dilakukan dalam jarak jauh, biasanya melibatkan alat visual, bahan kimia tersebar di  udara,  alat  pendengar  auditory  dan  lain-lain.  Untuk  komunikasi  jarak  dekat
biasanya  menggunakan  kombinasi  beberapa  organ  perasa.  Jenis  komunikasi  ini ada  yang  sifatnya  khusus  digunakan  antar  individu  dalam  satu  spesies
intraspesifik dan ada  yang digunakan antar spesies  yang  berbeda interspesifik Hidayat 2008.
Komunikasi  visual  berhubungan  dengan  penglihatan,  seperti  kupu-kupu jantan melihat adanya kupu-kupu betina, kunang-kunang jantan yang terbang dan
menyala  di  malam  hari,  dan  komunikasi  pada  lebah  madu  yang  melakukan  tari- tarian  untuk  memberi  tahu  temannya  jika  menemukan  sumber  makanan.
Komunikasi  suara  atau  auditory  communication  dapat  terjadi  karena  adanya gerakan  fibrase  dan  gerakan  pada  alat  stidulasi.  Alat  stidulasi,  gerakan
menggaruk,  seperti  pada  belalang  ketika  sayap  belakangnya  menggaruk  femur belakang.  Komunikasi  kimia  terjadi  karena  adanya  bahan  kimia  yang
mempengaruhi  perilaku.  Dalam  tubuh  serangga  bahan  kimia  diproduksi  di  suatu bagian dan disebarkan ke bagian lain, disebut hormon, dan ada yang dikeluarkan
oleh suatu individu untuk mempengaruhi individu lain Hidayat 2008.
2.3 Kutulilin Pinus Pineus boerneri Annand.
Lembaga  Center  for  Agricultural  Bioscience  International  CABI,  yaitu lembaga  penelitian  non-profit  antar  pemerintahan  yang  berpusat  di  Inggris
menyebutkan  bahwa spesies kutulilin pinus adalah Pineus boerneri dengan nama umum  Pine  Woolly  Aphid.  Adapun  taksonomi  hama  kutulilin  pinus  Pineus
boerneri selengkapnya adalah sebagai berikut : Domain
: Eukaryota Kingdom
: Metazoa Filum
: Arthropoda Sub filum
: Uniramia Kelas
: Insekta Ordo
: Hemiptera Sub ordo
: Sternorrhyncha Super famili
: Aphidoidea Famili
: Adelgidae
Genus : Pineus
Spesies : boerneri Annand.
Kutulilin  pinus  bertubuh  lunak,  berbentuk  bulat,  berwarna  kuning kecoklatan,  berukuran  kecil  ±1  mm,  tinggal  dan  bereproduksi  di  pucuk  bagian
luar  dari  pohon  pinus.  Kutu  ini  mengeluarkan  lilin  putih  dari  kelenjar  lilin  yang terdapat di tubuhnya. Kutu betina mempunyai ovipositor, rostrum yang panjang, 4
pasang  spirakel  pada  abdomen  dan  tidak  aktif  sessile.  Sebagian  besar  famili Adelgidae mempunyai siklus hidup selama 2 tahun. P. boerneri  adalah kutu yang
aseksual sepanjang tahun, artinya tidak tergantung musim dan memproduksi telur secara  partenogenesis  berkembang  biak  tanpa  perkawinan,  maka  populasi  kutu
ini  cepat  sekali  berlipat  ganda.  Bila  satu  petak  tanaman  pinus  diketahui  telah terserang,  maka  sangat  mungkin  bahwa  pohon-pohon  di  petak-petak  sekitarnya
akan  terserang  dengan  populasi  hama  yang  relatif  rendah  sehingga  belum menunjukkan efek merusak Laela 2008.
