Rehabilitasi Menurut Hukum Positif

Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah hak seseorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas hak kemampuan, atas hak kedudukan dan harkat martabatnya. KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau apabila putusan pengadian menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran. 17 1. Hukum Positif Dalam Pemidanaan Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan. 18 Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah: a. Badan dan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. b. Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, ragatubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milikharta benda. 19 Hukum pidana itu tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan 17 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, cet.VIII, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 338. 18 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, Jakarta, Balai Pustaka, 1986, hal. 257. 19 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 257. umum. Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata. Hal pembunuhan, pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh pengadilan pidana. Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya tersebut pada ilmu-ilmu hukum pidana sistematik: a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh hukum material : hukum pidana, hukum perdata, hukum dagang dan lain-lain. 20 Hukum pidana material, yang berarti isi atau subtansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam. 21 Singkatnya hukum pidana material mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum. b. Hukum formal hukum proses atau hukum acara yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberikan putusan. Contoh hukum formal: hukum acara pidana dan hukum acara perdata. 22 20 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74. 21 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 2. 22 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74. Hukum pidana formal atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana. 23 2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : a. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib. b. Putusan bebas. c. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. 24 Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir vonnis, tetapi suatu ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu, atau alasan non bis in idem. Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir vonnis. Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah dipertimbangkan dan putusannya. Berbeda dengan Ned. Sv. yang tidak menyebut apakah yang dimaksud dengan putusan vonnis itu, KUHAP Indonesia memberi definisi tentang putusan vonnis sebagai berikut. 23 Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 2. 24 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 280. “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.” Pasal 1 butir 11 KUHAP. Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat 1 KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.” 25 Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya. 26 Selanj utnya putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” Pasal 191 ayat 1 KUHAP. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim. 25 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, hal. 280-281. 26 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, cet.VIII, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 354. Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. 27 Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Pasal 191 ayat 2 KUHAP. Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat 2, yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria 28 : 1 Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan; 2 Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Disini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat. 3. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih berada 27 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 348. 28 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 352. dalam batas-batas toleransi mayarakat. 29 Sistem peradilan pidana bukan merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis. Sistem peradilan pidana criminal justice system pada dasarnya terbentuk sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan. Di samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan perlindungan terhadap masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. 30 Komponen tersebut harus saling berkaitan, jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam sistem yang terintegrasi itu. Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem terpadu” integrated criminal justice system. Sistem terpadu tersebut diletakkan di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan collection of function dari 29 Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,2012 hal. 115. 30 Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I, Bandung : PT Remaja Roksadakarya, februari, 2011, hal. 03. legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya. Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP Pasal 1 butir 5. Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan “merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”. 31 Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4: penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selajutnya, 31 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 101. sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”. Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana. 32 Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. 33 32 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 109. 33 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 273. Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 ayat 1. Pada Pasal 184 ayat 1 telah disebutkan secara rinci atau “limitatif” alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan ketentuan Pasal 184 ayat 1, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah. Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat 1. Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah. Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan klacht delik. Atau menurut penilaian mereka, tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali. 34 34 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 347. Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan putusan bebas dan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal yang seperti ini rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat 2, rehabilitasi bedasarkan putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal 97 ayat 2, jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan. Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, praperadilan berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atau tindakan penengakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan. 35 Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang. 35 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 70-71. Secara singkat dasar Hukum Rehabilitasi Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 bab XII bagian kedua Pasal 97 mengenai rehabilitasi dijelaskan bahwa: a. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. b. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.

