Analisis kelayakan finansial dan faktor-faktor yang memotivasi petani dalam kegiatan agroforestri (kasus pada proyek pengembangan hutan kemasyarakatan SFDP-PPHK di kabupaten Sanggau, provinsi Kalimantan Barat)

(1)

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMOTIVASI PETANI

DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI

(Kasus Pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan SFDP-PPHK Di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)

SUMIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMOTIVASI PETANI

DALAM KEGIATAN AGROFORESTRI

(Kasus Pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan SFDP-PPHK Di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)

SUMIATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala

pernyataan dalam tesis yang berjudul

Analisis Kelayakan Finansial dan

Faktor-Faktor yang Memotivasi Petani dalam Kegiatan Agroforestri (Kasus pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan SFDP-PPHK di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)” merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan arahan komisi pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis pada perguruan tinggi lainnya. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2011

Yang membuat pernyataan

Sumiati


(4)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(5)

Judul Penelitian : Analisis Kelayakan Finansial dan Faktor-Faktor yang Memotivasi Petani dalam Kegiatan Agroforestri (Kasus pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan

SFDP-PPHK di Kabupaten Sanggau, Provinsi

Kalimantan Barat)

Nama Mahasiswa : Sumiati

NRP : E015010091

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA

Ketua Anggota

Dr. Ir. Leti Sundawati.M.For.Sc

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr.Ir. Fauzi Febrianto, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.


(6)

(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul

Analisis Kelayakan Finansial dan Faktor-Faktor yang Memotivasi Petani dalam Kegiatan Agroforestri (Kasus pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan SFDP-PPHK di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat)” ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Selama melaksanakan penelitian sampai selesainya tesis ini, penulis mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak baik secara moril maupun material. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA dan Dr. Ir. Leti Sundawati, M.For.Sc selaku komisi pembimbing, yang dengan sabar telah memberikan bimbingan dan arahan dalam penulisan tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS, selaku Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan dorongan akademik untuk penyelesaian tesis.

3. Staf pengajar dan karyawan Program Studi IPK, Sekolah Pascasarjana IPB yang telah membantu selama penulis melaksanakan studi.

4. Rekan-rekan Staf Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin khususnya Prof. Dr. Ir. Iswara Gautama, MSi, Prof. Dr. Ir. Yusran Yusuf. MSi, Prof. Dr. Ir. Muhammad Dassir, MSi., Ir. Nurdin Dalya, atas dukungan dan bimbingannya dalam penulisan tesis ini.

5. Kementerian Kehutanan cq Pusdiklat Kehutanan yang telah memberikan kesempatan tugas belajar di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

6. Direktorat Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan beserta seluruh staf khusunya kepada Ir. Erna Rosdiana, MSi, Dra. Indrawati, MM, atas dukungan moril dan materil yang dibeberkan selama penulis bertugas.


(8)

dukungan moril dan materil yang tidak putus- putusnya.

8. Social Forestry Development Project (SFDP – GTZ) yang telah memberikan bantuan dana dan bantuan teknis untuk kegiatan studi

9. Ayahanda tercinta Wasugai (Alm), Ibunda tercinta Naomi Bertha Serre (Almh), dan kepada Saudara dan Saudari ku yang senantiasa memberikan dorongan semangat dan doa serta bantuan moril maupun materil yang tidak putus-putusnya serta seluruh keluarga tercinta.

10. Rekan-rekan seperjuangan atas bantuan, kebersamaan dan rasa kekeluargaan, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada DR. Ir. Fauzi Harun, M.Si dan Jonifli Abdullah, yang sangat membantu dalam penulisan dan penyelesaian tesis ini serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian studi ini.

Bogor, Juli 2011


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang pada tanggal 23 September 1963 dari keluarga Ayahanda Wasugai (Alm) dan Ibunda Naomi Bertha Serre (Almh). Penulis merupakan anak ke tujuh dari sebelas bersaudara,

Pendidikan Sekolah Dasar Negeri (SDN) ANTAM Pomalaa di Pomalaa Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara diselesaikan pada tahun 1978, Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) ANTAM Pomalaa di Pomalaa Kabupaten Kolaka di selesaikan pada tahun 1980, dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) II Ujung Pandang di Ujung Pandang Provinsi Sulawesi Selatan diselesaikan pada tahun 1983. Selanjutnya menyelesaikan Strata Satu (S1) tahun 1991 pada Program Studi Managemen Hutan Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan Universitas Hasanuddin Ujung Pandang. Pada tahun 1993 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil di Departemen Kehutanan sampai sekarang. Pada Tahun 2001 penulis mendapatkan tugas belajar dengan sponsor SFDP-GTZ Republik Federal German, penulis diterima pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Permasalahan ... 4

Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

Ruang Lingkup Penelitian ... 6

Kerangka Penelitian dan Hipotesis ... 7

TINJAUAN PUSTAKA ... 11

Hutan Kemasyarakatan ... 11

Agroforestri ... 13

Tembawang ... 15

Kebun Karet ... 17

Pola Bawas ... 18

Pola Lalang ... 18

Analisis Finansial ... 19

Motivasi ... 19

Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Motivasi ... 21

METODE PENELITIAN ... 29

Waktu dan Lokasi Penelitian ... 29

Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data ... 29

Populasi dan Sampel ... 29

Analisis Data ... 29

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

Letak, Luas danTopografi dan Penggunaan Lahan ... 33

Kondisi Sosial Ekonomi ... 33

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

Analisa Potensi Tegakan ... 37

Analisa Sosial Ekonomi Masyarakat ... 41

Analisis Kelayakan Finansial ... 59

Analisis Korelasi dengan Regresi Linear Berganda ... 64


(11)

xiv

DAFTAR PUSTAKA ……… 71


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Jenis produk yang dapat di peroleh dari Tembawang ... 16

2. Komposisi penduduk menurut tingkat umur dan jenis kelamin di Desa Idas ... 34

2. Komposisi kepala keluarga berdasarkan mata pencaharian ... 35

3. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Idas ... 36

4. Karakteristik internal berdasarkan tingkat umur ... 34

5. Persentase tumbuh jenis pohon pada berbagai pola agroforestri 37

6. Potensi Tegakan Per Hektar pada Berbagai Pola Agroforestri ... 38

7. Rekapitulasi Distribusi responden Berdasarkan Umur. ... 43

8. Distribusi responden berdasarkan pendidikan ... 45

9. Rekapitulasi Distribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Lahan 47

10. Distribusi responden berdasarkan pengalaman berusahatani ... 48

11. Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsi ... 49

12. Distribusi responden berdasarkan status sosial ... 50

13. Distribusi responden berdasarkan kekosmopolitan ... 51

14. Distribusi responden berdasarkan kepemilikan saprodi ... 53

15. Distribusi responden berdasarkan intensitas penyuluhan ... 54

16. Distribusi responden berdasarkan kepemilikan modal ... 55

17. Distribusi responden berdasarkan kepemilikan tenaga kerja ... 56

18. Distribusi responden berdasarkan tingkat pendapatan ... 57

19. Distribusi responden berdasarkan peluang pasar ... 58

20. Distribusi responden berdasarkan aktivitas usahatani ... 59

21. Distribusi pendapatan berdasarkan pola agroforestri ... 60 22. Hasil Analisis Finansial masing-masing pola pengelolaan agroforestri 61


(13)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka Pemikiran Penelitian ... 9

2. Photo Kegiatan Pola Tembawang ... 40

3. Photo Kegiatan Pola Bawas ... 40

4. Photo Kegiatan Pola Kebun Karet ... 41


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Peta Lokasi Penelitian ... 75

2. Daftar Nama Daerah, Nama Botani Vegetasi Pola-pola Agroforestri 76

3. Potensi kayu pada kegiatan Wanatani Pola Tembawang ……… 77

4. Potensi kayu pada kegiatan Wanatani Pola Karet ……….. 78

5. Potensi kayu pada kegiatan Wanatani Pola Bawas ………. 79

6. Potensi kayu pada kegiatan Wanatani Pola Lalang ……….... 80

7. Analisis Finansil Pola Tembawang ……… 81

8. Analisis Finansil Pola Karet ……… 82

9. Analisis Finansil Pola Bawas ………. 83

10. Analisis Finansil Pola Lalang ………... 84

11. Potensi dan Nilai Rupiah hasil Non Kayu pada Pola Tembawang ……… 85

12. Potensi dan Nilai Rupiah Getah pada Pola Karet ………. 86

13. Data Sosial Petani Hasil Quisioner pada Pola Tembawang ………. 87

14. Data Sosial Petani Hasil Quisioner pada Pola Kebun Karet ……….. 88

15. Data Sosial Petani Hasil Quisioner pada Pola Bawas ……… 89

16. Data Sosial Petani Hasil Quisioner pada Pola Lalang ……… 90

17. Kebutuhan Biaya Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Tembawang ……….. 91

18. Kebutuhan Biaya Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Kebun Karet ……… 92

19. Kebutuhan Biaya Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Bawas ………. 93

20. Kebutuhan Biaya Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Lalang ………. 94

21. Kebutuhan Material dan Tenaga Kerja (HOK) Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Tembawang ………… 95

22. Kebutuhan Material dan Tenaga Kerja (HOK) Pengadaan Tanaman dengan Pola Kebun Karet ……….. 96

23. Kebutuhan Material dan Tenaga Kerja (HOK) Pengadaan Tanaman pada Kegiatan wanatani di Desa Idas dengan Pola Bawas ………. 97

24. Kebutuhan Material dan Tenaga Kerja (HOK) Pengadaan Tanaman dengan Pola Lalang ……… 98


(15)

xviii

25. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Tembawang ……… 99

26. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Karet ………. 100

27. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Bawas ……….. 101


(16)

Latar Belakang

Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 berbunyi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Undang-undang ini memberi arahan bahwa pendayagunaan sumberdaya alam berupa tanah, air dan termasuk sumber daya hutannya sebagai sumber kemakmuran rakyat harus dimanfaatkan secara terencana, rasional, optimal, bertanggungjawab dan sesuai daya dukungnya dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup bagi pembangunan berkelanjutan.

Pesatnya laju pembangunan ekonomi dan pertambahan penduduk menyebabkan meningkatnya kebutuhan manusia terhadap barang dan jasa, bagi sumber daya hutan kenyataan ini menuntut peningkatan fungsi hutan itu sendiri. Sementara disisi lain luas areal dan potensi hutan alam semakin berkurang akibat eksploitasi hutan, pengkonversian areal hutan ke bentuk penggunaan lain, kebakaran hutan, perambahan hutan dan kurang baiknya praktek pengelolaan hutan.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka upaya pemenuhan kebutuhan hasil hutan dan konservasi sumber daya hutan dan lingkungan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat merupakan hal yang mutlak. Salah satu alternatif yang mempunyai prospek yang baik untuk memenuhi kebutuhan akan hasil hutan dan kelestarian hutan adalah melalui pengembangan hutan kemasyarakatan (Kadir, 2005). Hutan kemasyarakatan merupakan sebuah konsepsi yang mencerminkan interaksi positif antara masyarakat dan hutan melalui pengelolaan partisipatif dan pengembangan produksi hasil hutan yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat di dalam dan sekitar hutan sekaligus terbukanya peluang dan adanya kepercayaan bagi masyarakat untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian.


