Rehabilitasi Menurut Hukum Islam
3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan
hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan
dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan
tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu Al-
Hamam berpendapat, “Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan hukum ta‟zir berkenaan dengan hak Allah adalah kewajiban yang menjadi
wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejaha
tan”.
41
Penetapan sanksi ta‟zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum
laki-laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja.
1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan
Salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syari‟at Islam ialah aturan yang berbunyi “Sebelum ada nash ketentuan, tidak ada hukum bagi
perbuatan orang- orang yang berakal sehat”. Dengan perkataan lain perbuatan
seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu
atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya.
41
Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 145.
Oleh karena sesuatu perbuatan dan sikap tidak berbuat tidak cukup dipandang sebagai jarimah hanya karena dilarang saja, tetapi juga harus
dinyatakan hukumannya, baik hukuman had atau hukuman ta‟zir, maka kesimpulan yang dapat diambil dari keseluruhannya ialah bahwa aturan-aturan
pokok syari‟at Islam menentukan tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan suatu nash”.
42
ص ب ا ب قع ا مي ج ا
“Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman kecuali dengan suatu nash”.
Dalam kaidah hukum Islam, pengertian hukum pidana termuat dalam fiqh jinayah. Didalamnya terhimpun permbahasan semua jenis pelanggaran atau
kejahatan manusia berbagai sasaran yang menyangkut badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik, negara, tatanan hidup dan lingkup hidup. Di sinilah
letaknya agama Islam sangat menghormati dan mengakui keberadaan manusia dengan menimbang segala kelebihan maupun kekurangannya.
Dalam fiqh jinayah, ada istilah penting yang terlebih dahulu dipahami sebelum menggali materi selanjutnya. Pertama adalah jinayah dan kedua
mengenai jarimah. Kedua istilah ini secara etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang satu menjadi murodif sinonim bagi istilah
lainnya. Singkat kata, keduanya bermakna tunggal. Meski begitu, keduanya berbeda dalam penerapannya. Dengan demikian, kita patut memperhatikan dan
memahami agar penggunaannya tidak keliru.
42
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1990, hal. 58-59.
Jarimah ialah larangan- larangan Syara‟ yang diancamkan oleh Allah dengan
hukuman had atau ta‟zir. Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang
diperintahkan. D engan kata lain Syara‟ pada pengertian tersebut di atas, yang
dimaksud ialah bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh Syara‟. Pengertian jarimah tersebut tidak berbeda dengan pengertian tindak
pidana, peristiwa pidana, delik pada hukum pidana positif. Para fuqaha sering memakai kata-kata jinayah untuk jarimah. Semula
pengertian jinayah ialah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata-
kata ji nayah ialah perbuatan yang dilarang oleh Syara‟, baik perbuatan itu
mengenai merugikan jiwa atau harta benda ataupun lain-lainnya. Akan tetapi kebanyakan fuqaha memakai kata-kata jinayah hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya. Ada pula
golongan fuqaha yang membatasi pemakaian kata-kata jarimah kepada jarimah hudud dan qisas saja. Dengan mengenyampingkan perbedaan pemakaian kata-kata
jinayah dikalangan fuqaha, dapatlah kita katakan bahwa kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha sama dengan kata-kata jarimah.
43
Adapun unsur-unsur umum dari pada tindak pidana dalam hukum Islam, dibagi menjadi tiga yaitu:
44
43
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, Jakarta : PT Midas Surya Grafindo, 1990, hal. 01-02.
44
Juhaya S Praja dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Islam, cet.II, Bandung: Penerbit Angkasa, 1993, hal. 81.
a. Hendaknya ada nash yang mengancam tindak pidana yang dapat
menghukuminya rukun syar‟i. Dalam perundang-undangan kita istilah ini
disebut juga dengan unsur formil. b.
Melakukan perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan rukun madi. Dalam
perundang-undangan kita unsur ini disebut dengan unsur materil. c.