C. Pelaksanaan Rehabilitasi Dalam Sistem Peradilan Indonesia

Dampak akibat putusan Mahkamah Agung No. 89PKPID2008 yang membebaskan Kemat, Devid, dan Sugik mengharuskan mereka untuk segera dibebaskan dan dikembalikan hak terpidana dalam kemapuan, kedudukan, harkat serta martabatnya sesuai salah satu isi dalam putusan. Dalam Pasal 1 butir 23 KUHAP berbunyi bahwa rehabilitasi adalah hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang- undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Bunyi redaksi pemberian rehabilitasi diatur dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan memperlancar pelayanan pemberian rehabilitasi, sebab dengan ditentukan rumusan standar dalam pemberian rehabilitasi baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat dan harus tunduk menerima rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. 36 Arang yang sempat tercoreng di dahinya akibat tindakan penangkapan, penahanan atau pemeriksaan pengadilan bisa dibersihkan dengan jalan memberi rehabilitasi. Pemberian rehabilitasi berdasarkan atas putusan pengadilan atau praperadilan yang rumusan redaksinya telah ditentukan dalam pasal 14. Pasal ini memuat dua jenis redaksi, namun isi yang terkandung di dalamnya sama. Dasar pembedaan rumusan itu dalam dua redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan perbedaan status pemohon serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi yang diajukan. Jika yang memeriksa pengadilan apabila yang berwenang memberikan adalah pengadilan atas alasan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sesuai dengan yang di atur dalam Pasal 97 ayat 1 KUHAP. Bila yang memeriksa praperadilan apabila permintaan rehabilitasi didasarkan atas alasan penangkapan dan penahanan yang tidak sah, yang berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi adalah praperadilan berdasarkan Pasal 97 ayat 3. 36 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 74. Sesuai dengan Pasal 1 butir 23 KUHAP, maka Kemat, Devid, dan Sugik berhak mendapatkan rehabilitasi karena mereka ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Dalam Pasal 97 ayat 3 KUHAP dan pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah tersangka, keluarga tersangka atau kuasanya. Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada keluarga tersangka merupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup dan sehat. Tidak ada hak prioritas antara tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat untuk mengajukan permintaan rehabilitasi. Tentang diberikan kemungkinan kepada kuasa mengajukan permintaan rehabilitasi memperlihatkan rehabilitasi agak cenderung ke arah keperdataan. Memang rehabilitasi secara murni adalah hak keperdataan yang seharusnya dimintakan atau digugat di depan peradilan perdata. Akan tetapi lain halnya dengan rehabilitasi yang diatur dalam pasal 97 KUHAP. Permintaan rehabilitasi atas pejabat penegak hukum yang dikenakan kepada seseorang, tidak perlu melalui gugat perdata. Apabila pejabat penegak hukum melakukan tindakan pidana penangkapan, penahanan yang tidak berdasar alasan yang dibenarkan undang-undang atau apabila terhadap terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi atau tindakan dan peristiwa tersebut tidak perlu melalui proses perdata. Yang bersangkutan atau keluarganya dapat

Dokumen yang terkait

Eksistensi Presidential Threshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/Puu-Xi/2013

6 131 94

Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 101/K.Pdt.Sus/Bpsk/2013 Tentang Penolakan Klaim Asuransi Kendaraan Bermotor

22 248 119

Analisis Yuridis Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 981K/PDT/2009 Tentang Pembatalan Sertipikat Hak Pakai Pemerintah Kota Medan No. 765

4 80 178

Analisis Putusan Mahkamah Agung Mengenai Putusan yang Dijatuhkan Diluar Pasal yang Didakwakan dalam Perkaran Tindak Pidana Narkotika Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 K/Pid.Sus/2012 dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2497 K/Pid.Sus/2011)

18 146 155

Efektivitas Penerapan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 179/K/SIP/1961 Di Dalam Persamaan Hak Mewaris Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Pada Masyarakat Suku Batak Toba Perkotaan (Studi Di Kecamatan Medan Baru)

2 68 122

Eksekusi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 609 K/Pdt/2010 Dalam Perkara Perdata Sengketa Tanah Hak Guna Bangunan Dilaksanakan Berdasarkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri

3 78 117

Analisis Hukum Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Calon Independen Di Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

0 68 130

Penetapan Luas Tanah Pertanian (Studi Kasus : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/Puu-V/2007 Mengenai Pengujian Undang-Undang No: 56 Prp Tahun 1960 Terhadap Undang-Undang Dasar 1945)

4 98 140

Sikap Masyarakat Batak-Karo Terhadap Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) No.179/K/SIP/1961 Dalam Persamaan Kedudukan Anak Laki-Laki Dan Anak Perempuan Mengenai Hukum Waris (Studi Pada Masyarakat Batak Karo Desa Lingga Kecamatan Simpang...

1 34 150

Efektifitas Penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilukada oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

3 55 122