permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.
36
Untuk mendukung validitas data sekunder yang diperoleh melalui pendekatan Yuridis Normatif, maka dilakukan wawancara dengan beberapa
informan yaitu Dokter dan Pasien.
2. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan library research untuk mendapatkan
konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang
dapat berupa peraturan perundang-undangan, dan karya ilmiah lainnya
3. Sumber data
Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : a.
Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; 1
Norma atau kaidah dasar 2
Peraturan dasar Ground Norm 3
Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran 4
Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
36
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 13
Universitas Sumatera Utara
5 Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen 6
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan hukum pasien.
b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,
hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang
memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-
bahan primer, sekunder dan tersier penunjang di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang kesehatan, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang
dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.
Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan field research guna akurasi terhadap hasil penelitian yang
dipaparkan, yang dapat berupa wawancara langsung dengan Pasien dan Dokter yang dalam penelitian ini dipilih sebagai informan dan narasumber.
Universitas Sumatera Utara
4. Analisis Data
Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum
tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.
37
Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang telah dikumpulkan primer, sekunder maupun
tersier, untuk mengetahui validitasnya. Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.
38
Penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat
yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.
39
Artinya analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif untuk membahas secara mendalam permasalahan perlindungan hukum pasien dalam perjanjian
terapeutik.
37
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, h. 251.
38
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, h. 106.
39
Ibid
Universitas Sumatera Utara
BAB II PERJANJIAN TERAPEUTIK TRANSAKSI MEDIS
DALAM PELAYANAN KESEHATAN A.
Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan
Di dalam hubungan dokter dan pasien, hukum melindungi kepentingan pasien maupun dokter. Hukum merupakan sarana untuk menciptakan keserasian
antara kepentingan dokter dan pasien guna menunjang keberhasilan pelayanan medis berdasarkan sistem kesehatan nasional. Sistem kesehatan nasional yang
dimaksud merupakan suatu tatanan yang mencerminkan upaya bangsa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan mencapai derajat kesehatan yang optimal
sebagai perwujudan kesejahteraan umum melalui program pembangunan kesehatan sebagai kesatuan yang menyeluruh, terarah terpadu serta
berkesinambungan sebagai bagian dari pembangunan nasional.
40
Tujuan dan dasar pembangunan kesehatan di dalam Sistem Kesehatan Nasional dijabarkan sebagai berikut :
1. Semua warga negara berhak memperoleh derajat kesehatan yang optimal,
agar dapat bekerja dan hidup layak sesuai dengan martabat manusia. 2.
Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat.
3. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukakn
secara terpadu dengan upaya penyembuhan dan pemulihan yang dilakukan.
4. Setiap bentuk upaya kesehatan harus berasaskan perikemanusiaan yang
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan mengutamakan
40
Sistem Kesehatan Nasional, Departemen Kesehatan RI, 1982 h. 2-7
26
Universitas Sumatera Utara
kepentingan nasional, rakyat banyak, dan bukan semata-mata kepentingan golongan atau perorangan.
5. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotongroyongan serta semua potensi
yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.
6. Sesuai dengan asas adil dan merata, hasil yang dicapai dalam
pembangunan kesehatan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh penduduk.
7. Semua warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan wajib
menjunjung tinggi dan mentaati segala ketentuan peraturan perundang- undangan dalam bidang kesehatan.
8. Pembangunan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan
akan kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepribadian bangsa.
Pembangunan jangka panjang bidang kesehatan, yang merupakan bagian dari Sistem Kesehatan Nasional, diarahkan untuk mencapai tujuan utama sektor
kesehatan. Tujuan utama kesehatan nasional tersebut meliputi : Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam bidang kesehatan,
Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan, peningkatan status gizi masyarakat, Penguranngan kesakitan morbiditas dan kematian
mortalitas, Pengembangan keluarga sehat dan sejahtera dengan semakin diterimanya norma keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera.
41
Pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan secara mandiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan
memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat. Pelayanan
41
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kesehatan menurut Benyamin Lumenta segala upaya kegiatan pencegahan dan pengobatan penyakit, semua upaya dan kegiatan peningkatan serta pemeliharaan
kesehatan yang dilakukan oleh pranata sosial atau lembaga dengan suatu populasi tertentu, masyarakat atau komunitas.
42
Selanjutnya Hodgelts dan Casio, membedakan pelayanan kesehatan perorangan personal health services atau
pelayanan kedokteran medical services atau pelayanan medis dan pelayanan kesehatan lingkungan environmental health atau pelayanan kesehatan
masyarakat public health services.
43
Leavel dan Clark menguraikan ciri-ciri kedua bentuk pelayanan kesehatan tersebut, sebagai berikut : pelayanan kesehatan perorangan ditujukan untuk
menyembuhkan penyakit curative dan memulihkan kesehatan rehabilitatif dengan sasaran utama perorangan dan keluarga; sedangkan pelayanan
kesehatan lingkungan ditujukan untuk meningkatkan kesehatan promotive dan mencegah penyakit preventif dengan sasaran utama kelompok masyarakat.
44
Berdasarkan sifat pelayanannya, jenis pelayanan kesehatan dapat dibedakan menjadi pelayanan dasar, pelayanan ekstramural ambulatory dan pelayanan
intramural. Pelayanan dasar mencakup pelayanan kesehatan preventif dan kuratif, yang diselenggarakan khusus untuk diri sendiri dan untuk lingkungan sekitarnya,
42
Benyamin Lumenta, Pelayanan Medis, Citra, Konflik, dan Harapan, Kanisius, Yogyakarta,1989, h. 15
43
Hodgelts dan Casio 1983 dalam Azrul Aswar, Pengantar Pelayanan Kesehatan Dokter Keluarga, IDI, Jakarta 1995, h. 1
44
Leavel dan Clark 1953 dalam Azrul Aswar, Ibid. h. 2
Universitas Sumatera Utara
demi peningkatan kesehatan dan penghapusan ancaman gangguan kesehatan. Pelayanan ekstramural ambulatory mencakup pelayanan kesehatan spesialistis
dan non spesialistis, yakni pasien memperoleh pelayanan kesehatan di sebuah lembaga atau di rumahnya tanpa opname. Pelayanan intramural, merupakan
penyelenggaraan pelayanan medik umum dan spesialistis di dalam lembaga yakni pasien mendapat rawat inap dan pelayanan ini diberikan oleh berbagai rumah sakit
umum. Secara umum, ciri-ciri pelayanan kesehatan dikemukakan oleh Marius
Widjajarta, meliputi : ketidaktahuan konsumen consumer ignorance, pengaruh penyedia jasa kesehatan yang besar terhadap konsumen sehingga konsumen tidak
memiliki daya tawar dan daya pilih supply induced demand, produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, pembahasan terhadap kompetisi,
ketidakpastiaan tentang sakit dan sehat sebagai hak asasi. Menurut Benyamin Lumenta, pelayanan kesehatan yang baik dapat
terselenggara, jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut : 1.
Terbatas pada pelaksanaan pengobatan yang didasarkan atas ilmu kedokteran;
2. Menekankan pencegahan;
3. Menghendaki kerjasama yang wajar antara kaum awam pasien dengan
para pelaksana ilmu pengetahuan kedoktersn dokter; 4.
Mengobati seseorang seutuhnya; 5.
Memelihara hubungan pribadi antara dokter dengan pasien secara erat dan berkesinambungan;
6. Dikoordinasi dengan pembinaan kesejahteraan sosial;
7. Mengkoordinasi semua jenis spesialisasi pelayanan medis;
Universitas Sumatera Utara
8. Memanfaatkan semua pelayanan yang diperlukan dan yang dapat
diberikan ilmu pengetahuan kedokteran modern kepada masyarakat yang membutuhkan
45
. Pelayanan kesehatan yang bermutu menurut Tabish :
Pelayanan Kesehatan berarti memberikan suatu produk pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan individu dan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
bermutu tinggi dimulai dengan standar etika manajerial yang tinggi pula, meliputi: sistem untuk melakukan standar profesional; baik dari sudut
tingkah laku, organisasi serta penilaian kegiatan sehari-hari, sistem pengamatan agar pelayanan selalu diberikan sesuai standar dan deteksi bila
terdapat penyimpangan; serta sistem untuk senantiasa menunjang berlakunya standar profesional.
46
Mutu pelayanan kesehatan berkaitan dengan mutu dan tingkat kepuasan pasien sebagai konsumen. Jaminan atas pelayanan kesehatan yang bermutu adalah suatu
proses pemenuhan standar mutu pengelolaan pelayaan kesehatan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga konsumen memperoleh kepuasan. Tujuannya adalah untuk
memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan secara berkelanjutan yang dijalankan oleh suatu saran pelayanan kesehatan secaran internal untuk mewujudkan
visi dan misi serta memenuhi kebutuhan konsumennya.
B. Pengertian Perjanjian Pada Umumnya
1. Perjanjian Sebagai Dasar Perikatan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata mengenai hukum
45
Benyamin Lumenta, Op.Cit h. 113
46
Tabish 1998 dalam Tjandra yoga Aditama, Manajemen Administrasi Rumah Sakit, UI Press; Jakarta 2000. h. 20
Universitas Sumatera Utara
perjanjian diatur dalam Buku III tentang Perikatan, dimana didalamnya memuat tentang hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban yang berlaku
terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu. Keberadaan suatu perjanjian atau yang saat ini lazim dikenal sebagai kontrak, tidak terlepas dari terpenuhinya
syarat-syarat mengenai sahnya suatu perjanjiankontrak seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUH Perdata, antara lain sebagai berikut:
1 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3 Suatu hal tertentu;
4 Suatu sebab yang halal.
Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang
membuatnya. a.
Pengertian Perjanjian
Perjanjian adalah salah satu sumber hubungan hukum perikatan yang diadakan oleh 2 dua orang atau lebih. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata
disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari 1 Perjanjian dan 2 Undang-undang. Dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan antara dua orang
tersebut atau lebih yang dinamakan perikatan. Perikatan yang muncul karena perjanjian adalah mengikat para pihak yang membuatnya, seperti halnya perjanjian
Universitas Sumatera Utara
sewa menyewa hanya mengikat pada yang menyewa dan yang menyewakan. Sedangkan perikatan yang muncul karena undang-undang contohnya adalah
Zakwarmingmengurus urusan orang lain, maka barang siapa memutuskan mengurus orang lain. maka secara otomatis ia memiliki kewajiban tertentu.
Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya.
Perjanjian yang tedapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata secara umum menyebutkan bahwa suatu hubungan antara 2 dua orang yang membuatnya.
Dilihat dari bentuknya perjanjian itu dapat berupa suatu perikatan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.
47
Abdulkadir Muhammad, mengemukakan bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perjanjian itu menerbitkan perikatan perikatan antara 2 dua orang yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa sesuatu hal dari pihak lain
dan pihak yang lainnya berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
48
Sedangkan menurut Subekti hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa
perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber lain.
49
perjanjian memunculkan akibat hukum, yamg
47
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 4
48
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan Indonesia, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000 h. 228
49
Subekti, Hukum Perjanjian, PT Pembimbing Masa, 1963 h. 4
Universitas Sumatera Utara
disebabkan karena timbulnya hak dan kewajiban, dimana hak merupakan suatu kenikmatan, sedangkan kewajiban merupakan beban.
b. Unsur-unsur perjanjian
Oleh Salim HS Unsur-unsur yang tercantum dalam hukum perjanjian dapat dikategorikan sebagai berikut:
50
1 Adanya kaidah hukum
Kaidah dalam hukum perjanjian dapat terbagi menjadi dua macam, yakni tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah kaidah-
kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian tidak tertulis adalah
kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat, seperti: jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain sebagainya. Konsep-konsep
hukum ini berasal dari hukum adat.
2 Subyek hukum
Istilah lain dari subjek hukum adalah rechtperson. Rechtperson diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Dalam hal ini yang menjadi subjek
hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. Kreditur adalah orang yang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang berutang.
3
Adanya Prestasi prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Suatu
prestasi umumnya terdiri dari beberapa hal sebagai berikut: memberikan sesuatu; berbuat sesuatu; dan tidak berbuat sesuatu.
4
Kata sepakat Di dalam Pasal 1320 KUHPer ditentukan empat syarat sahnya perjanjian
seperti dimaksud diatas, dimana salah satunya adalah kata sepakat konsensus. Kesepakatan ialah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak.
5
Akibat hukum Setiap Perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat
50
Salim H.S, “Hukum Kontrak: Teori Teknik Penyusunan Kontrak,”, Sinar Grafika , Jakarta:, 2004 h. 3
Universitas Sumatera Utara
hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban.
Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian baik yang diatur maupun yang belum diatur di dalam suatu undang-undang, Hal ini sesuai dengan kriteria
terbentuknya perjanjian dimana berdasarkan Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. c.
Karakteristik Perjanjian
Hukum perjanjian memusatkan perhatian pada kewajiban untuk melaksanakan kewajiban sendiri self imposed obligation. Disebut sebagai bagian
dari hukum perdata disebabkan karena pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang ditentukan dalam kontrak, murni menjadi urusan pihak-pihak yang
berkontrak.
51
Perjanjian dalam bentuk yang paling klasik, dipandang sebagai ekspresi kebebasan manusia untuk memilih dan mengadakan perjanjian. Kontrak
merupakan wujud dari kebebasan freedom of contract dan kehendak bebas untuk memilih freedom of choice.
52
Sejak abad ke-19 prinsip-prinsip itu mengalami perkembangan dan berbagai pergeseran penting. Pergeseran demikian disebabkan oleh: pertama, tumbuhnya
bentuk-bentuk kontrak standar; kedua, berkurangnya makna kebebasan memilih dan kehendak para pihak, sebagai akibat meluasnya campur tangan pemerintah
51
Atiyah, The Law of Contract, London: Clarendon Press, 1983 h. 1
52
Ibid, h. 5
Universitas Sumatera Utara
dalam kehidupan rakyat; ketiga, masuknya konsumen sebagai pihak dalam berkontrak. Ketiga faktor ini berhubungan satu sama lain.
53
Akan tetapi, prinsip kebebasan berkontrak dan kebebasan untuk memilih tetap dipandang sebagai
prinsip dasar pembentukan kontrak. d.
Azas-Azas Perjanjian
Keberadaan suatu perjanjian tidak terlepas dari asas-asas yang mengikatnya. Fungsi asas hukum adalah sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan
kepastian hukum didalam keseluruhan tertib hukum. Asas-asas dalam berkontrak mutlak harus dipenuhi apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam
melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Didalam hukum perjanjian terdapat 5 lima asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata, yaitu:
54
1. Asas Kebebasan Berkontrak freedom of contract
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan isis perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2. Asas Konsensualisme concensualism
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat 1 KUH Perdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
53
Ibid, h. 13
54
Hardijan Rusli , Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Pustaka Sinar Harapan : Jakarta, 1996, h. 16
Universitas Sumatera Utara
adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara
formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh
kedua belah pihak.
3. Asas Kepastian Hukum pacta sunt servanda
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata.
4. Asas Itikad Baik good faith
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan
asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun
kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang
memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang
obyektif untuk menilai keadaan penilaian tidak memihak menurut norma-norma yang objektif.
5. Asas Kepribadian personality
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan danatau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 KUH Perdata menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak
dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang
tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdat berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung
maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka
Universitas Sumatera Utara
yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan:
“Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.”
Asas hukum berfungsi sebagai pendukung bangunan hukum, menciptakan kepastian hukm didalam keseluruhan tertib hukum.
e. Resiko dalam perjanjian
Suatu peijanjian dibuat untuk dilaksanakan oleh para pihak, yang dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah, realisasi atau pemenuhan hak dan kewajiban
yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi, tujuan suatu perjanjian tidak dapat dicapai tanpa adanya
pelaksanaan perjanjian oleh para pihak, Pelaksanaan isi perjanjian bisa dilakukan sendiri oleh debitur, dilakukan
dengan bantuan orang lain atau dilakukan oleh pihak ketiga untuk kepentingan dan atas nama debitur. Hal-hal yang wajib dilaksanakan oleh debitur dapat dilihat
dari beberapa sumber, yaitu : undang-undang sendiri, akta atau surat perjanjian yang dibuat oleh para pihak dan melihat tujuan streking serta sifat perjanjian
yang dibuat. Dalam pelaksanaan perjanjian, masing-masing pihak diharapkan
berusaha secara sempurna .dan sukarela melaksanakan isi perj anj ian. Peiaksanaan perjanjian yang baik dan sempurna menurut M. Yahya Harahap didasarkan pada
Universitas Sumatera Utara
kepatutan atau behorlijk, artinya debitur telah melaksanakan kewajibannya menurut yang sepatutnya, serasi dan layak menurut semestinya sesuai dengan
ketentuan yang telah mereka setujui bersama.
55
Inti pelaksanaan perjanjian adalah melaksanakan prestasi. Prestasi dalam perjanjian meliputi memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau tidak
berbuat sesuatu Pasal 1234 KUH Perdata. Namun demikian adakalanya salah satu pihak ingkar janji atau wanprestasi. Dalam Hukum Perdata, seseorang
dianggap melakukan wanprestasi apabila : tidak melakukan prestasi sama sekali, melakukan prestasi yang keliru atau terlambat melakukan prestasi. Setiap
wanprestasi yang menimbulkan kerugian, mewajibkan debitur untuk membayar ganti rugi Pasal 1239 KUH Perdata. Dalam hal terjadi wanprestasi, pihak
yang dirugikan dapat melakukan gugatan dengan kemungkinan tuntutan dengan cara : peiaksanaan perjanjian meskipun terlambat, penggantian kerugian,
peiaksanaan perjanjian dan penggantian kerugian, dan pembatalan perjanjian. Selain karena wanprestasi, pelaksanaan perjanjian juga tidak dapat terwujud
karena terjadinya risiko. Menurut Subekti, risiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian,
56
sedangkan menunit Sri
55
M. Yahya Harahap. Scgi-Segi Hukutn Perjanjian,: Alumni, Bandung, 1986, hal. 56-57
56
Subekti.. Op. Cit. h. 147-148
Universitas Sumatera Utara
Redjeki hartono risiko juga merupakan suatu ketidakpastian di masa yang akan datang tentang kerugian.
57
Mengenai risiko dalam perjanjian, berlaku ketentuan sebagai berikut : risiko dalam perjanjian sepihak ditanggung oleh kreditur atau dengan kata lain debitur
tidak wajib memenuhi prestasinya Pasal 1245 KUH Perdata, sedangkan risiko dalam perjanjian timbal balik mengakibatkan hapusnya perjanjian.
2. Perjanjian Terapeutik Transaksi Medis
Perjanjian merupakan hubungan timbal balik yang dihasilkan melalui komunikasi, sedangkan terapeutik diartikan sebagai sesuatu yang mengandung
unsur atau nilai pengobatan.
58
Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam pelayanan medis
secara profesional didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang kesehatan.
Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang pengobatan, Ini tidak sama dengan therapy atau terapi yang berarti pengobatan.
59
Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif,
57
Sri Redjeki hartono. Hukum Asuransi dan Perusaliaan Asuransi, P.T.Sinar Grafika Jakarta ,
2000 hal. 62
58
Subekti, Op. Cit h. 1
59
Hermien Hadiati Koeswadji. Makalah Simposium Hukum Kedokteran Medical Law,
Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, h. 142
Universitas Sumatera Utara
rehabilitatif maupun promotif, maka persetujuan ini disebut pejanjian terapeutik atau transaksi terapeutik. Perjanjian Terapeutik juga disebut dengan kontrak
terapeutik yang merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan.
