E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum,
maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara USU Medan, dan sejauh yang diketahui, penelitian yang berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap pasien, sudah pernah dilakukan oleh peneliti lain, yaitu :
1. Muhammad Syaifuddin 002105015, dengan judul Eksistensi Dan Peranan
Komite Medis Dalam Pengelolaan Rumah Sakit Umum Di Kota Palembang Kajian Tentang Upaya Perlindungan Pasien sebagai Konsumen Kesehatan.
2. Frengky Hasudungan P 037005043, dengan judul Aspek Hukum Pidana
Dalam Kelalaian Atau Kesalahan Malpraktek Seorang Dokter Terhadap Pasiennya.
3. Sinta Mauly agnes Tamba 067011081, dengan judul Perlindungan Hukum
Terhadap Pasien Rawat Inap Jamsostek Sebagai Konsumen Jasa Pelayanan Kesehatan Studi Kasus di RSU Sari Mutiara Medan
Dari Ketiga penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan perlindungan hukum pasien, belum ada yang melakukan penelitian tentang
perlindungan hukum terhadap pasien ditinjau dari perjanjian terapeutik transaksi medis. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara
akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh
Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh
teori.
7
Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.
8
Menurut Bintoro Tjokroamijoyo dan Mustofa Adidjoyo “teori diartikan
sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan variabel
dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka fikir Frame of thingking dalam memahami serta menangani permasalahan yang
timbul di dalam bidang tersebut“.
9
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang
diamati.
10
Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, h. 6
8
J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, , 1996, h. 203
9
Bintoro Tjokroamidjojo dan Mustofa Adidjoyo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, CV. Haji Mas Agung, Jakarta, 1988, h. 12
10
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, h. 35
Universitas Sumatera Utara
perlindungan hukum, klausul baku dan hukum perjanjian, serta hukum konsumen antara Dokter pelaku usaha dan Pasien konsumen, yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini.
11
Perlindungan adalah segala upaya yang dilakukan untuk melindungi subjek tertentu; dapat juga
diartikan sebagai tempat berlindung dari segala sesuatu yang mengancam.
12
Philipus M. Hadjon mengemukakan bahwa: Perlindungan hukum merupakan perlindungan harkat dan martabat dan
pengakuan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum dalam negara hukum dengan berdasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku di negara
tersebut guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan. Perlindungan hukum itu pada umumnya berbentuk suatu peraturan tertulis, sehingga sifatnya lebih
mengikat dan akan mengakibatkan adanya sanksi yang harus dijatuhkan kepada pihak yang melanggarnya.
13
Menurut Philipus M. Hadjon, dibedakan dua macam perlindungan hukum,
yaitu:
14
1. Perlindungan hukum yang preventif yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya permasalahan atau sengketa. 2.
Perlindungan hukum yang represif yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan atau sengketa yang timbul.
Perlindungan hukum memperoleh landasan idiil filosofis pada sila kelima Pancasila, yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Didalamnya
11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung 1994, h. 80.
12
W.J.S. Poerwadarminto. 1989. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.h.68
13
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia. Surabaya : Bina Ilmu. 1987. h. 205
14
Ibid h. 117
Universitas Sumatera Utara
terkandung suatu ‘hak’ seluruh rakyat indonesia untuk diperlakukan sama didepan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian
subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki
kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguanancaman dari pihak manapun juga.
15
Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai tiga ide dasar hukum atau tiga nilai dasar hukum yang berarti dapat dipersamakan
dengan asas hukum. Ketiga asas hukum tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan.
16
Disamping Hukum Kesehatan, Pelaksananan perlindungan pasien dapat dilaksanakan melalui hukum konsumen. Hukum konsumen adalah azas-azas atau
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah peneyediaan dan penggunaan produk barang danatau jasa antara penyedia dan penggunanya
dalam kehiduan bermasyarakat.
17
Selain itu perlindungan hukum dapat dilaksanakan dalam bentuk substansi atau isi perjanjian antara dokter dan pasien.
Ketentuan tentang perjanjian atau kotrak diatur dalam buku III KUH Perdata.
15
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusamedia, Bandung, 2006 h. 152
16
Ahmadi Miru dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004 h. 26.