Hendaknya pelaku tindak pidana kejahatan itu mukallaf atau bertanggung jawab atas tindakan pidana itu rukun adabi. Dalam perundang-undangan
kita disebut dengan unsur moril. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap
macam jarimah tindak pidana atau delik. Disamping itu, terdapat unsur kasus yang hanya ada pada jarimah tertentu dan tidak terdapat pada jarimah yang lain.
Unsur kasus ini merupakan spesifikasi pada setiap jarimah dan tentu saja tidak akan ditemukan pada jarimah lain. Sebagai contoh, memindahkan mengambil
harta benda orang lain hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain dalam kasus pembunuhan.
45
2. Penjatuhan Pidana Dalam Hukum Islam
Tuju an pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari‟at Islam ialah
pencegahan ar-rad-u waz-zajru dan pengajaran serta pendidikan al-islah wat- tahdzib. Pengertian pencegahan ialah menahan pembuat agar tidak mengulangi
perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus-menerus memperbuatnya, disamping pencegahan terhadap orang lain selain pembuat agar ia tidak memperbuat jarimah,
45
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah, cet.I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000, hal. 53.
sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan terhadap orang yang memperbuat pula perbuatan yang sama. Dengan demikian, maka kegunaan
pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan terhadap pembuat sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak memperbuatnya
pula dan menjauhkan diri dari lingkungan jarimah. Oleh karena tujuan hukuman adalah pencegahan, maka besarnya hukuman
harus sedemikian rupa yang cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka
terdapat prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Bila demikian keadaannya, maka hukuman dapat berbeda-
beda terutama hukuman ta‟zir, menurut perbedaan pembuatnya, sebab di antara pembuat-pembuat ada yang
cukup dengan diberi peringatan dan ada yang cukup dijilid.
46
Jarimah-jarimah dapat berbeda penggolongannya, menurut perbedaan cara meninjaunya dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, jarimah dibagi menjadi
tiga yaitu jarimah hudud, jarimah qisas dan jarimah ta‟zir:
47
a. Jarimah hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman
yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas
tertinggi. Pengertian hak Tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan yang menjadi korban jarimah, ataupun
oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah-jarimah hudud ada tujuh, yaitu zina, qadzaf menuduh orang lain berbuat zina, minum-minuman keras,
46
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, cet.IV, Jakarta: Bulan Bintang, 1990, hal. 255-256.
47
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, hal. 7-9.
mencuri, haribah pembegalanperampokan, gangguan keamanan, murtad, dan pemberontakan al-baghyu.
b. Jarimah qisas-diyat adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman
qisas atau hukuman diyat. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman- hukuman yang telah ditentukan batasnya, dan tidak mempunyai batas
terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa korban bisa memaafkan pembuat, dan apabila dimaafkan,
maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qisas-diyat ada lima yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena tidak
sengaja, penganiayaan sengaja, dan penganiayaan tidak sengaja. c.
Jarimah ta‟zir ialah perbuatan-perbuatan yang diancam dengan satu atau beberapa hukuman ta‟zir. Pengertian ta‟zir ialah memberi pengajaran at-
Ta‟dib. Tetapi untuk hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri, seperti yan
g akan terlihat dibawah ini. Syara‟ tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-
tiap jarimah ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya
sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah
ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah ta‟zir tidak mempunyai batas tertentu. Maksudnya pemberian hak penentuan
jarimah- jarimah ta‟zir kepada para penguasa, ialah agar mereka dapat
mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi sebaik-baiknya terhadap keadaan yang mendadak.