60
Dalam hal ini Salim mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan Kontrak atau Perjanjian terapeutik dengan “kontrak dimana pihak
dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien inspaningsverbintenis jarang merupakan kontrak yang sudah pasti resultastsverbintenis.
61
Perjanjian Terapeutik tersebut disamakan inspaningsverbintenis karena dalam kontrak ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya
yang dilakukan belum tentu berhasil. Harmien Hadiati Koswadji mengemukakan bahwa :
Hubungan dokter dan pasien dalam transaksi teurapeutik perjanjian medis bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia,
yaitu : 1
Hak untuk menentukan nasib sendiri the right to self-determinations 2
Hak atas dasar informasi the right to informations.
62
Hal ini juga sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Veronica Keomalawati bahwa perjanjian terapeutik itu pada asasnya bertumpu dua
macam hak asasi manusia, yaitu 1 Hak untuk menentukan nasib sendiri dan
60
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta. 2006, Hal 45
61
Ibid. h.45
62
Harmien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional, Makalah Simposium, Medical Law, Jakarta, 1993, h. 143
Universitas Sumatera Utara
2 Hak atas informasi.
63
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak manusia yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa atas diri seseorang.
Hak atas dasar informasi merupakan hak untuk memperoleh keterangan- keterangan yang berhubungan dengan kesehatan. Para pihak yang terlibat dalam
kontrak teurapeutik atau perjanjian medis ini adalah dokter dan pasien. Hubungan hukum dalam kontrak terapeutik oleh undang-undang kita
diintepretasikan berbeda, walaupun secara prinsip hubungan hukum perjanjian terapeutik adalah sama yaitu hubungan antara pasien dengan petugas tenaga
medis. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak terapeutik adalah pasien dengan tenaga
kesehatan, sedangkan dalam Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak dalam kontrak teurapeutik adalah
pasien dan dokterdokter gigi. Pengertian perjanjian terapeutik di atas oleh undang-undang dimaknai
berbeda, karenanya Salim HS, menyempurnakan pengertian Perjanjian Terapeutik, yaitu sebagai:
Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan danatau dokter atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan danatau dokter atau dokter gigi
berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan
pasien berkewajiban membayar biaya penyembuhannya.
64
63
Veronika Komalawati., Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bakti, Bandung 2002, h.74
64
Salim HS, Op.Cit, h. 46
Universitas Sumatera Utara
Dalam pengertiannya tersebut perjanjian terapeutik dapat ditarik beberapa unsur, yaitu:
1 Adanya subjek perjanjian, meliputi pasien dengan tenaga kesehatan
dokterdokter gigi 2
Adanya objek perjanjian, yaitu upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien
3 Kewajiban pasien, membayar biaya penyembuhan.
65
Dalam pelaksanaanya perjanjian teurapeutik ini harus didahului oleh adanya persetujuan tindakan tenaga kesehatandokterdokter gigi terhadap
pasien yang lazim disebut Informed consent. Istilah transaksi atau perjanjian Terapeutik memang tidak dikenal dalam KUH Perdata, akan tetapi dalam unsur
yang terkandung dalam perjanjian teurapeutik juga dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1319 KUH Perdata, bahwa
untuk semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai
perikatan pada umumnya Bab 1 buku III KUH Perdata. Selain itu juga dalam ketentuan umum mengenai perikatan yang bersumber
pada perjanjian Bab II Buku III KUH Perdata khususnya asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 jo. Pasal 1320 KUH Perdata, dengan
demikian untuk sahnya transaksi atau perjanjian terapeutik harus pula dipenuhi syarat-syarat yang termuat dalam pasal 1320 KUH Perdata dan akibat yang
65
Ibid, h.. 59
Universitas Sumatera Utara
ditimbulkannya yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengandung azas pokok perjanjian.
3. Konsep Hukum Dalam Perjanjian Terapeutik Transaksi Medis
Perikatan dapat timbul baik karena perjanjian maupun karena undang- undang. Demikian pula halnya transaksi atau perjanjian terapeutik tidak terlepas
dari kedua sumber perikatan tersebut. Karena pada hakikatnya transaksi atau perjanjian terapeutik itu sendiri merupakan suatu perikatan, yaitu hubungan
hukum yang terjadi antara dokter dan pasien dalam pelayanan medis. Dan kedua sumber perikatan tersebut tidak perlu dipertentangkan, namun cukup dibedakan
karena sesungguhnya keduanya saling melengkapi dan diperlukan untuk menganalisis hubungan hukum yang timbul dari transaksi atau perjanjian
terapeutik. Ketentuan mengenai perjanjian diatur dalam Buku KUH Perdata Bab II
sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu persetujuan adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap 1 satu orang lain atau lebih”. Ikatan tersebut jelas ada dalam hubungan antara dokter dengan pasien yang disebut
dengan perjanjian terapeutik atau perjanjian penyembuhan.
66
Perjanjian terapeutik juga dikategorikan sebagai perjanjian untuk melakukan
66
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 38
Universitas Sumatera Utara
suatu pekerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 1601 Bab 7A Buku III KUH Perdata, maka dapat dikategorikan bahwa perjanjian terapeutik adalah termasuk
jenis perjanjian untuk melakukan jasa yang diatur dalam ketentuan khusus. Selain itu jika dilihat ciri yag dimilikinya yaitu pemberian pertolongan yang dapat
dikategorikan sebagai pengurusan urusan orang lain Zaakwaarneming yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata maka transaksi terapeutik merupakan
perjanjian sui generis faktual. Transaksi atau perjanjian merupakan hubungan hukum antara 2 dua subjek
hukum yang saling mengikatkan diri didasarkan atas sikap saling percaya. Di dalam perjanjian terapeutik sikap saling percaya akan tumbuh apabila antara
dokter dan pasien terjalin komunikasi yang saling terbuka, karena masing-masing akan saling memberikan informasi atau keterangan yang diperlukan bagi
terlaksananya kerjasama yang baik dan tercapainya tujuan transaksi atau perjanjian terapeutik yaitu kesembuhan pasien.
a. Unsur-unsur dalam Perjanjian Terapeutik
Perjanjian Terapeutik adalah perikatan yang dilakukan antara dokter dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban
bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri-ciri khusus yang berbeda dengan perjanjian
pada umumnya. Dalam suau perjanjian terapeutik sebagaimana dicantumkan dalam deklarasi Helsinki yang penyusunannya berpedoman pada The
Universitas Sumatera Utara
Nuremberg Code yang semula disebut persetujuan sukarela, dikemukakan mengenai 4 empat syarat sahnya persetujuan yang harus diberikan secara
sukarela , yaitu :
67
1 Persetujuan harus diberikan secara sukarela
2 Diberikan oleh yang berwenang dalam hukum
3 Diberitahukan; dan
4 Dipahami.
Dibutuhkan Persetujuan dalam praktek kedokteran terutama untuk melindungi kepentingan pasien. Pada saat pasien melakukan konsultasi, keempat
hal persetujuan tersebut diperlukan karena bentuk persetujuan pasien hanya dalam bentuk lisan sehingga kesepakatan yang terjadi merupakan kesepakatan dalam
bentuk abstrak, dan pada saat dokter melakukan terapi maka persetujuan pasien yang abstrak berubah menjadi suatu persetujuan yang konkrit. Sehingga apabila
setelah proses pengobatan terjadi hal-hal yang merugikan pasien, dimana dokter tidak melakukan keempat langkah diatas, maka pasien akan sulit untuk meminta
pertanggung jawaban dari dokter.
b. Syarat Sahnya Perjanjian Dalam Perjanjian Terapeutik
Suatu perikatan atau tunduk pada asas-asas umum perikatan sebagaimana
67
Veronika Komalawati, Op.Cit, h. 149
Universitas Sumatera Utara
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana disebutkan untuk syarat sahnya persetujuan ada 4 empat syarat, yaitu :
a. Sepakat mengikatkan diri
b. Cakap membuat perikatan
c. Ada hal tertentu
d. Karena sebab yang halal
Syarat pertama dan kedua adalah mengenai subjeknya atau pihak- pihak dalam pejanjian sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan syarat
ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena mengenai objek suatu perjanjian. Dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi maka salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak cakap atau
pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Sehingga perjanjian yang dibuat tersebut mengikat selama tidak dibatakan oleh keputusan
pengadilan atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi.
68
Dengan demikian perjanjian yang demikian selalu mengandung resiko pembatalan atau disebut juga “Vernietigbaar”.
Hubungan terapeutik adalah hubungan yang khusus, karena apabila ada konflik atau sengketa antara penyedia jasa kesehatan dan penerima jasa
pelayanan kesehatan, maka masing-masing pihak tunduk pada konsep hukum
68
Hasanudun Rahman, Op Cit, h. 5
Universitas Sumatera Utara
yang mengaturnya. Karakteristik perikatan dalam transaksi terapeutik adalah Inspanning,
69
yang berarti bahwa suatu perikatan terapeutik adalah tidak didasarkan pada hasil akhir akan tetapi didasarkan pada upaya yang sungguh-
sungguh untuk mencapai kesembuhan pasien. Hubungan Terapeutik adalah hubungan perdata antara dokter dengan
pasien, pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu dua orang atau lebih”, menjelaskan bahwa adanya hubungan ini. Sebagai akibat dari pihak yang saling setuju tersebut adalah
timbulnya perjanjian, karena terdapat 2 dua pihak yang saling setuju dan berjanji untuk melakukan sesuatu, mengakibatkan adanya perikatan antara
dokter dan pasien. Di dalam transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis,
adalah pasien. Yang terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang memerlukan persetujuan
dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya. Kecakapan harus datang dari kedua
belah pihak yang memberikan pelayanan maupun yang memerlukan
69
Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek dokter, Pustaka Sinar Harapan. Jakarta 1989, h. 84
Universitas Sumatera Utara
pelayanan.
70
Kalangan dokter harus mempunyai kecakapan yang memadai atau dituntut oleh pasien. Sedangkan dari pihak pasien tentu dituntut orang yang
cakap membuat perikatan, yaitu orang dewasa yang waras. Bila lain dari itu tentu harus ada yang mengantar sebagai pendamping pasien.
71
Mengenai kecakapan membuat perikatan Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan,
apabila oleh Undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Lebih lanjut mengenai kecakapan ini, Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa kriteria
orang-orang yang tidak cakap untuk membuat Perjanjian menurut undang- undang adalah :
1. Orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kecakapan bertindak merupakan
kewenangan yang umum untuk mengikatkan diri, sedangkan kewenangan bertindak merupakan kewenangan yang khusus. Dalam perjanjian terapeutik,
pihak penerima layanan medis terdiri dari orang dewasa yang cakap untuk bertindak yang memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang
70
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medik, Jakarta, 1997, h. 15
71
Ibid, h. 15
Universitas Sumatera Utara
berada diawah umur, tetapi telah dianggap dewasa atau matang, anak dibawah umur yang memerlukan persetujuan dari orang tua atau walinya.
72
Objek daripada perjanjian adalah prestasi. Dalam Konteks hukum perdata, prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang
menjadi hak kreditur. Sesuatu yang dapat dituntut adalah Prestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu :
1. Memberikan sesuatu
2. Berbuat sesuatu, dan
3. Tidak berbuat sesuatu.
Dalam kaitan hubungan dokter dengan pasien prestasi yang diutamakan adalah melakukan suatu perbuatan, baik dalam rangka pencegahan
preventif, penyembuhan curatif, pemulihan rehabilitatif, maupun peningkatan promotif.
73
Perjanjian terapeutik atau perjanjian penyembuhan adalah suatu perjanjian yang objeknya berupa pelayanan medis atau upaya
penyembuhan. Dalam hal ini Veronika Komalawati, mengemukakan bahwa :
Perjanjian terapeutik dilihat dari objeknya berupa upaya pemberian pertolongan, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut
tidak dapat dan tidak boleh dijamin kepastiannya oleh dokter. Lagipula, pelaksanaan upaya medik tersebut tidak semata-mata bergantung
kesungguhan dan kecermatan dokter dalam memberikan pelayanan, tetapi
72
Veronika Komalawati, Op.Cit, h. 160
73
Ibid, h.14
Universitas Sumatera Utara
peran serta pasien dalam kerjasama yang baik yang berorientasi pada kepentingan pasien itu sendiri.
74
Sebab yang halal sebagaimana dimaksud dalam perjanjian terapeutik adalah dimana upaya penyembuhan terapeutik, tujuan daripada upaya
penyembuhan adalah pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang berorientasi atas asas kekeluargaan, mencakup kegiatan peningkatan kualitas
kesehatan promotif, pencegahan penyakit preventif, penyembuhan penyakit kuratif, dan pemulihan kesehatan rehabilitatif. Dengan demikian perikatan
yang terjadi adalah dalam bidang pengobatan dan tidak melanggar hukum.
75
Dalam hal apabila terjadi perikatan yang menyangkut perjanjian teurapeutik namun didalamnya dilakukan secara melanggar hukum, maka tidak merupakan
suatu perbuatan yang halal atau dapat dikategorikan perjanjian tersebut cacat hukum karena tidak memenuhi unsur keempat dalam syarat sahnya perjanjian.
c. Akibat Hukum Perjanjian Terapeutik
Akibat hukum dari suatu perjanjian pada dasarnya lahir dari adanya hubungan hukum karena suatu perikatan, yaitu dalam bentuk hak dan
kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban inilah yang merupakan suatu bentuk akibat hukum dari suatu perjanjian. Hak dan kewajiban inilah yang kemudian
menimbulkan hubungan timbal balik antara para pihak, yaitu kewajiban pada
74
Veronika Komalawati, Op.Cit, h. 145-146
75
Amri Amir. Op.Cit. h. 15
Universitas Sumatera Utara
pihak pertama merupakan hak bagi pihak kedua, begitu pula sebaliknya kewajiban dari pihak kedua merupakan hak bagi pihak pertama.
76
Pada suatu perjanjian para pihak mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu maksud dan tujuan. Dalam hal ini maka sebaiknya
kehati-hatian para pihak diperlukan sebelum menyatakan kehendak untuk menyetujui suatu perjanjian. Jadi harus terlebih dahulu dilihat apa
yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang melaksanakan perjanjian tersebut sehingga dikemudian hari apabila terdapat hal-hal yang merugikan
salah satu pihak, segala sesuatunya sudah ditetapkan atau disepakati terlebih dahulu.
Ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut perjanjian diharuskan atau diwajibkan.
77
Rumah Sakit adalah sebuah institusi yang didalamnya bernaung tenaga kesehatan yang terdiri dari dokter, perawat, bidan, dan lain-lain yang bertujuan
menyelenggarakan pelayanan kesehatan secara profesional kepada masyarakat. Perjanjian terapeutik yang terjadi di Rumah Sakit berlangsung dalam bentuk
perjanjian tertulis berupa persetujuan tindakan medik Informed Consent,
76
Hasanudin Rahman, Legal Drafting, PT Citra aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 7
77
Ibid, h. 7
Universitas Sumatera Utara
sehingga formulir yang telah ditandatangani oleh orang yang berhak memberikan informed consent, dapat digunakan menjadi alat bukti yang
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Apabila jika suatu ketika terjadi perbuatan melanggar hukum, maka pengadilan umumnya akan menerima hal
tersebut sebagai alat bukti adanya kesepakatan.
C. Para Pihak dalam Perjanjian Terapeutik
Dalam pengertian perjanjian terapeutik di atas, disebutkan bahwa objek perjanjian terapeutik adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan.
Menurut Permenkes RI No. 585Men.KesPerIX1989 menyebutkan bahwa pelayanan medistindakan medis adalah tindakan yang dilakukan terhadap
pasien yang berupa tindakan diagnostik atau teurapeutik. Dari batasan itu dapat dipahami bahwa :
1. Tindakan medis yang berupa diagnostik dan terapeutik itu adalah
tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dalam hal ini meliputi dokter, bidan dan perawat.
2. Tindakan itu dilakukan terhadap pasien.
Untuk mengetahui lebih jelas mengetahui para pihak yang terlibat dalam suatu transaksiperjanjian terapeutik, dapat dilihat pada uraian berikut:
Universitas Sumatera Utara
a Dokter, merupakan salah satu tenaga medis yang dapat diambil sebagai pihak
yang melakukan atau melaksanakan pelayanan kesehatan. Pengertian dokter dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu “Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan pendidikan
kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan”. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 52 Tahun 1996
tentang tenaga kesehatan menyebutkan bahwa tenaga kesehatan bahwa dokter merupakan salah satu tenaga kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa dokter
sebagai pengemban profesi adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan
dibidang kesehatan yang memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
b Pasien, adalah merupakan orang sakit yang dirawat oleh dokter dan tenaga
kesehatan lainnya ditempat praktek atau rumah sakit.
78
Pasien adalah merupakan orang yang menjadi fokus ataupun sasaran dalam usaha-usaha
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
78
Soerjono Soekanto, Segi-segi Hukum Hak Dan Kewajiban Pasien dalam Kerangka Hukum Kesehatan, Mandar Maju, Jakarta,1990, h. 63
Universitas Sumatera Utara
Sebagai subjek hukum pasien mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipahami baik oleh pasien, dokter maupun rumah sakit sebagai salah satu
tempat diselenggarakannya profesi kedokteran demi tercapainya tujuan upaya kesehatan.
c Rumah sakit, dapat diartikan sebagai sarana pelayanan kesehatan. Selain itu,
rumah sakit juga dapat merupakan suatu tempat bagi tenaga medik berkumpul atau lokasi konsentrasi berbagai tenaga ahli atau padat karya dan juga
merupakan lembaga padat moral, padat teknologi dan padat waktu.
Rumah sakit merupakan pusat pelayanan medis atau juga pelayanan kesehatan, sebagaimana meunurut Somers yang dikutip dalam buku A. Azwar
dengan judul “Standar Pelayanan Medis”, bahwa untuk terselenggaranya pelayanan medis yang baik, banyak syarat yang harus dipenuhi, mencakup 8
delapan hal pokok, yaitu tersedia available, wajar appropriate, berkeseinambungan continue, dapat diterima acceptable, dapat dicapai
accesible, dapat dijangkau affordable, efisien efficient, dan bermutu quality.
79
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok
79
A. Azwar, Standar Pelayanan Medis Materi Penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Medis dan Pengawasan Etik , Ujung Pandang, 1994, h. 1
Universitas Sumatera Utara
atau masyarakat secara keseluruhan.
80
Selain pelayanan kesehatan istilah lain dari pelayanan kedokteran adalah pelayanan medis, merupakan pelayanan
yang mencakup semua upaya dan kegiatan berupa pencegahan preventif, pengobatan kuratif, peningkatan promotif, dan pemulihan rehabilitatif
kesehatan yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual anatara para ahli di bidang kedokteran dengan individu yang membutuhkannya.
