus adalah adanya serangan kutulilin pinus yang dapat menyebabkan kematian pohon.

Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mempelajari perilaku serangan kutulilin pinus, (2) Untuk mengetahui jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi dari 3 kriteria serangan (ringan, sedang, dan berat). Penelitian dilakukan dengan menularkan kutulilin pinus yang berasal dari 5 KPH di Jawa Timur. Kutulilin pinus tersebut ditularkan dari cabang pohon pinus yang terserang dari semua tingkat serangan yang berasal dari masing-masing KPH. Penularan dilakukan pada bibit sehat yang berumur 6 bulan dengan dua metode, yaitu metode penularan dari bagian pohon terserang dan penularan langsung dengan kutu hidup. Penularan dilakukan dengan menempelkan cabang pinus yang terserang kutulilin pinus dari tiap tingkat serangan dan masing-masing KPH sepanjang 5cm, penularan dilakukan pada 3 bibit sehat. Penularan langsung dilakukan dengan mengambil lilin pada cabang pinus yang terserang kutulilin pinus dari tiap tingkat serangan dan masing-masing KPH sebesar 1mm dan diletakkan pada ketiak daun bibit pinus, penularan ini juga dilakukan pada 3 bibit sehat. Selanjutnya, metode penghitungan jumlah individu dilakukan dengan menggunakan mikroskop pada cabang yang berasal dari Sumedang, yaitu cabang yang tertular kutulilin pinus dari 3 kriteria serangan, kemudian setiap cabang dihitung jumlah seluruh telur dan kutu yang hidup tiap stadianya.

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Perbedaan jumlah kutu pada pengamatan dengan metode penularan tempel dan penularan langsung kemudian diuji dengan sidik ragam menggunakan software SPSS 16.0. Hasil yang diperoleh ialah serangan kutulilin pinus pada bibit P. merkusii tidak berpengaruh nyata terhadap bagian bibit atas, tengah, atau bawah. Serangan yang terjadi cenderung merata pada ketiga bagian tersebut. Selanjutnya, pada penghitungan jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi, kriteria serangan memiliki pengaruh yang berbeda nyata terhadap jumlah individu pada tanaman terserang. Semakin berat serangan, maka semakin banyak jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi tersebut.


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya mengayatakan bahwa skripsi berjudul “Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2012

Said Firman Furqan NIM. E44070013


(6)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese

Nama : Said Firman Furqan NIM : E44070013

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS NIP. 19471209 197403 2 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,

Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto, MS NIP. 19601024 1984031 1 009


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini sebagai tugas akhir dalam menyelesaikan studi tingkat Sarjana pada Fakultas Kehutanan IPB, dengan mengambil judul “Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese”.

Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan kepada (1) Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang disediakan kepada penulis selama penulisan skripsi ini, (2) Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir. Edje Djamhuri selaku ketua sidang yang telah membantu langkah penulis menuju kelulusan, (3) Waled dan Ummi tercinta, Said Faizin Nirqams, SP dan Syarifah Junaidah dan adikku Syarifah Filossofia Fauqannuri atas segala cinta, doa, kasih sayangnya, (4) Dosen-dosen dan pegawai Departemen Silvikultur atas segala ilmu dan nasehat serta bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor, (5) Fithriani Rahayu atas waktu dan dukungannya, keluarga besar Wisma Al-Zaytun, Silvikultur 44, Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong Bogor, Tree Grower Community (TGC), serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan dan kendala yang dihadapi penulis, namun demikian semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2012


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sibreh, Aceh Besar pada tanggal 14 April 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Said Faizin Nirqams dan Syarifah Junaidah. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di MIN Drien Rampak Meulaboh, kemudian tahun 2001 melanjutkan pendidikan di MTsN Model-I Meulaboh hingga lulus pada tahun 2004, pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Meulaboh dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan Departemen Silvikultur.

Selama menimba ilmu di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi, diantaranya adalah Ikatan Mahasiswa Tanah Rencong (IMTR) Bogor dan pernah menjabat sebagai ketua divisi Informasi dan Komunikasi pada kepengurusan tahun 2010. Pada tahun yang sama pula, penulis juga dipercaya untuk menjabat sebagai ketua divisi Informasi dan Komunikasi Himpunan Mahasiswa Departemen Silvikutur yaitu Tree Grower Community (TGC). Selain itu, penulis merupakan mahasiswa bimbingan Program Mahasiswa Wirausaha yang diselerenggarakan oleh Direktorat Pengembangan Karir dan Hubungan Alumni (DPKHA) atau yang lebih dikenal dengan nama CDA IPB pada tahun 2010.

Pada tahun 2009 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cikeong-Burangrang Jawa Barat, tahun 2010 melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dan beberapa daerah di Jawa Barat, serta Praktek Kerja Lapang (PKL) di pertambangan batubara PT Arutmin Indonesia Tambang Asam-Asam, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan pada tahun 2011.

Sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana kehutanan pada Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan praktek khusus berupa penelitian yang berjudul “Perilaku Serangan dan Jumlah Populasi Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) pada Pinus merkusii Jungh. et de Vriese” di bawah bimbingan Ir. Oemijati Rachmatsjah, MS.


(9)

ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) ... 3

2.1.1 Klasifikasi dan Botani ... 3

2.1.2 Penyebaran ... 4

2.1.3 Teknik Silvikultur ... 5

2.1.4 Manfaat ... 7

2.2 Serangga ... 9

2.2.1 Pengenalan Serangga ... 9

2.2.2 Peranan Serangga ... 10

2.2.3 Hubungan Serangga dan Tanaman ... 11

2.2.4 Perilaku Serangga ... 14

2.2.4.1Pembawaan (Instincts) ... 14

2.2.4.2Belajar (Learning) ... 15

2.2.4.3Komunikasi ... 15

2.3 Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.) ... 16

BAB III METODOLOGI ... 20

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3 Metode Penelitian ... 20

3.3.1 Pengamatan Perilaku ... 20

3.3.2 Penghitungan Jumlah Populasi ... 21


(10)

x

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Pengamatan Perilaku ... 23

4.1.1 Penularan Tempel ... 23

4.1.2 Penularan Langsung ... 25

4.2 Penghitungan Jumlah Populasi ... 27

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

5.1 Kesimpulan ... 30

5.2 Saran ... 30

DAFTAR PUSTAKA ... 31


(11)

xi

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria serangan hama Pineus boerneri ... 22 2 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit

berdasarkan asal tularan dengan metode penularan temple ... 25 3 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit

berdasarkan asal tularan dengan metode penularan langsung ... 27 4 Jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi per cm² pada tiap

kriteria serangan dan stadia ... 29 5 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah individu pada tiap stadia .. 29 6 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah individu pada tiap tingkat

serangan ... 29 7 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan

asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan temple ... 36 8 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan

asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan langsung ... 36 9 Sidik ragam rata-rata jumlah individu kutulilin pinus per cm² pada


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Metode penularan: (a) penularan tempel (b) penularan langsung .... 21 2 Cabang menurut kriteria serangan: (a) ringan, (b) sedang, (c) berat 21 3 Grafik jumlah lapisan lilin selama 60 hari dari setiap asal tularan

dan bagian bibit pada penularan tempel ... 23 4 Lilin yang muncul pada bagian bibit: (a) bawah, (b) tengah,

(c) atas ... 24 5 Grafik jumlah lapisan lilin selama 60 hari dari setiap asal tularan


(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Jumlah penghitungan lapisan lilin pada bibit selama 60 hari ... 35 2 Hasil sidik ragam ... 36


(14)

1.1 Latar Belakang

Pinus dan sering disebut tusam (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) adalah satu-satunya spesies pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Pinus dibedakan menjadi tiga ras geografi (strain), yaitu (1) Strain Aceh, (2) Strain Tapanuli, dan (3) Strain Kerinci. Strain Aceh tumbuh alami di daerah terbuka (padang alang-alang yang sering disebut “blang”), menyebar dari Pegunungan Seulawah Agam ke Timur sampai Simalungun. Penyebaran di Tapanuli terdapat di Pegunungan Bukit Barisan ke selatan Danau Toba, terutama di Dolok Tusam dan Dolok Pardumahan, sedangkan strain Kerinci terdapat di Pegunungan Kerinci (Istomo et al. 2000). Tanaman pinus pada tahun 1970 dijadikan tanaman unggulan untuk reboisasi dan penghijauan sehingga tanaman ini sudah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Hal ini dikarenakan pinus mempunyai keistimewaan ialah sebagai pelindung tanah dan air, penghasil kayu dan getah, dan memiliki daya kompetitif yang besar terhadap tumbuhan lain di sekitarnya (Senjaya dan Surakusumah 2010). Selain itu, pohon pinus juga berguna dalam menyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, dan biodiversitas (Suryatmojo 2006),

Keistimewaan lain dari pohon pinus adalah hampir semua bagian pohon pinus dapat dimanfaatkan, sedangkan bagian kulit dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya digunakan untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium, ekstrak daun pinus mempunyai potensi sebagai bioherbisida untuk mengontrol pertumbuhan gulma pada tanaman. Getah pinus yang diolah menghasilkan gondorukem, gondorukem dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat sabun, resin dan cat, sedangkan terpentin digunakan untuk bahan industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Produk kayunya menarik untuk digunakan sebagai bahan membuat furniture karena kayu yang dihasilkan mempunyai warna yang bersih dan putih kekuningan, selain itu juga digunakan untuk membuat bangunan rumah, lantai, kotak dan tangkai korek api, pulp, papan


(15)

wol kayu, kayu lapis, serta dapat digunakan untuk konstruksi ringan (Senjaya dan Surakusumah 2010).