(17)

2 Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat adanya alih guna lahan yaitu penurunan kesuburan tanah, banjir, kekeringan, kepunahan flora fauna, dan perubahan iklim global serta sekaligus juga untuk mengatasi masalah pangan.

Agroforestri ini mengandung arti sebagai istilah kolektif untuk system-sistem dan teknologi-teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bambu, dan lain-lain) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan (ternak) dan/atau ikan, yang dilakukan pada waktu yang bersamaan atau bergiliran sehingga terbentuk interaksi ekologis dan ekonomi antar bebagai komponen yang ada (Lundgren dan Raintree, 1982 dalam

Sebagaimana pemanfaatan lahan lainnya, agroforestri dikembangkan untuk memberikan manfaat kepada manusia atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Agroforestri diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan pedesaan dan seringkali sifatnya mendesak. Agroforestri utamanya diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan guna menjamin dan memperbaiki kebutuhan hidup masyarakat. Sistem berkelanjutan ini dicirikan antara lain oleh tidak adanya penurunan produksi tanaman dari waktu ke waktu dan tidak adanya pencemaran lingkungan. Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumber daya alam yang optimal oleh sistem penggunaan lahan yang diadopsi.

ICRAF, 2003).

Dalam upaya mendukung kebijakan pemerintah, Departemen Kehutanan menerapkan praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan secara lestari dimana Pemerintah Republik Indonesia dan Republik Federal Jerman telah menyepakati proyek kerjasama yang disebut “ Social Forestry Development Project - SFDP” (Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan) yang melakukan pembuatan model dan uji coba pengelolaan hutan secara terpadu yang langsung melibatkan masyarakat.


(18)

oleh Departemen Kehutanan sebagai “Pengembangan Kawasan Hutan Partisipatif-PKHP” dengan luas wilayah kerja 102.250 Ha mencakup 8 Desa, 59 Dusun, 4 Kecamatan di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat. Penyelenggaraan proyek ini terdiri dari 4 tahap yaitu : I (Tahap Orientasi), II (Tahap Implementasi), III (Tahap Konsolidasi), IV (Tahap Pengembangan dan Replikasi). Maksud dan tujuan proyek adalah meningkatkan kesejateraan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar wilayah hutan secara berkesinambungan dan mandiri dengan kelestarian sumber daya hutan tetap terjaga dan masyarakat menerapkan sistem pengelolaan hutan terpadu yang secara ekonomis dan ekologis lestari.

Dalam rangka pemberdayaan dan pelibatan masyarakat maka proyek memfasilitasi masyarakat setempat untuk mengembangkan kegiatan agroforestri berbagai pola yaitu pola tembawang (pola tradisional) Sundawati (1993) dan yang diperkenalkan oleh proyek (pola kebun karet, bawas, dan lalang)

Pola tembawang merupakan budaya bertani tradisional masyarakat Dayak yang sudah dilakukan turun temurun. Pola ini memadukan pencampuran tanaman buah lokal dan jenis tengkawang (Dipterocarp) pada kegiatan perladangan berpindah dengan membuka hutan primer dan lokasinya banyak ditemukan pada tepi sungai yang merupakan tanah yang subur.

Pola kebun karet yaitu kegiatan berusahatani dengan pencampuran tanaman karet, tanaman semusim, dan tanaman buah lokal. Tanaman karet sebagai tanaman inti dan tanaman semusim serta buah-buahan sebagai tanaman tambahan untuk pemenuhan ekonomi jangka pendek. Pola ini dikembangkan pada lahan bekas perladangan di areal Usahatani Hutan Menetap (UTHM) berdasarkan Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan (TGLDK). Pola kebun karet dimasyarakat sudah lama dikenal untuk disadap getahnya dan masih diusahakan secara tradisional, proyek memperkenalkan pola kebun karet dengan penggunaan karet unggul yang berproduksi tinggi. Selain hasil getah yang lebih banyak petani juga memperoleh hasil kayu, dan cara ini lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan kebun karet tradisional


(19)

4 Pola bawas yaitu kegiatan berusahatani dengan pencampuran tanaman kayu-kayuan lokal khususnya jenis meranti (Shorea spp) dengan tanaman buah lokal. Pola ini dikembangkan di kawasan hutan produksi dan hutan lindung pada LOA (Log over area), kegiatan ini sifatnya untuk pengayaan tanaman (enrichment planting).

Pola lalang yaitu berusahatani dengan pencampuran tanaman akasia (Acacia mangium) di areal bekas kebakaran atau lahan kritis berupa padang ilalang (Imperata Cylindrica) pada kawasan hutan produksi dan kawasan lindung.

Pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan agroforestri dengan berbagai pola, baik yang tradisional maupun yang diperkenalkan oleh proyek kenyataannya dalam pelaksanaan kegiatan belum menampakkan hasil yang menggembirakan dan banyak mengalami hambatan walaupun pola-pola yang dikembangkan tersebut secara sosial, ekologis dan ekonomis telah disesuaikan dengan kondisi lokal setempat.

Permasalahan

Pengelolaan hutan alam di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1970-an selama ini dilakuk1970-an oleh pihak swasta/para pemeg1970-ang konsesi hut1970-an (HPH) dengan tujuan untuk memperoleh devisa, dalam pelaksanaannya HPH hanya memusatkan pada pemanfaatan hasil hutan (eksploitasi kayu) saja tanpa memperhatikan kelestarian hutan.

Praktek-praktek pengelolaan hutan yang hanya berorientasi pada kayu dan kurang memperhatikan hak dan keterlibatan masyarakat perlu diubah menjadi pengelolaan yang berorientasi pada seluruh potensi sumber daya hutan dan berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan perkembangan tuntutan kebutuhan dan peraturan perundangan yang berlaku terbuka peluang dan keberpihakan serta pelibatan masyarakat dalam mengelola sumber daya hutan

Sehubungan dengan itu Departemen Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan (Dirjen RRL) bersama Pemerintah Republik Federal Jerman (RFJ-GTZ) menandatangani kesepakatan (MoU) Proyek Perhutanan Sosial di Kabupaten Sanggau sejak tahun 1990 yang bertujuan


(20)

dengan kelestarian sumberdaya hutan terjaga dimana masyarakat menerapkan sistim pengelolaan sumberdaya hutan terpadu dan lestari secara ekonomis dan ekologis.

Dalam pelaksanaannya proyek ini mencoba mengeliminir permasalahan-permasalahan yang timbul pada proyek-proyek yang bersifat top down, dengan : (a) memperhatikan dan mengakomodir nilai-nilai dan aturan yang ada dimasyarakat; (b) memperhatikan dan mengakui hak-hak penguasaan lahan tradisional; (c) memperhatikan keikutsertaan masyarakat lokal; dan (d) menciptakan alternatif sumber pendapatan yang memadai bagi peningkatan ekonomi masyarakat

Berbagai kebijakan dan program telah dilakukan untuk menanggulangi kerusakan sumberdaya hutan dan lahan kritis dan sekaligus untuk mendukung terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan melalui kegiatan pengelolaan hutan yang mampu mengakomodasikan antara kepentingan sosial, ekonomi serta kelestarian lingkungan. Untuk mewujudkan keselarasan pengelolaan sumber daya hutan yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan tersebut, dilakukan melalui hutan kemasyarakatan dengan kegiatan agroforestri berbagai pola (tembawang, kebun karet, bawas dan lalang)

Secara konseptual kegiatan ini sangat baik dan tepat sasaran, namun kenyataannya dalam pelaksanaan kegiatan ini belum memberikan hasil yang memuaskan dan masih jauh dari harapan. Pelaksanan kegiatan ini tidak lepas dari berbagai hambatan meskipun sudah banyak dana dan tenaga yang dicurahkan untuk pemberdayaan dimaksud.

Hal ini tidak lepas dari kondisi kehidupan sosial ekonomi petani yang mencerminkan kualitas sumberdaya masyarakat yang berpengaruh terhadap, respon, peran serta dan motivasi petani dalam pembangunan. Kegiatan ini akan bermanfaat dan berhasilguna tergantung pada sejauh mana petani termotivasi untuk berusahatani agroforestri dan merespon kegiatan yang ada. Petani dikatakan termotivasi apabila dengan sadar melakukan dan mau berpartisipasi dalam setiap tahap kegiatan berusahatani agroforestri, adapun motivasi itu sendiri dipengaruhi


(21)

6 berbagai faktor baik dari dalam diri maupun dari luar diri petani. Petani yang mempunyai motivasi tinggi cenderung lebih berhasil dan senantiasa terdorong untuk mencoba sesuatu yang baru dalam pengembangan usahataninya untuk pencapaian tujuan.

Pelaksanaan proyek demikian perlu dikaji keberadaannya dalam hal kelayakan secara finansial dan motivasi petani dengan faktor-faktor yang mempengaruhi petani dalam melakukan kegiatan agroforestri. Untuk itu diperlukan suatu penelitian mengenai analisis kelayakan finasial dan faktor-faktor yang memotivasi petani melakukan kegiatan agroforestri dalam pengembangan hutan kemasyarakatan dimasa yang akan datang.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengidentifikasi karakteristik faktor internal dan eksternal yang memotivasi petani agroforestri

2. Menemukan korelasi peubah internal dan eksternal terhadap motivasi petani agroforestri.

3. Mengetahui kelayakan finansial setiap pola agroforestri

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada masyarakat diwilayah kerja dan Pemerintah Daerah khususnya di bidang kehutanan dalam perencanaan dan pengambilan kebijakan untuk pilihan pengembangan pola agroforestri di Sanggau dimasa yang akan datang.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada pengembangan agroforestri pola tembawang, pola kebun karet, pola bawas, dan pola lalang yang dilakukan oleh petani peserta kegiatan hutan kemasyarakatan di wilayah kerja Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat.


(22)

Hutan di Indonesia dalam dekade terakhir ini mengalami degradasi yang cukup parah, baik yang disebabkan pengelolaan hutan oleh HPH, penebangan liar maupun oleh kebakaran hutan sehingga mengakibatkan semakin banyaknya lahan kritis, berkurangnya sumberdaya alam, semakin memperbesar kesenjangan sosial dan minimnya tingkat ekonomi masyarakat disekitar hutan.

Kondisinya yang ada tersebut pada prinsipnya dapat dipulihkan dan dibangun kembali dengan melakukan kegiatan hutan kemasyarakatan. Hutan kemasyarakatan dilihat sebagai salah satu cara yang efektif untuk menjawab permasalahan yang ada melalui kerjasama agroforestri dengan berbagai pola yang dikembangkan yaitu; kebun karet, tembawang, bawas, dan lalang.

Kegiatan tersebut dibangun berdasarkan spesifik lokal yang ada dimana secara ekologis, ekonomis dan sosial layak dilaksanakan. Pelaksanaan kegiatan ini diharapkan dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan, yaitu meningkatkan pendapatan, diperolehnya keuntungan ekonomi, terpeliharanya kelestarian lingkungan dan yang pada akhirnya meningkatnya kesejahteraan petani.

