BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam masa perkembangan dunia saat ini yang begitu pesat, kita dihadapkan pada suatu keprihatinan akan nasib umat manusia di masa datang
yang akan diancam kemungkinan kemusnahan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ancaman ini begitu terasa dengan adanya pengembangan senjata
konvensional dan nuklir secara besar-besaran oleh negara-negara maju baik secara terang-terangan yaitu dengan adanya percobaan senjata yang dilakukan di areal
tertentu maupun secara rahasia yang belum diketahui keberadaannya. Meskipun peristiwa pemboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang
diketahui bangsa-bangsa di dunia, namun hal ini tidak lantas membuat negara- negara lain di dunia ini berhenti untuk memiliki dan mengembangkan senjata-
senjata konvensional dan nuklir, padahal daya hancur persenjataan tersebut disadari betul oleh mereka.
Dengan semakin kuatnya integrasi perekonomian antar negara, maka semakin erat pula kaitan antara kepentingan dalam negeri dengan kepentingan
regional. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kaitan antara keamanan dan stabilitas regional juga semakin erat. Maka tidaklah mengherankan apabila
kerjasama regional atau bahkan kerjasama lintas regional, khususnya di bidang keamanan serta pemeliharaan stabilitas telah menjadi kebutuhan yang sngat
mendesak.
Universitas Sumatera Utara
Kecenderungan ini sekalipun memberikan suatu indikasi bahwa di dalam era kekuatan ekonomi ini maka pemeliharaan stabilitas sub-kawasan atau bahkan
stabilitas kawasan yang lebih luas lagi telah menjadi suatu kepentingan dari semua negara di dalamnya. Dengan demikian sudah semakin jelas bahwa keseimbangan
yang melandasi terwujudnya kerjasama keamanan ataupun kerjasama di bidang lain telah muncul sebagai suatu strategi baru dalam hubungan antar negara,
menggantikan apa yang disebut perimbangan kekuatan.
4
Melihat gambaran keadaan di atas kiranya sudah waktunyan untuk memikirkan suatu cara terobosan baru dengan lebih memilih pendekatan
regionalisme daripada pendekatan universalisme. Pendekatan regionalisme yang dimaksud di sini adalah pembentukan zona damai dan zona bebas nuklir.
5
Pendekatan regionalisme sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Internasional. Asia Tenggara sebagai suatu kawasan region
mengimplementasikan pendekatan regionalisme ini ke dalam konsep Zone of Peace, Freedom and Neutrality ZOPFAN yang dihasilkan melalui Deklarasi
Kuala Lumpur tahun 1971.
6
Seperti tertuang dalam Deklarasi Bangkok 1967, tujuan pokok pembentukan ASEAN adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,
kemajuan sosial dan pembangunan budaya. Dimensi keamanan memang tidak secara eksplisit tertuang dalam deklarasi itu. Namun Pasal 2 Deklarasi Bangkok
menyatakan bahwa ASEAN akan berusaha untuk “meningkatkan perdamaian dan
4
Laksamana Muda RM Sunardi, Badan Penelitian dan Pengembangan DEPLU RI, Jurnal Luar Negeri No. 27
, Desember 1994, Jakarta, Hal. 75
5
Drs. Syamsu Suryadi,et al, Prospek didirikannya SEANWFZ, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang, 1990, hal 2.
6
Ibid, hal 4
Universitas Sumatera Utara
stabilitas kawasan dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum dalam hubungan antara negara dikawasan serta mematuhi prinsip-prinsip piagam PBB”.
