Pelaksanaan Rehabilitasi Dalam Sistem Peradilan Indonesia

Sesuai dengan Pasal 1 butir 23 KUHAP, maka Kemat, Devid, dan Sugik berhak mendapatkan rehabilitasi karena mereka ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP dan pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah tersangka, keluarga tersangka atau kuasanya. Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada keluarga tersangka merupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup dan sehat. Tidak ada hak prioritas antara tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat untuk mengajukan permintaan rehabilitasi. Tentang diberikan kemungkinan kepada kuasa mengajukan permintaan rehabilitasi memperlihatkan rehabilitasi agak cenderung ke arah keperdataan. Memang rehabilitasi secara murni adalah hak keperdataan yang seharusnya dimintakan atau digugat di depan peradilan perdata. Akan tetapi lain halnya dengan rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 KUHAP. Permintaan rehabilitasi atas pejabat penegak hukum yang dikenakan kepada seseorang, tidak perlu melalui gugat perdata. Apabila pejabat penegak hukum melakukan tindakan pidana penangkapan, penahanan yang tidak berdasar alasan yang dibenarkan undang-undang atau apabila terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi atau tindakan dan peristiwa tersebut tidak perlu melalui proses perdata. Yang bersangkutan atau keluarganya dapat mengajukan permintaan rehabilitasi melalui proses yang diatur dalam pasal 97 KUHAP jo. Bab V PP No. 27 Tahun 1983. Dalam proses permintaan dan pemeriksaan rehabilitasi melalui pengadilan perdata dengan apa yang diatur dalam KUHAP, terletak pada subjek yang menjadi pihak. Rehabilitasi melalui gugatan perdata harus ada pihak yang digugat sebagai pihak yang disalahkan melakukan perbuatan melawan hukum dan orang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tersebut berkewajiban untuk merehabiliter nama baik orang yang dirugikan atas fitnah atau pencemaran nama baiknya. Berbeda dengan proses rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 KUHAP tidak menempatkan seseorang sebagai pihak tergugat. Tetapi pihak pemohon sendiri bukan merupakan pihak secara murni atau walaupun disebut ada pihak yakni pemohon pada satu sisi dan pejabat penegak hukum yang bersangkutan pada pihak lain, sifat keberadaan mereka sebagai pihak adalah semu. Pemohon secara semu bertindak sebagai pihak penggugat dan pejabat atau instansi yang terlibat atau negara negara berada dalam kedudukan sebagai tergugat semu. 37 Dalam mengajukan permintaan rehabilitasi terdapat tenggang waktu yang telah ditentukan dalam Pasal 12 PP No. 27 yang berisi permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang selambat- lambatnya dalam waktu 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahan diberitahukan kepada pemohon. Dengan begitu masa 37 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 72. tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan mengenai tidak sahnya penangkapan atau penahanan diberitahukan. Bila dicermati kembali dalam Pasal 12, tenggang waktu yang diatur di dalamnya hanya berkenaan dengan permintaan rehabilitasi yang disebut dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP yaitu tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah dimana perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan. Namun dalam tenggang waktu atas alasan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat 1 KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. Alasannya dalam setiap putusan pengadilan yang berupa pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum harus sekaligus mencantumkan dan memberikan rehabilitasi, itu sebabnya tidak ada tenggang waktu. Pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan hak yang wajib diberikan dan dicantumkan sekaligus secara langsung dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan begitu rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak perlu diminta dan diajukan terdakwa, yang berarti tidak memiliki tenggang waktu. Rehabilitasi yang diberikan dan dicantumkan dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum baru dianggap sah dan mempunyai kekuatan mengikat terhitung sejak putusan yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap. Jika Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa, maka berpedoman kepada ketentuan Pasal 97 ayat 2 KUHAP Pengadilan Negeri yang bersangkutan harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi dalam putusan. Penyampaian petikan dan salinan putusan pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan Negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuannya agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansi penegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan di mana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja. Adapun pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan putusan rehabilitasi: 38 1. Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon, hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat 1 PP. Kepada pemohon cukup disampaikan petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapat salinan penetapan jika ia menghendaki. Untuk itu pemohon dapat meminta salinan penetapan kepada panitera pengadilan. Hak pemohon untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 226 ayat 3 KUHAP. 2. Salinan penetapan rehabilitasi disampaikan kepada beberapa instansi, ini diatur dalam Pasal 13 ayat 2 dan ayat 3 PP. Berdasarkan ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salianan penetapan rehabilitasi: 38 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 75. a. Diberikan kepada penyidik. b. Diberikan kepada penuntut umum. c. Instansi tempat pemohon bekerja. d. Kepada Ketua Rukun Warga RW di mana pemohon bertempat tinggal. Apa yang digariskan dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983, tidak menentukan berapa lama jangka waktu penyampaian atau pengiriman petikan dan salinan itu kepada pihak yang berkepentingan. Walaupun demikian, pemberian atau pengiriman petikan dan salinan sepatutnya segara dilaksanakan panitera, terutama kepada instansi tempat pemohon bekerja serta kepada Ketua Rukun Warga, guna secepat mungkin pemulihan nama baik, kedudukan, harkat, dan martabatnya di lingkungan masyarakat tempat di mana ia hidup dan bekerja. Cara menyebarluaskan pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983, pengumuman putusan rehabilitasi cukup ditempelkan pada papan pengumuman pengadilan.