81
Layanan Kesehatan terdiri dari beberapa jenis pelayanan, baik berupa pelayanan rawat inap hospitalization dan juga pelayanan rawat jalan
ambulatory services. Pelayanan rawat jalan mempunyai arti yang lebih penting daripada pelayanan rawat inap. Sesuai dengan perkembangan yang
terjadi, maka saaat ini terdapat berbagai bentuk perawatan rawat jalan. Menurut Feste Tengker, 1991 : 33-34, dalam buku Veronika Komalawati yang berjudul
“Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik” bahwa pelayanan rawat jalan dibedakan atas 2 dua macam, yaitu:
81
1 Pelayanan Rawat Jalan Klinik Rumah sakit. Bentuk pelayanan rawat
jalan ini diselenggarakan oleh klinik yang ada kaitannya dengan rumah sakit hospital based ambulatory cars, yang terdiri dari : Pelayanan
gawat darurat emergency services, Pelayanan rawat jalan peripurna comprehensive hospital outpatient services, pelayana rujukan
referral services, pelayanan bedah jalan ambulatory surgency services.
80
Veronica Komalawati, Op.Cit, h. 78
81
Ibid, h. 79-80
81
Ibid, h. 80-82
Universitas Sumatera Utara
2 Perawatan rawat jalan klinik mandiri. Bentuk perawatan jalan ini
diselenggarakan oleh klinik mandiri, yaitu yang tidak ada hubungan organisatoris dengan rumah sakit freestanding ambulatory centers
Rawat jalan bertujuan untuk melakukan observasi, diagnosis, pengobatan rehabilitasi dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa mengharuskan pasien tersebut
dirawat inap, keuntunganya pasien tidak perlu mengeluarkan biaya untuk menginap opname.
D. Persetujuan Tindakan Medis Informed Consent
Ketentuan mengenai informed consent yang digunakan sebagai pedoman dalam pelayanan medis, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan No.
585MEN.KESPERIX1989 Tentang Persetujuan Tindakan
Medik. Persetujuan Tindakan Medis Informed Consent berasal dari 2 dua hal
dasar dari hak pasien, yaitu hak menentukan nasib sendiri dan hak untuk informasi medis.
82
Hak untuk menentukan nasib sendiri, erat hubungannya dengan hak atas informasi yang merupakan hak yang mendasari adanya informed consent. Dengan
pemberian informasi dari dokter, maka pasien dapat mengadakan beberapa alternatif pemilihan penilaian tentang suatu tindakan medis. Dengan demikian,
seorang pasien berhak memberikan persetujuan atau menolak tindakan medis itu. Tenaga kesehatan dokter, perawat dan rumah sakit memerlukan izin atau
82
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medik. Jakarta. 1997, h. 29
Universitas Sumatera Utara
pesetujuan dari pasien atau keluarga pasien, yatu apabila terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan sebagaimana mestinya, maka dokter, rumah sakit, dan
unit pelaksana fungsional rumah sakit mempunyai alat untuk menangkis tuduhan yang mungkin diajukan oleh pasien maupun keluarga pasien.
83
Di tinjau dari aspek hukum perdata, maka masalah informed consent banyak terkait dengan ketentuan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III KUH
Perdata tentang perjanjian secara umum. Dalam Hukum Perdata, informed consent merupakan suatu toesteming Kesepakatan perizinan sepihak dari pihak pasien
kepada dokter yang akan melakukan tindakan medis terhadap dirinya, dimana persetujuan itu dilandasi oleh suatu informasi yang cukup dari dokter kepada
pasiennya. Karena hanya berfungsi sebagai toesteming itulah maka persetujuan itu dapat dicabut setiap saat jika pasien menghendakinya. Dengan demikian, informed
consent hanya sebagai syarat terjadinya suatu transaksi terapeutik dan bukan merupakan syarat sahnya. Sebab sahnya suatu perjanjian harus memenuhi syarat-
syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Selanjutnya apabila dilihat dari bentuk persetujuan tindakan medis yang
diberikan oleh pasien kepada tenaga kesehatandokterdokter gigi dapat diberikan dalam bentuk lisan dan juga dalam bentuk tertulis Pasal 45 UUNo. 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran. Mengenai hal ini Salim HS., menjelaskan bahwa :
83
Ibid, h. 30
Universitas Sumatera Utara
Persetujuan lisan adalah persetujuan yang diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau dalam bentuk anggukan kepala yang diartikan sebagai ucapan
setuju. Persetujuan tertulis adalah sautu bentuk persetujuan yang diberikan yang diberikan oleh pasien kepada tenaga kesehatandokterdokter gigi,
dimana isi persetujuan tersebut berbentuk formulir.
84
Informed consent yang telah dibakukan ini dinamakan perjanjian standar. Sedangkan bentuk persetujuan untuk “tindakan medis beresiko tinggi” harus
dibuat dalam bentuk tertulis. Tindakan medis beresiko tinggi adalah seperti tindakan bedah atau tindakan invasif lainnya.
85
Informasi merupakan suatu keterangan yang diberikan tenaga kesehatan kepada pasien dan keluarganya tentang risiko yang akan terjadi dalam suatu
tindakan medis. Persetujuan adalah suatu persesuaian pernyataan kehendak antara pasien dengan tenaga kesehatandokterdokter gigi. Sementara itu, tindakan medis
adalah suatu tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien berupa diagnosa penentuan jenis penyakit atau terapeutik pengobatan penyakit.
Pasal 1 huruf a Permenkes No. 585Men.KesPerIX1989 menyebutkan bahwa persetujuan tindakan medisinformed consent adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.
Dibuatnya persetujuan tindakan medik adalah bertujuan untuk memberikan perlindungan secara hukum bagi pasien dan tenaga kesehatan. Perlindungan yang
84
Ibid, h. 61-62.
85
Ibid, h. 64.
Universitas Sumatera Utara
diberikan kepada pasien adalah agar pasien mendapat pelayanan kesehatan secara optimal tenaga kesehatan yang menanganinya. Sedangkan bagi tenaga kesehatan
adalah untuk melindungi gugatan dari pasien atau keluarga pasien apabila terjadi kelalaian dalam melaksanakan kewajiban.
Walaupun Persetujuan Tindakan Medis yang diatur dalam Permenkes No. 585Men.KesPerIX1989 lebih ditekankan pada persetujuan untuk tindakan
medik yang invasif dan beresiko yang sering dihadapi oleh dokter bedah
86
, namun pengetahuan tentang Persetujuan Tindakan Medis perlu juga diketahui oleh
kalangan kesehatan yang lain. Dalam persetujuan tindakan medis juga terdapat tiga unsur yaitu 1 Adanya informasi dari tenaga kesehatan dokterdokter gigi,
2 Adanya persetujuan dan 3 Adanya tindakan medis.
87
a. Bentuk Persetujuan Tindakan Medis Informed Consent
Dilihat dari bentuknya menurut Salim HS, persetujuan tindakan medis dapat dibagi dalam 2 dua
88
, yaitu : 1
Implied consent dianggap diberikan, Umumnya diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat
menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang dilakukan diberikan pasien
89
.
86
Ibid, h. 31
87
Salim HS. Op.Cit. h. 59
88
Ibid, h. 31
89
Ibid, h. 32
Universitas Sumatera Utara
2 Express consent dinyatakan
Dapat dinyatakan secara lisan dan dapat pula dinyatakan secara tertulis. Pasal 45 ayat 4 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, disebutkan bahwa bentuk persetujuan yang diberikan pasien terhadap tenaga kesehatandokterdokter gigidapat diberikan secara tertulis
maupun lisan. Adapun yang perlu disoroti dalam penerapan doktrin hukum informed
consent di Indonesia adalah cara dilakukannya pernyataan kehendak yang isinya berupa persetujuan tindakan medis termaksud.dalam hal ini erat kaitannya dengan
sistem hukum yang berlaku, khususnya bidang hukum perikatan
90
. Veronika Komalawati mengemukakan dalam bukunya “Hukum dan Etika Dalam
Praktik Dokter” bahwa : Informed consent baik dalam pelayanan medis maupun dalam penelitian
kedokteran jika didasarkan pada prinsip hukum perikatan, maka pada hakikatnya merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi agar masing-
masing pihak dapat memenuhi kewajiban hukumnya sesuai dengan harkat dan martabatnya yaitu sebagai subjek hukum yang bertanggung jawab.
91
Persetujuan Tindakan medis dilakukan oleh pasien ataupun dapat dilakukan oleh keluarganya, apabila pasien dianggap tidak mampu memberikan persetujuan.
90
Veronika Komalawati, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Op.Cit, h. 109
91
Ibid., h. 109
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 8 sampai 11 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medik, ditentukan kelompok empat orang yang berwenang memberikan persetujuan
tindakan medik, yaitu 1 orang dewasa, 2 walikurator, 3 orang tuawalikeluarga terdekat, dan 4 keluarga terdekat.
Dalam pelaksanaan perjanjian medis antara tenaga kesehatan dokter, bidan, perawat dengan pasien dahulu merupakan hubungan yang tidak seimbang, karena
pasien sebagai pihak yang meminta pertolongan benar-benar pasrah kepada tenaga medis dokter, bidan, perawat yang memberi perawatan. Dengan berkembangnya
masyarakat dan ilmu pengetahuan kesehatan, hubungan yang bersifat tidak seimbang ini secara perlahan-lahan mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi
karena : 1.
Kepercayaan tidak lagi pada dokter secara pribadi, akan tetapi kepada kemampuan ilmu kedokteran;
2. Adanya kecenderungan untuk menyatakan bahwa kesehatan itu bukan
lagi merupakan keadaan tanpa penyakit, akan tetapi berarti kesejahteraan fisik, mental, dan sosial;
3. Semakin banyaknya peraturan yang memberikan perlindungan hukum
kepada pasien.
2192
Dengan demikian, pasien mempunyai kedudukan yang sama dengan medis, sehingga sebelum upaya penyembuhan dilakukan, tenaga medis harus
melaksanakan informed consent sebagai perwujudan dari hak atas persetujuan dan hak atas informasi pasiennya. Hal yang serupa juga terjadi pada saat pasien
92
Soerjono Soekanto, Kontrak Terapeutik Antara Pasien dengan Tenaga Medis, Media Hospital, Jakarta, 1987, h. 31
Universitas Sumatera Utara
berobat kepada rumah sakit, rumah sakit juga harus mendapat persetujuan tindakan medis dari pasien terkait dengan upaya penanganan medis yang
berhubungan dengan upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Pada saat pasien berobat kerumah sakit, timbul hubungan hukum yang
mendasari timbulnya perjanjian antara Rumah sakit sebagai sebuah institusi dan pasien sebagai stakeholders. Secara garis besar dapat dibedakan 2 dua macam
perjanjian yang terjadi antara pasien dengan pihak rumah sakit, yaitu : 1.
Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dan
dimana tenaga perawatan melakukan tindakan perawatan. 2.
Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya
secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis inspannisngs verbintenis.
2293
Dari hubungan hukum tersebut, diketahui bahwa rumah sakit turut bertanggung jawab terhadap semua tindakan medis maupun nonmedis di rumah
sakit. Apabila tanggung jawab rumah sakit tersebut dikaitkan dengan hal pelaksanaan persetujuan tindakan medis informed consent, maka tanggung jawab
rumah sakit meliputi 3 tiga hal, yaitu : 1.
Tanggung jawab yang berkaitan dengan personalia Personalia dari sebuah rumah sakit dapat dibedakan atas tenaga kesehatan
perawat termasuk tenaga paramedis lainnya serta karyawan non perawat. Rumah sakit secara umum bertanggung jawab atas tindakan-
tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugas masing-masing.
93
Fred Amein, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Jaya, Jakarta, 1991, h. 75
Universitas Sumatera Utara
Khususnya mengenai tindakan dokter dan bidan, maka dokter dan bidan dalam hubungannya dengan rumah sakit dapat dibedakan atas :
a. Dokter-in atau purna waktu full time
Dokter ini mendapat gaji dari rumah sakit yang bersangkutan dan ia merupakan karyawan dari rumah sakit itu, sehingga pasien hanya
mempunyai perikatan perawatan dengan rumah sakit. Hal ini menyebabkan rumah sakit turut bertanggung jawab atas tindakan
dokternya.
b. Dokter-out atau dokter tamu
Dalam hal ini pasien selaim mempunyai perikatan medis dengan dokter atau bidan yang mengobatinya, juga mempunyai perikatan
perawatan dengan pihak rumah sakit. Dokter out ini tidak diberi gaji oleh rumah sakit tempat ia membuka praktek, sehingga tindakan
dokter tersebut di luar tanggung jawab rumah sakit.
Dalam kaitannya pelaksanaan informed consent, apabila dokter out atau dokter tamu itu tidak melaksanakan prosedur informed consent bagi suatu
tindakan medis yang diambil, maka hanya dokter itu yang bertanggung jawab Pasal 12 ayat 1 Permekes RI No. 585 Tahun 1989, dan hal ini
berarti ayat 2 yang menyatakan bahwa pemberian persetujuan tindakan medis yang dilaksanakan di rumah sakitklinik tersebut ikut bertanggung
jawab, tidak berlaku bagi dokter out itu.
2. Tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan informed consent, maka rumah sakit bertanggung jawab untuk menyediakan formulir-formulir yang
dibutuhkan. Namun dalam masalah formulir tidak dalam hal penyediaan saja, tetapi juga mengenai penyimpanan formulir itu harus dilakukan
dengan baik dan rapi, sehingga apabila formulir itu dibutuhkan akan mudah untuk diperoleh.
3. Tanggung jawab yang berkaitan dengan duty of care
Duty of care diartikan dengan kewajiban memberi perawatan. Hal ini sebenarnya terletak dalam bidang medis dan perawatan, sehingga
penilaiannya juga harus ditafsirkan oleh kedua bidang tersebut. Namun, rumah sakit tetap bertanggung jawab apabila ada pemberian pelayanan
yang tidak lazim atau di bawah standar.
94
94
Husein Kerbala, Op. Cit, h. 97- 98.
Universitas Sumatera Utara
Dari perjanjian di atas dapatlah dipahami bahwa pihak dalam perjanjian terapeutik adalah tenaga medis dokter, bidan dan perawat dan pasien.
Apabila perjanjian itu dihubungkan dengan pelaksanaan informed consent, maka rumah sakit turut bertanggung jawab terhadap tindakan medis yang
dilakukan oleh tenaga medis dokter, bidan dan perawat yang bekerja tetap di rumah sakit tersebut.
E. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien
Dahulu dokter dianggap tahu segalanya, dan dalam pandangan sehari-hari
seorang pasien senantiasa menjalankan suatu peran yang sangat lemah, pasif, dan sangat tergantung kepada pihak lain akibat sakit yang dideritanya. Selain itu pasien
juga dianggap tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang kesehatan dan penyakit yang dideritanya.
Keadaaan pasien yang demikian secara limitatif telah mengalami pengurangan, hal ini diakibatkan dengan perkembangan arus informasi dan
komunikasi yang semakin global menimbulkan bertambahnya kecerdasan masyarakat yang menjadi kritis, sehingga kenyataan tersebut memperkecil
kesenjangan ilmu pengetahuan anatara dokter dengan pasien. Dengan demikian, baik dokter maupun pasien mempunyai hak dan kewajiban yang dilindungi oleh
Undang-Undang sehingga kedudukan hukumnya seimbang dan sederajat.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan:
Pasal 4 : “Setiap orang berhak atas kesehatan”
Pasal 12 “Setiap orang berkewajiban menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan
bagi orang lain yang menjadi tanggung jawabnya”
Menurut Kin. Jr dalam buku karangan Veronica Komalawati dengan judul “Peranan Informed Consent Dalam Transakasi Terapeutik”:
95.
Terdapat 2 dua teori hukum yang menunjang hubungan hukum antara dokter dengan pasien, yaitu contract theory dan undertaking theory. Menurut
contract theory apabila seorang dokter menyatakan persetujuan untuk merawat seseorang dengan imbalan honor tertentu, maka dapat diciptakan
suatu pengaturan kontraktual yang disertai hak dan tanggung gugatnya. Jika para pihak secara nyata mencapai suatu persetujuan mengenai perawatan,
maka dapat timbul suatu kontrak nyata tegas. Sedangkan menurut Undertaking theory, jika seorang dokter merelakan diri untuk memeberikan
perawatan kepada seseorang, maka tercipta suatu hubungan profesional yang disertai kewajiban perawatan kepada pasien.
96
Selain itu, Pohan juga mengatakan bahwa : Hubungan dokter dengan pasien dalam pemberian pertolongan didasarkan
atas persetujuan antara dokter dengan pasien atau pihak ketiga, sehinga dokter berkewajiban memberikan perwatan dan pengobatan. Hal ini disebut
sebagai perjanjian medis, dan dianggap sebagai perjanjian untuk melakukan beberapa pekerjaan sebagaiman dimaksud dalam pasal 1601 KUH Perdata,
atau sebagai suatu perjanjian Sui generis
97
.
95
Veronica Komalawati, Op. Cit , h. 85
96
Veronica Komalawati, Op. Cit h. 85
97
Pohan,M, Tanggung Gugat Advocat, Dokter, Dan Notaris, Bina Ilmu, Surabaya 1985, h. 86
Universitas Sumatera Utara
Kemudian J. Gunadi juga mengemukakan bahwa timbulnya hubungan hukum antara dokter dan pasien dimulai saat pasien datang ke tempat praktek
dokter dan dimulainya anamnesa dan pemeriksaan oleh dokter
98
. Hubungan yang sederajat merupakan titik pangkal dari hubungan perjanjian
yang meghendaki adanya kesepakatan antara para pihak yang saling memberikan prestasi atau jasa. Masing-masing pihak dianggap mempunyai pengetahuan yang
sama tentang penyakit dan cara-cara penyembuhannya, sehingga apabila salah satu pihak merasa tidak sesuai dengan apa yang diketahuinya atau tidak puas terhadap
pelaksanaan perjanjian tersebut, masing-masig pihak mempunyai hak untuk membatalkan perjanjian tersebut.
Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan
mengobati sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber
dari kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan. Kepatuhan pasien terhadap proses pengobatan dan nasihat yang
diberikan oleh dokter akan tercapai bila dokter dapat mengadakan komunikasi timbal balik yang baik terhadap pasiennya. Dokter yang bersedia mendengarkan
pendapat dan keluhan pasien, akan menyebabkan pasien lebih bersedia mematuhi proses upaya penyembuhan sehingga tujuan perjanjian yaitu kesembuhan dapat
tercapai.
98
J Gunadi, Dokter, Pasien Dan Hukum, FKUI Jakarta,1996, h. 11
Universitas Sumatera Utara
BAB III
TANGGUNG JAWAB
DOKTER DOKTER
DALAM PERJANJIAN
TERAPEUTIK TRANSAKSI
MEDIS
A. Dokter sebagai Salah satu Tenaga Kesehatan
Konsep profesi mencakup isi, klien, organisasi dan pengawasan. Suatu profesi berlandaskan atau disusun berdasarkan suatu kumpulan pengetahuan yang
terspesialisasi yang tidak mudah diperoleh dan dalam tangan praktisi yang ahli, memenuhi kebutuhan atau melayani para klien. Menurut everett Hughes, suatu
profesi memiliki suatu lisensi dan suatu mandat untuk melaksanakan pekerjaan, sebagian lagi disahkan oleh hukum, dan sebagian lagi disahkan oleh kesepakatan
informal dari masyarakat atau persetujuan, bahwa tuntutan terhadap status profesional itu memang benar-benar sah.
2399
Sedangkan menurut Friedson, suatu profesi juga dapat dilihat sebagai status istimewa dalam pembagian kerja yang
didukung oleh kepercayaan pihak resmi dan kadang-kadang juga oleh pihak kepercayaan masyarakat, bahwa status itu memang pantas.