Untuk pencapaian pelaksanaan kegiatan pola-pola agroforestri dipengaruhi banyak faktor, diantaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal yang memotivasi petani untuk ikut dalam pengembangan agroforestri. Motivasi menurut Padmowihardjo (1994) dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan dorongan dari dalam diri sendiri, sedangkan motovasi ekstrinsik yaitu tindakan yang timbul karena adanya dorongan atau ransangan dari luar.

Berdasarkan konsep teori motivasi yang telah dikemukakan di atas, maka motivasi petani menerapkan suatu teknologi dipengaruhi oleh berbagai faktor baik yang berasal dari dalam diri (faktor internal) meliputi: umur, tingkat pendidikan, kepemilikan lahan, pengalaman berusahatani agroforestri, persepsi, status sosial, kekosmopolitan dan faktor yang berasal dari luar (faktor eksternal). Meliputi: ketersediaan saprodi, intensitas kegiatan penyuluhan, kelembagaan, ketersediaan modal, tenaga kerja, pendapatan, peluang pasar, dan aktivitas berusahatani.


(23)

8 Dari uraian yang diutarakan diatas, maka dibuat kerangka pikir hubungan antar variabel karakteristik internal dan karakteristik eksternal yang memotivasi petani dalam melakukan kegiatan agroforestri pola-pola tembawang, kebun karet, bawas, dan lalang di Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Kerangka pemikiran penelitian ini disajikan pada Gambar 1.

Berdasarkan perumusan permasalahan yang ada, maka disusun hipotesa sebagai berikut :

1. Pengelolaan hutan kemasyarakatan melalui kegiatan agroforestri secara finansial layak untuk dilaksanakan.

2. Kegiatan agroforestridapat meningkatkan pendapatan keluarga

3. Terdapat hubungan yang nyata antara motivasi petani dengan aktivitas petani dalam melakukan usaha agroforestri.

4. Tingkat motivasi petani melakukan kegiatan agroforestri dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor-internal maupun eksternal yang ada pada petani


(24)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Sumberdaya Hutan Kritis

PENERAPAN HKM - AF  Tembawang

 Kebun Karet

 Pola Bawas

 Pola Lalang

• Peningkatan Kesejahteraan

• Keuntungan Ekonomi

• Kelestarian Ekologi

DEPHUT-GTZ  Funding

 Fasilitator

MASYARAKAT

Karakteristik Internal

 Umur

 Tingkat Pendidikan

 Kepemilikan lahan

 Pengalaman usaha tani AF

 Persepsi

 Status Sosial Petani

 Kekosmopolitan

Karakteristik Eksternal  Ketersediaan Saprodi

 Intensitas Penyuluhan

 Ketersediaan modal

 Tenaga kerja

 Pendapatan

 Peluang pasar

 Aktivitas usahatani AF


(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Hutan Kemasyarakatan

Hutan kemasyarakatan atau Social Forestry terdiri dari kata Social dan Forestry. Forestry mengandung makna kehutanan atau perhutanan sebagai isinya, perhutanan dalam hal ini adalah merupakan tatanan sistem (rangkaian) kegiatan pembangunan hutan, tanah, air dan masyarakatnya melalui tata nilai dan tata aturan tertentu baik teknis, ekonomis, politis dan sebagainya dengan fungsi-fungsi tertentu yaitu perencanaan, pengorganisasian, maupun pengawasan seperti yang tersurat dalam Undang-undang Pokok Kehutanan.

Istilah hutan kemasyarakatan untuk pertama kali digunakan oleh Westoby di India pada tahun 1968 dalam Kongres Persemakmuran Kehutanan IX (Ninth Commonwealth Forestry Congress). Menurut Tiwari (1984) mendefinisikan hutan kemasyarakatan sebagai ilmu pengetahuan dan seni menumbuhkan pohon-pohon dan atau vegetasi lain pada semua lahan yang tersedia, di dalam dan di luar areal hutan tradisional, dan mengelola hutan yang ada dengan melibatkan masyarakat secara intim dan kurang lebih terintegrasi dengan kegiatan-kegiatan lain, untuk tujuan menghasilkan tataguna lahan yang seimbang dan saling melengkapi untuk memberikan barang-barang dan jasa-jasa secara luas kepada individu-individu maupun masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan kemasyarakatan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia dipedesaan dari hutan yaitu: bahan bakar, pakan ternak, makan, kayu, pendapatan dan lingkungan.

Suharjito dan Darusman (1998) memberikan 3 strategi umum hutan kemasyarakatan dan mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut :

Community or Communal Forestry yaitu: hutan yang dikelola oleh masyarakat secara kolektif dan dapat dilaksanakan pada lahan komunal, lahan milik, maupun lahan negara.

Farm Forestry yaitu; hutan yang dikelola oleh individu atau perorangan, dapat dilaksanakan pada lahan yang dikuasai oleh masyarakat secara kolektif, lahan milik perorangan maupun lahan negara.

Publicly-managed forestry for local community development yaitu ; hutan yang dikelola oleh negara untuk pembangunan masyarakat lokal, dapat


(26)

dilaksanakan pada lahan milik komunal, lahan milik perorangan maupun lahan negara.

Manurung (1989) menyatakan hutan kemasyarakatan berbeda dalam beberapa aspek dengan kehutanan yang bersifat komersial yaitu : (a) Hutan kemasyarakatan untuk sebagian besar mencakup pemanfaatan hasil hutan dalam ekonomi non keuangan; (b) Hutan kemasyarakatan melibatkan partisifasi langsung pihak penerima manfaat yang bersangkutan; (c) Dalam pelaksanaan hutan kemasyarakatan diperlukan perubahan sikap dan ketrampilan rimbawan dari sebagai “pelindung hutan” dari ganguan manusia menjadi “bekerjasama” dengan masyarakat dalam membudidayakan pohon-pohon, baik secara perorangan maupun kelompok.

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan dijelaskan bahwa hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitik beratkan pada kepentingan mensejahterakan rakyat.

Prinsip pengelolaan yang dianut oleh hutan kemasyarakatan adalah; (a) Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengambilan manfaat; (b) Masyarakat sebagai pengambil keputusan dan menentukan sistim pengelolaan; (c) Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatan; (d) Adanya kepastian hak dan kewajiban semua pihak; (e) Kelembagaan penggelolaan ditentukan oleh masyarakat; (f) Pendekatan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan budaya.

Adapun tujuan pengelolaan hutan kemasyarakatan bertujuan untuk; (a) Meningkatkan kesejahteraan, kualitas hidup, kemampuan dan kapasitas

ekonomi dan sosial masyarakat; (b) Meningkatkan ikatan komunitas masyarakat pengelola hutan kemasyarakatan; (c) Mengembangkan keanekaragaman hasil hutan yang menjamin kelestarian fungsi dan manfaat hutan; (d) Meningkatkan mutu, produktivitas dan keamanan hutan; (e) Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesempatan berusaha dan meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara; (f) Mendorong serta mempercepat pengembangan wilayah.


(27)

13

Agroforestri

Pengertian agroforestri menurut Nair (1993) yaitu suatu nama kolektif untuk sistem-sistem penggunaan lahan dan teknologi, dimana tanaman keras berkayu (pohon-pohonan, perdu, jenis jenis palem, bambu dsb) ditanam bersamaan dengan tanaman pertanian, dan/atau hewan, dengan suatu tujuan tertentu dalam suatu bentuk pengaturan ruang (spasial) dan waktu (temporal) dan didalamnya terdapat interaksi-interaksi ekologi dan ekonomi diantara berbagai komponen yang bersangkutan.

King dan Chandler (1978) menjelaskan bahwa agroforestri merupakan bentuk pemanfaatan lahan atau pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan bahkan menaikkan produktivitas lahan secara keseluruhan, yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersamaan ataupun bergiliran, dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat.

Lundgren dan Raintree (1982) dalam

a. Agroforestri biasanya tersusun dari dua jenis tanaman atau lebih (tanaman dan/atau hewan. Paling tidak satu diantaranya tumbuhan berkayu.

Pangihutan (2003) mengemukakan beberapa ciri penting dari agroforestri, yaitu :

b. Siklus sistem agroforestri selalu lebih dari satu tahun.

c. Ada interaksi (ekonomi dan ekologi) antara tanaman berkayu dengan tanaman tidak berkayu.

d. Selalu memiliki dua macam produk atau lebih.

e. Memiliki mempunyai satu fungsi pelayanan jasa, misalnya pelindung angin, penaung, penyubur tanah, peneduh sehingga menjadi pusat berkumpulnya keluarga/masyarakat.

f. Untuk system pertanian masukan rendah di daerah tropis, agroforestri tergantung pada penggunaan dan manipulasi biomasa tanaman terutama dengan mengoptimalkan penggunaan sisa panen.

Suharjito dan Darusman (2000) mengatakan bahwa dalam mencampur berbagai jenis tanaman pohon-pohon dengan tanaman pertanian secara


(28)

bersama-sama atau dalam satu rotasi maka akan diperoleh beberapa keuntungan sebagai berikut ;

(a) Keuntungan ekologis, yaitu penggunaan sumberdaya alam dengan lebih efisien.

(b) Keuntungan ekonomis, yaitu jumlah produksi yang dicapai akan lebih tinggi, kenaikan produksi kayu dan pengurangan biaya pemeliharaan tegakan kayu

(c) Keuntungan sosial, yaitu memberikan kesempatan kerja sepanjang tahun, menghasilkan panenan kayu pada waktu paceklik pertanian, produksi yang diarahkan kepada keperluan sendiri atau pasar

(d) Keuntungan psikologis, yaitu perubahan yang relatif kecil dari cara produksi tradisional dan lebih mudah untuk dapat diterima oleh penduduk daripada teknik-teknik pertanian yang berlandaskan sistem monokultur (e) Keuntungan politis, yaitu sebagai alat untuk memberikan pelayanan sosial

yang lebih baik dan kondisi yang baik bagi petani atau masyarakat

Watanabe (1999) menyatakan manfaat dari agroforestri yaitu : (1) Suplai bahan bangunan, kayu bakar, dan pakan ternak, (2) Penggunaan lahan secara optimal, (3) Pemanfaatan energi matahari dalam luasan yang maksimal, mencegah aliran permukaan, dan pemanfaatan sumberdaya air lebih efisien. Tujuan agroforestri adalah : (1) Penghutanan kembali, (2) Penyediaan sumber makanan dan pakan ternak, (3) penyediaan kayu bahan bangunan dan kayu bakar, (4) Pencegahan migrasi penduduk ke kota dan (5) Berkontribusi dalam fiksasi C02

Kartasubrata (1992) menegaskan bahwa agroforestri adalah suatu sistem penggunaan lahan dengan suatu tujuan tertentu dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Pohon sebagai salah satu komponen utama di dalam agroforestri, dapat menghasilkan beberapa produk antara lain : kayu, buah-buahan, pakan ternak, kayu bakar, serat, mulsa, obat-obatan, bahan kosmetik, minyak dan damar. Selain menghasilkan berbagai produk. Pepohonan juga menyediakan jasa-jasa antara lain; cadangan pangan, mempertahankan tanah, mempertinggi kesuburan tanah, memperbaiki iklim mikro, sebagai pagar hidup bagi tanaman pertanian


(29)

15

dan pohon buah-buahan, menstabilkan daerah aliran sungai (DAS), melindungi keanekaragaman hayati, mereklamasi lahan-lahan yang terdegradasi, dan mengontrol rumput-rumput liar.