P.  boerneri  tahan  terhadap  kondisi  lingkungan  yang  dingin  Annand 1928. Penyebaran dan fluktuasi populasinya di lapangan dipengaruhi oleh faktor
barrier  penghalang  berupa  barrier  alam  jurang,  bukit,  vegetasi  ada  tidaknya vegetasi  lain  selain  pinus,  dan  iklim.  Pertanaman  pinus  yang  memiliki  barrier
alam dan vegetasi lain yang tinggi cenderung lebih lambat terserang dibandingkan dengan  pertanaman  yang  berada  di  bentang  alam  yang  terbuka.  Namun  seiring
waktu  apabila  tinggi  pohon-pohon  pinus  sudah  menyamaimelebihi  barrier  alam yang ada,  maka tingkat serangan  hama  kutulilin  pinus  juga  meningkat. Serangan
hama kutulilin pinus meningkat pada musim kemarau; pada musim hujan kutulilin pinus  tertekan  namun  tetap  ada  dalam  tegakan  dalam  populasi  terbatas  Laela
2008. Ciesla 2011 menyebutkan bahwa P. boerneri yang berasal dari P. radiate
di  California,  Amerika  Serikat  diyakini  berasal  dari  Eurasia  sebagai  P.  laevis Maskell  dan  P.  pini  Maquart.  Banyak  literatur  sebelumnya  tentang  spesies  ini
dengan  nama-nama  tersebut.  Spesies  ini  telah  menyebar  ke  Afrika,  Australia, Amerika Utara Timut Laut Amerika Serikat dan  Hawaii, Amerika Selatan, dan
Selandia Baru. Pertama kali dilaporkan di Afrika dari Kenya dan Zimbabwe pada tahun  1968  dan  menyebar  dengan  cepat  di  perkebunan  pinus  di  seluruh  benua
Afrika.  Penyebaran  awal  ke  Afrika  diperkirakan  melalui  materi  keturunan  P. taeda yang diimpor dari Australia.
Hama  kutulilin  pinus  diketahui  mempunyai  inang  lebih  dari  50  spesies pohon  pinus  Chilima  dan  Leather    2001  dalam  Wylie  dan  Speight  2012.
Kutulilin  pinus  menghisap  cairan  dari  daun,  pucuk  atau  batang  pinus  dan menyebabkan  kerusakan  bentuk  batang  serta  pertumbuhan.  Serangga  ini
mengeluarkan  lapisan  lilin  berwarna  putih,  yang  menutupi  koloninya.  Kutulilin pinus  menyebabkan  daun  kecoklatan  dan  mati,  kematian  pucuk  dieback,
kelainan  bentuk  batang  dan  pada  serangan  yang  berat  dapat  menyebabkan kematian  pohon  Wylie  dan  Speight  2012.  Kerusakan  akan  semakin  parah
apabila  pohon  tumbuh  pada  kondisi  yang  buruk  sehingga  menyebabkan  stress. Hal  ini  terjadi  karena  kekeringan,  tanah  yang  miskin,  tidak  ada  penjarangan  dan
lain  sebagainya  Watson  2007  dalam  Iriando  2011.  Serangga  ini  memiliki  pola serangan  tertentu,  baik  menurut  ruang  maupun  waktu.  Pemahaman  tentang
distribusi  populasi  kutu  berdasarkan  ruang  dan  waktu  sangat  penting  dalam pengelolaan hama kutulilin pinus ini yaitu pemilihan waktu dan teknik yang tepat
untuk  aplikasi  pengendalian.  Kegiatan  silvikultur  seperti  penjarangan  dan pemangkasan  serta  faktor  lainnya  umur,  spesies,  vigor  pohon  dan  gugur  daun
karena hama lain dapat mempengaruhi distribusi kutulilin pinus ini Chilima dan Leather 2001 dalam Iriando 2011.