Pinus tidak terlepas dari serangan hama. Hama yang menyerang tanaman pinus saat ini adalah kutulilin pinus (Pineus boerneri). Hama kutulilin pinus menyerang tanaman pinus pada semua tingkat umur. Kutu ini mengisap cairan pohon, terutama di pucuk-pucuk tajuk pinus. Tanda-tanda adanya serangan kutulilin pinus dapat dilihat berupa adanya lapisan putih menempel pada pangkal daun di pucuk-pucuk ranting pinus, lapisan putih ini dihasikan dari kelenjar-kelanjar lilin yang terdapat pada tubuh kutulilin pinus. Pucuk yang terserang daunnya menguning, kemudian daun dan pucuk menjadi kering. Kondisi tersebut dalam skala yang luas akan menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas produk dari kayu pinus sehingga menimbulkan kerugian secara ekonomi.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mempelajari perilaku serangan kutulilin pinus pada tanaman pinus (seedling), (2) Untuk mengetahui jumlah individu kutulilin pinus pada 3 kriteria serangan (ringan, sedang, dan berat).

1.3 Manfaat

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai perilaku dan jumlah populasi dari 3 kriteria serangan kutulilin pinus.


(16)

2.1 Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) 2.1.1 Klasifikasi dan Botani

Klasifikasi dari tumbuhan pinus adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Gymnospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Coniferales Famili : Pinaceae Genus : Pinus

Spesies : merkusii Jungh. at de Vriese

Pinus pertama kali ditemukan dengan nama tusam di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang ahli botani dari Jerman Dr. FR Junghuhn pada tahun 1841. Spesies ini tergolong spesies cepat tumbuh dan tidak membutuhkan persyaratan tempat tumbuh secara khusus, merupakan satu satunya spesies pinus yang menyebar alami ke Selatan khatulistiwa sampai melewati 2°LS. Tanda-tanda khusus dari pohon pinus adalah tidak berbanir, kulit luar kasar berwarna coklat kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas dan beralur lebar serta dalam (Siregar 2005). Ciri lain dari pohon pinus ialah pohon besar, batang lurus, silindris. Tegakan pinus dewasa dapat mencapai tinggi 30 m dan diameter 60–80 cm, sedangkan tegakan tua dapat mencapai tinggi 45 m dan diameter 140 cm (Hidayat dan Hansen 2001).

Pohon pinus berbunga dan berbuah sepanjang tahun, terutama pada bulan Juli-November (Siregar 2005). Pohon pinus berumah satu dengan bunga berkelamin tunggal, bunga jantan dan betina berada dalam satu tunas, buah pinus berbentuk kerucut, silindris dengan panjang 5–10 cm dan lebar 2–4 cm, lebar setelah terbuka lebih dari 10 cm, dan benih pinus memiliki sayap yang dihasilkan dari dasar setiap sisik buah. Setiap sisik menghasilkan 2 benih dengan panjang sayap 22–30 mm dan lebar 5–8 mm, dalam satu strobilus buah umumnya terdapat


(17)

35–40 benih per kerucut dengan jumlah benih 50.000–60.000 benih per kg (Hidayat dan Hansen 2001).

Kayu pinus memiliki berat jenis rata-rata 0,55 dan termasuk kelas kuat III serta kelas awet IV (Siregar 2005). Kayu pinus memiliki ciri warna teras yang sukar dibedakan dengan gubalnya, kecuali pada pohon berumur tua, terasnya berwarna kuning kemerahan, sedangkan gubalnya berwarna putih krem. Pinus merupakan pohon yang tidak berpori namun mempunyai saluran dammar aksial yang menyerupai pori dan tidak mempunyai dinding sel yang jelas. Permukaan radial dan tangensial pinus mempunyai corak yang disebabkan karena perbedaan struktur kayu awal dan kayu akhirnya, sehingga terkesan ada pola dekoratif. Riap tumbuh pada pinus agak jelas terutama pada pohon-pohon yang berumur tua, pada penampang lintang kelihatan seperti lingkaran-lingkaran (Pandit dan Ramdan 2002).

Daun pinus terdapat 2 jarum dalam satu ikatan dengan panjang 16–25 cm (Hidayat dan Hansen 2001), akan gugur dan menjadi serasah. Serasah pinus merupakan serasah daun jarum yang mempunyai kandungan lignin dan ekstraktif tinggi serta bersifat asam, sehingga sulit untuk dirombak oleh mikroorganisme. Serasah pinus akan terdekomposisi secara alami dalam waktu 8–9 tahun (Siregar 2005).

2.1.2 Penyebaran

P. merkusii menyebar di kawasan Asia Tenggara yaitu di Burma, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Indonesia (Sumatera), dan Filipina (P. Luzon dan Mindoro). Pinus yang tumbuh di Pulau Hainan (China) diperkirakan hasil penanaman. Pinus tumbuh pada ketinggian 30–1.800 mdpl pada berbagai tipe tanah dan iklim, serta menyebar pada 23ºLU–2ºLS dengan suhu tahunan rata-rata 19–28ºC. Tegakan alami pinus di Indonesia terdapat di Sumatera bagian Utara (Aceh, Tapanuli, dan Kerinci) (Hidayat dan Hansen 2001), sehingga secara alami, tegakan pinus dapat dibagi ke dalam tiga strain, yaitu :

1. Strain Aceh, penyebarannya dari pegunungan Seulawah Agam sampai sekitar Taman Nasional Gunung Leuser. Dari sini menyebar ke selatan mengikuti Pegunungan Bukit Barisan lebih kurang 300 km melalui Danau Laut Tawar,


(18)

Uwak, Blangkejeren sampai ke Kutacane. Di daerah ini, tegakan pinus pada umumnya terdapat pada ketinggian 800–2000 mdpl.

2. Strain Tapanuli, menyebar di daerah Tapanuli ke selatan Danau Toba. Tegakan pinus alami yang umum terdapat di pegunungan Dolok Tusam dan Dolok Pardomuan. Di pegunungan Dolok Saut, pinus bercampur dengan jenis daun lebar. Di daerah ini tegakan pinus terdapat pada ketinggian 1000–1500 mdpl.

3. Strain Kerinci, menyebar di sekitar pegunungan Kerinci. Tegakan pinus alami yang luas terdapat antar Bukit Tapan dan Sungai Penuh. Di daerah ini tegakan pinus tumbuh secara alami umumnya pada ketinggian 1500–2000 mdpl (Siregar 2005).

Sifat yang menonjol dari pinus ini adalah sifat kepionirannya dimana pinus tidak memerlukan persyaratan istimewa untuk tumbuh dan dapat tumbuh pada semua jenis tanah, pada tanah yang kurang subur, dan pada tanah berpasir dan berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang becek. Selain itu pinus memiliki daya toleransi luas dalam pertumbuhannya dan dapat tumbuh cukup baik pada padang alang-alang (Martawijaya et al, 1989 dalam Laksmi 2006).

Benih pinus yang ditanam di berbagai wilayah di Indonesia berasal dari Aceh, yaitu dari Blangkejeren, sedangkan strain Tapanuli dan strain Kerinci belum banyak dikembangkan. P. merkusii asal Tapanuli pernah dicoba ditanam di Aek Nauli, tetapi karena serangan Miliona basalis akhirnya tidak dilanjutkan pengembangannya. Menurut Siregar (2005), ketiga strain ini mempunyai banyak kelebihan atau perbedaan baik sifat maupun pertumbuhan pohon. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) pernah membuat tanaman strain Kerinci dalam rangka program Gerakan Reboisasi Lahan (Gerhan) dengan menggunakan 2.000 anakan alam yang diambil secara cabutan di Bukit Tapan, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, tapi hampir semua tanaman tersebut mati (Suhaendi 2007).

2.1.3 Teknik Silvikultur

Pembibitan pinus diawali dengan pengadaan biji, biji pinus akan mempunyai viabilitas dan daya kecambah tinggi apabila diambil dari kerucut yang sudah masak dengan ciri-ciri berwarna hijau kecoklatan dan sisik kerucut yang


(19)

telah mulai melebar. Pengumpulan buah dapat dilakukan setiap tahun, karena pohon pinus berbuah setiap tahun. Biji kering berisi antara 45.000–60.000 butir setiap kilogramnya. Sebelum ditabur terlebih dahulu dilakukan seleksi biji, biji yang baik mempunyai ciri-ciri warna kulit biji kuning kecoklatan dengan bintik-bintik hitam, bentuk biji bulat, padat, dan tidak mengkerut. Penyeleksian biji dilakukan dengan cara direndam dalam, biji yang baik ialah biji yang tenggelam. Lama perendaman biji yaitu 3–4 jam di dalam air dingin sebelum ditabur (Dephut 1990).

Penaburan biji dilakukan dengan memperhatikan media yang bebas dari hama-penyakit (steril). Bahan campuran media berupa pasir dan tanah (humus) dengan perbandingan 1:2. Media yang telah siap dimasukkan ke dalam bak plastik setinggi ±5cm. Benih-benih yang terpilih kemudian ditaburkan ke dalam bak tabur dan ditutup kembali dengan media tabur. Setelah 10–15 hari, benih akan berkecambah. Proses perkecambahan berlangsung sampai satu bulan. Setelah bibit berumur 5–8 minggu di bak tabur kemudian dilakukan penyapihan. Sebelumnya terlebih dahulu disiapkan kantong plastik (polibag) yang berisi media tumbuh. Media tumbuh untuk tingkat semai pinus yang paling baik baik adalah campuran dari tanah, pasir, dan kompos dengan perbandingan 7:2:1 dengan penambahan pupuk NPK sebanyak 0,25 gram per 300 gram media. (Dephut 1990).

Kegiatan pemeliharaan semai perlu dilakukan, yaitu penyiraman secara hati-hati, dan untuk menghindari damping off perlu dilakukan penyemprotan dengan fungisida. Gangguan semai oleh rumput-rumput liar, serangga maupun penyakit perlu dihindari, oleh karena itu kebersihan persemaian sangat menunjang keberhasilan bibit yang disapih (Dephut 1990).

Sebelum melaksanakan penanaman, perlu dilakukan persiapan, antara lain (1) pembersihan lapangan dari tumbuhan pengganggu, (2) pengolahan tanah, (3) pemasangan ajir, dan (4) pembuatan lubang tanaman. Pada saat bibit akan ditanam, kantong plastik dilepas secara hati-hati supaya media tumbuh tetap utuh, kemudian bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dan ditutup kembali dengan tanah dan dipadatkan. Penanaman dilakukan pada permulaan musim penghujan, setelah curah hujan cukup merata (Dephut 1990).


