Implikasi Pemberlakuan Asas Cabotage Dalam Pelayaran Nasional Terhadap Eksistensi Perusahaan Angkutan Laut Indonesia Pada Perdagangan Bebas Dalam Kerangka WTO

(1)

IMPLIKASI PEMBERLAKUAN ASAS CABOTAGE

DALAM PELAYARAN NASIONAL TERHADAP EKSISTENSI

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA

PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO

TESIS

OLEH :

MUHAMMAD IQBAL ASNAWI

107005019/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

IMPLIKASI PEMBERLAKUAN ASAS CABOTAGE

DALAM PELAYARAN NASIONAL TERHADAP EKSISTENSI

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA

PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Dalam Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MUHAMMAD IQBAL ASNAWI

107005019/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

JUDUL TESIS : IMPLIKASI PEMBERLAKUAN ASAS CABOTAGE DALAM PELAYARAN NASIONAL TERHADAP EKSISTENSI PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN BEBAS DALAM KERANGKA WTO

NAMA MAHASISWA : M. Iqbal Asnawi

NOMOR POKOK : 107005019

PROGRAM STUDI : Ilmu Hukum

Menyetujui : Komisi Pembimbing

(

K e t u a

Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Dr. H. Hasim Purba, SH, MHum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum

A n g g o t a A n g g o t a

)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 10 Juli 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 2. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

3. Dr. H. Hasim Purba, SH, MHum 4. Dr. Mahmul Siregar, SH, MHum 5. Dr. Jely Leviza, SH, MHum


(5)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTAR ... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15

1. Kerangka Teori ... 15

2. Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 27

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 27

2. Sumber Data ... 28

3. Teknik Pengumpulan Data ... 29

4. Analisis Data ... 30


(6)

PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKUTAN LAUT DI

INDONESIA... 32

A. Kedaulatan Negara di Wilayah Laut Teritorial ... 32

1. Hak Berdaulat Negara Atas Wilayah Laut Berdasarkan Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982)... 37

a. Perairan Pedalaman ... 40

b. Laut Teritorial ... 41

c. Selat yang Digunakan Untuk Pelayaran Internasional ... 42

d. Zona Tambahan ... 43

e. Laut Lepas ... 44

2. Wewenang Negara Pantai di Atas Laut Teritorial ... 44

B. Asas Cabotage Sebagai Implementasi Hak Berdaulat Negara Pantai ... 48

1. Pengertian dan dasar filososfi asas Cabotage ... 49

2. Eksistensi asas Cabotage dalam Hukum Laut Internasional ... 51

C. Sistem Pelayaran Di Indonesia ... 53

1. Angkutan Perairan ... 55

2. Kepelabuhanan ... 57


(7)

4. Perlindungan Lingkungan Maritim ... 60

D. Asas Cabotage Dalam Perundang-Undangan Nasional ... 62

1. Dalam UU No. 17 Tahun 2008 ... 65

2. Dalam Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan dan perubahannya ... 69

3. Dalam Peraturan Menteri Perhubungan ... 74

BAB III IMPLIKASI PENERAPAN ASAS CABOTAGE TEHADAP PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT NASIONAL ... 76

A. Kondisi Pengangkutan Laut Nasional ... 76

1. Regulasi Pengangkutan Laut ... 79

2. Tujuan dan Fungsi Pengangkutan Laut ... 81

3. Permasalahan Pengangkutan Laut Nasional ... 85

B. Liberalisasi Jasa Angutan Laut di Indonesia ... 90

1. Keterlibatan Jasa Angkutan Asing ... 91

2. Manfaat Dari Keberadaan Jasa Angkutan Asing ... 94

C. Implikasi Penerapan Asas Cabotage ... 98

1. Alasan, Tujuan dan Sasaran Penerapan Asas Cabotage ... 99


(8)