Sistem agroforestri yang dikembangkan oleh masyarakat di wilayah kerja proyek ini didasarkan pada komoditi yang dikembangkan, yaitu agroforestri pola tembawang, kebun karet, bawas, dan pola lalang. Pola agroforestri ini dibedakan berdasarkan pencampuran penanaman pohon kayu-kayuan dan buah-buahan lokal serta pada lokasi lahan yang memiliki ciri khas masing-masing.

Tembawang

Momberg (2000) menyebutkan agroforestri tembawang adalah kegiatan yang memadukan pohon-pohon buah dengan tanaman tengkawang, dan merupakan salah satu contoh keberhasilan budidaya Dipterocarpaceae oleh masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Kegiatan peladang berpindah yang memadukan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian pada lahan-lahan yang diberakan membuat sistim agroforestri bersiklus atau menetap dan dapat dilihat pada budidaya karet dan tembawang.

Regenerasi alam merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem agroforestri Dayak berupa tembawang yang dinamis serta dengan menanam jenis tanaman hutan dilahan bera, makin tua suatu tembawang maka akan semakin mirip struktur dan komposisinya dengan hutan alam, dan jenis-jenis pohon tanaman awal semakin tidak dominan, dengan luas bidang dasar (LBDS) lebih besar dari pada yang ditemukan dihutan alam.

Susunan strata tembawang biasanya terdiri dari : (1) pohon kempas dan tualang yang kadang-kadang mencuat di atas kanopi sampai 70 m; (2) penyusun tajuk utama berada ketinggian 35-45 m dan didominasi jenis tengkawang dan nyatoh serta pohon buah tinggi (durian dan mangga); (3) dibawah lapisan utama terdapat jenis pohon buah (cempedak, sukun, rambutan, manggis dan tampui,

serta berbagai jenis kayuan, atau karet) yang membentuk tajuk bawah; dan (4) Dipterocarpaceae lantai hutan berupa tanaman muda dan semak menyerupai

susunan lapisan diatasnya.

Komposisi struktur tembawang tidak homogen dan dapat dibedakan kedalam 5 tipe yaitu : tengkawang dan pohon tua; tengkawang dan nyatoh serta


(30)

pohon buah; tengkawang dan karet dan pohon buah; tengkawang, coklat dan pohon buah; dan tengkawang, pohon kayu dan pohon buah.

Sundawati (1993) menyatakan tembawang dibedakan berdasarkan kepemilikan lahannya yaitu ;

1. Tembawang pribadi: tembawang yang dibangun oleh kepala keluarga pada saat muda dan dimiliki dan dimanfaatkan hanya oleh keluarga tersebut. Dimasa depan tembawang ini dapt menjadi tembawang waris.

2. Tembawang waris: tembawang yang diperoleh dari warisan leluhur dan dimiliki dan dimanfaatkan oleh beberapa keluarga. Tembawang waris dapat dilihat dari beberapa generasi yang memiliki yaitu : tembawang waris tua : berusia 3-6 generasi yang dimiliki oleh kelompok keturunan (Sanjan); tembawang waris muda : berusia 1-2 generasi dan hak pemanfaatannya dimiliki bersama-sama keluarga besar ( Gok Tanjung dan Embaong)

Tabel 1. Jenis produk yang dapat di peroleh dari Tembawang

No Jenis Produk Spesies pohon

1. Buah-buahan

Mangifera sp., Durio, sp. Baccaurea sp., Lansium sp., Artocarpus sp., Nephelium sp., Garcinia selebica, Garcinia candicula, Garcinica mangostama, Willughbeia firma (liana)

2. Biji Shorea macrophyla, S. Pinanga,S. Stenomtera

3. Kayu Eusideroxylon zwageri, Shorea plaviflora,

Hopea sangal, Hopea dryobalanoides

4. Lateks Havea brasilensis

5. Getah Palaquium gutta, Styrax benzoin, Dyera

costulata

6. Damar Hopea dryobalanoides

7. Serat Horfieldia sp. Sterculia macrophyla

8. Obat Orophea sp.:daun untuk obat demam; Psycotria viridifolia: daun untuk obat mata, Pasak bumi

9. Rotan

Calamus, Daemonorops, Ceralolobus, Callospatha, Plectocomia, Plectocomiopsis dan Korthailsia

10. Gula Merah, ijuk Arenga porphyrocarpa 11. Kerajinan Anyaman Pandan

12. Racun Dehaasia elmeri Merr

13. Kayu bakar dan arang Vitex glabarata Sumber : Sundawati dalam ICRAF (2003)


(31)

17

Kebun Karet

Menurut Gouyon et al (1993) kebun karet merupakan sistem berusahatani yang seimbang dan berisi beranekaragam jenis tumbuhan dimana petani dapat menganekaragamkan penghasilannya dengan biaya yang murah serta pembuatan dan perawatan yang mudah. Selanjutnya dikatakan struktur kebun karet mendekati struktur hutan sekunder, dengan pohon karet menggantikan tempat ekologi pepohonan pionir dan tumbuhan bawah berisi jenis semak-semak serta anakan spesies kanopi termasuk karet.

Joshi et al (2001) dalam

1. Rubber Agroforestry System (RAS I) merupakan sistem agroforestri dimana karet lokal yang biasa digunakan diganti dengan bibit karet klon berproduksi tinggi. Penyiangan dilakukan pada jalur tanaman karet saja, perpohonan dan semak dibiarkan tumbuh diantara barisan karet. Pola penyiangan yang terbatas dan tidak intensif sangat mudah diterapkan serta tidak banyak membutuhkan tenaga dan biaya

[ICRAF] merekomendasikan beberapa model alternatif untuk pola agroforestri berbasiskan karet yaitu :

2. Rubber Agroforestry System (RAS II) merupakan sistem dimana tanaman semusim ditanam secara bersamaan dengan tanaman tahunan. Karet mendapat keuntungan dari penyiangan tanaman semusim dan pohon-pohonan membantu untuk mengendalikan gulma karena tingkat naungannya yang tinggi. Sistem ini sangat fleksibel dalam implementasinya karena petani dapat memilih tanaman yang disukai dan bernilai ekonomi tinggi.

Agroforestri kebun karet ini merupakan pencampuran tanaman karet sebagai pohon inti dan tanaman semusim sebagai tanaman sela ataupun tanaman buah-buahan. Lokasi pengembangan agroforestri kebun karet adalah pada areal bekas perladangan atau pada kawasan Usaha Tani Hutan Menetap (UTHM).

Adapun karet yang ditanam merupakan bibit hasil okulasi yang diperoleh dari kebun entris proyek perkebunan karet rakyat (PPKR) yang ada di Kalimantan Barat dengan jenis PB. 260. Dari kedua pola RAS yang ada sudah sangat umum dilakukan oleh petani karena dari segi pengelolaannya tidak memerlukan tenaga dan biaya yang banyak.


(32)

Pola Bawas

Pola Bawas yaitu kegiatan berusahatani yang dilakukan pada lahan hutan sekunder dengan menanam jenis tanaman buah-buahan lokal dan kayu-kayuan lokal berupa jenis Diptherocarp dan Shorea sp (tengkawang tungkul, keladan, kayu raya, nyatoh, penyauk, ulin dsb). Jumlah tanaman yang ditanam pada pola bawas sebanyak 500 batang/ha dan komposisi jenis tanaman pada kawasan lindung 70 % buah-buahan dan 30 % tanaman kayu-kayuan, sedangkan pada kawasan hutan produksi sebaliknya 70% kayu-kayuan dan 30% buah-buahan. Bawas berasal dari bahasa Dayak yang artinya hutan sekunder, bawas terbentuk dari kegiatan berladang berpindah (shifting cultivation) secara tradisional yaitu dengan membuka lahan pada hutan primer.

Pola Lalang

Cara bertani dari masyarakat lokal dengan berladang secara berpindah (shifting cultivation), kebakaran hutan dan adanya pembukaan lahan akibat pertambahan penduduk menyebabkan berkurangnya kawasan hutan dan banyak bertambahnya lahan kritis dan lahan terlantar. Berdasarkan kondisi yang ada maka perlu untuk dilakukan penanaman kembali kawasan hutan yang sudah kritis

Pola lalang yaitu kegiatan berusahatani dengan menanami kembali lahan-lahan kritis berupa padang ilalang (Imperatta cylindrica) akibat dari perlandangan berpindah dan kebakaran hutan dengan pencampuran tanaman akasia (Accacia mangium) pada lahan kritis yang terdapat dikawasan hutan produksi maupun hutan lindung di wilayah kerja. Berdasarkan petunjuk teknis reboisasi partisipatif 1994 jumlah tanaman pada pola ini yaitu 1.000 batang/ha.

Kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat secara partisipatif dan difasilitasi oleh proyek berupa bantuan bibit, saprodi, bantuan penyuluhan dan pemberian insentif. Kegiatan ini dilaksanakan sejak tahun 1994 sampai saat ini dengan beberapa pola tanam yang disesuaikan dengan kondisi lokasi.

Dalam pelaksanaan kegiatan pola bawas dan pola lalang petani diberikan insentif berupa insentif pemeliharaan tanaman sebanyak 4 kali yaitu pada umur tanaman 3 bulan, 6 bulan, 12 bulan dan 24 bulan, adapun besarnya insentif yang diterima didasarkan pada : jenis tanaman yang ditanam, % tumbuh tanaman, jarak


(33)

19

lokasi kegiatan dari pemukiman dan pembayaran dilakukan setelah petani melakukan pemeliharaan terhadap tanamannya.

Analisis Finansial

Menurut Kadariah (1986) analisis finansial adalah analisis dimana suatu proyek dilihat dari sudut badan-badan atau orang-orang yang menanam modalnya dalam proyek atau yang berkepentingan langsung dalam proyek. Gittingger (1986) mengemukakan bahwa analisis finansial hampir sama dengan analisis ekonomi, hanya saja variabel yang dipakai adalah harga riil dari apa yang benar-benar terjadi. Data penerimaan dan pengeluaran yang telah dikumpulkan dilakukan analisis anggaran arus tunai (cash flow analysis) dan ditetapkan faktor diskonto (discount factor). Cash flow analisis yaitu membandingkan penerimaan dan pengeluaran pada kondisi harga riil, sedangkan discount factor yaitu suatu bilangan yang menggambarkan weight (pembuat) pada setiap nilai discount factor.