Pasal 2 itulah yang merupakan landasan pemikiran kerja sama keamanan ASEAN. Pada kenyataannya kerjasama dibidang keamanan diantara negara-negara
anggota ASEAN merupakan perpaduan antara kebijakan keamanan nasional masing-masing anggota dengan suatu pengaturan tatanan regional. Doktrin
penting yang mendasari hal itu adalah Doktrin Ketahanan Nasional national resilience
dan Ketahanan Regional regional resilience. Komponen internal dari doktrin itu pada prinsipnya merupakan upaya membina rasa saling pengertian dan
kepercayaan dalam kehidupan antar negara confidence building measures. Komponen eksternal dari doktrin itu merupakan pengejawantahan semangat
kemandirian ASEAN dari campur tangan negara-negara luar kawasan. Di dalam komponen-komponen itu tentu saja terdapat aspek-aspek
substanstif, prosedural dan implementatif. Sejauh menyangkut substansi doktrin ketahanan regional itu, negara-negara ASEAN pada umumnya menganggap
campur tangan pihak luar dalam masalah internal kawasan sebagai faktor ketidakstabilan. Namun sebagai kumpulan negara yang memiliki kekuatan
ekonomi, politik dan militer lebih kecil dibanding kekuatan negara-negara besar, ASEAN, seperti halnya kerjasama antar Negara di kawasan lain, pada prinsipnya
mempunyai 3 tiga pilihan kebijakan, yaitu : pertama, berusaha menolak partisipasi pihak luar sehingga perimbangan kekuatan kawasan tidak berubah;
kedua, menerima partisipasi aktor luar yang mendukung stabilitas seraya menolak yang mendorong ketidakstabilan kawasan; dan ketiga, mengajak kekuatan luar ke
Universitas Sumatera Utara
dalam institusi pengaturan keamanan kawasan. Dua kebijakan yang disebut pertama merupakan pilihan bagi kalangan realis, sedang yang disebut belakangan
memperoleh dukungan Dari para penganut mazhab neoliberal dan interdependensi.
Kombinasi dari berbagai pilihan kebijakan itulah yang kemudian tertuang dalam substansi ketahanan regional Deklarasi ZOPFAN Zone of Peace, Freedom
and Neutrality yang disepakati dalam pertemuan menteri-menteri luar negeri
ASEAN di Kuala Lumpur bulan November 1971. Deklarasi ZOPFAN terdiri dari dua bagian pokok, pendahuluan dan dua paragraf pokok. Paragraf pertama
menyatakan bahwa negara-negara ASEAN bertekad menjamin pengakuan dan penghormatan atas Asia Tenggara sebagai kawasan yang damai, bebas dan netral
terlepas dari campur tangan kekuatan luar. Paragraf kedua menyatakan keinginan negara-negara Asia Tenggara memperluas bidang kejasama untuk memupuk
kekuatan, solidaritas dan hubungan yang lebih erat dengan sesama negara kawasan.
INDONESIA
, pada awalnya agak dingin dalam menanggapi konsep ZOPFAN, Indonesia lebih cenderung melihat gagasan keamanan Asia Tenggara
melalui konsep ketahanan nasional menuju ketahanan regional. Dalam perkembangannya, konsep ZOPFAN memang kemudian mendapat penyesuaian
dengan memasukkan konsep Indonesia tentang ketahanan regional ke dalamnya. Dalam pertemuan Menlu ASEAN ke-16 pada bulan Juni 1983, Indonesia
melalui MENLU RI Mochtar Kusumaatmadja, mengusulkan konsep Nucleur Weapon Free Zone sebagai elemen yang melengkapi konsep ZOPFAN.
Universitas Sumatera Utara
Dari penjelasan diatas terlihat bahwa dukungan Indonesia terhadap ZOPFAN terutama didasarkan pada prinsip neutrality dalam arti nonaligned, yang
tidak menyetujui keberadaan pangkalan militer asing di kawasan ASEAN. Konsep ketahanan nasional diartikan Indonesia sebagai kondisi dimana
suatu bangsa yang dapat mengembangkan kekuatan-kekuatan secara nasional untuk menghadapi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan yang
datang dari dalam maupun dari luar, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan identitas, integritas maupun kelangsungan hidup bangsa
Indonesia. Jadi didasarkan pada anggapan bahwa keamanan nasional yang sebenarnya terletak pada kepercayaan kepada diri sendiri, ketahanan nasional
lebih berorientasi ke dalam, dan sendiri kepada ketahanan di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, IPTEK, ideologi dan HANKAM.