(20)

Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan maksud agar tanaman muda mampu tumbuh menjadi tegakan akhir dengan kerapatan dan tingkat pertumbuhan yang diharapkan. Kegiatan pemeliharaan meliputi penyulaman, penyiangan gulma, pendangiran, pemberantasan hama dan penyakit, penjarangan, dan pengendalian api dan kebakaran (Dephut 1990).

Pohon pinus termasuk ke dalam kelompok pohon cepat tumbuh dengan daur berkisar antara 20–35 tahun. Pada umur ini, kadar selulosanya mencapai titik tertinggi yaitu 51,57%–54,67% dari berat kering. Pinus yang diperuntukkan sebagai kayu pertukangan, digunakan pinus yang memiliki riap 16 m3/ha per tahun dengan daur 30 tahun. Sedangkan pinus yang ditujukan untuk bahan pulp, digunakan pinus yang memiliki riap 18 m3/ha per tahun dengan daur 10–15 tahun (Suhendang 1990). Getah pinus dapat diproduksi setelah pinus berumur 10 tahun, dengan produksi per tahun mencapai 0,4 ton per hektar (Perhutani 2012).

2.1.4 Manfaat

Hidayat dan Hansen (2001) menyatakan bahwa kayu pinus dapat digunakan untuk berbagai keperluan ialah konstruksi ringan, mebel, pulp, korek api, sumpit, dan alat-alat rumah tangga lainnya. Selanjutnya Orwa et al. (2009) menyatakan bahwa P. merkusii menghasilkan kayu yang cukup tahan lama dan berat, dapat digunakan untuk pembuatan perahu (kapal) dan lantai. Nilai energi dari kayu ini adalah 20.300–23.200 kJ/kg.

Getah pinus juga disadap untuk berbagai keperluan lainnya selain kayu. Pohon tua dapat menghasilkan 30–60 kg getah, 20–40 kg resin murni dan 7–14 kg terpentin per tahun (Hidayat dan Hansen 2001). Hasil non-kayunya berupa getah (resin) yang menghasilkan produk gondorukem dan terpentin tersebut bernilai jual tinggi. Minyak yang mengandung senyawa terpene yaitu salah satu isomer hidrokarbon tak jenuh dari C10Hl63 terutama monoterpene alfa-pinene dan

beta-pinene, terpentin biasanya digunakan sebagai pelarut untuk mengencerkan cat minyak, bahan campuran vernis yang biasa kita gunakan untuk mengkilapkan permukaan kayu dan bisa untuk bahan baku kimia lainnya (Murni 2010 dalam Iriando 2011). Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan di Filipina, ekstrak etil alkohol dari P. merkusii menunjukkan aktivitas anti kanker. Hal ini menunjukkan bahwa P. merkusii juga bermanfaat dalam dunia kesehatan (Orwa et al. 2009).


(21)

Terpentin beraroma harum, karena keharumannya itu terpentin bisa digunakan untuk bahan pewangi lantai atau desinfektan yang biasa kita beli, tapi ada lagi kegunaan lain dari terpentin sebagai bahan baku pembuat parfum, minyak esensial dari getah pinus ini diekstrak sehingga bisa menghasilkan terpinol yaitu alfa-terpinol merupakan salah satu dari 3 jenis alkohol isomer beraroma harum. Terpineol bisa bermanfaat untuk kesehatan yaitu untuk relaksasi bila digunakan sebagai bahan campuran minyak pijat. Aromanya yang harum dijadikan minyak pijat aromaterapi karena saat dioleskan ke kulit akan terasa relaksasinya bila digunakan dengan dosis sesuai aturan. Terpineol juga digunakan untuk bahan makanan tapi bukan dalam bentuk getahnya melainkan dari gum rosin yang telah diesterfikasi dengan gliserol di bawah nitrogen menjadi gum rosin ester, salah satu bahan tambahan pembuatan permen karet sehingga menjadi kenyal dan lentur (Murni 2010 dalamIriando 2011).

Produk olahan dari getah atau resin pinus yang lain adalah gondorukem. Gondorukem adalah getah dari pohon P. merkusii yang kemudian diolah dan menjadi gondorukem. Kegunaan gondorukem adalah untuk bahan baku industri kertas, keramik, plastik, cat, batik, sabun, tinta cetak, politer, farmasi, kosmetik, dll. Produksi getah pinus bervariasi tergantung tingkat umur tanaman tersebut (Hidayat dan Hansen 2001).

Limbah serbuk gergajian kayu pinus dapat dijadikan briket arang, Rustini (2004) menjelaskan bahwa ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sumber bahan bakar baku potensial yang diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada kayu utuh. Selanjutnya guna lebih meningkatkan kualitas briket arang serbuk gergajian kayu, maka dilakukan penambahan arang tempurung kelapa, karena selama ini tempurung kelapa sudah dikenal baik untuk bahan bakar dalam bentuk tempurung, arang maupun sebagai briket arang.

Hutan pinus di Indonesia sebagai salah satu hutan tanaman yang memiliki nilai ekonomi strategis dan penyebarannya yang cukup luas saat ini diandalkan sebagai penghasil produk hasil hutan bukan kayu melalui produksi getahnya. Nilai ekonomi hutan pinus dianggap masih rendah apabila hanya dihitung dari nilai getah dan kayunya saja, manfaat hutan sebagai penyedia jasa lingkungan diharapkan mampu memberikan nilai ekonomi lebih tinggi dengan berbagai


(22)

kemampuannya dalam menyediakan sumberdaya air, penyerap karbon, penghasil oksigen, jasa wisata alam, satwa, biodiversitas dan sebagainya (Suryatmojo 2006).

2.2 Serangga

2.2.1 Pengenalan Serangga

Serangga disebut juga insekta atau heksapoda. Menurut Pracaya (2008) insect berasal dari bahasa Latin yaitu insecare. Kata in artinya menjadi, sedangkan secare artinya memotong atau membagi. Jadi, arti insect adalah binatang yang badannya terdiri dari potongan-potongan atau segmen-segmen. Sementara itu, heksapoda (hexapoda) berasal dari kata hexa yang berarti enam dan podos adalah kaki, sehingga heksapoda berarti binatang yang berkaki enam.

Serangga telah hidup di bumi kira-kira 350 juta tahun, sedangkan manusia kurang dari dua juta tahun. Selama kurun waktu tersebut, mereka telah mengalami perubahan evolusi dalam beberapa hal dan menyesuaikan kehidupan pada hampir setiap tipe habitat dan telah mengembangkan banyak sifat-sifat yang tidak biasa, indah dan bahkan mengagumkan. Ukuran serangga berkisar dari kira-kira 0,25– 330 mm panjang dan kira-kira 0,5–300 mm dalam bentangan sayap; sebuah fosil capung mempunyai bentangan sayap lebih dari 760 mm. Beberapa serangga yang terpanjang sangat ramping (serangga yang panjangnya 330 mm yakni seekor serangga tongkat terdapat di Kalimantan), tetapi beberapa kumbang mempunyai tubuh hampir sebesar kepalan tinju (Borror et al. 1996).

Serangga merupakan golongan hewan yang dominan di muka bumi. Lebih dari seribu spesies terdapat pada satu lapangan yang berukuran sedang, dan populasi mereka seringkali berjumlah jutaan pada tanah seluas satu acre (= 4047 m²) (Borror et al. 1996). Jumlah serangga di dalam tanah per hektar lebih kurang 2,5–10 juta. Sementara itu, pada lapisan tanah hutan dengan kedalaman 45cm terdapat lebih kurang 150 juta serangga per hektar. Pada pagi hari, serangga yang beterbangan lebih kurang 7.000 ekor per hektar di udara, sedangkan pada sore hari lebih kurang 27.000 serangga per hektar (Pracaya 2008).

Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin. Bila suhu lingkungan menurun, suhu tubuh mereka juga menurun, dan proses fisiologik mereka menjadi lamban. Banyak serangga tahan terhadap suhu beku pada periode pendek, tetapi beberapa mampu bertahan pada suhu beku atau dibawah beku dalam waktu yang


(23)

panjang. Beberapa serangga yang tahan hidup pada suhu-suhu yang rendah ini yaitu dengan menyimpan etilen glikol di dalam jaringan-jaringan mereka, etilen glikol merupakan zat kimia yang sama yang kita tuangkan ke dalam radiator kendaraan kita, untuk melindunginya dari pembekuan selama musim dingin (Borror et al. 1996).

Serangga mengalami metamorfosis dalam perkembangannya, pada metamorfosis tak sempurna (incomplete metapmophosis) belalang dan beberapa ordo lain, hewan muda mirip dengan hewan dewasa tetapi berukuran lebih kecil dan memiliki perbandingan tubuh yang berbeda. Hewan itu akan mengalami serangkaian pergantian kulit atau molting, setiap kali setelahnya hewan itu kelihatan lebih mirip hewan dewasa, sampai ia mencapai ukuran penuhnya. Serangga dengan metamorfosis sempurna (complete metamorphosis) memiliki tahapan larva yang dikhususkan untuk makan dan tumbuh yang dikenal dengan nama seperti belatung (maggot), tempayak (grub), atau ulat (terpillar). Tahapan larva tampak berbeda sama sekali dari tahapan dewasa, yang dikhususkan untuk penyebaran dan reproduksi. Metamorfosis dari tahapan larva sampai dewasa terjadi selama tahapan pupa (Campbell 2003).

Daya reproduksi serangga seringkali sangat hebat. Kapasitas tiap hewan untuk membentuk jumlah populasinya melalui reproduksi tergantung dari tiga sifat, yaitu : (1) Jumlah telur yang fertile yang diletakkan oleh tiap betina (yang pada serangga dapat bervariasi dari satu sampai ribuan), (2) Lama waktu suatu generasi (yang dapat bervariasi dari beberapa hari sampai beberapa tahun), dan (3) Perbandingan kelamin tiap generasi yaitu betina yang akan memproduksi generasi berikutnya (pada beberapa serangga tidak ada jantan) (Borror et al. 1996).

