profesional dapat dipaksa untuk memenuhi ketentuan yang bersifat melindungi kepentingan publik. Sanksi Hukum Pidana yang bersifat lebih
keras daripada sanksi cabang hukum lainnya, merupakan ultimum remedium, yang berarti bahwa sanksi Hukum Pidana itu janganlah digunakan sebagai
sarana primair, tetapi hendaknya digunakan secara selektif sebagai pengganti apabila sarana-sarana lain dipandang tidak mampu. la hams digunakan
secara selektif, karena pada hakekatnya sanksi pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan.
F. Penanganan Pelanggaran Etik Kedokteran
Penanganan pelanggaran etik kedokteran dilakukan oleh organisasi profesi. Di Indonesia badan yang berwenang itu adalah Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran MKEK yang merupakan badan kliusus di lingkungan Ikatan Dokter Indonesia IDI. Dalam menilai kasus-kasus pelanggaran etik kedokteran,
MKEK berpedoman pada : Pancasila, prinsip-prinsip dasar moral umumnya, ciri dan hakekat pekerjaan profesi, Lafal Sumpah Dokter Indonesia, tradisi luhur
kedokteran, KODEKI, Hukum Kesehatan terkait, hak dan kewajiban dokter, hak dan kewajiban pasien, pendapat rata-rata masyrakat kedokteran, dan pendapat
pakar-pakar serta praktisi senior. Keputusan MKEK juga mempertimbangkan tentang tujuan spesifik yang
ingin dicapai, manfaatnya bagi kesembuhan penderita, manfaatnya bagi
Universitas Sumatera Utara
kesejahteraan umum, penerimaan penderita terhadap tindakan itu, preseden tentang tindakan semacam itu dan standar pelayanan medis yang berlaku, Jika
semua pertimbangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran etik, pelanggaran itu dikategorikan dalam kelas ringan, sedang atau berat yang
berpedoman pada : akibat terhadap kesehatan penderita, akibat bagi masyarakat umum, akibat bagi kehormatan profesi, peranan penderita yang mungkin ikut
mendorong terjadinya pelanggaran dan alasan-alasan lain yang diajukan tersangka. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran etik kedokteran bersifat edukatif dan
diberikan bergantung pada berat ringannya pelanggaran etik tersebut.. Bentuk sanksi yang diberikan dalam pelanggaran etik dapat berupa :
a. Teguran atau tuntunan secara lisan atau tertulis
b. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat
c. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah
d. Dicabut izin dokter untuk sementara atau selama-lamanya
Pada kasus-kasus pelanggaran etikolegal, diberikan hukuman sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.
Di samping MKEK, berdasarkan Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1995 Tanggal 10 Agustus 1995 tentang Majelis Disiplin Tenaga
Kesehatan MDTK telah dibentuk MDTK Tingkat Pusat dan MDTK Tingkat Propinsi. MDTK bertugas meneliti dan menentukan ada atau tidak adanya
kesalahan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
oleh tenaga kesehatan termasuk dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan. Keanggotaan MDTK Tingkat Pusat ataupun Tingkat Propinsi
berjumlah lima belas orang, terdiri atas unsur-unsur ; sarjana hukum, ahli kesehatan yang mewakili organisasi profesi di bidang kesehatan, ahli agama, ahli
psikologi dan ahli sosiologi. MDTK Tingkat Propinsi melakukan tugas dan fungsinya atas dasar
permintaan Pejabat Kesehatan, pimpinan sarana kesehatan atau penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan oleh tenaga kesehatan yang
bersangkutan. Permintaan tersebut diajukan secara tertulis disertai data-data yang diperlukan. Sidang MDTK dilakukan secara tertutup untuk umum. Sidang
Majelis MDTK dapat memanggil dan meminta keterngandari tenaga kesehatan yang diadukan, penerima pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan, saksi,
melakukan pemeriksaan di lapangan, atau hal lain yang dianggap perlu. Selanjutnya, hasil keputusan MDTK Tingkat Propinsi disampaikan secara
tertulis kepada Pejabat Kesehatan yang berwenang mengambil tindakan disiplin terhadap tenaga kesehatan dengan memperhatikan peraturan pemndang-
undangan yang berlaku.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM PERJANJIAN TERAPEUTIK TRANSAKSI MEDIS SEBAGAI
KONSUMEN JASA MEDIS
A. Tinjauan Umum Perlindungan Konsumen