D. Rehabilitasi Menurut Hukum Islam

Pada dasarnya dalam hukum pidana Islam tidak terdapat penjelasan secara khusus mengenai rehabilitasi, oleh karena itu penulis menganalogikan masalah tersebut ke dalam ta‟zir. Ta‟zir ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran, baik berkaitan dengan hak Allah maupun hak manusia, dan tidak termasuk ke dalam kategori hukuman hudud atau kafarat. Karena ta‟zir tidak ditentukan secara langsung oleh Alquran dan hadist, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta‟zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemaslahatan umum. 39 Menurut Ibrahim Anis, ta‟zir ialah pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar‟i, seperti pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki pihak lain tetapi bukan menuduh orang lain berbuat zina. Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al- Sultaniyyah berpendapat ta‟zir ialah pengajaran terhadap pelaku dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudud. Status hukumnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta‟zir sama dengan hudud dari satu sisi, yaitu sebagai pengajaran untuk menciptakan kesejahteraan dan untuk melaksanakan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang dikerjakan. 40 Ulama berbeda pendapat mengenai hukum sanksi ta‟zir. Berikut ini adalah penjelasannya. 1. Menurut golongan Malikiyah dan Hanabilah, ta‟zir hukumnya wajib sebagaimana hudud karena merupakan teguran yang disyariatkan untuk menegakkan hak Allah dan seorang kepala negara atau kepala daerah tidak boleh mengabaikannya. 2. Menurut mazhab Syafi‟i, ta‟zir hukumnya tidak wajib. Seorang kepala negara atau kepala daerah boleh meninggalkannya jika hukum itu tidak menyangkut hak adami. 39 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 139-140. 40 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 137. 3. Menurut mazhab Hanafiyah, ta‟zir hukumnya wajib apabila berkaitan dengan hak adami. Tidak ada pemberian maaf dari hakim karena hak hamba tidak dapat digugurkan, kecuali oleh yang memiliki hak itu. Adapun jika berkenaan dengan hak Allah, keputusannya terserah hakim. Jika hakim berpendapat ada kebaikan dalam penegakannya maka ia melaksanakan keputusan itu. Akan tetapi, jika menurut hakim tidak ada maslahat maka boleh meninggalkannya. Artinya, si pelaku mendapat ampunan dari hakim. Sejalan dengan ini Ibnu Al- Hamam berpendapat, “Apa yang diwajibkan kepada imam untuk menjalankan hukum ta‟zir berkenaan dengan hak Allah adalah kewajiban yang menjadi wewenangnya dan ia tidak boleh meninggalkannya, kecuali tidak ada maslahat bagi pelaku kejaha tan”. 41 Penetapan sanksi ta‟zir dilakukan melalui pengakuan, bukti, serta pengetahuan hakim dan saksi. Kesaksian dari kaum perempuan bersama kaum laki-laki dibolehkan, namun tidak diterima jika saksi dari kaum perempuan saja. 1. Hukum Islam Mengenai Pemidanaan Salah satu aturan pokok yang sangat penting dalam syari‟at Islam ialah aturan yang berbunyi “Sebelum ada nash ketentuan, tidak ada hukum bagi perbuatan orang- orang yang berakal sehat”. Dengan perkataan lain perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin dikatakan dilarang, selama belum ada nash yang melarangnya, dan ia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya, sehingga ada nash yang melarangnya. 41 Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, cet.I, Jakarta: Amzah, 2013, hal. 145.

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122