3. Rehabilitasi Dalam Hukum Islam
Secara teoritis dalam hukum Islam tidak mengenal tentang rehabilitasi, oleh karena itu penulis mengqiyaskannya dalam perkara fitnah yang mengandung
unsur kezaliman. Bagi seseorang yang pernah di zalimi, hendaklah untuk tidak membalaskan perbuatannya tersebut. Karena dalam Islam mengenai pembalasan
dan ganti rugi merupakan hak Allah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW dalam hadits Imam Bukhari
48
:
س ّأ ي يبأ نع ّ قم يعس نع ك م ي ث ح ق يع مس ث ح ي ّث سي ّ ف م ح ي ف يخ م ظم ع ّ ك نم ق ّ س ي ع ى ص
ح طف يخأ يس نم خأ سح ن ي ّ ّ ف سح نم يخ خ ي ّأ ق نم ّ ي ع
“Telah menceritakan kepada kami Ismail mengatakan, telah menceritakan kepadaku Malik dari Sa‟id Al Maqburi dari Abu Hurairah
radhilayyhu‟anhu, bahwasannya Rasulullah Shallallahu‟alaihiwasallam bersabda: Barangsiapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya,
hendaklah ia meminta dihalalkan, sebab dinar dan dirham dihari kiamat tidak bermanfaat, kezalimannya harus harus dibalas dengan cara
kebaikannya diberikan kepada saudaranya, jika ia tidak mempunyai kebaikan lagi, kejahatan kawannya diambil dan dipikulkan kepadanya
.” Apabila dia mengetahui bahwa jika dia memaafkan dan berbuat baik, maka
hal itu akan menyebabkan hatinya selamat dari berbagai kedengkian dan kebencian kepada saudaranya serta hatinya akan terbebas dari keinginan untuk
melakukan balas dendam dan berbuat jahat kepada pihak yang menzaliminya. Sehingga dia memperoleh kenikmatan memaafkan yang justru akan menambah
48
Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab Makasar, diakses pada tanggal 28 April 2015
http:hadits.stiba.net?type=haditsimam=bukharino=6053 .
kelezatan dan manfaat yang berlipat-lipat, baik manfaat itu dirasakan sekarang atau nanti.
49
Dengan demikian, ganti rugi menjadi tanggungan Allah bukan di tangan makhluk. Barangsiapa yang menuntut ganti rugi kepada makhluk yang telah
menyakitinya, tentu dia tidak lagi memperoleh ganti rugi dari Allah. Sesungguhnya seorang yang mengalami kerugian karena disakiti ketika
beribadah di jalan Allah, maka Allah berkewajiban memberikan ganti rugi. Kondisi yang dialami layaknya seorang yang kecurian satu dinar, namun dia
malah menerima ganti puluhan ribu dinar. Dengan demikian dia akan merasa sangat gembira atas karunia Allah yang diberikan kepadanya melebihi
kegembiraan yang pernah dirasakannya. Hendaknya dia mengetahui bahwa seseorang yang melampiaskan dendam semata-mata untuk kepentingan nafsunya,
maka hal itu hanya akan mewariskan kehinaan didalam dirinya. Apabila dia memaafkan, maka Allah justru akan memberikan kemuliaan kepadanya.
Keutamaan ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad SAW melalui sabdanya:
ً ع ا عب ع م
Artinya: “kemuliaan hanya akan ditambahkan oleh Allah kepada seorang
hamba yang bersikap pemaaf.” Berdasarkan hadits di atas, kemuliaan yang diperoleh dari sikap memaafkan
itu tentu lebih disukai dan lebih bermanfaat bagi dirinya daripada kemuliaan yang diperoleh dari tindakan pelampiasan dendam. Kemuliaan yang diperoleh dari
49
Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar 2: Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada tanggal 28 April 2015 dari
http:www.muslim.or.idtazkiyatun-nufustips-bersabar-2-sabar-ketika- disakiti-orang-lain.html
.
pelampiasan dendam adalah kemuliaan lahiriah semata, namun mewariskan kehinaan batin. Sedangkan sikap memaafkan terkadang merupakan kehinaan di
dalam batin, namun mewariskan kemuliaan lahir dan batin.