100
Pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter, merupakan suatu profesi. Menurut Soerjono Soekanto ciri-ciri pokok suatu profesi antara lain :
a Warga masyarakat yang memerlukan bantuan atas jasa profesional dan
memintanya, biasanya berada dalam posisi tergantung. Yang
99
Everett Hughes dan Friedson 1972 :187 dalam George M. Foster dan Barbara GaUatin Anderson, Antropologi Kesehatan, Penerjemah : Priyanfi Pakan
Suryadarma dan Meutia F.Hatta Swasono, Cetakan I, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, h. 210
100
Ibid
67
Universitas Sumatera Utara
bersangkutan meminta bantuan berdasarkan tujun tertentu dalam fikirannya, misalnya agar penyakitnya sembuh.
b Hubungan antara warga masyarakat yang memerlukan bantuan
profesional dengan pihak yang memberikan jasa profesionaldengan pihak yang memberikan jasa profesional dengan pihak yang memberikam jasa
profesional didasarkan pada kepercayaan. Artinya pihak pertama bersedia memberikan segala informasi yang diperlukan oleh pihak kedua, hal
mana biasanya tidak dilakukan kepada pihak lain.
c Secara umum, apabila warga masyarakat meminta bantuan jasa
profesional atas dasar kepercayaan, tidak dapat menilai kegiatan atau keterampilan profesional yang diterimanya.
d Seseorang yang melaksanakan pekerjaan profesional yang didasarkan
pada kepercayaan hampir selalu berada pada posisi mandiri walaupun yang bersangkutan bekerja pada pihak lain. Walaupun ada taraf otonomi
profesional tertentu, akan tetapi atasan mempunyai wewenang untuk dalam hal-hal tertentu memberikan petunjuk-petunjuk yang bersufat
korektif.
e Sifat pekerjaan profesional mengakibatkan bahwa suatu hasil yang pasti
tidak selalu dapat dijamin, hanya ada kewajiaban untuk melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Akan tetapi pembuktian bahwa pekerjaan
telah dilakukan sebaik-baiknya tidak selalu dapat dibuktikan dengan mudah.
101
Profesi kedokteran diatur menurut Kode Etik Kedokteran dan lafal sumpah dokter. Kode etik adalah pedoman perilaku. Kode Etik Kedokteran Indonesia
dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no. 434 Men.KesSKX1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI disusun
dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang-undang Dasar 1945. Kode Etik
Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup
101
Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Kesehatan Suatu Kumpulan Catatan, Jakarta, 1989, h. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Pengertian dokter adalah orang yang karena pengetahuan dan keilmuannya, diberikan hak dan kewajiban untuk memeriksa penderita, mendiagnosa
penyakitnya, memberikan pengobatan dan menentukan prognosa secara rasional berdasarkan kaidah ilmu kedokteran.
Veronika Komalawati merumuskan bahwa dokter sebagai pengemban profesi, merupakan orang yang memiliki keahlian keilmuan dalam bidang
kedokteran yang secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan anggota masyarakat yang memerlukan pelayanannya.
24102
Dokter sendiri yang memutuskan apa yang harus dilakukan dalam melaksanakan tindakan profesionalnya, dan secara pribadi
bertanggung jawab atas mutu pelayanan yang diberikannya. Jadi hubungan yang terjadi antara pengemban profesi dengan anggota masyarakat adalah hubungan
yang sifatnya pesonal, yaitu hubungan antara subjek pendukung hak yang secara formal yuridis mempunyai kedudukan yang sama, atau dengan kata lain hubungan
dokter dengan pasien merupakan hubunngan personal yang bersifat horizontal sejajar.
Menurut Sarsintorini Putra ciri khusus profesi adalah disterested, rasionalitas, spesifitas fungsional, dan universalisme. Demikian pula profesi
kedokteran mengharuskan penguasaan pengetahuan umum dan sistematik yang
102
Veronica Komalawati, Op.Cit, h.14
Universitas Sumatera Utara
tinggi long life education, menjaga martabat profesi, lebih berorientasi kepada kepentingan umum, menjadi seoranng suci dan mengabdikan diri sepenuh
waktunya untuk profesinya.
25103
Kehormatan profesi kedokteran terletak pada kepercayaan pasien terhadap profesi ini dokter, maka kedudukan yang lemah pada pasien tidak boleh
disalahgunakan. Agar mendapatkan kepercayaan dari pasien, dokter harus berpegang pada standar etis yaitu KODEKI, dengan asas-asasnya primum non
nocere yang artinya sejak dari awal tidak ada niat untuk menyakiti, mencederai, merugikan atau mencelakakan pasien, baik secara langsung maupun secara tidak
langsung. Tindakan medis seorang dokter juga harus bersifat beneficence artinya
segala tindakan medis yang dilakukan itu adalah untuk kebaikan sosial, agama, jenis kelamin, politik, dan jujur, yakni dokter menghargai hak pasien, memahami
batas kompetensinya, memberikan kepada warga masyarakat, tergantung pada kualitas tenaga kesehatan. Etika yang mendukung dan mengembangkan kualitas
tenaga kesehatan, etika yang mendukung dan mengembangkan kualitas tenaga kesehatan serta warga masyarakat, fasilitas pendukung proses pelayanan
kesehatan, dan taraf pemahaman warga masyarakat dan para pemimpin, dan kesehatan masyarakat.
103
Sarsintorim Putra, Perlindungan Hukum bagi Konsuinen Jasa Pelayanan Kesehatan untuk Mewujudkan Derajat Kesehatan yang Optimal, Semarang: Orasi Iimiah
dalam Dies Nataliske-37 Universitas 17 Agustus 1945,30 Agustus 2000, h. 20-21
Universitas Sumatera Utara
Pelayanan kesehatan dalam pelaksanaan dokter haruslah didasarkan pada penghargaan atas martabat manusia dan upaya pelayanan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusiaan seutuhnya. Oleh karena itu, Ikatan Dokter Indonesia IDI sebagai satu-satunnya organisasi profesi para dokter di Indonesia, terbentuk agar
dapat memberikan pelayanan kedokteran yang bermutu dan profesional, yang menjunjung tinggi etika kedokteran serta peningkatan kemampuan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, melalui pemberdayaan dan kebebasan profesi kedokteran.
B. Kedudukan Dokter di Rumah Sakit
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut profesi dokter untuk terintegrasi di dalam rumah sakit untuk memberikan pelayanan medis.
Upaya pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter di rumah sakit pada prinsipnya karena adanya suatu hubungan kerja. Dengan adannya hubungan
perjanjian kerja, tenaga kesehatan menjadi staf dari rumah sakit. Namun, demikian, dengan semakin banyaknya spesialisasi dokter, maka tidak tertutup
kemungkinan bagi yang bukan staf medis dari rumah sakit yang bersangkutan dapat melakukan pelayanan medis pada rumah sakit tersebut.
J. Gunadi membedakan kedudukan dokter yang melakukan upaya pelayanan medis di rumah sakit menjadi dua, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
1 Dokter yang berstatus sebagai karyawan employee, Para dokter yang
melakukan upaya pelayanan medis di rumah sakit sebagai dokter karyawan employee , maka dokter tersebut harus menjalankan tugas di
rumah sakit. Mereka melakukan pelayanan medis atas nama rumah sakit dan mereka harus mentaati perintah dari rumah sakit.
2 Dokter tamu independent contractor, Seorang dokter tamu independent
contractor, dalam melakukan upaya pelayanan medisnya ia tidak terikat pada rumah sakit, Ia bekerja tidak di bawah pengawasan atau perintah
rumah sakit.
104
Pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter pada pasien didasarkan pada suatu hubungan kepercayaan. Pasien percaya kapada dokter, bahwa dokter
mempunyai pengetahuan dan pengalaman tentang pengobatan penyakit. Oleh karena itu, seorang dokter di dalam suatu upaya pelayanan medis mempunyai
hak dan kewajiban untuk berinisiatif menentukan sendiri tindakan medis. Hak dan kewajiban dokter untuk menentukan sendiri tindakan medis tersebut didasarkan
pada pertimbangan bahwa dokter mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang kedokteran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara dokter dan
rumah sakit adalah suatu hubungan kerja di dalam pelayanan medis.
C. Kode etik dan standar profesi medik
Suatu profesi selalu “menutup diri” terhadap pihak luar, karena memiliki
sifat memonopoli atas suatu keahlian tertentu, dan menjadi suatu lingkungan kaedah tersendiri yang sukar ditembus. Akibatnya memunculkan kecurigaan pihak
104
J. Guwandi, Dokter dan Rumah Sakit, Cetakan I, Balai Penerbit FK UI, 1991, h. 41.
Universitas Sumatera Utara
klien yang menggunakan jasa profesi. Oleh karena itu, dengan adanya kode etik diharapkan segi negatif profesi itu dapat di imbangi dan kepercayaan masyarakat
terhadap para pelaksana dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya akan dijamin. Bertens menegaskan kode etik
ibarat kompas yang menunjukan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat.
105
Fungsi kode etik profesi diuraikan oleh E. Sumaryono antara lain sebagai alat kontrol sosial. Kode etik memberikan suatu kriteria bagi para calon
anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan para anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan.
106
Kode etik profesi juga berfungsi untuk mencegah pengawasan ataupun campur tangan
yang dilakukan pemerintah atau masyarakat. Selain itu, kode etik profesi penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Karena pada dasarnya,
melalui kode etik pelaku profesi dianggap sebagai prilaku yang sudah benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula.
Di dalam pelayanan medis, seorang dokter dapat dilihat dalam kedudukannya selaku profesional di bidang medik yang senantiasa harus berperan
aktif, dan pasien dapat dilihat dalam kedudukannya sebagai penerima pelayanan
105
Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama, Cetakan V, Jakarta, 2000, h.279
106
E. Sumaryono, Etika Profesi Ditinjau dari Aspek-Aspek Moral, Jurnal Justitia Et Pax FH Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1994, h. 63.
Universitas Sumatera Utara
medik yang mempunyai penilaian terhadap penampilan dan mutu pelayanan medik yang diterimanya. Hal ini disebabkan, dokter bukan hanya melaksanakan
pekerjaan melayani atau memberi pertolongan semata-mata, tetapi juga melaksanakan pekerjaan profesi ahli yang terikat pada suatu kode etik.
Mengenai etik kedokteran, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu: etik jabatan kedokteran medical ethics dan etik asuhan kedokteran medical ethics,
menyangkut masalah yang berhubungan dengan sikap para dokter terhadap sejawat, para pembantunya serta terhada masyarakat dan pemerintah. Sedangkan
etik asuhan kedokteran etics of the medical care, merupakan etik kedokteran dalam kehidupan sehari-hari, peraturan tentang sikap dan tindakan seorang dokter
terhadap penderita yang menjadi tanggung jawabnya.
107
Berdasarkan sejarahnya Kode etik dalam bidang medik pertama kali dikeluarkan oleh bangsa yang hidup di lembah Mesopotamia Babylon pada kira-kira 2500
tahun sebelum masehi. Etik kedokteran dewasa ini merupakan suatu kode yang berlandaskan pada sumpah Hippocrates Yunani. Kode etik kedokteran
internasional yang sekarang dipakai sebagai bahan rujukan utama setiap negara dalam menyusun kode etik kedokteran nasional, dirumuskan pada tahun 1949
dalam muktamar ke-3 Ikatan Dokter Sedunia wold Medical Association di london Inggris.
107
Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran Indonesia, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro hardjo, Jakarta, 2000, h. 6.
Universitas Sumatera Utara
Kode etik kedokteran Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1969 dalam musyawarah kerja susila kedokteran di Jakarta. Setelah mengalami
beberapa kali penyempurnaan, pada tahun 1983 dinyatakan berlaku bagi semua dokter di indonesia melalui surat keputusan mentri kesehatan RI
No.434MENKESKESSKX1983 tanggal 28 Oktober 1983 tentang berlakunya kode etik kedokteran Indonesia bagi para Dokter di Indonesia.
Sebagai pedoman dalam berprilaku, Etik kedokteran Indonesia mengandung beberapa ketentuan yang semuanya tertuang dalam Mukadimah dan kedua puluh
pasalnya. Secara umum pasal-pasal tersebut dapat dibedakan atas lima bagian yaitu :
a. Kewajiban umum seorang dokter sembilan pasal;
b. Kewajiaban dokter terhadap penderita lima pasal;
c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawat dua pasal;
d. Kewajiban dokter terhadap diri sendiri dua pasal;
e. Penutup satu pasal.
Membahas tentang etika tentu tak lepas dengan bahasan tentang profesi, Profesi dapat diartikan sebagi suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan dan
pelatihan tertentu, dalam jenjang kehidupan bermasyarakat profesi mendapat kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, seperti dapat dicontohkan hakim,
pengacara, notaris, ataupun dokter. Berbeda dengan profesi pada umumnya,
Universitas Sumatera Utara
profesi kedokteran merupakan profesi yang dianggap paling mulia karena berhadapan langsung dengan masalah kesehatan dan kehidupan. Oleh karena itu,
profesi medis hakikatnya adalah merupakan panggilan jiwa, yaitu panggilan untuk mengabdikan diri pada kemanusiaan, berlandaskan atas akhlak dan moral yang
luhur. Karenanya dibutuhkan suatu standar atau batasan kemampuan minimal knowledge, skill, dan attitude yang harus dikuasai oleh seorang dokter.
Standar profesi medis Menurut Hubert Smith dalam buku Sofwan Dahlan ; kewajiban utama seorang dokter di dalam perjanjian terapeutik adalah melakukan
upaya medis yang berkualitas standar standar of care; yaitu suatu tingkatan kualitas yang menggambarkan telah diterapkannya ilmu, keterampilan,
pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan keahlian sama ketika menghadapi situasi dan kondisi
yang sama pula.
108
Leenan seperti dikutip oleh J. Guwandi mengatakan bahwa : Terdapat perbedaan antara standar profesi medis dan standar profesi. Standar
profesi medis adalah harus bertindak dengan teliti berdasarkan pendirian ilmu pengetahuan medik dan pengalaman seperti seorang dokter yang pandai
dari kelompok medik yang sama di dalam keadaan yang sama dengan peralatan yang sesuai untuk tujuan pengobatan. Sedangkan standar profesi
dirumuskan sebagai norma-norma yang timbul dari sifat tindakan medik
108
Hubert Smith dalam Sofwan Dahlan, Hospital By Law Sebagai Upaya Menanggulangi Konflik, Makalah Seminar Hukum Kesehatan Konflik Antara Pasien, Dokter,
Dan Rumah sakit, Semarang, 2001, h. 3
Universitas Sumatera Utara
standar profesi medik dan norma-norma yang timbul dari hak-hak pasien dan norma-norma masyarakat.
109
Standar profesi medik berarti cara bertindak secara medik dalam peristiwa yang nyata berdasarkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Tolak
ukurnya, sebagai seorang dokter yang wajar harusnya mengetahui persoalan yang bergantung pada tingkat kemajuan ilmu kedokteran. Seorang dokter
diharapkan mempunyai cukup pengetahuan yang sejajar dengan teman sejawatnya yang setaraf. Hal ini mengakibatkan bahwa ia harus selalu memelihara dan
mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran agar tidak sampai ketinggalan.
110
Pada pokoknya standar profesi medik menurut Danny Wiradharma merupakan suatu pedoman yang harus diikuti oleh setiap dokter yang berpraktek
dalam melakukan suatu tindakan medis, yaitu berdasarkan : a
Adanya indikasi medis atau petunjuk menurut ilmu kedokteran, ke arah suatu tujuan pengobatanperwatan yang konkrit, karena upaya yang
dilakukan harus proporsional dengan hasil yang ingin dicapai.
b Dilakukan sesuai standar medis menurut ilmu pengetahuan dan teknologi
kedokteran saat ini. c
Tindakan tersebut dilakukan secara teliti dan hati-hati, tanpa kelalaian, yang tolak ukurnya adalah dengan membandingkan apa yang dilakukan
dokter tersebut dengan dokter lain di bidang keahlian yang sama yang kemampuannya rata-rata, yang dihadapkan pada kasus seperti itu dengan
situasi dan kondisi yang sama.
102
109
Leenen dalam J. Guandi, Dokter, Pasien Dan Hukum, Op.Cit, h 39 dan 42
110
H.J. J. Leenan dan P.A.P. Lamintang, Pelayanan Kesehatan dan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1981, h. 34.
102
Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran, PT. Bina Rupa Aksara, Jakarta, 1996, h. 80.
Universitas Sumatera Utara
Ditentukannya standar pelayanan medik antara lain berujuan; untuk melindungi masyarakat pasien dari praktek yang tidak sesuai dengan standar
profesi medik, melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar, sebagai pedoman dalam pengawasan praktek dokter dan pembinaan serta
peningkatan mutu pelayanan kedokteran, dan sebagai pedoman untuk menjalankan pelayanan kesehatan yang efektif dan efesien.
D. Hak dan Kewajiban dokter
Pribadi yang luhur adalah pribadi yang selalu mengutamakan kewajiban diatas hak-hak ataupun kepentingan pribadi. Termasuk seorang dokter. Dalam
menjalankan tugasnya, bagi seorang dokter berlaku asas Aegroti Salus Lex Suprema yaitu berarti keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.
103
Namun demikian halnya sebagai manusia, seorang dokter memiliki tanggung jawab
terhadap pribadi dan keluarga, disamping tanggung jawab profesinya kepada masyarakat.
Surarjo Darsono menghimpun dan mengemukakan bahwa hak dan kewajiban dokter menurut hukum dan kepustakaan, meliputi :
104
103
. Jusuf Hanafiah Amri Amir, Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, Op.Cit h. 54
104
Surarjo Darsono. Hak dan Kcwajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit, Semarang: Makalah Seminar Hukum Kesehatan Konflik Antara Pasien, Dokter dan Rumah Sakit,
Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, PERHUKI Cabang Semarang, don PERSI Wilayah Jawa Tengah, , 3 November 2001, hal. 3-5
Universitas Sumatera Utara
Hak dokter : a
Mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
b Bekerja menurut standar profesi, berdasrkan hak otonomi dan keyakinan
menurut Etik Kedokteran. c
Menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan profesi, etik kedokteran dan hati nuraninya.
d Menghentikan jasa profesionalnya kepada pasien apabila hubungan
dengan pasien sudah berkembang begitu buruk sehingga kerjasama yang baik tidak mungkin diteruskan lagi, kecuali pasien dalam keadaan gawat
darurat dan setelah menyerahkan pasien kepada dokter lain.
e Hak atas privacy
f Menuntut apabila nama baiknya dicemarkan oleh pasien dengan ucapan
atau tindakan yang mrlecahkan atau memalukan. g
Mendapat informasi lengkap dari pasien atau keluarga yang dirawatnya. h
Mendapat informasi atau pemberitahuan pertam dalam menghadapi pasien yang tidak puas terhadap pelayanannya.
i Diperlakukan adil dan jujur, baik oleh rumah sakit maupun pasien.
j Mendapat imbalan jasa atas profesi yang diberikannya berdasar perjanjian
atau ketentuanperaturan yang berlaku dirumah sakit tertentu.] k
Menolak pasien yang tidak gawat darurat dan datang di luar jam bicara jam dinas rutin jam dinas jaga dan di luar daerah rayon atau dari
spesialis lain yang tersedia dengan mudah. Dokter tidak berkewajiban menerima pasien untuk pengobatan dan boleh menolak setiap orang untuk
menjadi pasiennya dengan alasan apapun maupun tanpa alasan sekalipun, kecuali pasien dalam keadaan gawat darurat.
l Memutuskan hubungan dengan pasiennya secara sepihak, setelah syarat-
syarat tertentu terpenuhi; yaitu dengan pemberitahuan lebih dahulu kepada pasiennya sehingga ia dapat memperoleh dokter pengganti dan
dokter pengganti mendapat informasi mengenai pemeriksaan dan mengenai pemeriksaan dan pengobatan yang telah diperoleh pasien.
m Meminta konsultasi kepada dokter lain yang lebih ahli, setelah mendapat
persetujuan dari pasien. Jika paien dalam keadaan gawat darurat, tidak sadar dan tidak ada keluarga terdekat yang dapat dihubungi, maka
persetujuan tersebut tidak diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
n Hak undur diri dalam kewajibannya memberikan keterangan yang
sekiranya merugikan pasiennya dan tidak merugikan orang lain atau kepentingan umum.