17
A. Nasution , Hukum Perlindungan Konsumen : Suatu Pengantar, Cv,. Triarga Utama, Jakarta, 2002. h. 22
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1338 alinea 1 KUH Perdata, menentukan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Ketentuan ini merupakan dasar hukum disahkannya perjanjian dalam bentuk apapun yang dibuat secara sah, sebagai undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya. Dengan demikian perjanjian yang telah menjelma menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya wajib
dipatuhi oleh kedua belah pihak dengan iktikad baik Pacta Sunt Servanda. Pasal 1338 KUH Perdata alinea pertama ini merupakan suatu tuntutan kepastian
hukum.
18
Tidak dipatuhinya perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak tersebut akan menimbulkan tuntutangugatan dari pihak yang merasa dirugikan. Kemungkinan
campur tangan pihak ketiga, dalam hal ini negara melalui hakim menjadi terbuka bila salah satu pihak tidak melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
Disini hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan perjanjian tersebut melanggar kepatutan atau keadilan.
Pasal 1338 KUH Perdata alinea 3 mengatakan “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apabila Pasal 1338 alinea pertama dipandang
sebagai suatu tuntutan kepastian hukum, maka Pasal 1338 alinea ketiga sebagaimana tersebut di atas harus dipandang sebagai suatu tuntutan keadilan bagi
pihak yang dirugikan.
19
18
Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, Alumni, Bandung , 1981, h. 67.
19
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Pada dasarnya kontrak atau perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum pemenuhan syarat
subjektif untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas pemenuhan syarat objektif. Namun, adakalanya “kedudukan” dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi
tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak.
Mengenai hal ini Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani yang dikutip Sidarta mengemukakan bahwa :
Dalam praktek dunia usaha juga menunjukkan bahwa “keuntungan” kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian
baku danatau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang “lebih dominan” dari pihak lainnya.
Dikatakan bersifat “baku” karena, baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak
lainnya. Take it or leave it. Tidak adanya pilihan bagi salah satu pihak dalam perjanjian ini, cenderung merugikan pihak yang kurang dominan tersebut.
Terlebih lagi dengan sistem pembuktian yang berlaku di negara Indonesia saat ini, jelas tidaklah mudah bagi pihak yang cenderung dirugikan tersebut
untuk membuktikan tidak adanya kesepakatan pada saat dibuatnya perjanjian baku tersebut, atau atas klausula baku yang termuat dalam perjanjian yang
ada.
20
20
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, h. 119.
Universitas Sumatera Utara
Salim HS mengatakan bahwa “istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu “standard contract”. Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan telah dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah”.
21
Munir Fuady mengartikan kontrak baku adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak
tersebut, bahkan sering kali tersebut sudah tercetak boilerplate dalam bentuk formulir-formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikandata-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahn dalam klausul-klausulnya, di mana pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-klausul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah.
Pihak yang kepadanya disodorkan kontrak baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi “take it or
leave it”. Dengan demikian, oleh hukum diragukan apakah benar-benar ada elemen kata sepakat yang merupakan syarat sahnya kontrak dalam kontrak
tersebut. Karena itu pula, untuk membatalkan suatu kontrak baku, sebab kontrak baku adalah netral.
22
Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian
21
Salim. H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta, 2006, h. 145.
22
Shidarta, Op.Cit, h. 119.
Universitas Sumatera Utara
yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”.
23
Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya
hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya
24
. Mariam Darus Badrulzaman mengemukakan bahwa standard contract merupakan perjanjian
yang telah dibakukan. Mariam Badrulzaman juga mengemukakan ciri-ciri perjanjian baku, yaitu :
1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi ekonominya
kuat; 2.
Masyarakat debitur sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian;
3. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu;
4. Bentuk tertentu tertulis;
5. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
25
Sutan Remi Sjahdeni mengemukakan bahwa : Perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul-
klausulnya dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan.
Adapun yang belum dibakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal
yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeni menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausul-klausulnya.
Oleh karena itu suatu perjanjian yang dibuat dengan akta notaris, bila dibuat
23
Munir Fuady, Hukum Bisnis dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h.76.
24
Salim. H.S., Op.Cit., h. 147.
25
Ibid, h. 147.
Universitas Sumatera Utara
oleh notaris dengan klausul-klausul yang hanya mengambil alih saja klausul- klausul yang telah dibakukan oleh salah satu pihak, sedangkan pihak yang
lain tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul itu, maka perjanjian yang dibuat dengan akta notaris itu
pun adalah juga perjanjian baku”.
26
Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu 1 diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; 2 dalam bentuk sebuah formulir;
dan 3 adanya klausul eksonerasipengecualian. Pada umumnya selalu dikatakan bahwa sebuah kontrak standar adalah
kontrak yang bersifat ambil atau tinggalkan, mengingat bahwa tidak ada prinsip kontrak. Dalam reformasi hukum perjanjian diperlukan pengaturan tentang
kontrak standar. Hal ini sangat diperlukn untuk melindungi masyarakat, terutama masyarakat ekonomi lemah terhadap ekonomi kuat.