Cara menilai suatu proyek yang paling banyak diterima untuk penilaian proyek jangka panjang adalah dengan menggunakan analisis aliran kas yang didiskonto (Discounted Cash Flow Analysis) atau DCF dalam Darusman (1981). Besarnya faktor diskonto dipilih diantara variasi bunga bank yang berlaku didaerah tersebut. Angka faktor diskonto ini digunakan dengan pertimbangan agar perhitungan yang dipakai dalam evaluasi proyek terlepas dari pengaruh distorsi pasar. Artinya dengan menggunakan angka faktor diskonto maka diharapkan hasil analisis dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Besar kecilnya faktor diskonto sangat menentukan besar kecilnya angka benefit cost (B/C), internal rate of return (IRR), dan net present value (NPV).

Motivasi

Asnawi (2002) menyatakan bahwa motivasi berasal dari kata "motive" yang berarti sesuatu pernyataan batin yang berwujud daya kekuatan untuk bertindak atau bergerak, baik langsung ataupun melalui saluran perilaku yang mengarah kepada sasaran. Dari kata dasar motive lahir kata ”motivasi" yang berarti dorongan dari dalam diri seseorang untuk berbuat dalam mencapai


(34)

tujuannya.

Motivasi itu tidak dapat dilihat akan tetapi hanya dapat diamati dari perilaku yang dihasilkannya, yaitu dari cara atau pola pemenuhan kebutuhan atau pencapaian tujuan yang dikehendaki. Motivasi dapat menjelaskan tentang alasan seseorang melakukan sesuatu tindakan, karena motivasi merupakan daya pendorong yang menyebabkan seseorang berbuat (maupun tidak berbuat) sesuatu guna mencapai tujuan yang diinginkan.

Handoko (1995) menyatakan bahwa motivasi sebagai suatu tenaga atau faktor yang terdapat dalam diri manusia yang menimbulkan, menggerakkan dan mengorganisasikan tingkah lakunya. Motif adalah suatu alasan/dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan suatu tindakan. Motif terdapat dua unsur pokok yaitu dorongan dan tujuan yang ingin dicapai, proses interaksi antar kedua unsur ini di dalam diri manusia dipengaruhi oleh faktor dari dalam (internal) dan faktor dari luar (eksternal) diri manusia sehingga menimbulkan motivasi untuk bertindak atau melakukan sesuatu. Perubahan motivasi dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat, apabila motivasi yang pertama mendapat hambatan atau tidak terpenuhi.

Kekuatan relatif motif-motif yang menguasai seseorang pada umumnya dapat dilihat melalui ; (1) kuatnya kemauan untuk berbuat, (2) jumlah waktu yang disediakan, (3) kerelaan meninggalkan kewajiban atau tugas yang lain, (4) kerelaan untuk mengeluarkan biaya demi perbuatan itu, dan (5) ketekunan dalam mengerjakan tugas tersebut. Ada dua cara untuk mengukur motivasi, yaitu: (1) mengukur faktor-faktor luar tertentu yang diduga menimbulkan dorongan dalam diri seseorang, dan (2) mengukur aspek tingkah laku tertentu yang mungkin menjadi ungkapan dari motif tertentu. Ada tidaknya motivasi dalam diri seseorang dapat juga dilihat dari beberapa segi tingkah lakunya, antara lain : kekuatan tenaga yang dikeluarkan (usahanya), kecepatan reaksinya, dan yang menjadi perhatiannya. Selanjutnya sesuatu yang diterima itu diberi oleh orang yang bersangkutan menurut minat dan keinginannya.

Ada beberapa kajian teori yang dikemukakan oleh para ahli berkenaan dengan motivasi, diantaranya oleh Handoko (1995) yaitu teori kognitif, teori hedonitis, teori insting, teori psikonalistis, teori keseimbangan dan teori dorongan.


(35)

21

Berdasarkan teori-teori tersebut terjadinya tingkah laku disebabkan oleh adanya kebutuhan yang dirasakan oleh manusia yang mana kebutuhan ditimbulkan oleh suatu dorongan tertentu.

Faktor Internal dan Eksternal yang Mempengaruhi Motivasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi sangatlah beragam. Menurut Petri (1981) motivasi disebabkan oleh lima faktor, yaitu : (1) kekuatan dalam tubuh yang menimbulkan rangsangan untuk melakukan suatu kegiatan tertentu, (2) keturunan yang menimbulkan keinginan-keinginan naluriah, (3) hasil proses belajar, (4) hasil dan interaksi sosial dan (5) sebagai bagian dari proses kognisi. Wijaya (1986) menyebutkan kematangan, latar belakang kehidupan, usia, kelebihan fisik, mental dan pikiran, sosial budaya serta lingkungan sebagai faktor yang mempengaruhi motivasi seseorang.

Berbagai teori yang telah dikemukakan mengenai motivasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi, maka hal itu digunakan sebagai titik perhatian dan penelitian ini yakni motivasi petani dalam menerapkan agroforestri, maka faktor-faktor penting dan yang berperan dalam mempengaruhi motivasi petani tersebut terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal terdiri dari : (1) umur, (2) tingkat pendidikan, (3) luas lahan garapan, (4) pengalaman berusahatani agroforestri, (5) persepsi, (6) status sosial petani dan, (7) kekosmopolitan. Faktor-faktor ekstemal terdiri dari : (1) Ketersedian sarana produksi, (2) ) intensitas penyuluhan, (3) bantuan modal, (4) penggunaan tenaga kerja, (5) pendapatan, (6) peluang pasar, dan (7) aktifitas berusahatani agroforestri. Kesemua faktor ini pada hakekatnya merupakan perincian dari faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi yang telah digabungkan dari pendapat beberapa para ahli seperti yang telah dikemukakan diatas.

Faktor Internal yang Mempengaruhi Motivasi

Umur

Bakir dan Manning (1984) mengemukakan bahwa umur produktif untuk bekerja di negara-negara berkembang umumnya adalah 15-55 tahun. Kemampuan kerja seseorang petani juga sangat dipengaruhi oleh tingkat umur


(36)

petani tersebut, karena kemampuan kerja produktif akan terus menurun dengan semakin lanjutnya usia petani.

Susantyo (2001) menyatakan bahwa petani-petani yang lebih tua tampaknya cenderung kurang aktif melakukan difusi inovasi berusahatani daripada mereka yang relatif umur muda. Petani yang berumur lebih muda biasanya akan lebih bersemangat dibandingkan dengan petani yang lebih tua. Dengan demikian ada kecenderungan bahwa umur petani akan mempengaruhi motivasi dalam mengikuti kegiatan.

Pendidikan

Pendidikan yang ditempuh seseorang baik secara formal dan non formal akan sangat mempengaruhi perilakunya baik pengetahuan, keterampilan maupun sikap. Rukka (2003) menyatakan bahwa pendidikan umumnya akan mempengaruhi cara dan pola pikir petani. Pendidikan yang relatif tinggi dan umur yang muda menyebabkan petani lebih dinamis. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin efisien dia bekerja dan semakin banyak juga dia mengikuti serta mengetahui cara-cara berusahatani yang lebih produktif dan lebih menguntungkan.

Selanjutnya dikemukakan, bahwa tingkat pendidikan yang dipunyai seseorang tenaga kerja bukan saja dapat meningkatkan produktivitas dan mutu kerja yang dilakukan, tetapi sekaligus mempercepat proses penyelesaian kerja yang diusahakan. Berdasarkan pendapat di atas maka terdapat kecenderungan bahwa ada hubungan antara tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani dengan motivasi mereka dalam menerapkan agroforestri

Kepemilikan Lahan

Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan suatu sumber daya alam fisik yang mempunyai peranan sangat panting dalam berbagai segi kehidupan manusia. Luas lahan merupakan asset yang dimiliki petani yang dapat mempengaruhi produksi total yang dihasilkan dan akhirnya juga akan mempengaruhi terhadap total pendapatan yang diterima petani. Petani yang memiliki lahan yang lebih luas, dapat memberikan posisi atau status sosial yang lebih tinggi di lingkungannya.


(37)

23

Bryant (1990) menyatakan bahwa luas kepemilikan dan status lahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kegairahan petani untuk meningkatkan produktivitas lahan mereka, juga mempengaruhi kecepatan petani mengadopsi teknologi baru. Berdasarkan pendapat diatas menunjukkan bahwa rendahnya kecepatan petani mengadopsi teknologi antara lain dipengaruhi oleh luas pemilikan, status dan penguasaan lahan. Sehingga bila dikaitkan dengan penelitian ini maka terdapat kecenderungan bahwa perbedaan luas pemilikan lahan petani akan mempengaruhi motivasi petani dalam menerapkan agroforestri

Pengalaman Berusahatani Agroforestri

Padmowihardjo (1994) mengemukakan bahwa pengalaman, baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan berpengaruh terhadap proses belajar. Orang yang telah berpengalaman terhadap sesuatu yang menyenangkan, apabila pada suatu saat diberi kesempatan untuk mempelajari hal yang sama, maka ia telah memiliki perasaan optimis untuk berhasil. Sebaliknya jika orang yang mempunyai pengalaman mengecewakan suatu saat diberi kesempatan untuk mempelajari hal tersebut lagi, maka ia sudah memiliki perasaan pesimis untuk berhasil, disamping itu petani yang lebih lama pengalaman dalam berusahatani agroforestri akan lebih selektif dan tepat dalam memilih jenis inovasi yang akan diterapkan dibandingkan dengan petani yang pengalaman usahataninya relatif masih muda. Oleh karena itu, besar kemungkinan bahwa pengalaman dalam berusahatani agroforestri dapat mempengaruhi motivasi petani dalam menerapkan agroforestri pada hutan kemasyarakatan.

Persepsi

Persepsi merupakan pandangan seseorang terhadap suatu objek sehingga individu memberikan reaksi tertentu yang diperoleh dari kemampuan mengorganisasikan pengamatan dan berhubungan dengan penerimaan atau penolakan. David (1992) menyatakan proses persepsi terbagi dalam dua hal, (1) proses pembentukan kesan dianggap agak bersifat mekanik dan cenderung hanya memantulkan sifat manusia yang memberikan stimulus, (2) proses persepsi yang


(38)

berada di bawah dominasi perasaan dan evaluasi, dan bukan berasal dari pikiran atau kognisi.

Status Sosial Petani

Dalam kehidupan bermasyarakat, biasanya status sosial merupakan salah satu wahana untuk lebih mendekatkan terhadap akses kegiatan pembangunan. Soekanto (1990) mengartikan status sosial sebagai kedudukan sosial seseorang dalam suatu kelompok sosial, dimana kedudukan sosial seseorang tidak terlepas dari lingkungan, prestise, hak dan kewajiban. Lebih lanjut dinyatakan bahwa status sosial seseorang umumnya dikembangkan dari dua cara, yaitu (1) status asal (ascribed status) adalah kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan ini didapatkan melalui kelahiran (2) status pemberian (achieved status) merupakan kedudukan yang didapatkan oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja

Kekosmopolitan

Rogers (1983) menyatakan kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu : (1) individu tersebut memiliki status sosial-ekonomi yang lebih tinggi, (2) partisipasi sosial yang lebih tinggi, (3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar, (4) lebih banyak menggunakan media massa, dan (5) memiliki lebih banyak hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitas.