50
Sebagaimana contoh yang pernah terjadi terhadap Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW. Aisyah pernah difitnah melakukan perbuatan zina dengan
salah satu sahabat Rasulullah. Permasalahan tersebut dalam hukum islam disebut dengan hadist ifki.
Hadisul al-ifki adalah “berita bohong” yang sangat berbahaya, baik jika
dilihat dari segi makna maupun kandungan dan tujuannya.
51
Aisyah ra menceritakan kisah bohong besar tersebut, yang diriwayatkan oleh az-Zuhri dari
„Urwah dan lain-lain dari riwayat Aisyah ra beliau berkata: “Biasanya Rasulullah SAW apabila hendak berpergian jauh melakukan undian bagi istri-istrinya, maka
siapa saja diantara mereka yang bagiannya undiannya keluar atas namanya maka dialah yang mendapat bagian ikut pergi bersama beliau. Pada suatu ketika, nabi
akan pergi dalam suatu peperangan, lalu beliau melakukan undian dan yang keluar adalah bagian atas namaku. Maka aku pun ikut pergi bersamanya
mendampinginya sesudah ayat tentang wajib hijab diturunkan. Aku pada saat itu dibawa di dalam sekedup di atas punggung unta dan disitulah aku tinggal. Kami
pun berjalan hingga Rasulullah SAW selesai dari misi peperangannya dan beliau pun kembali. Dan sudah terasa dekat dari kota Madinah, maka pada suatu malam
50
Tazkiyatun Nufus, “Tips Bersabar 2: Sabar Ketika Disakiti Orang Lain”, diakses pada tanggal 28 April 2015 dari
http:www.muslim.or.idtazkiyatun-nufustips-bersabar-2-sabar-ketika- disakiti-orang-lain.html
.
51
Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah Manusia Pilihan, Penerjemah, Uwais Al- qorny, Bogor: Pustaka Teriqul Izzah, 2005, hal. 194.
beliau mengizinkan para sahabatnya untuk berangkat pulang. Maka aku pun bangkit untuk buang hajat ketika mereka diizinkan untuk pulang hingga pasukan
itu telah berlalu.
52
Seusai buang hajat aku kembali pada untaku, kemudian aku raba dadaku dan ternyata kalungku terputus karena terenggut kukuku dan hilang. Maka aku
kembali ke tempat buang hajat sambil mencari kalungku yang terjatuh hingga makan waktu cukup lama. Lalu pada saat itu sekelompok orang yang biasa
menuntun untaku datang menuju unta yang di punggungnya ada sekedupku tempat duduk diatas unta dan mereka langsung menggiringnya dengan mengira
bahwa aku ada di dalamnya. Rata-rata perempuan pada masa itu ringan, tidak gemuk, karena kami biasa makan sesuap makan saja, sehingga ketika mengangkat
sekedupku ke atas punggung unta tidak merasa bahwa aku tidak ada di dalamnya dan mereka pun langsung membawanya. Sementara pada saat itu aku masih
remaja di bawah umur sedangkan unta telah pergi bersama mereka. Kalungku baru aku temukan sesudah pasukan berjalan jauh, maka dari itu aku pergi ke
tempat bekas mereka singgah bernalam dan disana tidak ada seseorang. Lalu aku menuju bekas persinggahanku, karena dalam dugaanku mereka pasti akan
mencariku di sini.
53
Ketika aku sedang duduk menunggu, aku pun tertidur. Pada saat itu ada seorang sahabat Nabi bernama Shafwan bin Mu‟atthal As-Sulami Adz-Dzakwani,
52
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
53
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al- Qur‟an Wanita, Jakarta Pusat: Pena Pundi Aksara,
tth, Judul Asli: Tafsir Al- Qur‟an Al-Adzhim Lin Nisa. Hal. 200.
bertugas sebagai orang yang memeriksa di belakang pasukan hingga kemalaman dan pada keesokan harinya ia berada di dekat persinggahanku. Lalu ia melihat
warna kehitam-hitaman tampak seperti manusia yang sedang tidur dan ia pun menghampirinya aku dan langsung mengenalku di saat ia melihatku,
54
dan itu sebelum diwajibkan hijab tabir. Akupun terbangun karena ucapan “istirja”-nya
disaat melihatku. Istirja ‟ adalah ucapan: Inna lillahi wa inna ilaihi rajiu‟un.