Dengan demikian membangun ketahanan nasional melalui ketahanan regional berarti membangun kemampuan nasional menghadapi tantangan dan
gangguan terhadap stabilitas nasional. Pembangunan ketahanan nasional adalah usaha mengintegrasikan semua sektor atau aspek kehidupan nasioanl sehingga
menjadi kekuatan yang dinamis dan tangguh untuk menegakkan kedaulatan bangsa. Sehingga secara hokum penerapan jurisdiksi bangsa di wilayah sendiri
bisa lebih terjamin.
MALAYSIA, yang merupakan pencetus gagasan ZOFPAN menggariskan
netralitas Asia Tenggara dengan jaminan negara-negara besar. Ide dan konsep netralitas ini kemudian dikembangkan dengan menjelaskan bahwa Malaysia
melihat gagasan itu sebagai rencana jangka panjang.
Universitas Sumatera Utara
Gagasan ini dijabarkan kembali lebih lanjut pada Oktober 1971 yang membahas kedua tingkat pelaksanaan ZOPFAN. Pada tingkat pertama, Negara
Asia Tenggara harus saling menghormati kedaulatan dan integrasi territorial masing-masing, dan tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengancam keamanan
negara lainnya, baik langsung maupun tidak langsung. Tingkat kedua, negara- negara besar seperti Amerika Serikat, Uni Sovyet, dan Republik Rakyat Cina
RRC harus dapat menyetujui Asia Tenggara sebagai suatu daerah netral dan harus menciptakan instrumen pengawasan bagi penjaminan netralitas Asia
Tenggara dalam pertarungan kekuatan internasional.
THAILAND , posisi resmi tentang ZOPFAN yang dikeluarkan agak
berbeda dengan apa yang diutarakan Indonesia dan Malaysia. Thailand walaupun ikut menandatangani deklarasi Kuala Lumpur pada tahun 1971, namun dalam
posisi resminya seperti yang dikatakan oleh Dr. Thanat Khoman menyatakan bahwa “kami tidak melihat suatu alasan untuk melepaskan, untuk sementara
waktu kewajiban-kewajiban kami adalah persetujuan yang sudah ada, paling tidak sampai prospek perdamaian, kebebasan dan netralitas dapat dijamin
penuh”. Bagi Thailand, posisi mereka mengenai keamanan regional adalah
mengikuti politik luar negerinya yang cenderung pragmatis, artinya negara itu akan melibatkan diri dalam setiap bentuk kerjasama regional yang bisa menjamin
kelangsungan hidupnya. Posisi Thailand di saat terakhir seperti yang dinyatakan dalam KTT Singapura, masih memilih adanya jaminan negara-negara besar di
kawasan ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Thailand baik politik maupun
Universitas Sumatera Utara
hukum nasionalnya belum terlihat dalam konsep baik pembentukan ZOPFAN maupun SEANWFZ.
Sikap SINGAPURA, mengenai keamanan regional juga menunjukkan
perbedaan yang besar dengan apa yang ditampilkan negara-negara ASEAN lainnya singapura menganggap penting mempertahankan pengaruh militer negara-
negara besar si Asia Tenggara selama mungkin, karena itu Asia Tenggara tetap menjadi perhatian negara-negara besar sehingga ide perkembangan kekuatan di
kawasan ini dapat di pelihara. Berbeda dengan sikap Thailand yang mengandalkan pada satu atau dua kekuatan Negara besar yang paling kuat. Singapura memilih
konsep Balance of Presence. Akibanya tidak mengherankan jika Singapura adalah pendukung kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan ini.