Kewajiban dokter : a
Mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit.
b Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan
menghormati hak-hak pasien. c
Merujuk pasien ke dokter lain atau ruamh sakit yang mempunyai keahlian dan kemampuan yang lebih baik, apabila dokter yang bersangkutan tidak
mampu melakukan sesuatu pemeriksaan atau pengobatan.
d Memberi kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat berhubungan
dengan keluarganya dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya. e
Merahasiakan segala sesuatu yang di ketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita tersebut meninggal dunia.
f Melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan kecuali
bila dokter tersebut yakin ada orang lain yang bersedia dan mampu memberikannya.
g Memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik
yang akan dilakukan, serta resiko yang dapat ditimbulkannya. h
Membuat rekam medis yang baik secara berkesimbungan berkaitan dengan keadaan pasien.
i Terus menerus menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti
perkembangan ilmu kedokterankedokteran gigi. j
Memenuhi hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian yang telah dibuatnya.
k Mengadakan perjanjian tertulis dengan pihak rumah sakit.
l Bekerjasama dengan profesidan pihak lain yang terkait secara timbal
balik dalam memberikan pelayanan kepada pasien.
Kewajiban dokter yang terdiri dari kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri
dibahas dalam Bab 3 KODEKI, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Kewajiban umum dokter pasal 1 sampai dengan pasal 9 KODEKI, meliputi:
1 Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
Sumpah Dokter. 2
Setiap dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.
3 Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi. 4
Setiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan mahkluk insani, baik jasmani maupun rohani hanya diberikan untuk
kepentingan penderita. 5
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum
diuji kebenarannya. 6
Seorang dokter dalam melakukan pekerjaannya harus mengutamakan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan
kesehatan yang menyeluruh serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat.
7 Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.
Universitas Sumatera Utara
b. Kewajiban dokter terhadap pasien pasal 10 sampai dengan pasal 14
KODEKI: 1
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahkluk insani.
2 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu
dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. 3
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam
beribadat dan atau dalam masalah lainnya. 4
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
5 Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
c. Kewajiban dokter terhadap teman sejawatnya pasal 15 sampai dengan pasal 16
KODEKI. Meliputi : 1
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
2 Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya,
tanpa persetujuannya. d.
Kewajiban dokter terhadap diri sendiri pasal 17 sampai dengan pasal 18 KODEKI, adalah :
Universitas Sumatera Utara
1 Setiap dokter harus memelihara kesehatannya supaya dapat bekerja dengan
baik. 2
Setiap dokter hendaklah senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-cita yang luhur.
e. Penutup pasal 19 KODEKI:
Setiap dokter harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menghayati dan mengamalkan KODEKI dalam pekerjaanya sehari-hari.
E. Tanggung Jawab Dokter
Kata tanggung jawab dokter berasal dari dua kata, yaitu tanggung jawab dan hukum. Kata tanggung jawa berasal dari terjemahan kata ”verantwoordelijkheid”,
sedangkan kata hukum merupakan terjemahan dari kata “recht” Belanda, “law” Inggris. Kata “verantwoordelijkheid”, diartikan sebagai kewajiban memikul
pertanggungjawaban dan memikul kerugian yang diderita bila dituntut baik dalam hukum maupun dalam bidang administrasi.
105
Ada dua jenis tanggung jawab dalam definisi ini, yakni tanggung jawab dan administrasi. Tanggung jawab hukum adalah jenis tanggung jawab yang
dibebankan kepada subjek hukum atau pelaku yang melakukan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana. Sehingga yang bersangkuan dapat dituntut
membayar ganti rugi dan atau menjalankan pidana. Sedangkan tanggung jawab
105
Algara, dkk, 1983, hal.60
Universitas Sumatera Utara
administrasi adalah suatu tanggung yang dibebankan kepada orang yang melakukan kesalahan administrasi.
Berkaitan dengan tanggung jawab hukum dokter, maka tanggungjawab ini dapat dibebankan antara tanggung jawab hukum yang tidak berkaitan dengan
pelaksanaan profesinya dan tanggung jawab yang berkaitan dengan pelaksanaan profesinya. Tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
profesinya masih dapat dibedakan antara tanggung jawab terhadap ketentuan- ketentuan profesional verantwoordelijkheid atau responsibility, yaitu Kode Etik
Kedokteran Indonesia KODEKI yang termuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 434MenkesSKX1983 dan tanggung jawab terhadap
ketentuan hukum aansprakelijkheid atau liability yang meliputi bidang Hukum Administrasi, Hukum Pidana dan Hukum Perdata.
1. Tanggung jawab dokter atas pelanggaran Etik
Tanggung jawab profesional dokter diatur dalam ketentuan- ketentuan professional dokter yaitu KODEKI dan Tuchresht atau hukum pengendalian,
artinya seorang dokter mempunyai tanggung jawab profesional terhadap sejawatnya dan profesinya. Dengan demikian apabila dokter melakukan
kesalahan atau kelalaian yang melanggar ketentuan etik, ia diadili secara intern berdasarkan hukum pengendalian itu. Dalam Lafal Sumpah Dokter Indonesia
LSDI dan Kode Etik Kedokteran Indonesia KODEKI, telah tercantum secara garis besar perilaku atau tindakan-tindakan yang layak dan tidak layak
Universitas Sumatera Utara
dilakukan seorang dokter dalam menjalankan profesinya, Namun tetap saja terdapat dokter yang melakukan pelanggaran etik dan pelanggaran hukum
etikolegal. Dalam hal ini, Majelis Kehormatan Etik Kedokteran MKEK, merupakan badan yang bertugas membina dan mengawasi pelaksanaan etik
anggota yang berada di bawah struktur organisasi Ikatan Dokter Indonesia IDI sebagai organisasi ikatan profesi medis terhadap anggotannya. Selain itu
berdasarkan Keputusan presiden No. 56 Tahun 1995 Tanggal 10 Agustus 1995 ditetapkan tentang Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan termasuk dokter dalam
menerapkan standar profesi. Landasan hukum untuk mengatakan bahwa seorang dokter melakukan
kesalahan profesi, adalah apabila ia melakukan suatu tindakan medik yang tidak sesuai dengan standard profesinya. Menurut Hermien Hadiati Koeswadji,
kesalahankelalaian dalam melaksanakan profesi tidak sama dengan kesalahankelalaian menurut hukum. Tolak ukur kesalahankelalaian dalam
hukum adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku umum dalam masyarakat, sedangkan tolak ukur kesalahan atau kelalaian melaksanakan profesi adalah
standart profesi.
106
Menurut Leenen, standar profesi medis meliputi:
107
a. Tindakan yang teliti dan hati-hati
106
Hermien Hadiati Koeswadji, Tinjauan dari Segi Hukum Terhadap KesalahanKelalaian dalam Melaksanakan Profesi dalam Puspa Ragam Informasi dan
Problematika Hukum, Penerbit Karya Abadi Tama, Surabaya 2000, h.15-16
107
Leenen dalam Danny Wiradharma. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran,. Op. Cit, h. 78-80.
Universitas Sumatera Utara
Setiap anggota masyarakat, termasuk dokter harus mentaati norma ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dianut di dalam
masyarakat.
b. Standar Medis
Standart medis merupakan cara bertindak secara medis dalam suatu peristiwa yang nyata, berdasarkan ilmu kedokteran dan
pengalamannya yang nyata, berdasarkan ilmu kedokteran dan pengalamannya sebagai dokter.
c. Kemampuan rata-rata dalam bidang keahlian yang sama
Pasal 2 KODEKI menurut standar yang tertinggi dengan menyatakan bahwa dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran
yang tertinggi. Hukum masyarakatkan ukuran minimal rata-rata bagi dokter, penilaian kemampuan didasarkan atas pendapat saksi-saksi ahli
dari kelompok keahlian yang sama.
d. Situasi dan kondisi yang sama
Keadaan yang sama diperlukan untuk membuat perbedaan dengan keadaan yang berlainan dengan perawatan medis yang telah dilakukan,
sebagai bahan perbandingan.
e. Asas proporsionalitas
Harus ada keimbangan antara sarana upaya yang dilakukan dengan tujuan konkrit yang ingin dicapai sehingga tidak timbul suatu
diagnostic overkill atau therapeutic overkill yang selanjutnya akan berkembang menjadi defensive medicine.
Pelanggaran terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang
merupakan pelanggaran etik dan sekaligus pelanggaran hukum. Pelanggaran etik tidak selalu berarti pelanggaran hukum, sebaliknya
pelanggaran hukum tidak selalu merupakan pelanggaran etik kedokteran. Berikut dapat digambarkan :
Universitas Sumatera Utara
a. Pelanggaran etik murni
1 Menarik imbalan yang tidak wajar atau menarik imbalan jasa dari
keluarga sejawat dokter dan dokter gigi. 2
Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawatnya. 3
Memuji diri sendiri di depan pasien. 4
Tidak pernah mengikuti pendidikan kedokteran yang berkesinambungan.
5 Dokter mengabaikan kesehatannya sendiri.
b. Pelanggaran etikolegal
1 Pelayanan dokter di bawah standar.
2 Menerbitkan surat keterangan palsu.
3 Melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan hukum.
4 Melakukan tindakan medis tanpa indikasi.
5 Pelecehan seksual.
6 Membocorkan rahasia pasien
108
2. Tanggung Jawab dokter menurut Hukum Perdata
Secara umum, pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata dapat disebabkan oleh; pelanggaran hak, unsur kesalahan dan kerugian yang diderita
oleh penggugat. Hukum mengakui hak-hak tertentu baik mengenai hak-hak pribadi maupun hak-hak kebendaan, dan akan melindungi serta memaksa pihak
yang melanggar hak itu supaya membayar ganti rugi kepada pihak yang dilanggar haknya. Pertanggungjawaban dalam kesalahan perdata biasanya
memerlukan suatu unsur kesalahan atau kesengajaan yang diperlukan biasanya lebih kecil. Suatu unsur yang esensial dari banyak kesalahan perdata adalah
108
Jusuf Hanafiah Amri Amir, Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, Op.Cit h. 17
Universitas Sumatera Utara
bahwa penggugat harus sudah menderita kerugian fisik atau finasial sebagai akibat dari perbuatan tergugat.
Tanggung jawab dokter di bidang perdata, dapat timbul disebabkan karena dokter tidak melaksanakan prestasi Wanprestasi dan atau melakukan
perbuatan melawan hukum. Prestasi dokter berupa melakukan upaya penyembuhan secara sungguh-sungguh terhadap pasien. Apabila dokter lalai
dan tidak tidak melaksanakan prestasi dengan sebaik mungkin, sehingga hak pasien atas tindakan medis sesuai dengan standar tidak terpenuhi, dan oleh
karena itu pasien menderita kerugian, maka dokter dapat digugat oleh pasien untuk membayar ganti rugi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 1346 KUH
perdata, yaitu: a.
Kerugian yang telah diterimanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya dan kerugian
b. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh
Begitu juga dalam hal dokter melakukan perbuatan melawan hukum, maka dokter yang bersangkutan dapat dituntut membeyar ganti kerugian,
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Timbulnya ganti rugi ini disebabkan dokter yang bersangkutan melakukan kesalahan
terhadap pasien. Kesalahannya berupa dokter melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Misalnya; antara dokter dengan
Universitas Sumatera Utara
pasien, telah sepakat untuk melakukan operasi terhadap tumor , tetapi yang dioperasi adalah usus buntu. Dalam hal ini dokter jelas-jelas melakukan
perbuatan hukum. Tanggung jawab karena kesalahan merupakan
bentuk klasik
pertanggungjawaban perdata. Berdasar tiga prinsip yang diatur dalam Pasal 1365, 1366, 1367 KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
a. Berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata
Pasien dapat menggugat seorang dokter oleh karena dokter tersebut telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, seperti yang diatur di dalam
Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kesalahan itu, mengganti kerugian tersebut”. Undang-undang sama sekali tidak memberikan
batasan tentang perbuatan melawan hukum, yang harus ditafsirkan oleh peradilan. Semula dimaksudkan segala sesuatu yang bertentangan dengan
undang-undang, jadi suatu perbuatan melawan undang-undang. Akan tetapi sejak tahun 1919 yurisprudensi tetap telah memberikan pengertian yaitu setiap
tindakan atau kelalaian baik yang : 1 Melanggar hak orang lain 2 Bertentangan dengan kewajiban hukum diri sendiri 3 Menyalahi pandangan
etis yang umumnya dianut adat istiadat yang baik 4 Tidak sesuai dengan kepatuhan dan kecermatan sebagai persyaratan tentang diri dan benda orang
Universitas Sumatera Utara
seorang dalam pergaulan hidup. Seorang dokter dapat dinyatakan melakukan kesalahan. Untuk menentukan seorang pelaku perbuatan melanggar hukum
harus membayar ganti rugi, haruslah terdapat hubungan erat antara kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan.
b. Berdasarkan Pasal 1366 KUH Perdata
Seorang dokter selain dapat dituntut atas dasar wanprestasi dan melanggar hukum seperti tersebut di atas, dapat pula dituntut atas dasar lalai,
sehingga menimbulkan kerugian. Gugatan atas dasar kelalaian ini diatur dalam Pasal 1366 KUH Perdata, berbunyi sebagai berikut : “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya”. c.
Berdasarkan Pasal 1367 KUH Perdata Seseorang harus memberikan pertanggungjawaban tidak hanya atas
kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada di bawah
pengawasannya. Pasal 1367 KUH Perdata.
Dengan demikian maka pada pokoknya ketentuan Pasal 1367 KUH Perdata mengatur mengenai pembayaran ganti rugi oleh pihak yang menyuruh atau
yang memerintahkan sesuatu pekerjaan yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain tersebut. Dengan hal itu seorang dokter juga harus bertanggung
Universitas Sumatera Utara
jawab atas tindakan yang dilakukan oleh rekan kerjanya yaitu para perawat, bidan dan sebagainya. Kesalahan seorang perawat karena menjalankan perintah
dokter adalah tanggung jawab dokter.
3. Tanggung jawab Dokter dalam hukum administrasi
Aspek Hukum Administrasi Negara meliputi perijinan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh dokter sebagai salah satu tenaga kesehatan
profesional dan rumah sakit sebagai penyedia sarana pelayanan kesehatan. Menurut peraturan yang ada, seorang dokter dapat melakukan upaya kesehatan
apabila memenuhi persyaratan memiliki; ijazah dokter yang terdaftar, ijin praktek, dan hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Sebuah
rumah sakit harus memenuhi persyaratan menyangkut perijinan, ketenagaan, dan kelengkapan sarana pelayanan kesehatan.
Aspek hukum lain yang bersifat administrasi adalah pembinaan dan pengawasan, baik yang bersifat administrasi dan pengawasan. Pembinaan untuk
meningkatkan mutu profesi dokter dilakukan melalui pembinaan karier, disiplin dan teknis profesi tenaga kesehatan. Pengawasan dilaksanakan sesuai
standar profesi dokter dan pelanggarannya dapat dikenakan tindakan disiplin berupa teguran dan pencabutan ijin melakukan upaya kesehatan.
Dikatakan pelanggaran administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata usaha negara. Contoh tindakan dokter yang dikategorikan sebagai
Universitas Sumatera Utara
administrative malpractice adalah menjalankan praktek tanpa ijin, melakukan tindakan medis yang tidak sesuai dengan ijin yang dimiliki, melakukan praktek
dengan menggunakan ijin yang sudah daluwarsa dan tidak membuat rekam medis.
Menurut Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, seseorang calon dokter yang telah lulus dan diwisuda sebagai
dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar memperoleh kewenangan, dimana tiap-tiap jenis
lisensi memerlukan basic science dan mempunyai kewenangan sendiri-sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medis yang melampaui batas
kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi
amandel namun lisensinya tidak membenarkan dilakukan tindakan medis tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah
melakukan administrative malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif, seperti yang disebutkan pada pasal 69 ayat 3 Undang-Undang nomor 29
tahun 2004 tentang praktik kedokteran yaitu : pemberian peringatan tertulis; rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; danatau;
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Universitas Sumatera Utara
4. Tanggung Jawab Dokter menurut Hukum Pidana
Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana
seorang dokter, khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal mana dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggung jawab
pidana di sini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara
pengobatan atau perawatan. Dari segi hukum, kesalahan kelalaian akan selalu berkait dengan sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila
dapat menginsafi makna yang senyatanya dari perbuatannya, dapat menginsafi perbuatannya itu tidak dipandang patut dalam pergaulan masyarakat dan
mampu untuk menentukan niat kehendaknya dalam melakukan perbuatan tersebut. Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai criminal malpractice
apabila memenuhi rumusan delik pidana yaitu : Perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan sikap batin yang salah yaitu berupa
kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan. Kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan dapat terjadi di bidang hukum
pidana, diatur antara lain dalam : Pasal 263, 267, 294 ayat 2, 299, 304, 322, 344, 347, 348, 349, 351, 359, 360, 361, 531 KUH Pidana. Ada perbedaan
Universitas Sumatera Utara
penting antara tindak pidana biasa dengan ‘tindak pidana medis’. Pada tindak pidana biasa yang terutama diperhatikan adalah ‘akibatnya’, sedangkan pada
tindak pidana medis adalah ‘penyebabnya’. Walaupun berakibat fatal, tetapi jika tidak ada unsur kelalaian atau kesalahan maka dokternya tidak dapat
dipersalahkan. Beberapa contoh dari criminal malpractice yang berupa
kesengajaan adalah melakukan aborsi tanpa indikasi medis, membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan seseorang yang dalam
keadaan emergency, melakukan eutanasia, menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar, membuat visum et repertum yang tidak benar dan
memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitas sebagai ahli.
Dalam literatur hukum kedokteran negara Anglo-Saxon antara lain dari Taylor,
109
dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila dia sudah memenuhi syarat 4 – D, yaitu : Duty
Kewajiban, Derelictions of That Duty Penyimpangan kewajiban, Damage Kerugian, Direct Causal Relationship Berkaitan langsung.
Duty atau kewajiban bisa berdasarkan perjanjian ius contractus atau menurut undang-undang ius delicto juga adalah kewajiban dokter untuk
bekerja berdasarkan standar profesi. Kini adalah kewajiban dokter pula untuk
109
Mariyanti, Ninik, Malpraktek Kedokteran, dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, , : PT
Bina Aksara , Jakarta, 1988. h. 15
Universitas Sumatera Utara
memperoleh informed consent, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Informasi itu mencakup
antara lain : risiko yang melekat pada tindakan, kemungkinan timbul efek sampingan, alternatif lain jika ada, apa akibat jika tidak dilakukan dan
sebagainya. Peraturan tentang persetujuan tindakan medis informed consent sudah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989.
Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis Dereliction of The Duty adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta
secara kasuistis yang harus dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli. Namun sering kali pasien mencampuradukkan antara akibat dan kelalaian.
Bahwa timbul akibat negatif atau keadaan pasien yang tidak bertambah baik belum membuktikan adanya kelalaian. Kelalaian itu harus dibuktikan dengan
jelas. Harus dibuktikan dahulu bahwa dokter itu telah melakukan ‘breach of duty’.
Damage berarti kerugian yang diderita pasien itu harus berwujud dalam bentuk fisik, finansial, emosional atau berbagai kategori kerugian lainnya, di
dalam kepustakaan dibedakan :
110
Kerugian umum general damages termasuk kehilangan pendapatan yang akan diterima, kesakitan dan penderitaan
dan kerugian khusus special damages kerugian finansial nyata yang harus dikeluarkan, seperti biaya pengobatan, gaji yang tidak diterima.
Sebaliknya jika tidak ada kerugian, maka juga tidak ada penggantian
110
I b i d
Universitas Sumatera Utara
kerugian. Direct causal relationship berarti bahwa harus ada kaitan kausal antara tindakan yang dilakukan dengan kerugian yang diderita. Aspek Hukum
Pidana meliputi dua hal utaraa yaitu mengenai ketentuan pidana yang menyangkut kejahatanpelanggaran yang berkaitan dengan praktik kedokteran
dan sanksi administratif yang dapat diberikan pada pelanggaran-pelanggaran pelaksanaan upaya kesehatan oleh deleter di rumah sakit. Ketentuan pidana
dalam rangka memberikan perlindungan pasien, secara umum terdapat dalam KUH Pidana Lex Generalis dan peraturan perundang-undangan bidang
kesehatan Lex Spesialis. Hukum Pidana sebagai bagian dari keseluruhan lapangan hukum,
mempunyai fungsi umum yang sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam
masyarakat. Fungsi khusus hukum pidana meliputi
111
; a.
Melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika
dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya.
b. Hukum Pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam
mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. c.
Dalam sanksi pidana terdapat suatu tragic sesuatu yang menyedihkan, sehingga hukum pidana dikatakan sebagai pedang bermata dua.
d. Adanya pendapat bahwa hukum pidana merupakan hukum sanksi
belaka. Dengan demikian, dalam rangka melindungi kepentingan pasien, dapat
digunakan sarana Hukum Pidana. Seorang dokter sebagai pemberi jasa
111
Barda Nawawi Arief. Pelengkap Bahan Kuliah, Hukum Pidana 1, FHUNDIP,
Semarang , 1990, h. 68
Universitas Sumatera Utara
profesional dapat dipaksa untuk memenuhi ketentuan yang bersifat melindungi kepentingan publik. Sanksi Hukum Pidana yang bersifat lebih
keras daripada sanksi cabang hukum lainnya, merupakan ultimum remedium, yang berarti bahwa sanksi Hukum Pidana itu janganlah digunakan sebagai
sarana primair, tetapi hendaknya digunakan secara selektif sebagai pengganti apabila sarana-sarana lain dipandang tidak mampu. la hams digunakan
secara selektif, karena pada hakekatnya sanksi pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan.
F. Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran
Penanganan pelanggaran etik kedokteran dilakukan oleh organisasi profesi. Di Indonesia badan yang berwenang itu adalah Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran MKEK yang merupakan badan kliusus di lingkungan Ikatan Dokter Indonesia IDI. Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran,
MKEK berpedoman pada : Pancasila, prinsip-prinsip dasar moral umumnya, ciri dan hakekat pekerjaan profesi, Lafal Sumpah Dokter Indonesia, tradisi luhur
kedokteran, KODEKI, Hukum Kesehatan terkait, hak dan kewajiban dokter, hak dan kewajiban pasien, pendapat rata-rata masyrakat kedokteran, dan pendapat
pakar-pakar serta praktisi senior. Keputusan MKEK juga mempertimbangkan tentang tujuan spesifik yang
ingin dicapai, manfaatnya bagi kesembuhan penderita, manfaatnya bagi
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan umum, penerimaan penderita terhadap tindakan itu, preseden tentang tindakan semacam itu dan standar pelayanan medis yang berlaku, Jika
semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran itu dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat yang
berpedoman pada : akibat terhadap kesehatan penderita, akibat bagi masyarakat umum, akibat bagi kehormatan profesi, peranan penderita yang mungkin ikut
mendorong terjadinya pelanggaran dan alasan-alasan lain yang diajukan tersangka. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran bersifat edukatif dan
diberikan bergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut.. Bentuk sanksi yang diberikan dalam pelanggaran etik dapat berupa :
a. Teguran atau tuntunan secara lisan atau tertulis
b. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat
c. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
d. Dicabut izin dokter untuk sementara atau selama-lamanya
Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.
Di samping MKEK, berdasarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1995 Tanggal 10 Agustus 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan MDTK telah dibentuk MDTK Tingkat Pusat dan MDTK Tingkat Propinsi. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidak adanya
kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh tenaga kesehatan termasuk dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Keanggotaan MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat Propinsi
berjumlah lima belas orang, terdiri atas unsur-unsur ; sarjana hukum, ahli kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli
psikologi dan ahli sosiologi. MDTK Tingkat Propinsi melakukan tugas dan fungsinya atas dasar
permintaan Pejabat Kesehatan, pimpinan sarana kesehatan atau penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan oleh tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Permintaan tersebut diajukan secara tertulis disertai data-data yang diperlukan. Sidang MDTK dilakukan secara tertutup untuk umum. Sidang
Majelis MDTK dapat memanggil dan meminta keterngandari tenaga kesehatan yang diadukan, penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan, saksi,
melakukan pemeriksaan di lapangan, atau hal lain yang dianggap perlu. Selanjutnya, hasil keputusan MDTK Tingkat Propinsi disampaikan secara
tertulis kepada Pejabat Kesehatan yang berwenang mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan pemndang-
undangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK TRANSAKSI MEDIS SEBAGAI
KONSUMEN JASA MEDIS
A. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen
1. Perkembangan Perlindungan Konsumen
Perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin meningkat pada dua dasawarsa terakhir dengan
maraknya gerakan
perlindungan konsumen di Eropa dan Amerika, untuk pertama kalinnya, dalam rangka perlindungan konsumen, J.F Kennedy memformulasikan empat
hak dasar, yaitu: a.
Hak memperoleh keamanan dan kesehatan the right safety; b.
Hak memilih the right to choose; c.
Hak mendapat informasi yang jujur the right to be informed; d.
Hak untuk didengar the right to be heard
112
Di Eropa, Masyarakat Ekonomi Eropa Europese Economische Gemeenshap atau ECG merumuskan lima hak dasar konsumen, yaitu:
113
a. Hak perlindungan kesehatan dan keamanan
112
J.F Kennedy 1962 dalam Munir Fuady. Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, PT Citra Aditia Bakti, Bandung 1999, h. 165.
113
Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari Sudut Perjanjian Baku Standar, Jakarta : Makalah Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah
Perlindungan Konsumen, BPHN, Bina Cipta, 1980, h. .6.
100
Universitas Sumatera Utara
b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi
c. Hak mendapat ganti rugi
d. Hak atas penerangan
e. Hak untuk didengar
Kemudian, Persatuan Bangsa-Bangsa PBB melalui Resolusi No. 39248 tahun 1985 tentang perlindungan konsumen Guidelines for Consumer
Protection, menyatakan bahwa kepentingan konsumen yang perlu dilindungi meliputi:
a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan
keamanannya; b.
Promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen; c.
Tersediannya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan bagi mereka melakukan pilihan yang sesuai dengan
kehendak dan kebutuhan pribadi;
d. Pendidikan konsumen;
e. Tersediannya upaya ganti rugi yang efektif;
f. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi
lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.
114
Oleh karena itu menurut ketentuan Resolusi PBB, berlaku etika bagi produsen barang dan pemberi jasa profesional. Bagi pemberi jasa professional
termasuk dokter, mengharuskan bahwa etika yang berlaku atas jasa diberikan untuk :
a. Menjamin kehati-hatian duty care dalam memberikan jasa, harus
dipelihara oleh penerima jasa;
114
Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
b. Menjamin kerahasiaan confidentialy atas data dan informasi milik
pemberi jasa, karena pemberi jasa pada umumnya memberikan akses terhadap data dan informasi yang dimilikinnya bagi penerima jasa;
c. Bebas dari benturan kepentingan avoiding conflict of interest antara
pemberi jasa lainnya dari satu pemberi jasa yang sama. d.
Dilakukan sebaik mungkin best effort, karena keberhasilan pemberian jasa oleh pemberi jasa, melainkan diukur dari usaha atau proses yang
dilakuakan oleh pemberi jasa.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah. Kecenderungan konsumen untuk
mengabaikan pengetahuan akan produk atau jasa yang digunakannya cenderung menempatkan konsumen pada posisi bargaining yang lemah. Oleh Karena itu,
menurut John W. Head diperlukan upaya perlindungan konsumen melalui Hukum Perlindungan konsumen. Suatu upaya perlindungan konsumen hendaknya
mengandung hal-hal sebagai berikut: a.
Hukum yang memberlakukan persyaratan keadilan dalam kontrak berbentuk standar;
b. Hukum yang mengharuskan pemberian informasi kepada konsumen;
c. Hukum yang melarang praktek jual beli tertentu;
d. Hukum yang menjamin akses kepada konsumen atas informasi keuangan
yang berhubungan dengan bisnis atau diri mereka sendiri; e.
Mengandung peraturan pengadilan tertentu untuk menyelesaikan kasus sengketa konsumen.
115
Kontrak berbentuk standar menurut John W. Heid menganut prinsip keseimbangan dalam berkontrak, dimana dimaksudkan hukum dapat melindungi
hak dan kewajiban yang tidak memberatkan salah satu pihak sehingga hanya
115
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, FH-UI, Jakarta 1997 h. 64-65
Universitas Sumatera Utara
menguntungkan pihak yang lain, ini merupakan konsep yang menjadi ciri khas dalam perlindungan hukum terutama hukum perlindungan konsumen. Dimana
konsumen sebagai pihak yang yang dianggap lemah tersebut dapat terlindungi hak-haknya dalam kontrak yang bersifat baku.
2. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia
Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang membuat asas-asas atau kaidah kaidah bersifat mengatur, yang mengandung
sifat yang melindungi konsumen. Sedangkan Hukum Konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan
masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.
116
Menurut norma hukum positif Indonesia, landasan yuridis tertinggi perlindungan konsumen di Indonesia terdapat dalam Pasal 23 ayat 1 UUD 1945.
Dalam ketentuan tersebut, dinyatakan bahwa “segala warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinnya.” Pasal tersebut memberikan landasan konstitusional bagi perlindungan
konsumen di Indonesia, karena dalam ketentuan itu secara jelas dinyatakan bahwa kedudukan hukum semua warga Negara adalah sama sederajat equality before the
116
Az Nasution, Konsumen dan Hukum, Sinar Harapan, Jakarta 1995 h. 34-35
Universitas Sumatera Utara
law. Sebagai warga Negara, kedudukan hukum konsumen adalah sama dengan penghasil barang dan jasa. Landasan konstitusional tersebut juga berkaitan erat
dengan konsep bahwa setiap orang adalah konsumen.
117
Dalam rangka menciptakan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, untuk melaksanakan
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan, pada tanggal 20 April 1999 telah disahkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen UUPK. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, perlindungan konsumen di
Indonesia diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan lima asas, sebagai mana termuat dalam Pasal 2 dan penjelasan pasal 2 UUPK:
a. Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b. Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat dimanfaatkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen
117
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta 2000 h. 74
Universitas Sumatera Utara
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti ateriil
dan spiritual. d.
Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
e. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta menjamin kepastian hukum.
B. Pasien sebagai Konsumen Jasa Medis
1. Pengertian Pasien sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Medis
Kata konsumen berasal dari kata bahasa Belanda Konsument. Kata konsument dalam bahasa Belanda tersebut oleh para ahli hukum pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya sudah disepakati untuk mengartikannya sebagai pemakai terakhir dari benda dan jasa uiteindelijk gebnriker van goederen endiensten yang diserahkan
kepada mereka oleh pengusaha ondermer .
118
Menurut Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 1 butir 2,dijelaskan bahwa Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang daiiatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, ntaupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan . Sedangkan butir 5. menyatakan Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Ketentuan di atas menjelaskan bahwa apabila dikaitkan dengan jasa pelayanan
medis, dapat diartikan sebagai layanan atau prestasi kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan pasien sebagai
konsumen. Dengan kata lain bahwa pengertian pasien sebagai konsumen jasa pelayanan medis adalah Setiap orang pemakai jasa layanan atau prestasi kesehatan
yang dilakukan oleh dokter dan disediakan bagi masyarakat.
118
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Dan Masalah Medik, Airlangga Press, 1984, h. 31
Universitas Sumatera Utara
2. Kewajiban Pasien
Sebagai imbangan atas hak-hak yang dimiliki seseorang, maka kepadanya juga dibebani kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi, karena
pada hakekatnya keseimbangan hak dan kewajiban adalah tolok ukur rasa keadilan terhadap diri seseorang. Dalam hal hubungan dari dua pihak,
maka hak pihak yang satu akan diimbangi oleh kewajiban pihak yang lain, demikian pula sebaliknya. Selain hak-hak pasien yang dilindungi, pasien juga mempunyai
kewajiban-kewajiban yang atasnya dibebankan kepada pasien karena ia merupakan subjek hukum.
Soekanto merumuskan kewajiban-kewajiban pasien menurut hukum sebagai berikut:
1 Kewajiban memberikan informasi kepada tenaga kesehatan,
sehingga tenaga kesehatan dan ahli mempunyai bahan yang cukup untuk mengambil keputusan. Hal ini juga sangat penting, agar
tenaga kesehatan tidak melakukan kesalahan. Landasannya adalah bahwa hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien
merupakan hubungan hukum yang didasarkan pada kepercayaan, sehingga sampai batas-batas tertentu dituntut adanya suatu
keterbukaan.
2 Kewajiban untuk melaksanakan nasihat-nasihat yang diberikan
tenaga kesehatan dalam rangka perawatan. Kalau pasien meragukan manfaat nasihat itu, yang bersangkutan mempunyai
hak untuk meminta penjelasan yang lebih mendalam.
3 Kewajiban menghormati kerahasiaan diri dan kewajiban tenaga
kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran, serta kesendiriannya privacy.
4 Kewajiban untuk memberikan imbalan terhadap jasa-jasa
profesional yang telah diberikan oleh tenaga kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
5 Kewajiban untuk memberi ganti rugi, apabila tindakan-tindakan
pasien merugikan tenaga kesehatan. 6
Kewajiban untuk berterus terang apabila timbul masalah dalam hubungan dengan tenaga kesehatan dan rumah sakit, baik yang
langsung maupun tidak langsung.
1 1 9
3.
Hak-hak Pasien
Dalam hubungan Dokter dengan pasien, pasien memiliki hak-haknya yang harus dihormati oleh dokter. Ini dikarenakan posisi dokter yang lebih dominan
karena keahlian dan pengetahuannya dibandingakn dengan posisi pasien yang awam dalam bidang kedokteran.
Menurut Chrisdiono M. Achadiat, hak-hak pasien meliputi: a.
Hak atas informasi medik Dalam hal ini pasien berhak mengetahui segala sesuatu yang
berkaitan dengan keadaan penyakit, yakni tentang diagnosis, tindak medis yang akan dilakukan, resiko dari dilakukan atau tidak
dilakukannya tindak medik tersebut. Informasi medik yang berhak diketahui oleh pasien, termasuk pula identitas dokter yang merawat serta
aturan-aturan yang berlaku di rumah sakit tempat ia dirawat misalnya tentang tarif dan cara pembayaran pada rumah sakit tersebut. Dokter
dapat menahan informasi medik, apabila hal tersebut akan melemahkan daya tahan pasien.
b. Hak memberikan persetujuan tindak medik.
Persetujuan tindak medik atau yang lebih dikenal sebagai informed consent merupakan hal yang sangat prinsip dalam profesi
kedokteran, bila ditinjau dari sudut hukum perdata maupun pidana.
119
Chrisdiono M. Achdiat. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran Melindungi Pasien Dan Dokter, Widya Medika, Jakarta, 1996 h. 7-9
Universitas Sumatera Utara
c. Hak untuk memilih dokter atau rumah sakit.
Walaupun pada dasarnya dianggap semua dokter memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan tindak medik dalam bidangnya,
namun pasien tetap berhak memilih dokter atau rumahsakit yang dikehendakinya. Hal ini dapat dilaksanakan oieh pasien tentu saja
dengan pelbagai konsekuensi yang harus ditanggungnya, misalnya masalah biaya.
d. Hak atas rahasia medik
Rumusan rahasia medik seperti yang tercantum dalam beberapa literatur ialah:
a. Segala sesuatu yang disampaikan oleh pasien secara sadar
atau tidak sadar kepada dokter. b.
Segala sesuatu yang diketahui oleh dokter sewaktu mengobati dan merawat pasien.
Etika kedokteran menyatakan bahwa rahasia ini harus dihormati oleh dokter, bahkan setelah pasien itu meninggal.
e. Hak untuk menolak pengobatan atau perawatan serta tindakan medik.
Beberapa penulis menyebut hak ini sebagai hak untuk memutuskan hubungan dokter-pasien dan hal ini memberikan keleluasaan kepada
pasien untuk memperoleh alternatif tindak medik yang lain. Hak ini merupakan perwujudan pasien untuk menentukan nasibnya sendiri The
Right of Self-determination. Dengan demikian dokter atau rumah sakit tidak boleh memaksa pasien untuk menerima suatu tindak medik tertentu,
melainkan dokter harus menjelaskan resiko atau kemungkinan yang terjadi bila tindak medik itu tidak dilakukan. Bila setelah menerima
penjelasan pasien tetap menolak,maka pasien harus menandatangani penolakannya itu.
f. Hak atas second opinion.
Dalam usaha mendapatkan second opinion dari dokter lain, maka dokter pertama tidak perlu tersinggung, demikian pula dengan
keputusan pasien setelah mendapatkan second opinion. Tentu saja akibat yang timbul dari perbuatan pasien itu merupakan konsekuensi pasien itu
sendiri.
g. Hak untuk mengetahui isi rekam medik.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum telah diketahui bahwa pasien adalah pemilik isi rekam medik, tetapi dokter atau rumah sakit adalah pemilik berkas
rekam medik serta bertanggungjawab sepenuhnya atas rekam medik tersebut. Apabila pasien menghendaki keluarga atau pengacaranya untuk
mengetahui isi rekam tersebut, maka pasien harus membuat ijin tertulis atau surat kuasa untuk itu.
120
Hak memperoleh informasi atau penjelasan medis merupakan hak pasien yang paling utama. Penekanan pemberian informasi ini berkaitan dengan persetujuan
tindakan medis informed consent yang akan menjadi dasar penanganan medis sebagai upaya penyembuhan. Dalam memberikan informasi kepada pasien, haruslah
memperhatikan informasi apa yang akan disampaikan, karena hal tersebut akan sangat bergantung pada kondisi psikis dan mental daripada pasien. Namun pada
umumnya dapat dipedomani hal-hal seperti : a
Informasi yang diberikan harus menggunakan bahasa yang dimengerti oleh pasien
b pasien harus dapat memperoleh informasi tentang penyakitnya, tindakan
yang akan diambil, kemungkinan-kemungkinan dan resiko yang akan ditimbulkan.
c untuk anak-anak atau pasien penyakit jiwa , informasi diberikan kepada
orang tua atau walinya.