Maka aku langsung menutup wajahku dengan jilbabku, demi Allah, ia tidak berbicara kepadaku dengan satu katapun, dan aku tidak mendengar satu katapun
selain istirja ‟-nya tadi. Lalu ia turun dan mendudukan untanya supaya aku naik
untanya. Maka aku naik ke untanya dan ia pun mengendalikannya, hingga kami dapat mengejar para pasukan setelah mereka singgah beristirahat di Madinah.
55
Aisyah melanjutkan: orang yang melihat mereka mulai membicarakan menurut pendapat masing-masing,
56
dan tokoh yang menyebarluaskan dosa besar ini adalah Abdullah bin Ubai bin Salul seorang tokoh munafik yang tidak jujur.
Setibanya kami di Madinah aku jatuh sakit selama satu bulan karena berita bohong itu, dan orang-orang banyak terlibat dalam hasutan para penyebar berita
bohong itu, sedangkan aku tidak sadarkan diri dan makin membuatku tidak menentu di masa sakitku adalah bahwasannya aku tidak melihat lagi dari
Raulullah SAW kelembutan yang selama ini selalu aku melihatnya mana kala aku sedang sakit, dan beliau hanya memberikan salam bila masuk menjengukku lalu
54
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
55
Zaini Dahlan, Dkk, Al- Qur‟an dan Tafsirnya, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakap, 1990,
Jilid-6, hal. 604.
56
Imad Zaki Al-Barudi, Tafsir Al- Qur‟an wanita, hal. 201.
bertanya, “Bagaimana kamu?”, lalu pergi. Itulah yang membuatku makin merasa bimbang.
57
Aku tidak merasakan adanya keburukan kecuali setelah aku sembuh dan masih dalam keadaan lemah. Aku keluar bersama Ummi Masthah menuju
Manashi‟, yaitu tempat kami buang air. Kami tidak keluar ke sana kecuali pada malam hari, dan itu sebelum kami menggunakan dinding pelindung untuk buang
air, karena kami sama seperti orang-orang Arab lainnya dalam hal buang air besar, yaitu membuang air besar di padang yang jauh gha‟ith. Kemudian, seusai
buang hajat aku dan Ummi Masthah kembali dengan jalan kaki. Ummi Masthah adalah putri Abu Dirham bin Abdil Mutthalib bin Abdi Manaf, sedangkan ibunya
adalah anak dari Shakhar bin „Amir, bibinya Abu Bakar Siddik, putranya bernama Masthah bin Utsatsah. Tiba-tiba Ummi Masthah tersandung karena kainnya dan
berkata, “Celaka Masthah” maka aku bertanya, “Alangkah buruknya apa yang kamu katakan Apakah kamu mencela orang yang telah ikut dalam perang
Badar?” Ia menjawab, “Wahai saudaraku, apakah kamu belum mendengar apa yang ia katakan?” Aku bertanya, “ apa yang telah ia katakan?” Lalu Ummi
Masthah menceritakan kepadaku bahwa Masthah ikut membicarakan apa yang dibicarakan oleh para penyebar berita bohong itu. Maka aku pun bertambah
sakit.