2.2.2 Peranan Serangga

Aktivitas penyerbukan yang dilakukan oleh serangga memungkinkan produksi dari banyak hasil panenan pertanian, termasuk buah, kacang-kacangan, semanggi, sayur-sayuran, kapas dan tembakau. Serangga menghasilkan madu, malam tawon, sutera dan produk-produk perdagangan lainnya yang bernilai. Serangga juga merupakan makanan bagi banyak burung, ikan dan hewan-hewan yang berguna. Mereka bertindak sebagai pembersih yang penting bagi bangkai, membantu mempertahankan hewan-hewan dan tumbuh-tumbuhan dalam keadaan


(24)

terjaga, bermanfaat dalam ilmu kedokteran dan penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuan, serta dianggap sebagai hewan-hewan yang menarik dalam segala segi kehidupannya. Akan tetapi, sejumlah kecil serangga dapat berbahaya dan menyebabkan kerugian-kerugian yang besar tiap tahun pada hasil-hasil pertanian dan produk yang disimpan, mereka juga dapat menularkan penyakit-penyakit yang secara serius mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan-hewan lain (Borror et al. 1996).

Sebagian besar spesies serangga merupakan parasitik atau pemangsa dan penting untuk mengontrol spesies hama, yang lainnya membantu mengontrol gulma yang merugikan, dan membersihkan sampah sehingga membuat dunia ini lebih nyaman. Serangga adalah bahan makanan tunggal atau penting bagi banyak unggas, ikan, dan hewan-hewan lain. Bagi manusia, beberapa spesies serangga telah dipakai untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu. Penelitian mengenai serangga telah menolong ahli-ahli pengetahuan untuk memecahkan banyak problem dalam keturunan, evolusi, sosiologi, pencemaran sungai, dan bidang lainnya. Serangga juga mempunyai nilai keindahan; artis-artis, pembuat dan penjual topi wanita, serta perancang-perancang mode telah menggunakan keindahan mereka, dan banyak pula orang yang memperoleh kepuasan dari penelitian mengenai serangga sebagai suatu hobi (Borror et al. 1996).

2.2.3 Hubungan Serangga dan Tanaman

Hubungan serangga dan tumbuhan dapat dikategorikan menjadi tiga tipe, berdasarkan pada dampak dari hubungan tersebut terhadap tumbuhan. Hubungan pertama adalah jika serangga untung dan tumbuhan rugi, yaitu melalui fitofagi atau pamangsaan oleh serangga pada tumbuhan. Tipe kedua adalah jika tumbuhan untung dan serangga juga untung (mutualisme), yaitu melalui peristiwa penyerbukan (polinasi) atau pemindahan/penyebaran benih tumbuhan oleh serangga ke tempat lain (miemekofori = pemindahan benih oleh semut). Selanjutnya tipe ketiga adalah hubungan yang lebih menguntungkan tumbuhan, yaitu serangga menyediakan senyawa-senyawa berguna bagi tumbuhan, misalnya nitrogen yang berasal dari kotoran, sedangkan tumbuhan mempersilakan serangga untuk tinggal di sebagian tubuhnya, misal pada lekukan batang. Istilah


(25)

phytotelmata merujuk pada tumbuhan yang menyediakan sebagian tubuhnya sebagai tangki air yang digunakan sebagai tempat hidup serangga (Putra 2011).

Bagi serangga herbivora, tumbuhan adalah sumber pakan utama. Nutrisi utama, misalnya nitrogen diperoleh serangga dari jaringan tumbuhan. Secara umum, tumbuhan menyediakan senyawa nutrisi utama, yaitu karbohidrat, protein, asam amino, vitamin, mineral, dan air. Serangga juga membutuhkan nektar dan serbuk sari (pollen) dari tumbuhan. Serbuk sari yang kaya protein terutama dibutuhkan oleh serangga betina pada saat pembentukan telur, sedangkan nektar yang amat kaya karbohidrat dibutuhkan oleh serangga sebagai sumber energi (Putra 2011).

Banyak serangga hidup di dalam jaringan tumbuhan. Mereka dapat membuat liang di dalam batang, buah, biji (disebut penggerek atau borer), atau di dalam jaringan daun (disebut pengorok atau miner). Beberapa spesies rayap arboreal (hidup pada tumbuhan), membuat liang-liang yang rumit susunannya di dalam permukaan batang. Beberapa serangga juga menggunakan hijaunya daun untuk bersembunyi dari intaian mangsanya, dan beberapa serangga lainnya mempunyai hubungan simbiosis mutualistik dengan tumbuhan. Misalnya, beberapa spesies serangga menempati bagian tubuh tertentu dari tumbuhan untuk bersarang untuk mencari pakan, sedangkan sebaliknya, tumbuhan mendapatkan pakan dari serangga berupa ekskresi atau hasil sekresi. Salah satunya disebut phytotelmata (Putra 2011).

Serangga-serangga predator dan parasitoid mencari mangsa di tumbuhan, salah satu cara yang dilakukan ialah menyembunyikan diri untuk menjebak calon mangsa. Pengaruh tidak langsung tumbuhan pada serangga predator atau parasitoid juga sudah banyak dipelajari untuk memperkuat dugaan bahwa peran tumbuhan pada serangga sangat beragam, diantaranya sebagai tempat mencari mangsa atau inang. Mekanisme bottom-up memfasilitasi transfer energi dari tumbuhan kepada serangga karnivora via serangga herbivora (Power 1992 dalam Putra 2011). Jadi, secara sederhana, kualitas tumbuhan yang semakin tinggi akan meningkatkan kualitas dan kelimpahan serangga herbivora yang akhirnya meningkatkan kualitas dan kelimpahan serangga karnivora (Putra 2011).


(26)

Rahmi (2009) menyebutkan bahwa hubungan serangga dengan tanaman juga dapat dilihat dari aspek serangga itu sendiri. Hubungan atau interaksi tersebut dimulai dengan beberapa proses yang terdiri dari :

1. Menemukan habitat tanaman inang

Serangga menemukan habitat tanaman inangnya melalui stimulus yang terdapat di lingkungan yang terdiri dari cahaya, angin, gaya gravitasi, bahkan terkadang temperatur dan kelembaban merupakan salah satu penarik penyebaran serangga ke habitatnya.

2. Menemukan tanaman inang

Setelah menemukan habitat tanaman inang, serangga akan menggunakan stimulus untuk mendapatkan tanaman inang yang cocok. Beberapa faktor yang dapat menarik serangga untuk menemukan tanaman inangnya antara lain, melalui warna, ukuran, dan bentuk. Salah satu cara serangga mengenali inangnya, dengan cara mengenali kemochemical melalui antenna, tarsis, dan alat mulut.

3. Penerimaan inang sebagai inang yang cocok

Setelah menemukan inang, serangga mencicipi inang, misalnya pada ulat, sebagai salah satu proses pengenalan inang oleh serangga. Beberapa faktor fisik yang mempengaruhi proses penerimaan inang, misalnya kondisi daun, keras atau tidaknya permukaan daun, lapisan llin pada permukaan daun, pubescence (kepadatan dan tipe bulu daun).

4. Kecukupan tanaman sebagai inang

Kecukupan tanaman sebagai inang merupakan syarat terakhir dalam proses makan serangga terhadap tanaman inang. Jika nutrisi yang tersedia cukup dan tidak terdapat zat toksik dalam tanaman, serangga akan menyelesaikan proses makannya.

Rahmi (2009) juga menyebutkan bahwa tanaman bagi serangga berperan sebagai penyedia stimulus fisikal dan chemical, tanaman memegang peranan penting di dalam hubungan antara serangga dan tanaman inang. Dalam proses pemilihan dan penentuan inang oleh serangga, peranan tanaman sebagai sumber rangsangan bagi serangga sangat penting. Sumber rangsangan tersebut terdiri dari dua sifat utama, yaitu :


(27)

1. Karakteristik morfologi

Kandungan tanaman dapat memproduksi stimulus fisik juga penghalang aktivitas serangga. Variasi pada ukuran daun, bentuk, warna, dan ada/tidaknya sekresi glandular mungkin dapat membagi penerimaan serangga terhadap inangnya. Pubescence dan jaringan yang kuat kadang-kadang menjadi faktor pembatas dalam proses mobilisasi dan pemangsaan oleh serangga.

2. Karakteristik fisiologi

Karakteristik fisiologi yang mempengaruhi reaksi serangga, biasanya berupa zat-zat kimia yang dihasilkan pada proses metabolisme tanaman. Proses metabolism pada tanaman umumnya menghasilkan substansi yang dapat berfungsi sebagai katalis reaksi, membangun jaringan dan menyediakan energi. Tanaman membutuhkan ion anorganik dan penghasil enzim, hormon dan karbohidrat, lipid, protein, dan komponen fosfat untuk energi transfer.

2.2.4 Perilaku Serangga

Hidayat (2008) mengemukakan bahwa perilaku merupakan suatu tanggapan jika suatu individu mendapat rangsangan, atau suatu kombinasi dari tanggapan pembawaan yang dikontrol oleh sistem syaraf pusat dan pengalaman yang lalu (pembelajaran). Tanggapan ini akan memberi perubahan pada reaksi dan dipengaruhi oleh kondisi fisiologi di dalam tubuh yang dipengaruhi sistem endokrin. Perilaku serangga terdiri dari pembawaan (instincts), belajar (learning), dan komunikasi.

2.2.4.1 Pembawaan (Instincts)

Hidayat (2008) mengemukakan beberapa tipe pembawaan : 1. Refleks

Contoh : 1) capung (odonata) langsung terbang ketika akan ditangkap, 2) kupu-kupu membedakan rasa enak ada pada tarsusnya (bagian dari kaki), jika ada makanan enak, maka secara reflek probosisnya akan langsung keluar. 2. Kinesis

Gerakan yang terarah karena rangsangan dari luar, merupakan gerak acak yang berfungsi sebagai alat menghindarkan diri dari bahaya. Contoh : pada


(28)

kecoa yang suka ditempat gelap, ketika lampu nyala, langsung bergerak dengan arah tak tentu.