121
C. Perlindungan hukum Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik Transaksi Medis
Dalam Kontrak Terapeutik anatara pasien dengan dokter, seorang dokter harus mendahulukan hak-hak pasien karena profesi dokter merupakan profesi yang
yang berdasarkan atas rasa kemanusiaan. hak-hak pasien yang dilindungi meliputi:
120
Ibid
121
Jusuf Hanafiah Amri Amir, Etika Kedokteran Hukum Kesehatan, Op.Cit h. 50
Universitas Sumatera Utara
1. Hak atas Informasi dan Memberikan Persetujuan
Persetujuan yang diberikan oleh pasien haruslah didasarkan atas informasi yang diberikan sebelumnya oleh seorang dokter. Sebelum menjalani
perawatan, pasien berhak atas informasi mengenai perawatan dan risiko- risikonya. Proses ini lazim disebut informed consent.
122
Dalam hubungan dokter dengan pasien, informed consent sangat diperlukan karena masing-masing pihak akan terlindungi oleh hukum.
Kurangnya informasi yang diberikan oleh dokter atau bahkan sama sekali tidak diberikan, yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya akibat kerugian pada
pasien akan melahirkan gugatan pada pasien terhadap tanggung jawab hukum dokter.
123
Dasar yuridis dan keharusan memperoleh ijin atau persetujuan pasien menurut Sollis seperti dikutip J.Guwandi adalah :
a. Hubungan kontrak berdasarkan Pasal 1320, 1321 KUH Perdata
Burgerlijk wetboek. Untuk sahnya suatu perjanjian diharuskan adanya suatu ijin atau persetujuan yurisdis. Dan suatu ijin yang
diperoleh berdasarkan kekhilafan, tekanan atau tipuan secara yuridis tidak mempunyai nilai hukum Pasal 1321 KUH Perdata.
b. Hak asasi manusia untuk menentukan nasibnya sendiri terhadap
tubuhnya
122
Danny Wiradharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara; Jakarta 1996 h. 12-13
123
Soerjono Soekanto, Op.cit. h. 123
Universitas Sumatera Utara
c. Hukum Pidana yang memberikan dasar pembenaran hukum untuk
tindak medik, asalkan sudah memperoleh persetujuan pasien.
124
Berdasarkan ketentuan Pasal 12 Permenkes No.585MenkesPerix1989 tentang Persetujuan Tindak Medik, seorang dokter harus melaksanakan
tindakan medis dengan persetujuan pasien. Persetujuan dapat diberikan secara lisantulisan kepada pasien dewasa atau orang tuawali bagi pasien
minor. Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan informed consent. Menurut Fred Ameln ada empat golongan pasien yang hak atas
informasinya dikesampingkan karena alasan-alasan tertentu,yaitu : Pasien yang akan menjalani pengobatan dengan “placebo” sugestif theropeuticum, pasien
yang akan merasa dirugikan bila mendengar informasi tersebut, pasien yang sakit jiwa dan pasien yang belum dewasa.
124
Pelanggaran pelaksanaan informed consent oleh dokter dapat di kenai sanksi administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Permenkes
No.5851989 tentang Persetujuan Tindak Medik informed consent ”Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari pasien
atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administrative berupa pencabutan surat ijin prakteknya.”
124
Sollis dalam J. Gunadi, Trilogi Rahasia Kedokteran, FKUI;Jakarta 1992 h. 22
124
Fred Amein dalam Herkutanto, Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter, Yayasan Penerbit IDI; Jakarta 1994 h.35
Universitas Sumatera Utara
2. Hak atas Rahasia Kedokteran
Kewajiban dokter untuk menjaga kerahasiaan, dikenal dengan istilah wajib simpan rahasia kedokteran. Ada beberapa pengertian yang berkaitan
dengan wajib simpan rahasia ini, yaitu : rahasia pekerjaan, rahasia jabatan dan rahasia kedokteran. Rahasia pekerjaan adalah rahasia yang diketahui
seseorang karena pekerjaannya atau profesinya,
sedangkan rahasia
jabatan adalah rahasia yang diketahui seseorang karena jabatan yang diembannya.
Bagi seorang dokter yang melaksanakan profesi di praktek pribadi, maka rahasia yang diketahuinya termasuk dalam golongan rahasia pekerjaan. Segala
rahasia yang diketahuinya ketika ia bekerja di rumah sakit, merupakan rahasia jabatan. Dengan demikian, kedua jenis rahasia tersebut menjadi satu apabila
seorang dokter bekerja di rumah sakit. Dasar hukum yang mengikat tenaga kesehatan dokter mengenai wajib
simpan rahasia kedokteran terdapat dalam beberapa ketentuan,yaitu : 1
Lafal sumpah dokter, berbunyi: “saya akan merahasiakan sgala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
saya sebagai dokter.”
Universitas Sumatera Utara
Lafal sumpah dokter diatur dalam peraturan pemerintah No.26 Tahun 1960, sehingga dokter yang melanggar ketentuan ini bisa dikenakan sanksi hukum.
2 Kode etik kedokteran Indonesia bab II pasal 11, berbunyi:
“seorang dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, karena kepercayaan yang telah diberikan
kepadanya, bahkan juga setelah pasien itu meninggal.” 3
Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia kedokteran
Pasal 1: “yang dimaksud dengan rahasia kedokteran adalah segala sesuatu yang
diketahui oleh orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaan dalam lapangan kedokteran.”
Pasal 2: “pengetahuan tersebut dalam pasal 1 baru dirahasiakan oleh orang-orang
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari peraturan pemerintah ini menentukan lain.”
Pasal 3: “yang diwajibkan menyimpan rahasia dimaksudkan ialah:
a Tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kerja kesehatan,
lembaran negara tahun 1963 No. 7 adalah: 1
Tenaga kesehatan sarjana, antara lain : dokter, dokter gigi, apoteker dan sarjana lain di bidang kesehatan.
Universitas Sumatera Utara
2 Tenaga kesehatan sarjana muda, menengah dan rendah, antara lain:
• Di bagian informasi : asisten apoteker
• Di bidang kebidanan: bidan
• Di bidang kesehatan: penilik kesehatan, nutrisionis
• Di bidang kesehatan lain.”
b Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan
pemeriksaan, pengobatan dan atau perawatan dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri kesehatan.”
4 Pasal 56 dan penjelasannya, Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang
kesehatan 5
Peraturan pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 tentang kesehatan Pasal 22 1 b dan penjelasannya:
“bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dokter dan perawat dalam melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan
identitas dan data kesehatan pribadi pasien” 6
Surat edaran jenderal pelayanan medik nomor YM.02.04.3.5.2504 Tanggal 10 Juni 1997 tentang pendoman hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit. Romawi III b angka 5:
“dokter waib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinnya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita meninggal dunia.”
Universitas Sumatera Utara
3. hak atas pendapat kedua
Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan penjelasan dari dokter mengenai penyakitnya dalam hal ini idealnya dilakukan dengan sepengetahuan
dokter pertama yang merawatnya.
125
Hal ini dimaksudkan untuk memberi bahan perbandingan bagi pasien dan kemungkinan alternatif tindakan
pengobatan lain, sebelum pasien memberikan persetujuan atas kelanjutan tindakan medis yang akan dilaksanakan.
Pendapat kedua merupakan kerja sama antara dokter pertama dengan kedua atas inisiatif pasien, karena apabila atas inisiatif dokter pertama akan
memberikan seluruh hasil pekerjaannya kepada dokter kedua untuk dipelajari. Apabila dokter kedua melihat adanya perbedaan, maka mereka akan
membicarakan tentang perbedaan diagnosa yang dibuat oleh keduannya.
126
Dasar hukum mengenai hak pasien atas pendapat kedua, antara lain pendapat dalam:
1 pasal 56 Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan.
2 Pasal 22 ayat 1 a dan penjelasannya dalam peraturan pemerintah RI. No.
32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan.
125
Danny Wiradharma, Op.Cit h. 70
126
Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Kedokteran, CV. Mandar Maju;Bandung 2001 h. 21
Universitas Sumatera Utara
3 Surat edaran jenderal pelayanan medik nomor YM.02.04.3.5.2504 tanggal
10 Juli 1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban pasien, dokter dan rumah sakit.
Dalam ketentuan–ketentuan diatas, pada intinnya disebutkan bahwa dalam pelaksanaan tugas profesi seorang tenaga kesehatan harus mengormati
hak pasien, salah satunya hak atas pendapat kedua. 4.
Hak Atas Melihat Rekam Medik Dalam pelayanan kesehatan , hal utama yang dilakukan oleh dokter
adalah peran pencatatan Rekam medis yang berperan penting dan sangat melekat engan kegiatan pelayanan kesehatan. Rekam medis berguna untuk
mengingatkan kembali dokter tentang keadaan, hasil pemeriksaan, dan pengobatan pasien apabila datang untuk berobat kembali ataupun rujukan
kepada dokter lainnya. Rekam medik oleh Waters dan Murphy didefenisikan sebagai
kompedium ikhtisar yang berisi informasi tentang keadaan pasien selama dalam perawatan penyakitnya atau selama pemeliharaan
kesehatannya.
127
Pertimbangan yang melatar belakangi perlunya dibuat rekam medis ialah untuk mendokumentasikan semua kejadian yang berkaitan dengan
127
Sofwan Dahlan, Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter, UNDIP;Semarang 2002 h. 73
Universitas Sumatera Utara
kesehatan pasien serta menyediakan media komunikasi di antara tenaga kesehatan bagi kepentingan perawatan penyakitnya yang sekarang maupun
yang akan datang. Oleh sebab itulah maka semua data medis perlu diungkap dan dicatat dalam bentuk sedemikian rupa.
Rekam medik diatur dalam ketentuan-etentuan berikut :
128
1 Keputusan menteri kesehatan RI No.031Birhup1972, yang menyatakan;
semua rumah sakit diharuskan mengerjakan medical recording dan reporting serta hospital statistic;
2 Keputusan Menteri kesehatan RI No. 034Birhup1972 tentang perencanaan
dan pemeliharaan rumah sakit, disebutkan bahwa guna menunjang terselenggarannya rencana induk master plan yang baik, maka setiap
rumah sakit diwajibkan untuk: a
Mempunyai dan merawat statistic yang up to date b
Membina medical record yang berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan
3 Surat keputusan menteri kesehatan RI No. 134MenkesIV1978 tentang
susunan organisasi dan tata kerja rumah sakit umum, menyatakan; sub bagian pencatatan medis mempunyai tugas mengatur pelaksanaan pencatatan
medis;
128
J. Guwandi, Op.Cit h. 51-55
Universitas Sumatera Utara
4 Fatwa IDI no.315PBA.488 tanggal februari 1988, menyatakan bahwa
praktek profesi kedokteran harus melaksanakan rekan medis. 5
Pasal 53 ayat 2 Undang-undnag No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan; 6
Peraturan pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang tenaga kerja kesehatan. Pasal 22 ayat1 e:
“bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dokter dan perawat dalam melaksanakan tugas dan profesinya berkewajiban untuk membuat dan
memelihara rekan medic.” 7
Surat edaran jenderal pelayanan medik nomor YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997 tentang pedoman hak dan kewajiban pasien, dokter dan rumah
sakit. Romawi III b angka 8 : “dokter wajib membuat rekan medis yang baik secara berkesinambungan berkaitan dengan pasien.”
Permasalahan yang sering timbul berkaitan dengan rekam medik adalah mengenai kepemilikannya. Sedangkan informasi di dalamnya milik pasien.
77
Pasal 9 peraturan menteri kesehatan RI No. 749aMenkesperXII1989 tentang Rekan MedisMedical Record, menyatakan bahwa:
a Berkas Rekam Medik milik Sarana Pelayan Kesehatan;
b Isi Rekam Medik Milik Pasien.
Rekaman Medis Mempunyai peranan dan manfaat yang sangat penting
Universitas Sumatera Utara
dalam Pelayanan Kesehatan. Manfaat rekam medik ada 5lima
129
, yaitu : 1
Dasar pemeliharaan dan pengobatan pasien 2
Bahan pembuktian dalam perkara hukum 3
Bahan untuk kepentingan penelitian dan pembuktian 4
Dasar pembayaran biaya kesehatan 5
Bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan
D. Aspek Hukum Perlindungan Pasien Dalam Perjanjian Terapeutik
Aspek hukum perlindungan pasien dalam perjanjian terapeutik diberikan melalui hukum pertanggungjawaban profesi the law of professional liability.
Bidang hukum ini merupakan bagian dari hukum perjanjian, yaitu hukum tentang hukum perjanjian melakukan jasa professional. Menurut komar kantaatmadja
130
, tanggung jawab professional merupakan tanggung jawab legal liability dalam
hubungan dengan jasa yang diberikan kepada klien. Jadi pada prinsipnya pemberi jasa profesional termasuk dokter,
bertanggung jawab atas jasa yang diberikannya serta dapat diminta memberikan ganti rugi bila terjadi wanprestasi atau malpraktek, baik atas dasar contractual
liability atau forties liability onrechmatigesdaad. Dengan demikian pertanggungjawaban profesi, dimaksudkan untuk melindungi konsumen jasa dari
129
M. Jufuf Hanafiah dan Amri Amri Amir, Op.Cit h. 63
130
Komar Kantaatmadja, Tanggung Jawab Profesional, Jurnal Era hukum No. 10 tahun III, Oktober 1996. h. 4
Universitas Sumatera Utara
perbuatan pemberi jasa yang ingkar janji atau pemberi jasa yang melakukan malpraktek.
Selain itu, menurut kepustakaan hukum perdata, tanggung jawab perdata dokter untuk memberikan ganti kerugian dapat timbul karena wanprestasi dan
perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum tersebut dapat timbul karena perjanjian maupun kurang hati-hati yang menyebabkan cacat badan atau
matinya orang. Pemberian hak atas ganti rugi bagi pasien juga diatur oleh undang-undang
No.36 Tahun 2009 tentang kesehatan, sebagai suatu upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasien sebagai akibat yang timbul karena kesalahan atau
kelalaian tenaga kesehatan, sebagai suatu upaya untuk memberikan perlindungan hukum bagi pasien sebagai akibat yang timbul karena kesalahan atau kelalaian
tenaga kesehatan, baik fisik maupun non fisik. Perlindungan hukum ini penting karena akibat kesalahan atau kelalaian ini dapat menyebabkan kematian atau cacat
badan yang permanen. Kerugian fisik yang dimaksud adalah hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian tubuh, dan kerugian non fisik berkaitan dengan
martabat seseorang Pasal 58 dan penjelasan UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Sanksi perdata diberikan dalam bentuk pergantian kerugian atas cacat atau luka yang ditimbulkan karena kelalaian. Hal ini berarti bahwa dalam tuntutan
Universitas Sumatera Utara
hukum perdata haruslah pada unsur kerugian damage yang diminta penggantian, sehingga apabila tindakan medik yang dimintakan dokter tanpa ijin tidak sampai
menimbulkan kerugiancendera, maka kepadannya tidak dapat dijatuhkan sanksi perdata.
Hubungan hukum dokter dengan pasien pada umumnya dituangkan dalam suatu perjanjian yang disebut perjanjian terapeutik. Perjanjian terapeutik ini
merupakan perjanjian antara dokter dengan pasien, dimana dokter setuju akan berupaya menyembuhkan penyakit yang diderita pasien, sedangkan
pasien menyetujui tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter yang merawat. Pada klinik-klinik atau tempat Praktek Dokter, pada umumnya Perjanjian
Terapeutik dilakukan secara lisan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya penyakit yang di tangani di tempat praktek dokter merupakan penyakit yang tidak
beresiko tinggi dan tidak membutuhkan tindakan yang rumit. Apabila penyakit yang diderita pasien sudah berat dan dirasa dokter praktek tidak mampu
menanganinya maka pasien akan dirujuk kerumah sakit. Selain itu pasien di tempat praktek dokter biasanya merupakan pasien tetaplangganan yang sudah
bisa ditangani dokter yang bersangkutan, sehingga tingkat kepercayaannya tinggi terhadap dokter tersebut.
Perjanjian Terapeutik di rumah sakit berupa hak dan kewajiban pasien dan dokter, yang secara umum ditentukan pihak rumah sakit sebagai penyelenggara
Universitas Sumatera Utara
sarana pelayanan kesehatan; kecuali kesepakatan-kesepakatan khusus. Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi pasien dan dokter, rumah
sakit menetapkan hak dan kewajiban masing-masing. Uraian dan kewajiban tersebut dituangakan dalam beberapa bentuk, seperti : peraturan rumah sakit
hospital by laws, surat keputusan direktur rumah sakit dan pengumuman direktur rumah sakit. Adapun kesepakatan khusus misalnya : mengenai waktu pemeriksaan
rutin dokter atau jadwal konsultasi pasien, diserahkan pada kesepakatan pasien dengan dokter yang bersangkutan.
Dapat dikatakan bahwa jumlah hak pasien selalu lebih banyak di banding jumlah kewajibannya. Selain itu jumlah kewajiban pasien lebih lebih sedikit
dibandingkan dengan kewajiban dokter maupun kewajiban rumah sakit Perjanjian terapeutik secara lisan lebih banyak dilakukan pada jenis
pelayanan medis rawat jalan karena tindakan medis yang dilakukan dokter tidak mengandung resiko yang besar bagi pasien. Dokter memberikan informasi dan
meminta persetujuan lisan pada saat pemeriksaan. Perjanjian terapeutik secara tertulis dilakukan melalui penandatanganan
lembar informed consent oleh pasien atau keluarga pasien. Pada jenis tindakan medis yang mengandung resiko, dokter akan memberikan informasi pada pasien
atau keluarga. Selanjutnya persetujuan atau penolakan pasien atau keluarga pasien
Universitas Sumatera Utara
pada tindakan medis yang disarankan oleh dokter dituangkan dalam lembar informed consent.
Isi pokok Informasi Medis Informed Consent tersebut adalah sebagai berikut :
1 Identitas pasienkeluarga yang membuat pernyataan persetujuan atau
penolakan. 2
Tandatangan pasien, dua orang saksi dan dokter serta perawat. 3
Pernyataan bahwa persetujuan atau penolakan diberikan setelah pasien memahami penjelasan yang diberikan oleh dokterperawatbidan tentang
tindakan medis, meliputi sifat, tujuan, prosedur, akibat serta resikonya. 4
Pernyataan bahwa pasien akan menanggung sendiri segala resiko tindakan medis, dan membebaskan dokter serta rumah sakit dari tanggungjawab hukum
jika terjadi akibat atau resiko yang tidak diharapkan kemudian hari. 5
Pernyataan memberikan kuasa pada dokter untuk melakukan tindakan medis lebih lanjut yang diperlukan demi keselamatan jiwa pasien.
Pelayanan kesehatan merupakan suatu proses kegiatan yang secara sistematis diterapkan dalam upaya penyembuhan, proses tersebut adalah ; kegiatan
sebelum pelaksanaan pelayanan medis, selama pelayanan medis, dan setelah pelayanan medis. Oleh karena itu aspek perlindungan hukum pasien adalah
mencakup perlindungan terhadap ketiga proses pelayanan kesehatan tersebut.,
Universitas Sumatera Utara
yaitu perlindungan hukum bagi pasien sebelum pelaksanaan pelayanan medis, perlindungan hukum bagi pasien pada saat pelaksanaan pelayanan medis dan
perlindungan hukum bagi pasien setelah pelaksanaan pelayanan medis.