Menurut Singapura apakah tidak lebih baik bilamana dalam rangka membuat kerjasama yang lebih luas, misalnya menjadi tingkat Asia-Pasifik.
Singapura lebih lanjut mempertanyakan apakah ZOPFAN bisa menjadi keamanan di Asia Tenggara.
Jadi disini terlihat bahwa pada dasarnya Singapura kurang berperan dalam usaha pembentukan ZOPFAN maupun SEANWFZ, maka oleh karena itu
pengaruh hukum nasional dari Singapura terhadap konsep ZOPFAN dan SEANWFZ hanya penandatanganan saja.
FILIPINA, sebagai negara kepulauan yang terletak lebih jauh dari daratan
Asia Tenggara, menganggap dirinya jauh dari ancaman. Apalagi pangkalan Amerika Serikat merupakan jaminan baginya terhadap setiap bentuk ancaman dari
luar. Masalah-masalah domestik yang dihadapi Filipina mulai dari persoalan
Universitas Sumatera Utara
gerilya komunis Moro, dan kini masalah kesulitan ekonomi, menyulitkan pemerintah untuk cukup memberikan perhatian yang cukup atas masalah-masalah
eksternal. Kini, setelah tidak adanya pangkalan militer Amerika Serikat, Filipina
hampir secara otomatis mendukung gagasan netralitas Asia Tenggara, seperti pandangan Malaysia dan Indonesia.
Di kalangan negara-negara INDOCINA sendiri, pandangan mereka
mengenai gagasan netralitas sebetulnya juga tidak sama satu dengan lainnya. Dan pergeseran sikap serta pandangan tentang ide ini juga terjadi seiring dengan
perubahan situasi internasional dan perubahan kondisi internal di masing-masing negara.
Di akhir tahun1970-an dpengaruhi oleh persaingan antar negara komunis, negara-negara Indocina mulai melirik ASEAN, terutama untuk mendapatkan
dukungan ASEAN dalam konflik China-Vietnam. Vietnam saat itu bersedia berkompromi tentang ZOPFAN.
Pada perkembangan berikutnya, ketika pasukan Uni Sovyet ditarik mundur, Vietnam menganggap dominasinya di Kamboja menjadi yang semakin
berat. Hubungan dengan negara-negara ASEAN juga mulai menunjukkan perbaikan. Pada bulan Januari 1989, Vietnam menerima Deklarasi Kuala Lumpur
sebagai basis untuk diskusi dengan ASEAN mengenai usaha menciptakan kestabilan dan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 1985 ketiga
negara Indocina tersebut menyambut baik gagasan ZOPFAN dan SEANWFZ.
Universitas Sumatera Utara
Melihat keadaan-keadaan diatas dapat dilihat sedikit banyak keadan nasional dari negara-negara di Asia Tenggara termasuk hukum nasional masing-
masing negara di Asia Tenggara mempengaruhi konsep ZOPFAN maupun SEANWFZ.
Dengan demikian ZOPFAN merupakan suatu strategi akbar grand Strategy
untuk membina ketahanan regional dan untuk membebaskan diri dari campur tangan pihak luar, baik dengan menggalang kekuatan intra kawasan
maupun mengatur keterlibatan negara-negara luar kawasan dalam masalah kawasan. Di dalamnya tertuang berbagai langkah prosedural dan strategis untuk
memenuhi tuntutan tersebut yang secara keseluruhan bukan hanya memusatkan pada pelucutan senjata atau pencegahan proliferasi nuklir, melainkan juga
kerjasama-kerjasama politik, ekonomi dan fungsional lainnya. Komponen prosedural dalam rezim keamanan ZOPFAN menyerupai pengertian strategi
dalam kalkulasi penangkalan norma tingkah laku untuk menyelesaikan pertikaian melalui jalur diplomasi seperti tertuang dalam Treaty of Amity an Cooperation
dan ASEAN Concord 1976 adalah langkah normatif untuk itu. Langkah strategis yang kemudian tertuang dalam program aksi ZOPFAN,
menggarisbawahi pentingnya pembentukan suatu kawasan bebas senjata nuklir di Asia Tenggara. Berbeda dari komponen prosedural yang lebih menitikberatkan
pada unsur normatf, komponen strategis beranjak dari kalkulasi pemanfaatan sumber daya regional secara optimal untuk menjawab masalah-masalah
keamanan. Secara teoritis, pilihan yang tersedia adalah strategis mobilisasi sumber
Universitas Sumatera Utara
daya regional untuk memenuhi tuntutan keamanan regional itu sendiri atau menjalin aliansi dengan negara besar di luar kawasan.