Sebenarnya, perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir, walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam
bentuk pengumuman yang ditempelkan di tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni
oleh produsenpenyalur produk penjual, dan mengandung ketentuan yang berlaku umum massal, sehingga pihak yang lain konsumen hanya memiliki dua
pilihan: menyetujui atau menolaknya.
26
Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia IBI,
Jakarta, 1993, h. 66.
Universitas Sumatera Utara
Adanya unsur pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan, perjanjian standar tidaklah melanggar asas kebebasan berkontrak Pasal 1320 jo. 1338 KUH
Perdata. Artinya, bagaimanapun pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui take it atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya leave it.
Itulah sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract.
Jika ada yang perlu dikhawatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi exemption clause dalam
perjanjian tersebut. Namun demikian, Sutan Remy Syahdeni terhadap klausul eksonerasi lebih memilih penggunaan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan
dari exemption clause yang dipakai dalam hukum Inggris. Hal ini didasarkan pada Pedoman Umum Pembentukan Istilah menurut Keputusan Mendikbud No.
0389U1988.
27
Sutan Remy Syahdeini mengutip beberapa pendapat sarjana mengenai klausul eksonersi antara lain :
1 Mariam Darus Badrul Zaman, yang mengatakan klausul eksonerasi
adalah klausula yang membatasi pertanggung jawaban dari kreditur 2
Kumar memberikan mengenai exslusion clause, yaitu clause of a contract which purports to protect the proferens absolutely or in a limited manner
against liability, for breach of contract. or damage, or exclude his liability if the action is brought after the stipulated time.
27
Ibid., h. 73
Universitas Sumatera Utara
3 David Yates yang juga menggunakan istilah exslusion clause, yaitu Any
term i acontract restricting, excluding or modifying a remedy or a liability arising out of a breach of a contractual obligations.
28
Sutan Remi Syahdeni memberikan pengertian klausul eksonerasi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah
satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan dalam
perjanjian tersebut.
29
Dalam memahami produk hukum berupa Undang-Undang keberadaan bagian ketentuan umum sangat menentukan arah dan tujuan kemana suatu
Undang-Undang tersebut akan dibawa. Oleh karena itu, agar memberikan jaminan akan kepastian hukum, ukurannya secara kualitatif ditentukan dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen dan undang-undang lainnya yang juga dimaksudkan dan masih berlaku untuk memberikan perlindungan hukum bagi
konsumen, baik dalam bidang hukum privat Perdata, maupun hukum publik Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Negara
30
. Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
31
Apabila pihak
28
Ibid., h. 74
29
Ibid., h. 75
30
Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, h. 1-2
31
Ibid, h. 11.
Universitas Sumatera Utara
lain melanggar hak tersebut, maka akan menimbulkan gugatan hukum dari sipemilik hak, yang diajukan ke hadapan aparat penegak hukum.
32
Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak memperoleh
keadilan, yang dalam konteks hukum perlindungan konsumen terbagi menjadi dua kelompok yakni keadilan sebagai pelaku usaha disatu sisi dan keadilan sebagai
konsumen disisi lain. Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan jasa
kesehatan dan pelaksanaan kegiatan terapeutik antara Dokter dan Pasien, dengan sendirinya memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda
pula. Bagi seorang Dokter perlindungan itu adalah untuk kepentingan pengabdian profesi mereka dalam menjalankan kegiatan pelayanan jasa kesehatan, seperti
bagaimana mempergunakan segala ilmu dan keahlian untuk kepentingan pasien, serta bertanggung jawab penuh terhadap apa yang dilakukannya dalam upaya
penyembuhan. Masalah tanggung jawab hukum dalam hukum perdata civielrchtlijke
aanspraakkelijkheid dapat dilihat dari formulasi Pasal 1365 KUH Perdata yang mengatur adanya pertanggung-jawaban pribadi si pelaku atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya persoonlijke aansprakelijkheid. Disamping itu, Undang-Undang mengenal pula pertanggung-jawaban oleh bukan si pelaku
32
Ibid
Universitas Sumatera Utara
perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur di dalam Pasal 1367 KUH Perdata. Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang tidak saja bertanggung jawab atas
kerugian yang yang disebabkan oleh perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, disebabkan oleh barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya.
2. Konsepsi