3. Taksis

Gerakan yang terarah, yang sifatnya mendekati atau menjauhi suatu rangsangan, jadi bisa bersifat positif atau negatif, sifat taksis ini di antaranya : (1) fototaksis, pengaruh sumber cahaya, (2) geotaksis, pengaruh tanah, (3) thigmotaksis, pengaruh rangsangan kontak atau sentuhan, (4) kemotaksis, pengaruh rangsangan kimia, (5) termotaksis, pengaruh suatu rangsangan suhu tertentu, dan (6) higrotaksis, pengaruh kandungan air atau kelembaban.

2.2.4.2 Belajar (learning)

Hidayat (2008) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses pembelajaran yang merupakan perubahan adaptif pada perilaku sebagai hasil dari pengalaman di masa sebelumnya. Dukas (2008) menjelaskan lebih lanjut bahwa belajar dan mengingat, didefinisikan sebagai perolehan dan penyimpanan dari representasi saraf terhadap informasi baru di antara serangga. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa berbagai serangga secara ekstensif mengandalkan belajar pada semua kegiatan utama untuk hidup yang meliputi makan, menghindari predator, agresi, interaksi sosial, dan perilaku seksual. Terdapat bukti bahwa setiap individu dalam spesies serangga menunjukkan variasi genetik didasarkan dalam kemampuan belajar dan bukti-bukti langsung yang menunjukkan serangga belajar untuk kebugaran. Meskipun serangga mengandalkan perilaku bawaan agar berhasil mengelola banyak jenis variasi dan tidak dapat ditebak, belajar mungkin lebih unggul daripada perilaku bawaan ketika berhubungan dengan sifat yang unik pada waktu, tempat, atau individu. Di antara serangga, pembelajaran sosial yang dapat meningkatkan penyebaran yang cepat terhadap perilaku baru, saat ini hanya diketahui dari bererapa penelitian pada ordo Hymenoptera. Secara umum serta yang terpenting dari pembelajaran sosial pada serangga masih belum diketahui.

2.2.4.3 Komunikasi

Komunikasi antar serangga diperlukan diantaranya dalam mendapatkan pasangan, komunikasi terjadi bila salah satunya memberi signal atau isyarat yang bisa berupa signal visual, sentuhan suara, dan kimiawi. Komunikasi ini bisa


(29)

dilakukan dalam jarak jauh, biasanya melibatkan alat visual, bahan kimia tersebar di udara, alat pendengar (auditory) dan lain-lain. Untuk komunikasi jarak dekat biasanya menggunakan kombinasi beberapa organ perasa. Jenis komunikasi ini ada yang sifatnya khusus digunakan antar individu dalam satu spesies (intraspesifik) dan ada yang digunakan antar spesies yang berbeda (interspesifik) (Hidayat 2008).

Komunikasi visual berhubungan dengan penglihatan, seperti kupu-kupu jantan melihat adanya kupu-kupu betina, kunang-kunang jantan yang terbang dan menyala di malam hari, dan komunikasi pada lebah madu yang melakukan tari-tarian untuk memberi tahu temannya jika menemukan sumber makanan. Komunikasi suara atau auditory communication dapat terjadi karena adanya gerakan fibrase dan gerakan pada alat stidulasi. Alat stidulasi, gerakan menggaruk, seperti pada belalang ketika sayap belakangnya menggaruk femur belakang. Komunikasi kimia terjadi karena adanya bahan kimia yang mempengaruhi perilaku. Dalam tubuh serangga bahan kimia diproduksi di suatu bagian dan disebarkan ke bagian lain, disebut hormon, dan ada yang dikeluarkan oleh suatu individu untuk mempengaruhi individu lain (Hidayat 2008).

2.3 Kutulilin Pinus (Pineus boerneri Annand.)

Lembaga Center for Agricultural Bioscience International (CABI), yaitu lembaga penelitian non-profit antar pemerintahan yang berpusat di Inggris menyebutkan bahwa spesies kutulilin pinus adalah Pineus boerneri dengan nama umum Pine Woolly Aphid. Adapun taksonomi hama kutulilin pinus (Pineus boerneri) selengkapnya adalah sebagai berikut :

Domain : Eukaryota Kingdom : Metazoa Filum : Arthropoda Sub filum : Uniramia Kelas : Insekta Ordo : Hemiptera Sub ordo : Sternorrhyncha Super famili : Aphidoidea Famili : Adelgidae


(30)

Genus : Pineus

Spesies : boerneri Annand.

Kutulilin pinus bertubuh lunak, berbentuk bulat, berwarna kuning kecoklatan, berukuran kecil (±1 mm), tinggal dan bereproduksi di pucuk bagian luar dari pohon pinus. Kutu ini mengeluarkan lilin putih dari kelenjar lilin yang terdapat di tubuhnya. Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, 4 pasang spirakel pada abdomen dan tidak aktif (sessile). Sebagian besar famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri adalah kutu yang aseksual sepanjang tahun, artinya tidak tergantung musim dan memproduksi telur secara partenogenesis (berkembang biak tanpa perkawinan), maka populasi kutu ini cepat sekali berlipat ganda. Bila satu petak tanaman pinus diketahui telah terserang, maka sangat mungkin bahwa pohon-pohon di petak-petak sekitarnya akan terserang dengan populasi hama yang relatif rendah sehingga belum menunjukkan efek merusak (Laela 2008).

P. boerneri tahan terhadap kondisi lingkungan yang dingin (Annand 1928). Penyebaran dan fluktuasi populasinya di lapangan dipengaruhi oleh faktor barrier (penghalang) berupa barrier alam (jurang, bukit), vegetasi (ada tidaknya vegetasi lain selain pinus), dan iklim. Pertanaman pinus yang memiliki barrier alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan pertanaman yang berada di bentang alam yang terbuka. Namun seiring waktu apabila tinggi pohon-pohon pinus sudah menyamai/melebihi barrier alam yang ada, maka tingkat serangan hama kutulilin pinus juga meningkat. Serangan hama kutulilin pinus meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutulilin pinus tertekan namun tetap ada dalam tegakan dalam populasi terbatas (Laela 2008).

Ciesla (2011) menyebutkan bahwa P. boerneri yang berasal dari P. radiate di California, Amerika Serikat diyakini berasal dari Eurasia sebagai P. laevis (Maskell) dan P. pini Maquart. Banyak literatur sebelumnya tentang spesies ini dengan nama-nama tersebut. Spesies ini telah menyebar ke Afrika, Australia, Amerika Utara (Timut Laut Amerika Serikat dan Hawaii), Amerika Selatan, dan Selandia Baru. Pertama kali dilaporkan di Afrika dari Kenya dan Zimbabwe pada tahun 1968 dan menyebar dengan cepat di perkebunan pinus di seluruh benua


(31)

Afrika. Penyebaran awal ke Afrika diperkirakan melalui materi keturunan P. taeda yang diimpor dari Australia.

Hama kutulilin pinus diketahui mempunyai inang lebih dari 50 spesies pohon pinus (Chilima dan Leather 2001 dalam Wylie dan Speight 2012). Kutulilin pinus menghisap cairan dari daun, pucuk atau batang pinus dan menyebabkan kerusakan bentuk batang serta pertumbuhan. Serangga ini mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih, yang menutupi koloninya. Kutulilin pinus menyebabkan daun kecoklatan dan mati, kematian pucuk (dieback), kelainan bentuk batang dan pada serangan yang berat dapat menyebabkan kematian pohon (Wylie dan Speight 2012). Kerusakan akan semakin parah apabila pohon tumbuh pada kondisi yang buruk sehingga menyebabkan stress. Hal ini terjadi karena kekeringan, tanah yang miskin, tidak ada penjarangan dan lain sebagainya (Watson 2007 dalam Iriando 2011). Serangga ini memiliki pola serangan tertentu, baik menurut ruang maupun waktu. Pemahaman tentang distribusi populasi kutu berdasarkan ruang dan waktu sangat penting dalam pengelolaan hama kutulilin pinus ini yaitu pemilihan waktu dan teknik yang tepat untuk aplikasi pengendalian. Kegiatan silvikultur seperti penjarangan dan pemangkasan serta faktor lainnya (umur, spesies, vigor pohon dan gugur daun karena hama lain) dapat mempengaruhi distribusi kutulilin pinus ini (Chilima dan Leather 2001 dalamIriando 2011).

Pada tahap awal serangan akan terlihat bintik-bintik putih kecil (1–2 mm), biasanya pada pucuk tanaman dan batang dalam jumlah yang kecil. Bintik-bintik kecil putih tersebut berbentuk seperti hifa-hifa dengan warna putih dan lengket yang merupakan cairan yang dikeluarkan kutulilin pinus sebagai tempat tinggal (rumah/tempat berlindung dan berkembang biak) bagi kutulilin pinus. Setelah tanaman terserang kutulilin pinus, maka tahap selanjutnya akan terjadi perkembangan penutupan lilin. Pada tahap ini bintik-bintik putih tersebut semakin melebar membentuk kelompok-kelompok lapisan lilin. Kemudian akan terus berlangsung sampai menutupi seluruh permukaan kulit dari tanaman pinus tersebut, sehingga pada tanaman pinus akan terlihat kumpulan warna putih akibat adanya lapisan lilin (Supriadi 2001 dalamIriando 2011).


(32)

Laela (2008) menyatakan bahwa dari berbagai data dan informasi diketahui bahwa ternyata hama jenis pencucuk penghisap (superfamili Aphidoidea) banyak menyebabkan kerusakan dan permasalahan sangat serius pada pohon-pohon spesies konifer (spesies-spesies pinus dan daun jarum) di berbagai Negara. Serangan hama pencucuk penghisap telah mengakibatkan krisis di bidang kehutanan Negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini serangan hama aphid ini sudah berjalan selama 40 tahun lebih (keberadaan hama pertama kali diketahui tahun 1968).