Wiriaatmadja (1983) menyatakan bahwa melalui sifat kosmopolit, dimungkinkan terjadinya peningkatan wawasan dan belajar di kalangan petani atas keberhasilan orang yang berada di luar daerahnya sehingga petani tersebut dapat terpacu, dan tanggap terhadap peluang pasar yang berpotensi dapat meningkatkan pendapatan dengan banyaknya output produksi yang dihasilkan.

Kekosmopolitan membuat petani menjadi lebih terbuka terhadap inovasi dibanding dengan petani yang kekosmopolitannya rendah, maka terdapat kecenderungan bahwa tingkat kekosmopolitan akan mempengaruhi petani dalam menerapkan agroforestri dalam hutan kemasyarakatan.


(39)

25

Faktor Eksternal yang Mempengaruhi Motivasi

Ketersediaan Sarana Produksi

Tersedianya sarana produksi seperti benih, pupuk, peralatan dan lain-lain, dalam jumlah, mutu, harga dan waktu yang tepat akan sangat menunjang keberhasilan agroforestri. Keberadaan lembaga perkreditan, lembaga pengadaan sarana produksi, dan lembaga pemasaran hasil kehutanan, yang secara efektif memberikan pelayanan kepada petani adalah fakta yang menjadi pengalaman bagi mereka. Hal ini akan menghasilkan persepsi positif yang mendorong motivasi petani dalam menerapkan suatu teknologi baru. Tetapi apabila keadaan yang sebaliknya dialami petani, maka persepsi mereka akan negatif.

Intensitas Penyuluhan

Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam teknologi berusahatani, memungkinkan petani untuk meningkatkan hasil usahataninya. Namun, dalam penerapan teknologi tersebut para petani banyak menemukan kendala-kendala Salah satu sebabnya adalah keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh petani tentang teknologi tersebut. Untuk mengurangi kendala- kendala yang dihadapi petani maka salah satu caranya adalah dengan memberikan penyuluhan kepada petani.

Menurut Kartasapoetra (1988) menyatakan bahwa tugas ideal seorang penyuluh adalah : (1) menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan, keterampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, (3) memberikan rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran penyuluhan, (4) membantu mengikhtiarkan sarana produksi, fasilitas kerja serta bahan informasi pertanian yang diperlukan para petani (5) mengembangkan swakarya dan swasembada para petani agar taraf kehidupannya dapat lebih meningkat. Oleh sebab itu, tugas penyuluh dinilai berhasil apabila penyuluhan yang dilakukan menimbulkan perubahan dalam aspek perilaku sasaran penyuluhan yang mengarah keperbaikan taraf kehidupan.

Penyuluh dalam menyampaikan inovasi kepada petani ada beberapa metode dan media yang digunakan agar suatu teknologi dapat diterima dengan baik oleh petani. Penyuluh yang ahli mampu memilih metode secara tepat sesuai dengan situasi, dan mencakup kemampuan sasaran penyuluhan dan petugas


(40)

penyuluhan, materi penyuluhan, situasi belajar (sosial dan fisik), serta sarana/fasilitas yang tersedia dengan tujuan perubahan perilaku yang diinginkan. Dengan demikian, terdapat kemungkinan bahwa intensitas penyuluhan akan dapat mempengaruhi motivasi petani dalam menerapkan wanatani

Bantuan Modal

Modal usaha merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian. Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahatani hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal. Modal diartikan sebagai persediaan (stok) barang-barang dan jasa yang tidak segera digunakan untuk komsumsi, namun digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa mendatang melalui proses produksi. Pembentukan modal diartikan sebagai suatu proses beberapa bagian pendapatan yang ada disisihkan atau diinvestasi untuk memperbesar output di kemudian hari.

Hermanto (1989) menyatakan bahwa modal merupakan barang atau uang yang bersama-sama dengan faktor produksi lainnya menghasilkan barang baru. Penciptaan modal oleh petani biasanya dilakukan dengan menyisihkan sebagian hasil pertanian musim lalu (menabung) untuk tujuan yang produktif. Modal usaha yang digunakan petani dalam berusahatani dapat berasal dari dirinya sendiri maupun dari pinjaman pada pihak lain, seperti pada pedagang dan lembaga keuangan baik koperasi maupun bank yang berada di tingkat desa atau kecamatan. Penggunaan Tenaga Kerja

Bryant (1990) menyatakan ukuran, komposisi dan struktur keluarga menentukan kepemilikan tenaga kerja dalam keluarga petani yang akan dicurahkan dalam berusahatani. Tenaga kerja merupakan modal keluarga yang diivestasikan dalam berusaha tani dan besar kecilnya tenaga kerja yang dimiliki oleh petani akan mempengaruhi motivasi petani untuk melakukan kegiatan agroforestri.

Pendapatan Keluarga Petani

Bryant (1990) menyatakan setiap keluarga dalam setiap aktifitas kehidupan ekonominya senantiasa berusaha untuk meningkatkan serta memaksimalkan perolehan pendapatan dari aktifitas yang dijalaninya. Demikian pula dengan petani akan senantiasa berupaya untuk selalu memaksimalkan


(41)

27

pendapatannya, upaya ini tidak terlepas dari kondisi harga yang berlaku pada waktu dan ruang tertentu. Selanjutnya dikatakan bahwa total penerimaan yang diperoleh petani merupakan hasil perkalian antara total produksi dengan harga yang berlaku dipasar. Untuk meningkatkan total penerimaan harus ditingkatkan kedua faktor ini, yaitu produksi dan harga produksi.

Peluang Pasar

Produksi melimpah yang telah dicapai petani tidak begitu banyak artinya kalau tidak terjamin pemasarannya dan harganya rendah. Pasar bagi hasil pertanian sangat penting dan menentukan keberlanjutan produktivitas dari usahatani. Mosher (1987) mengelompokkan pasar untuk hasil pertanian sebagai unsur pertama syarat pokok dalam pembanguna pertanian. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pasar bagi hasil pertanian dalam memajukan suatu sistem pertanian pada suatu daerah tertentu. Pasar bagi hasil pertanian yang baik akan menjamin bahwa produksi yang mereka hasilkan tidak sia-sia dan dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya dan keluarganya.

Aktivitas Berusahatani Agroforestri

Aktivitas berusaha tani adalah usahatani yang dilakukan dengan memadukan tanaman pertanian dan kehutanan. King dan Chandler (1978) menjelaskan bahwa agroforestri merupakan bentuk pemanfaatan lahan atau pola pengelolaan lahan yang dapat mempertahankan dan bahkan menaikkan produktivitas lahan secara keseluruhan, yang merupakan kegiatan campuran antara kegiatan kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan, baik secara bersamaan ataupun bergiliran, dengan menggunakan manajemen praktis yang disesuaikan dengan pola budaya masyarakat setempat dalam jangka waktu panjang.


(42)

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua tahapan, yang mana tahap pertama dimulai bulan Juni sampai Agustus 2005 dan tahap kedua pada bulan Agustus 2009 sampai bulan Pebruari 2010. Penelitian dilakukan di lokasi proyek pengembangan hutan kemasyarakatan Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Pemilihan sampel wilayah dilakukan pada Desa Idas Kecamatan Noyan yang terdapat kegiatan agroforestri.

Metode Pengambilan Contoh dan Pengumpulan Data Pengumpulan data di lakukan dengan cara :

1. Studi literatur untuk pengumpulan data sekunder dalam wilayah penelitian 2. Wawancara dan kuisioner dilakukan kepada responden peserta agroforestri

3. Pengamatan langsung dengan mengamati dan mencatat perilaku petani pengelola hutan secara sosial ekonomis

4. Pengambilan contoh dilapangan dilakukan dengan purposif.

Populasi dan Sampel

Populasi penelitian adalah petani peserta yang melakukan kegiatan agroforestri pola tembawang, kebun karet, bawas dan lalang di Desa Idas Kecamatan Noyan, Kabupaten Sanggau. Jumlah populasi adalah 120 dimana dimana terbagi atas 30 orang melakukan agroforestri tembawang, 30 orang agroforestri kebun karet, 30 orang agroforestri bawas, 30 orang agroforestri lalang, seluruh anggota populasi dijadikan responden, dengan demikian penilitian dilakukan secara sensus (Sevilla. 1993).

Analisis Data Analisa Potensi

Analisa potensi tegakan dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan pada setiap kegiatan yang dilakukan dengan cara sensus. Parameter yang diukur dan diamati adalah melihat jenis, jumlah diameter, dan tinggi pohon yang terdapat


(43)

30

pada masing-masing pola agroforesti. Pendugaan potensi tegakan dilakukan dengan menghitung volume pohon untuk setiap jenis pohon yang terdapat pada masing-masing pola agroforestri. Formula untuk menghitung Volume pohon sebagai berikut :

V = ¼ π D2 x Keterangan :

Lx f

V : Volume pohon

D :

L

Diameter pohon

f : Faktor koreksi (0,7) : Tinggi pohon

Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat

Pengolahan data dilakukan melalui metode deskriptif analisis terhadap data-data yang telah di kumpulkan melalui wawancara dan pengamatan. Data-data yang dikumpulkan meliputi umur, pekerjaan, jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan, luas lahan, faktor-faktor yang mempengaruhi petani hutan kemasyarakatan, persepsi masyarakat terhadap kegiatan yang dilakukan, keanggotaan dalam kelompok tani, tujuan utama ikut serta dalam kegiatan, pemeliharaan tanaman, penyerapan tenaga kerja dan multiplier effectnya.

Analisis Kelayakan Finansial

Analisis kelayakan hutan kemasyarakatan ini digunakan analisis financial dengan menghitung Nilai Sekarang Bersih (Net Present Value, NPV), Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return, IRR), dan Rasio Manfaat Biaya (Benefit Cost Ratio, (B/C) dengan rumus sebagai berikut :

Net Present Value (NPV) =

= + − n t t t t i C B

1 (1 )

dimana : Bt C

= penerimaan kotor petani JPS pada tahun t; t

n = umur ekonomis JPS tersebut;

= biaya kotor dalam usaha tani JPS pada tahun t; i = discount rate.

Internal Rate of Return (IRR) =

0

)

1

(

)

(

1

=

+

= = n t t t t t

i

C

B


(44)

dimana :

i’ = nilai percobaan pertama untuk discount rate; i” = nilai percobaan kedua untuk discount rate; Bt

C

= penerimaan kotor petani JPS pada tahun t; t

Benefit Cost Ratio (B/C) =

= biaya kotor dalam usaha tani JPS pada tahun t;

= = + − + − n t t t t n t t t t i B C i C B 1 1 ) 1 ( ) 1 ( dimana : Bt C

= penerimaan kotor petani JPS pada tahun t; t

n = umur ekonomis JPS tersebut;

= biaya kotor dalam usaha tani JPS pada tahun t; i = discount rate.

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk analisis finansial pola-pola agroforestri : 1) Daur analisis untuk masing-masing pola adalah, pola tembawang 35 tahun, kebun karet 25 tahun, bawas 35 tahun dan pola lalang 8 tahun; 2) Volume yang digunakan adalah volume akhir daur; 3) Harga yang digunakan berdasarkan harga pasar yang berlaku diwilayah penelitian; 4) Discount factor yang digunakan adalah 14 %.

