Rehabilitasi Menurut Hukum Positif
Memperhatikan bunyi Pasal tersebut, rehabilitasi adalah hak seseorang tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan pemulihan atas hak kemampuan, atas
hak kedudukan dan harkat martabatnya. KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan
rehabilitasi apabila penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan hukum yang sah, atau apabila putusan pengadian
menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana
kejahatan atau pelanggaran.
17
1. Hukum Positif Dalam Pemidanaan
Hukum pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran- pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
18
Adapun yang termasuk dalam pengertian kepentingan umum ialah: a.
Badan dan peraturan perundangan negara, seperti negara, lembaga-lembaga negara, pejabat negara, pegawai negeri, undang-undang, peraturan
pemerintah, dan sebagainya. b.
Kepentingan hukum tiap manusia, yaitu: jiwa, ragatubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milikharta benda.
19
Hukum pidana itu tidak membuat peraturan-peraturan yang baru, melainkan mengambil dari peraturan-peraturan hukum yang lain yang bersifat kepentingan
17
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, cet.VIII, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 338.
18
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VII, Jakarta, Balai Pustaka, 1986, hal. 257.
19
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 257.
umum. Memang sebenarnya peraturan-peraturan tentang jiwa, raga, milik, dan sebagainya, dari tiap orang telah termasuk hukum perdata. Hal pembunuhan,
pencurian, dan sebagainya antara orang-orang biasa, semata-mata diurus oleh pengadilan pidana.
Biasanya, pengertian hukum pidana itu sendiri, paling luas hanya tersebut pada ilmu-ilmu hukum pidana sistematik:
a. Hukum material, yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang
mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Contoh hukum material : hukum
pidana, hukum perdata, hukum dagang dan lain-lain.
20
Hukum pidana material, yang berarti isi atau subtansi hukum pidana itu. Disini hukum pidana bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.
21
Singkatnya hukum pidana material mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat
dihukum. Jadi hukuman pidana material mengatur perumusan dari kejahatan dan pelanggaran serta syarat-syarat bila seseorang dapat dihukum.
b. Hukum formal hukum proses atau hukum acara yaitu hukum yang memuat
peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur
bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke muka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberikan putusan. Contoh hukum formal:
hukum acara pidana dan hukum acara perdata.
22
20
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74.
21
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 2.
22
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hal. 74.
Hukum pidana formal atau hukum acara pidana bersifat nyata atau konkret. Disini kita lihat hukum pidana dalam keadaan bergerak, atau dijalankan atau
berada dalam suatu proses. Oleh karena itu disebut juga hukum acara pidana.
23
2. Penjatuhan Pidana Terhadap Pelaku
Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan : a.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib. b.
Putusan bebas. c.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
24
Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima.
Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir vonnis, tetapi suatu ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima
jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan
yang dilampirkan pada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu, atau alasan non bis in idem.
Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir vonnis. Dalam putusan itu hakim menyatakan pendapatnya tentang apa yang telah
dipertimbangkan dan putusannya. Berbeda dengan Ned. Sv. yang tidak menyebut apakah yang dimaksud dengan putusan vonnis itu, KUHAP Indonesia memberi
definisi tentang putusan vonnis sebagai berikut.
23
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, cet.II, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994, hal. 2.
24
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, cet.V, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 280.
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.” Pasal 1 butir 11 KUHAP.
Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat 1 KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
25
Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan
menyakinkan melakukan kesalahan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas batas minimun pembuktian yang
ditentukan dalam Pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada
hakim, terdakwalah pelaku tindak pidananya.
26
Selanj utnya putusan bebas dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa
dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa
diputus bebas.” Pasal 191 ayat 1 KUHAP. Tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Pembuktian yang diperoleh di
persidangan, tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa dan sekaligus kesalahan terdakwa yang tidak cukup terbukti itu, tidak diyakini oleh hakim.
25
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia: edisi revisi, hal. 280-281.
26
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, cet.VIII, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006, hal. 354.
Kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa hanya didukung oleh satu alat bukti saja, sedang menurut ketentuan Pasal 183, agar cukup membuktikan kesalahan
seorang terdakwa, harus dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
27
Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.” Pasal 191 ayat 2 KUHAP.
Pada masa yang lalu putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum disebut onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat 2, yakni
putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berdasar kriteria
28
: 1
Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah dan meyakinkan;
2 Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana. Disini kita lihat hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada
kenyataan, apa yang didakwakan dan yang telah terbukti tersebut tidak merupakan tindak pidana, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum adat.
3. Rehabilitasi Dalam Putusan Bebas
Secara singkat sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan agar hal tersebut masih berada
27
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 348.
28
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 352.
dalam batas-batas toleransi mayarakat.