58
57
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
58
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
Sekembalinya aku ke rumah, Rasulullah SAW masuk menjengukku dan berkata, “Bagaimana kamu?” aku berkata kepada beliau, “Izinkan aku datang
kepada kedua ibu- bapakku.” Pada saat itu aku ingin mengecek berita dari pihak
mereka orang tuaku. Maka Rasulullah mengizinkan dan akupun pergi menemui ibu dan ayahku. Di
rumah aku bertanya kepada ibuku, “Wahai ibuku, apa yang sedang dibicarakan oleh banyak orang saat ini?” ibu menjawab, “Wahai anakku,
tahan dirimu atas peristiwa ini, karena demi Allah, jarang ada perempuan cantik yang mempunyai suami yang sangat mencintainya, sedangkan ia mempunyai
banyak madu istri-istri suami yang lain melainkan mereka selalu memojokannya.” Aku berkata, “Maha suci Allah, sungguh manusia telah
membicarakan masalah ini?” Maka aku pun menangis pada malam itu hingga pagi, air mata terus bercucuran tiada henti dan tidak dapat tidur. Pagi harinya pun
aku tetap menangis.
59
Aisyah menceritakan: adapun Usamah, menganjurkan sesuai dengan pengetahuan akan kebersihan istrinya dan dengan dasar pengetahuannya bahwa
Nabi sangat mencintai mereka, seraya berkata: “Mereka adalah keluargamu wahai Rasulullah, dan kami, demi Allah, tidak mengenal mereka kecuali sebagai orang-
orang baik”.
60
Sedangkan Ali bin Abi Thalib, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah tidak mempersulit dirimu, dan perempuan selain dia Aisyah masih sangat
banyak. Engkau hanya minta carikan kepada salah seorang perempuan, niscaya ia mencarikannya.”
59
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
60
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
Aisyah menuturkan: Semenjak hari itu Rasulullah SAW pergi dan meminta kerelaan orang-orang untuk menindak Abdullah bin Ubai bin Salul seraya
bersabda sambil berdiri diatas mimbar, “Siapa yang mendukungku untuk menghukum orang yang telah menyakiti aku dengan mencemarkan keluargaku?
Demi Allah, aku tidak mengenal keluargaku selain sebagai orang yang baik. Dan sesungguhnya mereka menyebutkan seseorang yang tidak aku ketahui kecuali
sebagai orang baik, dan ia tidak pernah datang kepada keluargaku kecuali bersamaku.
”
Lan jut Aisyah: Maka Sa‟ad bin Mu‟adz ra berdiri seraya berkata, “Wahai
Rasulullah, aku, demi Allah mendukungmu untuk menghukumnya. Kalau dia berasal dari suku Aus, maka kita penggal lehernya, dan kalau ia berasal dari
saudara kami, satu Khazraj, maka kami tunggu apa perintah terhadapnya, niscaya kami lakukan.”
Kemudian Sa‟ad bin Ubadah ra bangkit dia adalah pemuka suku Khazraj dan merupakan seorang lelaki shalih, namun fanatisme kesukuannya sangat tinggi
seraya berkata kepada Sa‟ad bin Mu‟adz, “Tidak benar kamu Demi Allah, kamu tidak boleh membunuhnya dan tidak akan mampu melakukannya.” Kemudian,
Usaid bin Hudhair ra keponakan Sa‟ad bin Mu‟adz berkata kepada sa‟ad bin Ubadah, “Kamu yang tidka benar Demi Allah, kami pasti membunuhnya, kamu
adalah orang munafik, karena membela orang- orang munafik.” Maka kedua suku
Aus dan Khazraj ini pun naik darah, hingga hampir saja mereka berbunuhan.
Sementara Rasulullah SAW masih berada di atas mimbar dan melunakkan emosi mereka hingga akhirnya mereka diam dan kemudian beliau turun dari mimbar.
61
Aku pada hari itu menangis tiada henti dan air mataku pun terus berlinang dan tidak merasakan tidur sedikitpun juga. Pada malam berikutnya pun aku masih
terus menangis dengan air mata bercucuran dan tidak dapat tidur hingga pada keesokan harinya ayah dan ibuku mendampingiku. Sungguh, aku telah menangis
dua malam satu hari hingga aku mengira bahwa tangisan itu akan membelah hatiku. Ketika ayah dan bundaku duduk di sisiku, sementara aku sedang
menangis, seketika ada seorang perempuan dari kaum Anshar minta izin masuk, maka aku pun mengizinkannya. Lalu ia duduk sambil menangis bersamaku.