Analisis Korelasi

Siegel (1997) menyatakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk mengetahui apakah ada korelasi atau tingkat hubungan antara dua variabel dari himpunan data yang didasarkan atas rangking (jenjang), maka untuk model pengolahan data sangatlah tepat menggunakan koefiesien korelasi nonparametrik. Dalam mendeskripsikan sebagian karakteristik sosial ekonomi masyarakat baik internal dan eksternal, yang memotivasi responden melakukan kegiatan agroforestri, maka digunakan skala Likert yaitu : (a) rendah, (b) sedang, dan (c) tinggi. Untuk menguji hipotesis yang telah diajukan berkaitan dengan karakteristik internal dan eksternal yang memotivasi petani melakukan kegiatan agroforestri yaitu digunakan metode analisis regresi linear berganda. Selanjutnya untuk kemudahan dan ketepatan pengolahan data digunakan program SPSS, dengan rumus :


(45)

32

Y = βo + β1X11 + β1X12 + β1X13 + ……… + β1X27

dimana :

Y = Tingkat Motivasi Petani dalam Kegiatan Agroforestri

βo = Koefisien Regresi X11 = Umur

X12 = Tingkat Pendidikan X13 = Kepemilikan Lahan X14 = Pengalaman Usaha Tani X15 = Presepsi

X16 = Status Sosial Petani X17 = Kekosmopolitan X21 = Ketersediaan Saprodi X22 = Intensitas Penyuluhan X23 = Ketersediaan Modal X24 = Tenaga Kerja X25 = Pendapatan X26 = Peluang Pasar


(46)

Letak, Luas dan Topografi dan Penggunaan Lahan

Desa Idas merupakan salah satu Desa yang terdapat di Kabupaten Sangau Kecamatan Noyan yang merupakan jalur transportasi penting yang menghubungkan Kecamatan Kembayan dan Kecamatan Noyan melalui Desa Sejuah. Aksesibilitas dari Ibu Kota Kecamatan dan Kabupaten dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat sampai ke pusat Desa Idas. Adapun jarak tempuh dari Desa Idas ke Ibu Kota Kecamatan Noyan 22 Km dan ke Ibu kota Kabupaten Sanggau 66 Km.

Luas wilayah Desa Idas adalah 6.170 ha, meliputi dusun Idas, Minsok, Entawa Mata, Telogah, Kobuk dan Kumpai Merah, (TGLDK 1995).

Secara administratif , wilayah Desa Idas berbatasan dengan : - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Sungai Dangin - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Majel

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sejuah

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kembayan

Topografi desa Idas bervariasi yaitu dataran hingga berbukit. Penggunaan lahan berdasarkan TGLDK (Tata Guna Lahan Desa Kesepakatan) yang ada adalah sebagai berikut, UTHM (Usaha tani hutan menetap) seluas 1.593 ha, HPT (Hutan Produksi Terbatas) seluas 4.053 ha dan HL (Hutan Lindung) 524 ha. Lahan hutan yang masih tersisa di desa ini kurang lebih 200 ha, Hutan Tembawang masih terdapat kurang lebih 620 ha, lainnya merupakan hutan yang sudah dikonversi menjadi lahan pertanian.

Kondisi Sosial Ekonomi

Berdasarkan data statistik Kantor Desa Idas tahun 2006 jumlah penduduk Desa Idas sebanyak 1.954 jiwa yang terdiri dari 1.007 jiwa laki-laki dan 947 jiwa perempuan dengan jumlah 327 KK. Sex ratio penduduk seimbang. Kepadatan penduduk 2 Jiwa/Ha dan rata-rata jiwa per KK 5,97 Jiwa.

Kondisi penduduk yang demikian, menunjukkan bahwa perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas lahan yang tersedia untuk dikelola masih


(47)

34

tinggi, artinya setiap orang penduduk masih memiliki kesempatan mengusahakan sebidang lahan untuk berbagai aktivitas produksi dengan layak.

Tingkat umur seseorang sangat berpengaruh terhadap kemampuan fisik dalam bekerja dan cara berfikir seseorang. Pada umumnya petani yang berumur muda memiliki kemampuan fisik yang lebih kuat dan lebih kreatif dibanding yang lebih tua.

Berdasarkan komposisi umur terdapat jumlah tenaga produktif sebanyak 943 orang ( 48%) dari total penduduk , hal ini menggambarkan cukup tersedianya tenaga kerja produktif untuk mendukung kegiatan agroforest .

Tabel 2. Komposisi penduduk menurut tingkat umur dan jenis kelamin di Desa Idas.

Golongan Umur Jenis Kelamin Jumlah

(tahun) Laki-laki Perempuan

0 - 6 7 - 12 13 - 18 19 - 25 26 - 35 36 - 45 46 - 55 56 - 65 66 - 75 > 75 112 146 127 119 134 122 87 81 58 21 102 87 116 95 149 128 99 82 54 25 214 233 243 214 283 260 186 163 112 46

Jumlah 1.007 947 1.954

Sumber; Desa Idas 2006

Dari pengumpulan data sekunder yang dilakukan di Desa Idas sebagian besar penduduk yang bermukim di desa ini bemata pencaharian sebagai petani, walaupun mereka mempunyai profesi yang lain sebagai pedagang, ataupun pegawai negeri, tetapi kegiatan bertani tetap dilakukan sebagai kegiatan utama di waktu luang mereka.

Mayoritas penduduk Desa Idas (95%) adalah Suku Dayak adapun yang lainnya adalah pendatang yang merupakan Suku Melayu. Kekhasan dari Suku Dayak mereka tidak bisa lepas dari Budaya Hutan (Tembawang) dan pohon pohon besar, yang mengindikasikan tempat bersemayamnya roh-roh leluhur mereka.


(48)

Tabel 3. Komposisi kepala keluarga berdasarkan mata pencaharian di Desa Idas :

Jenis Mata Pencaharian Jumlah

( KK)

Persentase (%) Petani

Pedagang besar/kecil Pegawai Negeri Sipil Sopir Ojek

Pengrajin Rotan Tukang

Lain-lain

252 24 12 6 8 6 19

77,07 7,34 3,67 1,83 2,45 1,83 5,81

Jumlah 327 100,00

Sumber ; Desa Idas 2006

Dari Tabel 3 menunjukkan bahwa mata pencaharian penduduk Desa Idas yang sumber penghasilannya diperoleh dari kegiatan usaha tani (bawas, karet, lalang, tembawang, tani padi maupun petani lahan kering) memiliki persentase yang sangat besar, yaitu 70,07 % tediri atas 252 KK, sedangkan mata pencaharian lain yaitu pedagang besar/kecil pada umumnya menjual sembako dan sebagai penampung hasil panen karet 7,34 % atau 24 KK, adapun pegawai negeri sipil terdiri dari Pegawai Kantor Desa dan Guru 3,67 % atau 12 KK.

Karena keterbatasan lapangan pekerjaan, selain dari bertani banyak penduduk desa khususnya kaum wanita usia produktif yang mengadu nasib ke ibu Kota Kabupaten atau ke Malaysia sebagai tenaga pembantu rumah tangga.

Dari segi pendidikan formal menunjukkan kemampuan daya intelektual dari setiap individu diketahui bahwa kondisi sebagian besar penduduk di Desa Idas rata- rata berpendidikan yang masih rendah atau setara sekolah dasar sampai sekolah lanjutan pertama, penduduk yang berpendidikan setara sekolah menengah umum dan perguruan tinggi masih bisa dihitung. Kondisi yang demikian tetap penting diperhatikan karena mengingat peran pendidikan formal sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku sumberdaya manusia khususnya aspek pengetahuan dan peningkatan pola berpikir yang lebih rasional dan kepada individu untuk termotivasi dan memotivasi dirinya terhadap penerimaan suatu kegiatan atau perubahan.


(49)

36

Tabel 4. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Idas Lama mengikuti pendidikan

(Tahun)

Jumlah (jiwa)

Persentase (%) 0 – 6 (belum sekolah/buta huruf)

7 – 12 (tingkat SD) 13 – 15 (tingkat SMP) 16 – 18 (tingkat SLTA) Diploma dan Sarjana

922 526 268 184 54

47,18 26,92 13,72 9,42 2,78

Jumlah 1.954 100


(50)

Berdasarkan hasil analisis potensi tegakan pada pola agroforestri tembawang, kebun karet, bawas dan lalang yang dilakukan oleh 30 petani/responden diperoleh persentase tumbuh jenis pohon yang terdapat pada masing-masing pola agroforestri tersebut seperti tertera pada Tabel 5.

Tabel 5. Persentase tumbuh jenis pohon pada berbagai pola agroforestri Pola

Agroforestri

Jumlah Jenis

Jumlah pohon %

Tumbuh Awal Penanaman Saat Penelitian

Tembawang 16 500 168,0 33,60

Kebun Karet 1 400 298,1 74,53

Bawas 19 400 202,0 50,50

Lalang 1 1.100 251,0 22,82

Data pada Tabel 5 terlihat bahwa jumlah jenis tanaman dan jumlah batang tanaman yang ditanam pada kegiatan agroforestri di Desa Idas adalah sangat bervariasi, dimana pada pola tembawang ditanami 16 jenis tanaman yang terdiri dari jenis tanaman pohon dan jenis tanaman buah dengan jumlah tanaman yang ditanam adalah 500 batang/ha. Begitu juga halnya pada pola bawas terdapat 19 jenis tanaman dengan jumlah tanaman 400 batang/ha. Sedangkan pada kebun karet hanya jenis pohon karet yang ditanam dengan jumlah 400 batang/ha. Sementara untuk pola lalang hanya jenis pohon akasia yang ditanam dengan jumlah 1.100 batang/hektar. Data dan jenis pohon tiap pola terlampir pada Lampiran 2.