Pada tahap awal serangan akan terlihat bintik-bintik putih kecil 1 –2 mm,
biasanya pada pucuk tanaman dan batang dalam jumlah yang kecil. Bintik-bintik kecil  putih  tersebut  berbentuk  seperti  hifa-hifa  dengan  warna  putih  dan  lengket
yang  merupakan  cairan  yang  dikeluarkan  kutulilin  pinus  sebagai  tempat  tinggal rumahtempat  berlindung  dan  berkembang  biak  bagi  kutulilin  pinus.  Setelah
tanaman  terserang  kutulilin  pinus,  maka  tahap  selanjutnya  akan  terjadi perkembangan penutupan lilin. Pada tahap ini bintik-bintik putih tersebut semakin
melebar  membentuk  kelompok-kelompok  lapisan  lilin.  Kemudian  akan  terus berlangsung  sampai  menutupi  seluruh  permukaan  kulit  dari  tanaman  pinus
tersebut, sehingga pada tanaman pinus akan terlihat kumpulan warna putih akibat adanya lapisan lilin Supriadi 2001 dalam Iriando 2011.
Laela  2008  menyatakan  bahwa  dari  berbagai  data  dan  informasi diketahui  bahwa  ternyata  hama  jenis  pencucuk  penghisap  superfamili
Aphidoidea  banyak  menyebabkan  kerusakan  dan  permasalahan  sangat  serius pada  pohon-pohon  spesies  konifer  spesies-spesies  pinus  dan  daun  jarum  di
berbagai Negara. Serangan hama pencucuk penghisap telah mengakibatkan krisis di bidang kehutanan Negara-negara Afrika. Sampai dengan saat ini serangan hama
aphid  ini  sudah  berjalan  selama  40  tahun  lebih  keberadaan  hama  pertama  kali diketahui tahun 1968.
BAB III METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian  dilaksanakan  di  laboratorium  lapangan  Bagian  Perlindungan Hutan, dan laboratorium hama hutan Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan
IPB selama 8 bulan November 2011 hingga Juni 2012.
3.2 Alat dan Bahan
Alat  yang  digunakan  dalam  penelitian  ini  adalah  mikroskop,  lup  kaca pembesar,  jangka  sorong,  gunting,  stiker  label,  cawan  Petri,  botol  film,  jarum,
pinset,  kuas  kecil,  tallysheet,  papan  jalan,  dan  alat  tulis.  Bahan  yang  digunakan adalah sampel ranting P. merkusii yang terserang hama kutulilin pinus dari 5 KPH
Perum  Perhutani  Unit  II  Jawa  Timur,  bibit  P.  merkusii  umur  6  bulan  dari  KPH Bogor, tanah, kompos, polibag, paranet 60, alkohol 70, dan aluminium foil.
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Pengamatan Perilaku
Pengamatan  di  laboratorium  lapangan,  terlebih  dahulu  disiapkan  bibit pinus sebanyak 100 bibit di dalam kumbung seluas 6,5m x 3,1m yang diselubungi
dengan  paranet  60.  Selanjutnya  dilakukan  penularan  kutulilin  pinus  terhadap 100 bibit tersebut. Kutulilin pinus yang ditularkan ini diambil dari 5 KPH di Jawa
Timur,  yaitu  Jombang,  Pasuruan,  Kediri,  Lawu  DS,  dan  Probolinggo  dengan tingkat  serangan  ringan,  sedang,  dan  berat  dari  masing-masing  KPH  tersebut.
Materi  tularan  diambil  secara  proporsional  dari  wilayah  terserang.  Penularan dilakukan dengan dua metode. Metode pertama adalah penularan langsung, yaitu
dengan  mengambil  kutu  dari  bagian  cabang  tertular  menggunakan  jarum  yang tidak disterilkan yang dianggap sebagai satu populasi dan diletakkan pada pangkal
daun dan pada masing-masing bagian cabang bibit, yaitu atas, tengah, dan bawah. Metode  kedua  adalah  dengan  menempelkan  cabang  terserang  kutulilin
pinus  yang  dipotong  ±5  cm  pada  bagian  tengah  bibit  kemudian  diikat.  Cabang- cabang  yang  ditularkan  mewakili  setiap  tingkat  serangan  dari  masing-masing
KPH  dan  ditularkan  pada  3  bibit  sebagai  ulangan.  Setelah  seluruh  bibit  ditulari, selanjutnya  dilakukan  pengamatan  selama  60  hari  setiap  pagi  dan  sore  hari.