29
Sistem peradilan pidana bukan merupakan struktur yang telah direncanakan sebagai sebuah sistem. Juga tidak
begitu terorganisir bahwa beberapa bagian saling beroperasi secara harmonis. Sistem peradilan pidana criminal justice system pada dasarnya terbentuk
sebagai bagian dari upaya negara untuk melindungi warga masyarakat dari bentuk-bentuk perilaku sosial yang ditetapkan secara hukum sebagai kejahatan. Di
samping itu, sistem tersebut juga dibentuk sebagai sarana untuk melembagakan pengendalian sosial oleh negara. Ikhtisar memberikan perlindungan terhadap
masyarakat melalui sistem peradilan pidana merupakan rangkaian dari kegiatan instasional kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
30
Komponen tersebut harus saling berkaitan, jika terdapat kelemahan pada salah satu sistem kerja komponennya, akan mempengaruhi komponen lainnya dalam
sistem yang terintegrasi itu. Sistem
peradilan pidana yang digariskan KUHAP merupakan “sistem terpadu” integrated criminal justice system. Sistem terpadu tersebut diletakkan
di atas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum sesuai dengan “tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada
masing-masing. Berdasaran kerangka landasan yang dimaksud aktivitas pelaksanaannya, merupakan fungsi gabungan collection of function dari
29
Teguh Prasetyo dan Abdul H.im Barkatullah , Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum pemikiran menuju masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat, cet.I, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada,2012 hal. 115.
30
Mulyana w. kusuma dan Adnan Buyung Nasution, Tegaknya Supremasi Hukum Terjebak Antara Memilih Hukum dan Demokrasi, cet.I, Bandung : PT Remaja Roksadakarya,
februari, 2011, hal. 03.
legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan pemerintahan atau di luarnya.
Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa
yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditentukan dapat dilakukan penyidikan
atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP Pasal 1 butir 5. Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama
permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan
bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan
“merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum”.
31
Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4: penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selajutnya,
31
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 101.
sesuai dengan pasal 4, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah “setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia”.
Pada tindakan penyelidikan penekanan diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” sesuatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindak
pidana. Pada penyidikan, titik berat tekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti” supaya tindak pidana yang ditemukan dapat
menjadi terang, serta agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Dari penjelasan dimaksud hampir tidak ada perbedaan makna keduanya. Hanya bersifat
gradual saja. Antara penyelidikan dan penyidikan adalah dua fase tindakan yang berwujud satu. Antara keduanya saling berkaitan dan isi-mengisi guna dapat
diselesaikan pemeriksaan suatu peristiwa pidana.
32
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa.
Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa,
terdakwa “dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184, terdakwa
dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai
pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum “kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP.
33
32
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan: edisi kedua, hal. 109.
33
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 273.
Agar permasalahannya lebih jelas, mari kita hubungkan Pasal 183 dengan Pasal 184 ayat 1. Pada Pasal 184 ayat 1 telah disebutkan secara rinci atau
“limitatif” alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Sesuai dengan
ketentuan Pasal 184 ayat 1, undang-undang menentukan lima jenis alat bukti yang sah. Di luar ini, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Jika ketentuan Pasal 183 dihubungkan dengan jenis alat bukti itu terdakwa baru dapat dijatuhi hukuman pidana, apabila kesalahannya dapat dibuktikan
paling sedikit dengan dua jenis alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 ayat 1. Kalau begitu, minimum pembuktian yang dapat dinilai cukup memadai untuk
membuktikan kesalahan terdakwa, “sekurang-kurangnya” atau “paling sedikit” dibuktikan dengan “dua” alat bukti yang sah.
Mengenai putusan apa yang akan dijatuhkan pengadilan, tergantung hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat
dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Mungkin menurut penilaian mereka, apa yang didakwakan
dalam surat dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar terbukti, akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan
tindak pidana, tapi termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak pidana aduan klacht delik. Atau menurut penilaian mereka, tindak
pidana yang didakwakan tidak terbukti sama sekali.
34
34
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 347.
Apabila pemeriksaan perkara sudah sampai ke tingkat pengadilan, dan dari hasil pemeriksaan pengadilan menjatuhkan putusan bebas dan putusan pelepasan
dari segala tuntutan hukum, maka dalam hal yang seperti ini rehabilitasi diberikan pengadilan yang memutusnya. Bertitik tolak dari bunyi ketentuan Pasal 97 ayat
2, rehabilitasi bedasarkan putusan pengadilan yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Jadi menurut ketentuan Pasal
97 ayat 2, jika pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
amar atau diktum putusan pengadilan yang bersangkutan. Di samping rehabilitasi diberikan langsung oleh pengadilan dalam putusan
pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, praperadilan berwenang memeriksa rehabilitasi. Jenis rehabilitasi yang termasuk ke dalam kewenangan
praperadilan meliputi permintaan rehabilitasi atau tindakan penengakan hukum yang tidak sah yang perkaranya tidak dilanjutkan ke sidang pengadilan.
35
Dari pengertian singkat di atas, tampak jelas apa yang menjadi tujuan rehabilitasi. Tujuannya tiada lain sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan
kembali nama baik, kedudukan, dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal ternyata semua tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang
sah menurut undang-undang.
35
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: edisi kedua, hal. 70-71.
Secara singkat dasar Hukum Rehabilitasi Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981 bab XII bagian kedua Pasal 97
mengenai rehabilitasi dijelaskan bahwa: a.
Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap. b.
Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1.
c. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95
ayat 1 yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77.