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase tumbuh pohon pada masing-masing pola agroforestri adalah yang tertinggi ditemui pada pola agroforestri kebun karet yaitu 74,53%, diikuti pola bawas 50,50%, dan pola tembawang 33,60%, sedangkan persentase tumbuh terendah terdapat pada pola lalang hanya 22,82%. Dengan rendahnya persentase tumbuh tanaman pada pola lalang antara lain dikarenakan para responden/petani tidak dan kurang melakukan pemeliharaan terhadap tanaman akasia yang terdapat pada pola lalang yang disebabkan oleh kurang tertariknya minat masyarakat untuk melakukan kegiatan agroforestri pola lalang yang merupakan pola yang diintroduksi oleh pihak projek SFDP-PPHK. Disamping itu kondisi lahan yang digunakan untuk kegiatan agroforestri lalang ini merupakan lahan marginal yang didominasi oleh vegetasi


(1)

1 6 11 16 21 26 31 35 Kebutuhan Alat

Cangkul 1 Unit/ha 30 30 30 30 30 30 30 210

Parang/Golok 2 Unit/ha 60 60 60 60 60 60 60 420

Polibag 500 Lbr/ha 1500 1500

Sprayer 1 Unit/ha 30 30

Chainshaw 1 Unit/ha 1 1

Kebutuhan Pupuk

NPK 3 Kg 1080 1080

Round Up 3 Liter 270 270

Kebutuhan Tenaga Kerja

Persiapan Lahan 80 HOK 2400 2400

Persemaian 42 HOK 1260 1260

Penanaman 13 HOK 390 390

Pemeliharaan 8 HOK 240 240 240 240 240 240 240 1680

Pemanenan 10 HOK 0

Pasca Panen 10 HOK 0

Kebutuhan Bibit

Damar Toncua 25 Batang/ha 750 750

Damar Tunam 25 Batang/ha 750 750

Kayu Raya 75 Batang/ha 2250 2250

Keladan 30 Batang/ha 900 900

Keruing 30 Batang/ha 900 900

Meranti 75 Batang/ha 2250 2250

Nyatu Karas 30 Batang/ha 900 900

Omang 25 Batang/ha 750 750

Penyauk 25 Batang/ha 750 750

Ramin 20 Batang/ha 600 600

Tekam 30 Batang/ha 900 900

Tengkawang 35 Batang/ha 1050 1050

Belian 50 Batang/ha 1500 1500

Benuang 10 Batang/ha 300 300

Durian 15 Batang/ha 450 450

Mentawa 22 Batang/ha 660 660

Uraian Satuan Tahun ke- Jumlah


(2)

Kebutuhan Alat

Cangkul 1 Unit/Ha 30 30

Parang/Golok 2 Unit/Ha 60 60

Polibag 1100 Lbr/Ha 33000 33000

Sprayer 1 Unit/Ha 30 30

Kebutuhan Pupuk

NPK 3 Kg 1080 1080

Round Up 3 Liter 270 270

Kebutuhan Tenaga Kerja

Persiapan Lahan 80 HOK 2400 2400

Persemaian 42 HOK 1260 1260

Penanaman 13 HOK 390 390

Pemeliharaan 8 HOK 240 240

Pemanenan 10 HOK 300 300

Pasca Panen 10 HOK 300 300

Kebutuhan Bibit


(3)

99

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .967a .934 .873 .443

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tenaga Kerja, Kepemilikan Lahan, Ketersediaan Saprodi, Status Sosial Petani, Pengalaman Usaha Tani, Tingkat Pendidikan, Kekosmopolitan, Pendapatan, Presepsi, Umur, Ketersediaan Modal, Peluang Pasar, Intensitas Penyuluhan

b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestry

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 41.761 14 2.983 15.224 .000a

Residual 2.939 15 .196

Total 44.700 29

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tenaga Kerja, Kepemilikan Lahan, Ketersediaan Saprodi, Status Sosial Petani, Pengalaman Usaha Tani, Tingkat Pendidikan, Kekosmopolitan, Pendapatan, Presepsi, Umur, Ketersediaan Modal, Peluang Pasar, Intensitas Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestri.

Lampiran 25. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Tembawang

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) 15.102 2.460 6.139 .000

Umur -.035 .019 -.244 -1.890 .078

Tingkat Pendidikan .033 .107 .027 .305 .765

Kepemilikan Lahan -.013 .055 -.021 -.234 .818

Pengalaman Usaha Tani .041 .018 .253 2.243 .040*

Presepsi .019 .041 .061 .466 .648

Status Sosial Petani .090 .133 .072 .679 .508

Kekosmopolitan -.044 .071 -.059 -.617 .547

Ketersediaan Saprodi .074 .053 .141 1.403 .181

Intensitas Penyuluhan .332 .098 .571 3.375 .004**

Ketersediaan Modal .126 .078 .228 1.613 .128

Tenaga Kerja .149 .240 .059 .619 .545

Pendapatan .666 .000 .085 .822 .024*

Peluang Pasar .032 .119 .039 .273 .789

Aktivitas Usaha Tani -.013 .062 -.032 -.216 .832


(4)

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .827a .684 .389 1.560

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tingkat Pendidikan, Intensitas Penyuluhan, Umur, Ketersediaan Saprodi, Tenaga Kerja, Presepsi, Ketersediaan Modal, Pendapatan, Status Sosial Petani, Peluang Pasar, Kekosmopolitan, Kepemilikan Lahan, Pengalaman Usaha Tani

b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestri

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 78.981 14 5.642 2.319 .059a

Residual 36.485 15 2.432

Total 115.467 29

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tingkat Pendidikan, Intensitas Penyuluhan, Umur, Ketersediaan Saprodi, Tenaga Kerja, Presepsi, Ketersediaan Modal, Pendapatan, Status Sosial Petani, Peluang Pasar, Kekosmopolitan, Kepemilikan Lahan, Pengalaman Usaha Tani b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestri

Lampiran 26. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Karet

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) 17.007 9.068 1.876 .080

Umur .142 .091 .500 1.557 .140

Tingkat Pendidikan .173 .290 .178 .594 .561

Kepemilikan Lahan -.321 .433 -.185 -.743 .469

Pengalaman Usaha Tani .222 .091 -.760 2.447 .027*

Presepsi .026 .070 .087 .371 .715

Status Sosial Petani .006 .330 .004 .018 .986

Kekosmopolitan .078 .256 .071 .303 .766

Ketersediaan Saprodi .005 .098 .009 .052 .959

Intensitas Penyuluhan .249 .156 .275 1.596 .131

Ketersediaan Modal -.591 .355 -.305 -1.663 .117

Tenaga Kerja 1.460 .775 .462 1.885 .010*

Pendapatan .788 .000 .053 .279 .004**

Peluang Pasar .621 .376 .418 1.651 .120

Aktivitas Usaha Tani -.136 .106 -.248 -1.277 .221


(5)

101

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .962a .925 .855 1.033

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tenaga Kerja, Ketersediaan Saprodi, Status Sosial Petani, Kepemilikan Lahan, Pengalaman Usaha Tani, Intensitas Penyuluhan, Kekosmopolitan, Peluang Pasar, Presepsi, Ketersediaan Modal, Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Umur

b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestri

ANOVAb

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 196.968 14 14.069 13.191 .000a

Residual 15.999 15 1.067

Total 212.967 29

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Tenaga Kerja, Ketersediaan Saprodi, Status Sosial Petani, Kepemilikan Lahan, Pengalaman Usaha Tani, Intensitas Penyuluhan, Kekosmopolitan, Peluang Pasar, Presepsi, Ketersediaan Modal, Pendapatan, Tingkat Pendidikan, Umur

Lampiran 27. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Bawas

Coefficientsa

Model Unstandardized

Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) 3.012 3.278 .919 .373

Umur .137 .092 .299 1.487 .158

Tingkat Pendidikan .108 .251 .060 .431 .673

Kepemilikan Lahan .121 .101 .096 1.202 .248

Pengalaman Usaha Tani -.016 .046 -.039 -.355 .727

Presepsi .039 .047 .101 .835 .417

Status Sosial Petani .174 .240 .063 .726 .479

Kekosmopolitan .119 .201 .070 .592 .562

Ketersediaan Saprodi -.039 .070 -.057 -.551 .590

Intensitas Penyuluhan .046 .118 .038 .390 .702

Ketersediaan Modal .295 .181 .215 1.628 .124

Tenaga Kerja .048 .509 .009 .095 .026*

Pendapatan 3.193E-6 .000 .140 .813 .429

Peluang Pasar -.086 .382 -.032 -.226 .824

Aktivitas Usaha Tani .205 .103 .295 1.993 .047*


(6)

Lampiran 28. Analisis Regresi Linear Berganda Pola Lalang

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig.

B Std. Error Beta

(Constant) 10.416 2.156 4.831 .000

Umur -.079 .031 -.351 -2.560 .022*

Tingkat Pendidikan .085 .113 .073 .751 .464

Kepemilikan Lahan .166 .107 .142 1.549 .142

Pengalaman Usaha Tani .074 .032 .319 2.315 .035*

Presepsi .076 .059 .155 1.298 .214

Status Sosial Petani -.026 .160 -.015 -.165 .871

Kekosmopolitan .250 .123 .232 2.026 .061

Ketersediaan Saprodi -.104 .085 -.145 -1.223 .240

Intensitas Penyuluhan .187 .125 .215 1.494 .156

Ketersediaan Modal .029 .065 .043 .442 .665

Tenaga Kerja .172 .594 .030 .290 .776

Pendapatan 5.495E-6 .000 .173 1.627 .125

Peluang Pasar -.205 .162 -.151 -1.264 .225

Aktivitas Usaha Tani .256 .079 .585 3.232 .006**

a. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegiatan Agroforestri

Model Summaryb

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 .963a .928 .860 .713

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Status Sosial Petani, Tenaga Kerja, Kepemilikan Lahan, Tingkat Pendidikan, Pendapatan, Umur, Ketersediaan Modal, Ketersediaan Saprodi, Kekosmopolitan, Peluang Pasar, Presepsi, Pengalaman Usaha Tani, Intensitas Penyuluhan

b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestry

ANOVAb

Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

1 Regression 97.847 14 6.989 13.759 .000a

Residual 7.620 15 .508

Total 105.467 29

a. Predictors: (Constant), Aktivitas Usaha Tani, Status Sosial Petani, Tenaga Kerja, Kepemilikan Lahan, Tingkat Pendidikan, Pendapatan, Umur, Ketersediaan Modal, Ketersediaan Saprodi, Kekosmopolitan, Peluang Pasar, Presepsi, Pengalaman Usaha Tani, Intensitas Penyuluhan b. Dependent Variable: Tingkat Motivasi Petani dalam Kegaiatan Agroforestry


Dokumen yang terkait

Analisis Faktor-faktor yang Memotivasi Pengusaha dalam Memutuskan Berbisnis

0 37 126

Respon Masyarakat terhadap Perubahan Kelembagaan dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan PEMBANGUNAN HUTAN KEMASYARAKATAN (Studi Kasus pada Proyek Pengembangan Hutan Kemasyarakatan di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat)

0 8 166

Identifikasi Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kemandirian Petani dalam Melakukan Usaha Agroforestri (Kasus Usaha Agroforestri Pohpohan di Hutan Pinus dan Desa Tamansari Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor)

1 9 142

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Partisipasi Dalam Proyek Reboisasi Pola Hutan Kemasyarakatan (Hkm). Kasus Desa Tiwingan Baru, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan

0 12 130

Analisis Kelayakan Pengembangan Usaha Budidaya Pendederan Ikan Mas pada Perusahaan X di Kabupaten Subang Jawa Barat

0 8 170

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMOTIVASI MINAT MAHASISWA DALAM BERWIRAUSAHA Analisis Faktor-Faktor Yang Memotivasi Minat Mahasiswa Dalam Berwirausaha (Studi Kasus Mahasiswa FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta).

0 4 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMOTIVASI MINATMAHASISWA DALAM BERWIRAUSAHA Analisis Faktor-Faktor Yang Memotivasi Minat Mahasiswa Dalam Berwirausaha (Studi Kasus Mahasiswa FEB Universitas Muhammadiyah Surakarta).

0 3 13

TAP.COM - ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN ... 22245 47675 1 PB

1 4 3

Struktur dan komposisi vegetasi agroforestri tembawang di Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat

1 2 6

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS AUDIT INTERNAL PADA INSPEKTORAT DI PROVINSI KALIMANTAN BARAT

0 0 19