(33)

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium lapangan Bagian Perlindungan Hutan, dan laboratorium hama hutan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB selama 8 bulan (November 2011 hingga Juni 2012).

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop, lup (kaca pembesar), jangka sorong, gunting, stiker label, cawan Petri, botol film, jarum, pinset, kuas kecil, tallysheet, papan jalan, dan alat tulis. Bahan yang digunakan adalah sampel ranting P. merkusii yang terserang hama kutulilin pinus dari 5 KPH Perum Perhutani Unit II Jawa Timur, bibit P. merkusii umur 6 bulan dari KPH Bogor, tanah, kompos, polibag, paranet 60%, alkohol 70%, dan aluminium foil.

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Pengamatan Perilaku

Pengamatan di laboratorium lapangan, terlebih dahulu disiapkan bibit pinus sebanyak 100 bibit di dalam kumbung seluas 6,5m x 3,1m yang diselubungi dengan paranet 60%. Selanjutnya dilakukan penularan kutulilin pinus terhadap 100 bibit tersebut. Kutulilin pinus yang ditularkan ini diambil dari 5 KPH di Jawa Timur, yaitu Jombang, Pasuruan, Kediri, Lawu DS, dan Probolinggo dengan tingkat serangan ringan, sedang, dan berat dari masing-masing KPH tersebut. Materi tularan diambil secara proporsional dari wilayah terserang. Penularan dilakukan dengan dua metode. Metode pertama adalah penularan langsung, yaitu dengan mengambil kutu dari bagian cabang tertular menggunakan jarum yang tidak disterilkan yang dianggap sebagai satu populasi dan diletakkan pada pangkal daun dan pada masing-masing bagian cabang bibit, yaitu atas, tengah, dan bawah.

Metode kedua adalah dengan menempelkan cabang terserang kutulilin pinus yang dipotong ±5 cm pada bagian tengah bibit kemudian diikat. Cabang-cabang yang ditularkan mewakili setiap tingkat serangan dari masing-masing KPH dan ditularkan pada 3 bibit sebagai ulangan. Setelah seluruh bibit ditulari, selanjutnya dilakukan pengamatan selama 60 hari setiap pagi dan sore hari.


(34)

Pengamatan dilakukan untuk melihat perkembangan lapisan lilin yang telah ditularkan, dengan melihat jumlah dan luas tubuh lilin pada bibit.

(a) (b)

Gambar 1 Metode penularan: (a) penularan tempel (b) penularan langsung

3.3.2 Penghitungan Jumlah Populasi

Penghitungan jumlah populasi dilakukan pada 3 kriteria serangan, yaitu ringan, sedang, dan berat yang berasal KPH Sumedang. Cabang-cabang yang tertular dari 3 pohon dengan 3 kriteria tersebut dipotong masing-masing berukuran 3cm dan kemudian diacak untuk mendapatkan 3 potong untuk tiap-tiap kriteria dalam rangka penghitungan jumlah populasi. Jumlah seluruh sampel ada 9 potongan cabang. Potongan-potongan tersebut kemudian diukur diameternya dan diamati di bawah mikroskop untuk menghitung jumlah telur serta jumlah kutu dari setiap stadia. Kutu-kutu kemudian diawetkan menggunakan alkohol 70% untuk keperluan dokumentasi dan penghitungan ulang bila terdapat keraguan.

(c)

(b) (a)


(35)

Tabel 1 Kriteria serangan hama Pineus boerneri

No. Keadaan Pohon Kriteria serangan Nilai

1. Pohon sehat, tidak ditemui adanya

tanda-tanda serangan, tidak ada lapisan

lilin,pohon berwarna hijau segar

Tidak terserang 0

2. Serangan belum mencapai 15% dari bagian

pucuk, dan sebagian daun mulai

menguning, terdapat lapisan lilin merata pada pucuk dari bagian terserang

Serangan ringan 1

3. Bagian pohon terserang sudah mencapai 30% dari bagian pucuk tanaman, daun mulai menguning dan sebagian berwarna kecoklatan, lapisan lilin sudah memenuhi bagian tajuk

Serangan sedang 2

4. Serangan sudah mencapai 50% dari bagian

pucuk,pucuk sudah mengering daun

berwarna coklat, lapisan lilin sudah mencapai bagian batang

Serangan berat 3

5. Pohon mengering, gundul dan kulit

mengelupas.

Serangan sangat berat 4

3.3.3 Analisis Data

Data hasil pengamatan dan penghitungan diolah menggunakan software Microsoft Office Excel dan SPSS 16.0, analisa statistika yang digunakan pada dua percobaan yang dilakukan ialah metode Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pada pengamatan perilaku, diamati pengaruh asal tularan dan bagian-bagian bibit terhadap serangan kutulilin pinus pada bibit yang ditulari. Sedangkan pada penghitungan jumlah populasi, diamati perbedaan jumlah populasi setiap stadia (telur, nimfa I–nimfa IV, imago) pada tiap tingkat serangan (ringan, sedang, ringan).


(36)

4.1 Pengamatan Perilaku 4.1.1 Penularan Tempel

Jumlah lapisan lilin selama 60 hari pengamatan dari setiap asal tularan dan bagian bibit disajikan dalam grafik berikut:

Gambar 3 Grafik jumlah lapisan lilin selama 60 hari dari setiap asal tularan dan bagian bibit pada penularan tempel

Data jumlah lapisan lilin selama 60 hari dari metode penularan tempel kemudian dianalisis dengan software SPSS 16.0 yaitu dengan sidik ragam dan hasilnya tersaji dalam Tabel 7 (dapat dilihat pada lampiran 2). Berdasarkan hasil sidik ragam, pengaruh bagian bibit tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Sebaliknya, pengaruh asal tularan bibit berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%, hal ini dibuktikan dengan nilai Signifikan ≤0,05. Bagian bibit atas, tengah, bawah yang mempunyai pengaruh tidak berbeda sesuai dengan pernyataan Wylie dan Speight (2012) bahwa kutulilin pinus menghisap cairan tanaman dari daun, pucuk atau batang pinus dan menyebabkan kerusakan bentuk batang serta pertumbuhan. Disamping itu, klasifikasi pinus yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit dimana bagian atas, tengah, dan bawah masih belum terlalu memiliki perbedaan kekerasan batang yang signifikan satu sama lain sehingga kutulilin pinus dapat menghisap cairan di bagian batang manapun.

Apabila dilihat dari hubungan antara serangga dengan tanaman, tanaman memiliki peranan sebagai sumber rangsangan bagi serangga dimana karakteristik

0 5 10 15 20 25 30 35 40 Ju m la h l a pi sa n l il in Asal tularan Atas Tengah Bawah


(37)

(c)

(a) (b)

morfologi dan fisiologi menjadi dua sifat utama (Rahmi 2009). Karakteristik morfologi dan fisiologi antara bibit pinus dan pohon pinus di lapangan tentunya akan ada variasi pada ukuran daun, bentuk, warna, maupun proses metabolisme tanaman tersebut. Hal tersebut yang menyebabkan perbedaan perilaku serangan yang dilakukan oleh kutulilin pinus, jika pada bibit dalam penelitian ini bagian-bagian bibit itu sendiri tidak berpengaruh nyata, maka beda halnya dengan perilaku serangan yang terjadi pada pohon Pinus di lapangan, seperti dijelaskan oleh Supriadi (2001) dalam Iriando (2011) bahwa tahap awal serangan biasanya pada pucuk tanaman dan batang dalam jumlah yang kecil, kemudian akan terus berlangsung sampai menutupi seluruh permukaan batang dari tanaman pinus tersebut.

Gambar 4 Lilin yang muncul pada bagian bibit: (a) bawah, (b) tengah, (c) atas

Hasil rekapitulasi uji lanjut Duncan terhadap jumlah lapisan lilin berdasarkan asal tularan dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%, pengaruh asal tularan terhadap jumlah populasi lilin terbagi dalam 3 subset, dimana tularan yang berada dalam satu subset memiliki pengaruh yang sama. Tularan yang berasal dari Pasuruan dengan tingkat serangan sedang berbeda nyata dari tularan lainnya dan memiliki nilai yang paling dominan. Perbedaan jumlah lapisan lilin yang terjadi dari tiap asal tularan bisa disebabkan oleh faktor cuaca pada saat penelitian dilakukan, yaitu pada saat terjadi hujan lilin-lilin yang ada pada bibit menjadi tercuci sehingga tidak dihitung.


(38)

Tabel 2 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dengan metode penularan tempel

Asal Bibit N Subset

1 2 3

Lawu DS.S 3 .33

Probolinggo.S 3 .33

Jombang.R 3 .67

Jombang.B 3 1.33 1.33

Probolinggo.B 3 1.67 1.67

Kediri.S 3 2.00 2.00

Pasuruan.R 3 3.00 3.00

Kediri.B 3 3.33 3.33

Jombang.S 3 3.67 3.67

Lawu DS.B 3 4.33 4.33

Lawu DS.R 3 4.67 4.67

Kediri.R 3 5.33 5.33

Pasuruan.B 3 10.00

Pasuruan.S 3 23.00

Huruf kapital di akhir nama bibit menunjukkan tingkat serangan dari asal tularan; R= Ringan; S= Sedang; B= Berat

Perilaku pembawaan (instincts) serangga yang dikemukakan oleh Hidayat (2008), menyatakan bahwa serangga memiliki sifat mendekati atau menjauhi suatu rangsangan, di antaranya adalah pengaruh sumber cahaya, rangsangan suhu tertentu, dan kelembaban. Perbedaan-perbedaan tersebut bisa terjadi pada saat penelitian ini dilakukan, contohnya ialah pada posisi bibit di dalam kumbung yang menyebabkan penerimaan cahaya pada bibit berbeda satu sama lain. Hal ini menyebabkan kemungkinan perbedaan serangan kutulilin pinus yang terjadi pada bibit-bibit juga berbeda antara bibit satu dengan bibit lainnya.