Di masa lalu, menjalin aliansi dengan negara besar merupakan opsi sebagian besar negara Asia Tenggara, Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia
dengan cara terikat dalam pengaturan keamanan bersama dengan negara-negara barat. Amerika Serikat merupakan aktor luar kawasan yang karena pengaturan
keamanan itu memberikan “payung nuklir” nuclear umbrella. Berakhirnya Perang dingin telah meruntuhkan sebagian besar logika yang mendasari pilihan
seperti itu. Faktor ini menghidupkan kembali upaya pengejawatan ZOPFAN melalui pembentukan suatu kawasan bebas senjata nuklir.
7
Sejalan dengan konstalasi politik yang terjadi maka pada tahun 1983, ASEAN mengembangkan konsep Southeast Asia Nuclear Weapon Free Zone
SEA NWFZ yang dihasilkan di Bangkok Thailand sebagai komponen dari ZOPFAN. SEA NWFZ ini sebagai sumbangan melalui kerjasama regional bagi
dunia internasional untuk mengurangi senjata nuklir. Selain itu SEANWFZ ini merupakan tahap awal menuju zona damai yang lebih luas seperti yang
dikehendaki oleh ZOPFAN.
8
Indonesia sendiri sebagai anggota ASEAN termasuk salah satu pemrakarsa dari SEA NWFZ bersama-sama dengan Malaysia sudah menunjukkan
kesungguhan dalam usaha pembentukan zona damai ini dengan meratifikasi traktat SEA NWFZ pada tanggal 2 April 1997 dengan UU no 9 tahun 1997.
7
Bantarto Bandoro penyunting, Agenda dan Penataan Keamanan di Asia Pasifik, Centre for Strategic and International Studies CSIS
, Jakarta, 1996 hal 133-135.
8
Prof. DR. Djuwono Sudarsono, et al, Peranan Indonesia di Asia Tenggara dalam Mewujudkan Gagasan ZOPFAN dan SEA NWFZ pada Periode Pasca Perang Dingin
, Universitas
Indonesia, Depok, 1993, hal 5.
Universitas Sumatera Utara
Maka dengan melihat keadaan-keadaan seperti di atas, Penulis
memutuskan untuk membuat suatu judul skripsi yaitu “Implementasi dan Implikasi Terhadap Pemberlakuan Zona Bebas Senjata Nuklir di ASEAN pada
Umumnya dan Indonesia pada Khususnya”
. Adapun yang menjadi latar belakang penulis untuk memilih judul tersebut
adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui dan mempelajari usaha-usaha ASEAN dalam rangka mewujudkan kawasan Asia Tenggara sebagai kawasan Damai, Bebas dan
Netral. 2.
Untuk mempelajari dan memahami cita-cita dari pembentukan ZOPFAN. 3.
Untuk mempelajari dan memahami hubungan antara ZOPFAN dengan SEA NWFZ.
4. Untuk mengetahui dan mempelajari bagaimana aspek Hukum Organisasi dan
SEA NWFZ. 5.
Untuk mempelajari dan memahami penerapan SEA NWFZ di Indonesia, apakah masih efektif atau tidak.
B. PERUMUSAN MASALAH