1. Perlindungan hukum bagi pasien sebelum pelaksanaan pelayanan medis a. Pengaturan Kualifikasi Dokter
Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk melakukan tindakan medis. Seseorang harus memenuhi kualifikasi sebagai “dokter” sebelum memberikan
pelayanan medis dalam perjanjian terapeutik. Dasar hukum utama adalah Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat 1; “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi”.
Ketentuan pelaksanaan antara lain Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan, yang termuat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat 1,
yaitu :
Universitas Sumatera Utara
“tenaga kesehatan wajib memiliki pengetahuan dan keterampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah dari lembaga
pendidikan. Tenaga kesehatan hanya dapat melakukan upaya kesehatan setelah tenaga yang bersangkutan memiliki ijin dari Menteri Kesehatan.”
Rumah sakit selalu mensyaratkan adanya ijazah dan Surat Ijin Praktek Dokter yang akan bekerja di rumah sakit yang bersangkutan. Berdasarkan
ketentuan Pasal 76 Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, pelanggaran terhadap manipulasi ijazah dan surat izin praktik
merupakan tindak pidana, yaitu tanpa keahlian dan kewenangan sengaja melakukan pengobatan dan perawatan maka ancaman hukumnnya adalah pidanan
penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 seratus juta rupiah.
b. Kewajiban dokter untuk melaksanakan informed consent
Tujuan dari informed consent adalah melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien dan memberikan
perlindungan hukum kepad dokter terhadap akibat yang tak terduga dan bersifat negatif. Dasar hukum dari pelaksanaan informed consent:
a Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
585MEN.KESPER IX1989 tentang persetujuan tindakan medik pertindik
Universitas Sumatera Utara
1 Pasal 2 ayat 1
“semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.”
2 Pasal 4 ayat 1
“informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.”
3 Pasal 12 ayat 1
“dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tindakan medik.”
4 Pasal 12 ayat 2
“pemberian persetujuan tindakan medik yang dilaksanakan di rumah sakitklinik, maka rumah sakitklinik yang bersangkutan ikut
bertanggungjawab.” b
Undang-undang No. No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan: Pasal 56 ayat 1:
“Setiap Orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami
informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap” Dalam penjelasannya disebutkan bahwa hak pasien itu antara lain: hak
informasi dan hak memberikan persetujuan informed consent, hak atas rahasia kedokteran dan hak atas pendapat kedua second opinion.
Universitas Sumatera Utara
c Peraturan Pemerintah RI No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan
Pasal 22 ayat 1 a dan c: “Bagi tenaga kesehatan jika tertentu dokter dan perawat dalam
melaksanakan tugas profesinya berkewajiban untuk menghormati hak pasien dan memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang
akan dilakukan.” d
Surat Edaran Jenderal pelayanan Medik No. YM.02.04.3.5.2504 tanggal 10 Juni 1997 tentang pedoman Hak dan Kewajiban pasien, Dokter dan Rumah
sakit. Kewajiban dokter menurut Romawi III b angka 7 adalah memberikan informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan
serta resiko yang ditimbulkannya. e
Keputusan Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. No. HK. 00.06.3.5.1866 tanggal 21 April 1999 tentang persetujuan tindakan
medik Informed Consent. Didalam Romawi II angka 5 ditegaskan kewajiban dokter memberikan
informasi dan penjelasan, serta Romawi II angka 9 mengatur bahwa semua tindakan medis yang mengandung resiko tinggi harus disertai informed consent.
Persetujuan tindakan medis infomed consent dapat dilakukan secara lisan atau tertulis. Persetujuan atau penolakan dilakukan tindakan medis diberikan
oleh pasien atau keluargannya khusus pada pasien tidak kompeten atau pasien minor.
Universitas Sumatera Utara
Adapun menurut Pasal 13 Peraturan Menteri Kesehatan RI. No. 585perIX1989 tentang persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa
“terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adannya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
ijin prakteknya”. Dapat dipahami bahwa dokter bekerja berdasarkan persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarganya, ini berarti tanpa persetujuan seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan.
2. Perlindungan hukum bagi pasien pada saat pelaksanaan pelayanan medis
Perjanjian teraupeutik antara dokter dengan pasien menimbulkan kewajiban profesional bagi dokter. Kewajiban profesional dokter Indonesia diuraikan dalam
Sumpah Dokter Indonesia SDI, etika profesi, standar profesi dan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan.
Ketentuan Pasal 23 ayat 1 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan telah menyebutkan bahwa para tenaga kesehatan berhak memperoleh
perlindungan hukum apabila mereka melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan standar profesi mereka.
Seorang dokter yang bekerja di rumah sakit, selain memiliki kewajiban profesi sebagaimana diuraikan di atas, juga terikat pada peraturan rumah sakit.
Universitas Sumatera Utara
Peraturan rumah sakit hospital by laws menetapkan rambu-rambu khusus mengenai sikap tindak dokter dalam memberikan pelayanan medis di rumah sakit
tersebut. Di dalam kontrak perjanjian kerja antara dokter mitra dan rumah sakit, selalu
terdapat klausula perjanjian mengenai kewajiban dokter. Klausula tersebut memberikan perlindungan pada pasien sebagai pihak ketiga yang berhak atas
prestasi dalam perjanjian tersebut.
3. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Setelah Pelaksanaan Medis
Bentuk perlindungan hukum bagi pasien setelah pelaksanaan medis, yaitu berupa keselamatan pasien setelah pelaksanaan pelayanan medis; sebagaimana
telah diatur oleh ketentuan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: a.
Pasal 54 ayat 1 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan: “Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam
melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” b.
Pasal 58 ayat 1 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan: “setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan tenaga kesehatan...” Sebelum dilakukan tindakan medis, seorang dokter sudah diberikan
kewenangan untuk melakukan segala upaya yang dianggap perlu, resiko dan kemungkinan kemungkinan yang ditimbulkan. Pemahaman dan pengertian pasien
Universitas Sumatera Utara
diharapkan dapat membantu dalam proses penanganan medis.
E. Keberlakuan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen Bagi Bidang Jasa Pelayanan Medis
Kemajuan teknologi kedokteran dan perkembangan industri kesehatan, telah menempatkan pasien sebagai konsumen jasa pada industri kesehatan. Industri
kesehatan menurut Benyamin Lumenta, merupakan suatu mekanisme pemberian dan pemanfaatan pelayanan kesehatan sebagai suatu upaya inovasi, aktivitasi dan
motivasi pelayanan kesehatan, dengan konsekuensi primer berupa pemenuhan suatu hak, yaitu hak pasien atau hak konsumen dan konsekuensi sekunder berupa
imbalan.
131
Tanpa disadari, kemajuan teknologi kedokteran telah menimbulkan kompetensi dalam perkembangan industri kesehatan. Kompetensi industri
kesehatan. Dalam arti positif, merupakan kemampuan untuk memberikan kepada konsumen barang atau jasa pemeliharaan kesehatan yang bermutu lebih tinggi,
berharga lebih rendah, pelayanan yang lebih sempurna, lebih mudah terjangkau dan memenuhi kebutuhan, tuntutan, harapan dan kepuasan konsumen.
R. Sianturi mengemukakan; pasien selaku konsumen jasa pelayanan kesehatan sering menghadapi beberapa masalah, masalah-masalah tersesebut
antara lain :
131
Benyamin Lumenta, Pasien, Citra, Peran, dan Perilaku. Kanisius, Yogyakarta, 1989 h. 90
Universitas Sumatera Utara
1 Tarif pelayanan kesehatan baik di sarana kesehatan pemerintah maupun
sarana kesehatan swasta dirasakan terlalu tinggi dan di luar jangkauan kemampuan sebagian besar masyarakat;
2 Pada beberapa pelayanan kesehatan fungsi sosialnya kurang terlihat;
3 Tarif dokter dan dokter gigi dirasakan terlalu tinggi;
4 Kualitas pelayanan kesehatan pada umumnya menurun, walaupun
kuantitasnya bertambah. Hal ini menampakkan kurangnya komunikasi antara pemberi jasa dan orang sakit sebagai penerima sarana
5 Harga obat di apotek dirasakan terlalu tinggi dan sering terjadi kesalahan
dalam pemberian obat kepala pasien.
132
Lebih khusus lagi, Howard B. Waitkin dan Barbara Waterman menegaskan bahwa :
Perlindungan pasien selaku konsumen jasa kesehatan perlu diberikan karena lemahnnya kedudukan pasien dalam transaksi terapeutik yang disebabkan
oleh adannya panstratifikasian dalam sistem kesehatan yaitu adanya unsur kewenangan itu meliputi: wewenang yang didasarkan atas keahlian author
of expertice; keahlian teknis, yaitu keahlian teknik di bidang medik dan wewenang yang muncul akibat birokratisasi dunia kedokteran authority of
office; keahlian kantor, yaitu peluang untuk menduduki jabatan tinggi dalam struktur birokrasi
133
. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
UUPK merupakan landasan hukum yang kuat untuk menjamin adannya kepastian hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi konsumen maupun
132
R Sianturi, Perlindungan konsumen Diihat Dari Sudut Peraturan Perundang- Undangan Kesehatan, Makalah simposium Aspek-Aspek Perlindungan Konsumen;Jakarta
1990 h. 1-2
133
H.Baitzkin dan B.Waterman. Sosiologi Kesehatan, Aksara ;Jakarta1993, h. 113
Universitas Sumatera Utara
pelaku usaha yang beritikad baik. Menurut Sarsintorini Putra, UUPK tetap berlaku pada jasa pelayanan kesehatan dengan dasar hukum sebagai berikut:
134
1 Penjelasan Undang-undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen, menyatakan bahwa undang-undang tersebut adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum di bidang
perlindungan konsumen an umbrella act; 2
Ketentuan peralihan, Pasal 64 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen berbunyi “Segala ketentuan peraturan
perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dan atau tidak bertentangan dalam undang-undang ini.”
3 Menganut asas lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan
khusus mengesampingkan ketentuan umum. Undang –undang tentang kesehatan sebagai lex specialis, Undang-undang tentang perlindungan
konsumen sebagai lex generalis. Artinya jika kedua-duannya mengatur, maka yang berlaku adalah yang bersifat khusus, yaitu undang-undang
tentang kesehatan. Namun jika dalam Undang-undang tentang kesehatan
134
Sarsinotrium Putra. Perlindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan untuk Mewujudkan Derajat Kesehatan yang Optimal, Orasi Ilmiah dalam Dies
Natalies ke-37 Universitas 17 Agustus 1945,30 Agustus 2000
Universitas Sumatera Utara
tidak mengatur sendiri, maka undang-undang tentang kesehatan tidak mengatur tersendiri , maka undang-undang tentang konsumen berlaku
untuk jasa pelayanan kesehatan. Dalam perspektif secara umum di harapkan bahwa Undang-undang
kesehatan dapat berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang meliputi upaya
kesehatan dan sumber daya, penjangkau perkembangan yang semakin kompleks yang akan terjadi dalam kurun waktu mendatang dan pemberi kepastian
dan perlindungan hukum terhadap pemberi dan penerima jasa pelayanan kesehatan.
135
F. Penerapan Undang-undang No. 8 tahun 1999 sebagai Perlindungan
terhadap Hubungan Hukum Dokter dan Pasien
Dalam UU Perlindungan Konsumen, tidak diatur secara khusus bentuk perlindungan yang diberikan kepada pasien sebagai konsumen jasa medis. Namun
dengan persepsi yang menyamakan pasien adalah juga sebagai konsumen maka dengan demikian kedudukan, hak dan kewajiban pasien dalam hal ini telah juga
termuat sebagaimana kedudukan, hak dan kewajiban konsumen pada umumnya, dalam UU Perlindungan Konsumen. Hukum sangat diperlukan dalam praktek
135
M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Op.cit h. 30
Universitas Sumatera Utara
pelayanan kesehatan melengkapi kaidah sosial lainnya dalam masyarakat adalah karena selain kelebihan-kelebihannya yang menyangkut nilai serta
kekuatan paksanya, hukum memiliki fungsi antara lain : 1.
Menjaga ketertiban dalam masyarakat; 2.
Menyelesaikan sengketa yang sewaktu-waktu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat;
3. Melakukan rekayasa masyarakat dengan menggunakan hukum sebagai
a tool of social engineering ,
Intervensi hukum ke dalam dunia kesehatan memang tidak terelakkan sebagai konsekuensi logis dari adanya the police power, yaitu suatu kekuasaan yang
dimiliki oleh negara untuk melindungi kesehatan, keselamatan, moral dan kesejahteraan sosial bagi warganya the power of the state to protect the health,
safety, moral, and social welfare of its citizen
136
Perlu digaris bawahi bahwa pada kenyataannya profesi medis yang dimanfaatkan untuk melakukan layanan kesehatan memiliki ciri-ciri tersendiri yang
sangat unik. Kendati ilmu kedokteran masuk ke dalam golongan-golongan ilmu eksakta, tetapi pada kenyataannya tidaklah sepenuhnya benar. Tidak semua pasien
yang menerima terapi yang benar akan sembuh dan tidak semua pasien yang memperoieh pengobatan yang salah bakal meninggal dunia. Masalahnya adalah
136
Sofwan Dahlan. Operasionalisasi Hukum dalam Praktek Pelayanan Kesehatan, Makalah
dalam Seminar di Unika Soegiyopranoto, Semarang, 2003
Universitas Sumatera Utara
karena hingga sekarang ilmu kedokteran masih belum mampu mengidentifikasi semua variabel yang dapat mempengaruhi upaya kesehatan, di samping belum pula
berhasil mengukur besaran tiap-tiap variabelnya sehingga resultant-nya sulit diperhitungkan secara matematik. Dalam kondisi yang demikian ini, ditambah dengan
lemahnya posisi pasien sebagai konsumen, yang disebabkan oleh awamnya pengetahuan mereka tentang pelayanan medis, menyebabkan timbulnya suatu
kebutuhan akan undang-undang yang mampu memberikan perlindungan hukum terhadap hak-hak pasien sebagai konsumen.
Dalam Ketentuan Umum UUPK dinyatakan bahwa Konsumen adalah setiap orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan, Dengan pengertian yang demikian maka jelaslah bahwa
pasien sebagai penerima layanan kesehatan health care receiver termasuk juga dalam pengertian yang diisyaratkan oleh Undang-undang Perlindungan Konsumen
ini. Adapun jasa menurut pengertian undang-undang ini adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk
dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam hal ini pasien sebagai konsumen yang mengkonsumsi jasa pelayanan medis yang diberikan oleh tenaga medis
dokter sebagai pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha menurut undang- undang ini adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
Universitas Sumatera Utara
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha berbagai bidang ekonomi. Penjelasan UU Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa pada dasarnya
UU perlindungan Konsumen bukan merupakan awal dan akhir hukum yang mengatur tentang perlindungan konsumen. Ada undang-undang yang materinya
melindungi kepentingan konsumen antara lain Undang-undang Kesehatan. Terbentuknya Undang-undang Kesehatan dengan tujuan agar pelaku usaha
dokter dan konsumen jasa pelayanan kesehatan pasien mendapatkan perlindungan dari UUPK. Hal ini dapat dilihat dari :
1
UU Perlindungan Konsumen merupakan landasan yang kuat untuk menjamin adanya kepastian hukum, untuk memberi perlindungan baik
bagi konsumen, maupun pelaku usaha yang beritikad baik;
2
Penjelasan UU Perlindungan Konsumen bahwa materi UU Kesehatan melindungi konsumen;
3
UU Perlindungan Konsumen adalah payung yang mengintegrasikan dan memperkuat penegakan hukum bidang perlindungan konsumen; Ketentuan
Peralihan UU Perlindungan Konsumen pasal 64 berbunyi: Segata ketentuan peraturan perundang-nndangan yang bertujuan
melmdungi konsumen yang telah adapada saat UU ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khimis dcmatau
tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU ini;
Universitas Sumatera Utara
4
UU Perlindungan Konsumen mengandung asas Lex specialis derogat lex generalis artinya ketentuan umum UU Kesehatan sebagai lex
specialis dan UU Perlindungan Konsumen sebagai lex generalis. Karakteristik di atas, menyebabkan beberapa pasal dalam UU
Perlindungan Konsumen menjadi tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, misalnya : 1
Pasal 4 ayat a, hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barangjasa tidak sepenuhnya terpenuhi karena dokter
harus mengintervensi tubuh pasien untuk melaksanakan tindakan medik, misalnya suntik, bedah, dan Iain-lain;
2 Pasal 4 ayat b, hak konsumen untuk memilih jasa tidak berlaku dalam
keadaan darurat, karena dokter harus mengadakan upaya penyelamatan tanpa pasien dapat memilih tindakan yang akan ditakukan terhadap
dirinya; 3
Pasal 4 ayat c, hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur tidak dapat diberlakukan dalam kasus-kasus tertentu, misalnya pasien lemah jantung,
karena akan berakibat lebih melemahkan pasien; 4
Pasal 4 ayat h, ganti rugi harus diselesaikan dalam waktu 7 tujuh hari, tidak mungkin dilaksanakan dalam pelayanan kesehatan, karena
pembuktian kesalahan memerlukan waktu yang tidak sedikit; 5
Pasal 7 ayat e, kewajiban memberikan jaminan danatau garansi tidak dapat dilakukan, karena hasil pelayanan kesehatan tidak dapat dipastikan
Universitas Sumatera Utara
uncertainty; 6
Pasal 8 ayat d, jasa dokter tidak dapat diberi label, sehingga dokter tidak dapat menjamin kondisi dan kemanjurannya;
7 Pasal 9 sampai dengan pasal 17, iklanpromosi dilarang pada pelayanan
kesehatan, menurut pasal 4 dan pasal 6 KODEKI; 8
Pasal 18, pencantuman klausula baku, karena ilmu kedokteran tidak ada kepastian uncertainty;
9 Pasal 22 menyatakan adanya pembuktian terbalik akan berakibat
timbulnya defensive medicine di kalangan dokter, yaitu melakukan pemeriksaan secara berlebihan, mengasuransikan profesi, mempekerjakan
penasehat hukum, yang pada akhirnya semua biaya harus dipikul pasien. Sikap mempersenjatai diri pada waktu orang meminta pertolongan medis
mencerminkan kurangnya kepercayaan terhadap pemberi pelayanan kesehatan. Reaksi defensive medicine dari dokter mencerminkan ketidakpercayaannya pada
itikad baik pasien. Keadaan ini menimbulkan krisis pelayanan kesehatan yang dapat diatas dengan perlindungan hukum, antara lain berupa hak dan kewajiban
bagi kedua belah pihak; 10
Pasal 23, gugatan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen. IDI Ikatan Dokter Indonesia sudah menetapkan melalui MKEK Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran dan BPA Badan Pembeiaan Anggota. Penyelesaian sengketa melalui MKEK dan BPA tersebut tidak dapat melalui class action.
Universitas Sumatera Utara
11 Pasal 26, pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib menjamin barang
yang diperjanjikan. Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan, hanya menjamin bahwa akan dilakukan upaya yang sebaik-baiknya.
5. Upaya Hukum Pasien atas Kesalahan atau Kelalaian medis malpraktek