4.1.2 Penularan Langsung

Jumlah titik lilin per hari selama 60 hari pengamatan dari setiap asal tularan dan bagian bibit disajikan dalam Gambar 5. Data rata-rata jumlah lapisan lilin per hari dari metode penularan langsung kemudian dianalisis secara statistik yaitu dengan sidik ragam dan hasilnya tersaji dalam Tabel 8 (dapat dilihat pada lampiran 2). Berdasarkan hasil sidik ragam, pengaruh bagian bibit tidak berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Sebaliknya, pengaruh asal tularan bibit berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%, hal ini dibuktikan dengan nilai


(39)

signifikan ≤0,05. Sidik ragam pada penularan langsung memiliki hasil yang sama dengan penularan tempel, oleh karena itu penjelasan mengenai faktor klasifikasi ukuran tumbuhan (bibit) yang digunakan dalam penelitian ini dan perilaku serangga juga menjadi alasan pengaruh bibit tidak berbeda nyata.

Hasil rekapitulasi uji lanjut Duncan terhadap rata-rata jumlah titik lilin berdasarkan asal tularan dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%, pengaruh asal tularan terhadap jumlah lapisan lilin terbagi dalam 3 subset, dimana tularan yang berada dalam satu subset memiliki pengaruh yang sama. Tularan Kediri Berat berbeda nyata dari tularan lainnya dan memiliki nilai yang paling dominan.

Terdapat perbedaan pengaruh masing-masing asal tularan antara penularan dengan cara ditempel dengan penularan langsung. Pada penularan tempel telah dijelaskan mengenai faktor lingkungan dan pembawaan (instincts) serangga yang bisa mempengaruhi serangan. Pada penularan langsung, serangga yang ditulari akan langsung berhadapan dengan inang baru, disini terjadi proses adaptasi. Beda halnya dengan penularan tempel, dimana serangga masih dapat memperoleh makanan dari cabang tularan yang ditempel hingga akhirnya dapat mencari makanan dan berkembang biak pada bibit yang ditulari.

0 10 20 30 40 50 60 70 Ju m la h l a p isa n l il in Asal tularan Atas Tengah Bawah

Gambar 5 Grafik jumlah lapisan lilin selama 60 hari dari setiap asal tularan dan bagian bibit pada penularan langsung


(40)

Tabel 3 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dengan metode penularan langsung

Asal Bibit N Subset

1 2 3

Probolinggo.S 3 .33

Probolinggo.B 3 .67

Jombang.R 3 8.00 8.00

Pasuruan.R 3 8.67 8.67

Kediri.R 3 11.67 11.67

Pasuruan.S 3 13.00 13.00

Jombang.S 3 13.33 13.33

Jombang.B 3 14.00 14.00

Kediri.S 3 17.67 17.67 17.67

Lawu DS.R 3 22.33 22.33

Pasuruan.B 3 23.33 23.33

Lawu DS.B 3 23.33 23.33

Lawu DS.S 3 25.00 25.00

Kediri.B 3 35.33

Huruf kapital di akhir nama bibit menunjukkan tingkat serangan dari asal tularan; R= Ringan; S= Sedang; B= Berat

Pada penularan langsung, proses belajar (learning) serangga bisa menjelaskan perbedaan yang terjadi antara penularan tempel dan langsung. Hidayat (2008) menyatakan bahwa learning merupakan suatu proses pembelajaran yang merupakan perubahan adaptif pada perilaku sebagai hasil dari pengalaman di masa sebelumnya. Pada penularan langsung, serangga diharuskan untuk adaptif pada bibit yang ditulari dengan berbekal pengalaman di masa sebelumnya. Lebih lanjut Dukas (2008) menjelaskan bahwa berbagai serangga secara ekstensif mengandalkan belajar pada semua kegiatan utama untuk hidup yang meliputi makan, menghindari predator, agresi, interaksi sosial, dan perilaku seksual. Kemampuan belajar juga didasari oleh variasi genetik yang ditunjukkan setiap individu dalam spesies serangga. Jadi, kutulilin pinus pada penularan langsung mengandalkan proses belajar yang dilakukan pada inang sebelumnya untuk dapat hidup pada inang yang baru sehingga dapat berkembang biak pada inang baru tersebut.

4.2 Penghitungan Jumlah Populasi

Hasil penghitungan jumlah individu dalam populasi per cm² pada tiap kriteria serangan menunjukkan stadia nimfa II memiliki jumlah tertinggi dan


(41)

nimfa III terendah. Selengkapnya hasil penghitungan jumlah individu dalam populasi tersaji dalam Tabel 4. Hasil ini berbeda dengan dugaan awal bahwa stadia nimfa I yang memiliki jumlah tertinggi dan nilainya terus menurun hingga stadia dewasa yang memiliki jumlah terendah. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh cabang yang digunakan untuk menghitung jumlah populasi ini sudah terlalu lama disimpan dalam lemari pendingin, karena pada saat cabang diambil dari Sumedang tidak langsung dilakukan penghitungan. Cabang tersebut tersimpan selama 1 minggu di dalam lemari pendingin sebelum akhirnya dilakukan penghitungan. Pada saat penghitungan, terlihat banyak individu kutulilin pinus yang mati dan kering dari setiap stadia, hal ini dapat menjadi kemungkinan yang menyebabkan hasil penghitungan jumlah populasi berbeda dengan dugaan awal.

Berdasarkan hasil sidik ragam, pengaruh stadia dan tingkat serangan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%. Keduanya dibuktikan pada Tabel 9 (Lampiran 2) dengan nilai signifikan keduanya ≤0,05. Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah individu kutulilin pinus per cm² yang dihitung masing-masing menurut stadia dan kriteria serangannya disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6.

Berdasarkan data dan hasil uji lanjut Duncan, terbukti bahwa jumlah individu berdasarkan stadia didominasi oleh Nimfa II dan terendah adalah stadia Nimfa III. Pada saat penghitungan dilakukan, stadia Nimfa II memang terlihat paling aktif bersama dengan Nimfa I, dan juga terlihat jelas bahwa jumlahnya paling banyak di antara stadia yang lain. Sedangkan pada tingkat serangan, masing-masing berbeda nyata terhadap tingkat serangan lainnya. Perbedaan yang dapat dilihat dengan kasat mata dari masing-masing kriteria serangan itu adalah penutupan lilin yang menyelimuti batang, pada kriteria serangan berat, seluruh bagian batang sudah tertutupi oleh lilin. Jadi, semakin banyak penutupan lilin pada batang, jumlah populasi kutulilin pinus yang ada di dalam penutupan lilin tersebut juga semakin banyak.


(42)

Tabel 4 Jumlah individu kutulilin pinus dalam populasi per cm² pada tiap kriteria serangan dan stadia

Stadia Kriteria

Ringan Sedang Berat

Telur 4.50 5.57 5.25

Nimfa_I 1.80 6.86 15.30

Nimfa_II 1.58 4.82 22.31

Nimfa_III 1.96 3.09 3.47

Nimfa_IV 1.25 2.83 5.92

Dewasa 2.12 4.99 10.53

Tabel 5 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah individu pada tiap stadia

Stadia N Subset

1 2 3

Nimfa_III 9 2.8422

Nimfa_IV 9 3.3344

Telur 9 5.1044 5.1044

Dewasa 9 5.8789 5.8789

Nimfa_I 9 7.9856 7.9856

Nimfa_II 9 9.5722

Kelompok subset yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%

Tabel 6 Hasil uji lanjut Duncan rata-rata jumlah individu pada tiap tingkat serangan

Tingkat

Serangan N

Subset

1 2 3

Ringan 18 2.2033

Sedang 18 4.6928

Berat 18 10.4628

Kelompok subset yang berbeda menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata berdasarkan uji lanjut Duncan pada selang kepercayaan 95%


(43)

5.1 Kesimpulan

1. Perilaku serangan kutulilin pinus menunjukkan bahwa serangan pada bibit pinus tidak dipengaruhi oleh bagian bibit, akan tetapi dipengaruhi oleh asal tularan kutulilin pinus tersebut.

2. Jumlah populasi tergambar dari tutupan lilin pada batang. Semakin banyak tutupan lilin maka jumlah populasi akan semakin tinggi, begitu pula sebaliknya apabila tutupan lilin sedikit maka jumlah populasinya rendah.

5.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai siklus hidup kutulilin pinus untuk mengetahui secara pasti waktu perkembangan dari setiap stadia kutulilin pinus.

2. Perlu dilakukan penelitian untuk mencari cara yang tepat dalam penanggulangan hama kutulilin pinus ini.


(44)

Annand PN. 1928. A Contribution Toward a Monograph of the Adelginae (Phylloxeridae) of North America. California: Stanford University Press. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga

Edisi Keenam. Partosoedjono S, penerjemah; Brotowidjoyo MD, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect Sixth Edition

CAB International. 2012. Pineus boerneri (pine woolly aphid). [terhubung berkala].http://www.cabi.org/isc/?compid=5&dsid=41319&loadmodule=d atasheet&page=481&site=144 [06 September 2012]

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Biology, Fifth Edition.

Ciesla WM. 2011. Forest Entomology: A Global Perspective. UK: Blackwell Publishing.

[Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1990. Teknik pembuatan tanaman Pinus merkusii. [terhubung berkala]. http://www.gogreen.web.id/2008/06/jual-biji-benih-pinus-cara-budidaya.html [04 September 2012].

Dukas R. 2008. Evolutionary biology of insect learning. Annual Review of Entomology 53:145-160.

Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih: Pinus merkusii Jungh. et de Vries. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Hidayat P. 2008. Diktat Kuliah Entomologi Umum. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Iriando SJS. 2011. Penyebaran serangan kutulilin pinus (pineus boerneri) pada tegakan pinus (pinus merkusii) (studi kasus di KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Istomo, Kusmana C, Roswandi S. 2000. Kajian faktor lingkungan fisik pinus merkusii jungh et de vries ras Kerinci di resort KSDA Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Media Konservasi 7(1):9-15.