Ketika kami dalam keadaan seperti itu Raulullah SAW masuk kepada kami lalu duduk, padahal ia tidak pernah duduk di sisiku semenjak hari disebarluaskannya
berita bohong itu. Sudah sebulan lamanya beliau tidak menerima wahyu berkenaan dengan perihal ini. Beliau ber-tasyahhud ketika duduk, lalu bersabda,
“Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku tentang kamu, bahwa begini dan begitu. Maka jika kamu benar-benar bersih dari tuduhan itu, niscaya Allah
membebaskan kamu dari tuduhan. Dan jika kamu benar-benar telah melakukan dosa, maka minta ampunlah kamu kepada Allah dan bertobatlah kepada-Nya,
karena sesungguhnya apabila seorang hamba mengakui dosanya lalu bertobat, niscaya Allah menerima tobatnya.” Setelah Rasulullah SAW selesai
61
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
mengutarakan ucapannya maka air mataku kering berhenti hingga aku tidak merasa ada setetes pun.
62
Pada saat itu Allah menurunkan firman-Nya surat 11,
ّ م صع كف ب ء ج ني ّ
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah
dari golongan kamu juga...” Dan ayat-ayat selanjutnya. Lalu setelah ayat tentang pembebasan Aisyah diturunkan Abu Bakar As-
Shiddiq ra yang sebelumnya selalu memberi nafkah kepada Misthah bin Utsatsah karena hubungan kerabat dekat dan kefakirannya, ia berkata: “Demi Allah, aku
tidak akan memberinya nafkah lagi selama-lamanya, karena ia turut serta menyebarkan berita bohong yang ditu
duhkan terhadap Aisyah ra.” Maka kemudian Allah menurunkan ayat:
63
ني ج م نيك سم ىب ق ى ي ّ عس ّ م ض ي
ّيح غ ه ّ ه غي ّ ّ ح ح صي عي ه ي س ىف
Artinya: “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabatnya, orang-orang yang
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema
‟afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.” An-Nur 24:22.
64
62
Imad ZaSki Al-Barudi, Tafsir Al- Qur‟an wanita, hal. 203.
63
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
64
M. Qurais Shihab. Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur‟an,
Jakarta: Lentera Hati, 2007, Cet-8, hal. 310.
Aisyah ra menuturkan: Rasulullah SAW juga menanyakan tentang aku kepada Zainab binti Jahsy ra seraya bersabda, “Wahai Zainab, apa yang engkau
ketahui tentang Aisyah dan apa yang telah kamu lihat.” Zainab menjawab, “Ya Rasulullah, aku selalu memelihara pendengaran dan mataku, demi Allah, aku
tidak mengetahui tentang dia kecuali baik- baik saja.” Dialah Zainab di antara
istri-istri Rasulullah SAW yang selalu menyayangi aku, dan Allah melindunginya dengan ke-
wara‟annya. Aisyah juga menuturkan, “Namun saudara perempuannya selalu melancarkan serangan terhadapnya, maka dari itu ia binasa mendapat
hukuman bersama-sama p ara penyebar berita bohong itu.”
65
يط ّ يط ني يط يط ثي ّ ثي نيثي ثي ك
ّي ك غم ّ ّ قي مم ّ
م
Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik
adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita- wanita yang baik pula. Mereka yang dituduh itu bersih dari apa yang
dituduhkan oleh mereka yang menuduh itu. Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia surga. An-Nur ayat 26.
65
Muslim Taubat, “Hadits Ifki”, diakses pada tanggal 13 Juni 2015. http:www.artikel- islam.commuslimtaubathadits-ifki.
52