Laela. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman kehutanan. [terhubung berkala].http://elqodar.multiply.com/journal/item/17/PENGENDALIAN_ HAMA_DAN_PENYAKIT_TANAMAN_KEHUTANAN?&show_interst itial=1&u=%2Fjournal%2Fitem [02 Januari 2012].


(45)

Laksmi DD. 2006. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pinus (Pinus merkusi) pada profil-profil yang berkembang dari bahan piroklastik dan lahar letusan Gunung Galunggung, Tasimalaya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Nurhasybi, Kartiko HDP, Zanzibar M, Sudrajat DJ, Pramono AA, Buharman, Sudrajat, Suhariyanto. 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid 1. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Pinus merkusi.

Agroforestree database : a tree reference and selection guide version 4.0. [terhubung berkala]. http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ [23 Desember 2011].

Pandit IK, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Perhutani, 2012. Perhutani sadap getah pinus di hutan Bali. [terhubung berkala]. http://perumperhutani.com/2012/04/perhutani-sadap-getah-pinus-di-hutan-bali/ [06 September 2012]

Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman. Depok: Penebar Swadaya.

Putra NS. 2011. Hubungan mesra antara serangga dan tumbuhan. [terhubung berkala]. http://majalahserangga.wordpress.com/2011/07/29/hubungan-mesra-antara-serangga-dan-tumbuhan/ [25 Maret 2012].

Rahmi H. 2009. Hubungan serangga dan tanaman inang. [terhubung berkala]. http://hadianiarrahmi.wordpress.com/2009/10/27/hubungan-serangga-dan-tanaman-inang/ [25 Maret 2012].

Rustini. 2004. Pembuatan briket arang dari serbuk gergajian kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) dengan penambahan tempurung kelapa [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Senjaya YA, Surakusumah W. 2010. Potensi ekstrak daun pinus sebagai bioherbisida penghambat perkecambahan Echinochloa colonum L. dan Amaranthus viridis [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Matematika dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Suhaendi H. 2006. Kajian teknik konservasi Pinus merkusii strain Kerinci. Di dalam: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 Sep 2006. hlm 99-110.

Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et de vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(46)

Suryatmojo. 2006. Peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Suseno OH, Hardiyanto EB, Na’iem M. 1994. Sejarah pembangunan kebun benih Pinus merkusii di Jawa. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Wylie FR, Speight MR. 2012. Insect Pest in Tropical Forestry 2nd Edition. UK: CPI Group.


(47)

(48)

Lampiran 1 Jumlah penghitungan lapisan lilin pada bibit selama 60 hari Metode Penularan Tempel

Asal Bibit Jombang Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Asal Bibit Pasuruan

Sedang Pasuruan Berat Kediri Ringan Kediri Sedang

Kediri Berat Probolinggo Sedang Probolinggo Berat Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 4 T 9 12 6 16 0 0 0 23 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 B 2 16 85 9 12 2 0 18 2 2 1 1 4 16 0 3 0 0 0 0 5

Metode Penularan Langsung Asal Bibit Jombang

Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Asal Bibit Jombang

Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0 T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15 B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4 Huruf kapital A, T, dan B menunjukkan bagian bibit; A=Atas; T=Tengah; B=Bawah


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Annand PN. 1928. A Contribution Toward a Monograph of the Adelginae (Phylloxeridae) of North America. California: Stanford University Press. Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga

Edisi Keenam. Partosoedjono S, penerjemah; Brotowidjoyo MD, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: An Introduction to the Study of Insect Sixth Edition

CAB International. 2012. Pineus boerneri (pine woolly aphid). [terhubung berkala].http://www.cabi.org/isc/?compid=5&dsid=41319&loadmodule=d atasheet&page=481&site=144 [06 September 2012]

Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2003. Biologi. Manalu W, penerjemah; Safitri A, Simarmata L, Hardani HW, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari : Biology, Fifth Edition.

Ciesla WM. 2011. Forest Entomology: A Global Perspective. UK: Blackwell Publishing.

[Dephut] Departemen Kehutanan, Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 1990. Teknik pembuatan tanaman Pinus merkusii. [terhubung berkala]. http://www.gogreen.web.id/2008/06/jual-biji-benih-pinus-cara-budidaya.html [04 September 2012].

Dukas R. 2008. Evolutionary biology of insect learning. Annual Review of Entomology 53:145-160.

Hidayat J, Hansen CP. 2001. Informasi Singkat Benih: Pinus merkusii Jungh. et de Vries. Bandung: Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan.

Hidayat P. 2008. Diktat Kuliah Entomologi Umum. Bogor: Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Iriando SJS. 2011. Penyebaran serangan kutulilin pinus (pineus boerneri) pada tegakan pinus (pinus merkusii) (studi kasus di KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten) [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Istomo, Kusmana C, Roswandi S. 2000. Kajian faktor lingkungan fisik pinus merkusii jungh et de vries ras Kerinci di resort KSDA Bukit Tapan, Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Media Konservasi

7(1):9-15.

Laela. 2008. Pengendalian hama dan penyakit tanaman kehutanan. [terhubung berkala].http://elqodar.multiply.com/journal/item/17/PENGENDALIAN_ HAMA_DAN_PENYAKIT_TANAMAN_KEHUTANAN?&show_interst itial=1&u=%2Fjournal%2Fitem [02 Januari 2012].


(2)

Laksmi DD. 2006. Evaluasi kesesuaian lahan untuk tanaman pinus (Pinus merkusi) pada profil-profil yang berkembang dari bahan piroklastik dan lahar letusan Gunung Galunggung, Tasimalaya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Nurhasybi, Kartiko HDP, Zanzibar M, Sudrajat DJ, Pramono AA, Buharman, Sudrajat, Suhariyanto. 2003. Atlas Benih Tanaman Hutan Indonesia Jilid 1. Bogor: Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Pinus merkusi.

Agroforestree database : a tree reference and selection guide version 4.0. [terhubung berkala]. http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ [23 Desember 2011].

Pandit IK, Ramdan H. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu sebagai Bahan Baku. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Perhutani, 2012. Perhutani sadap getah pinus di hutan Bali. [terhubung berkala]. http://perumperhutani.com/2012/04/perhutani-sadap-getah-pinus-di-hutan-bali/ [06 September 2012]

Pracaya. 2008. Hama dan Penyakit Tanaman. Depok: Penebar Swadaya.

Putra NS. 2011. Hubungan mesra antara serangga dan tumbuhan. [terhubung berkala]. http://majalahserangga.wordpress.com/2011/07/29/hubungan-mesra-antara-serangga-dan-tumbuhan/ [25 Maret 2012].

Rahmi H. 2009. Hubungan serangga dan tanaman inang. [terhubung berkala]. http://hadianiarrahmi.wordpress.com/2009/10/27/hubungan-serangga-dan-tanaman-inang/ [25 Maret 2012].

Rustini. 2004. Pembuatan briket arang dari serbuk gergajian kayu pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese) dengan penambahan tempurung kelapa [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.

Senjaya YA, Surakusumah W. 2010. Potensi ekstrak daun pinus sebagai bioherbisida penghambat perkecambahan Echinochloa colonum L. dan Amaranthus viridis [laporan penelitian]. Bandung: Fakultas Matematika dan IPA Universitas Pendidikan Indonesia.

Siregar EBM. 2005. Pemuliaan Pinus merkusii. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Suhaendi H. 2006. Kajian teknik konservasi Pinus merkusii strain Kerinci. Di dalam: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian; Padang, 20 Sep 2006. hlm 99-110.

Suhendang E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus merkusii Jungh. et de vriese di Pulau Jawa [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(3)

33

Suryatmojo. 2006. Peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Suseno OH, Hardiyanto EB, Na’iem M. 1994. Sejarah pembangunan kebun benih Pinus merkusii di Jawa. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Wylie FR, Speight MR. 2012. Insect Pest in Tropical Forestry 2nd Edition. UK: CPI Group.


(4)

(5)

35

Lampiran 1 Jumlah penghitungan lapisan lilin pada bibit selama 60 hari Metode Penularan Tempel

Asal Bibit Jombang Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan

Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0

T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15

B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4

Asal Bibit Pasuruan

Sedang Pasuruan Berat Kediri Ringan Kediri Sedang

Kediri Berat Probolinggo Sedang Probolinggo Berat

Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 2 3 4

T 9 12 6 16 0 0 0 23 0 0 5 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0

B 2 16 85 9 12 2 0 18 2 2 1 1 4 16 0 3 0 0 0 0 5

Metode Penularan Langsung Asal Bibit Jombang

Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan

Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0

T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15

B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4

Asal Bibit Jombang Ringan Jombang Sedang Jombang Berat Lawu DS Ringan Lawu DS Sedang Lawu DS Berat Pasuruan Ringan

Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

A 0 0 0 0 0 4 1 0 10 0 0 0 0 0 0 0 11 3 0 0 0

T 1 2 1 3 1 1 1 0 2 6 1 0 0 2 0 0 11 0 8 2 15

B 1 2 0 3 0 24 0 0 0 11 23 4 0 0 0 0 10 1 0 0 4


(6)

Lampiran 2 Hasil sidik ragam

Tabel 7 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan tempel

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F Sig.

Asal Bibit 1353.738 13 104.134 5.072 .000

Bagian 100.905 2 50.452 2.458 .105

Error 533.762 26 20.529

Corrected Total 1988.405 41

Tabel 8 Sidik ragam rata-rata jumlah lapisan lilin pada bibit berdasarkan asal tularan dan bagiannya, dengan metode penularan langsung

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F Sig.

Asal Bibit 3715.810 13 285.832 2.706 .015

Bagian 352.333 2 176.167 1.668 .208

Error 2746.333 26 105.628

Corrected Total 6814.476 41

Tabel 9 Sidik ragam rata-rata jumlah individu kutulilin pinus per cm² pada tiap-tiap stadia dan tingkat serangan

Sumber Keragaman

Jumlah Kuadrat

Derajat Bebas

Kuadrat

Tengah F Sig.

Stadia 308.904 5 61.781 4.523 .002

Tingkat Serangan 646.252 2 323.126 23.656 .000

Error 628.324 46 13.659