3. Potensi Dampak Negatif ... 109

BAB IV SINKRONISASI PENERAPAN ASAS CABOTAGE DENGAN KEWAJIBAN INDONESIA BERDASARKAN WTO/GATS ... 115

A. Sistem Liberalisasi Sektor Jasa Berdasarkan WTO/GATS ... 115

1. Most Favoured Nations (MFN) ... 117

2. Protecting Through Specific Commitment ... 119

3. Transparansi ... 121

4. Peningkatan Partisipasi Negara Sedang Berkembang (Development Country) ... 122

5. Integrasi Ekonomi ... 123

6. Liberalisasi Bertahap ... 125

7. Keadaan Darurat ... 126

8. Regulasi Domestik (Domestic Regulation) ... 127

B. Penerapan Asas Cabotage Tidak Bertentangan Dengan WTO/GATS ... 129

1. Indonesia Belum Menyatakan Komitmennya dalam SOC di Bidang Angkutan Laut... 131

2. Indonesia Dibenarkan Menerapkan Peraturan Nasionalnya (Domestic Regulation)... 135 3. Pemberlakuan Asas Cabotage Merupakan


(9)

Kepentingan Nasional ... 141

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 145

A. Kesimpulan ... 145

B. Saran ... 148


(10)

DAFTAR TABEL

TABEL 01

Jumlah Armada Angkutan Laut

Menurut KepemilikanTahun 2005 – 2009... 104 TABEL 02

Produksi Angkutan Laut

Di Indonesia Tahun 2005 – 2009... 107

Tabel 03

Daftar Jangka Waktu Kapal Asing Dapat Melakukan Kegiatan Lain Yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang

Dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri... 111 Tabel 04

Daftar Komitmen Dan Offer


(11)

ABSTRAK

Bidang kelautan adalah bidang yang sangat strategis bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, karena selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional, , antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan demikian kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan dalam kiprah pembangunan nasional di masa depan

Pemberlakuan asas Cabotage yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan hal yang urgen bagi perkembangan dan kemandirian angkutan laut nasional, keberadaan asas Cabotage ini merupakan pemberdyaan angkutan laut nasional dalam kegiatan angkutan laut domestik. Sehingga menutup kemungkinan bagi angkutan laut asing untuk melakukan kegiatan didalam wilayah perairan Indonesia (antarpulau/antarpelabuhan). Pengaturan tentang asas Cabotage diatur dalam bab tentang Angkutan di Perairan. Dalam pelaksanaannya, mengenai angkutan di perairan ini dibuat Peraturan Pemerintah tersendiri yang mengatur lebih teknis tentang kegiatan-kegiatan angkutan laut dalam negeri yang merupakan kegiatan angkutan barang dan/atau penumpang serta kegiatan lainnya yang mengatur tentang kegiatan migas dan lepas pantai. Namun Peraturan Pemerintah ini dilakukan perubahan melihat ketidaksiapan armada angkutan laut nasional pada kegiatan migas dan lepas pantai. Sehingga pada kegiatan tersebut angkutan laut asing masih diperbolehkan beroperasi, namun pada pelaksanaannya di berlakukan perizinan yang ketat yang diatur pada Peraturan Menteri Perhubungan serta diberikan jangka waktu beroperasinya sampai dengan tahun 2015. Diharapkan pada waktu tersebut angkutan laut nasional sudah siap melayani kegitan migas daan lepas pantai tersebut.

Implikasi pemberlakuan asas Cabotage bagi angkutan laut nasional tentu membawa dampak bagi perkembangan jumlah armada angkutan laut serta peningkatan pangsa muatan yang dilayani. Dengan demikian hal ini akan berdampak pada pemasukan negara dibidang perpajakan dan menyerap tenaga kerja, peningkatan produktivitas industri galangan kapal serta menjaga kedaulatan bangsa dan negara dibidang pertahanan dan keamanan. Hal-hal tersebut merupakan dampak positif yang dirasakan dalam pemberlakuan asas Cabotage. Pemberlakuan asas ini juga mempunyai potensi dampak negatif, kegiatan migas dan lepas pantai akan terganggu jika angkutan lut nasional tidak mempersiapkan diri untuk dapat melayani kegiatan tersebut, hal ini akan sangat berdampak pada perekonomian nasional Indonesia. pengoperasian kapal asing dibidang ini juga akan menghilangkan devisa negara, karena kegiatan dibidang ini tidak dilakukan oleh stake holder dari anak bangsa sendiri. Dengan demikian dukungan dari pemerintah agar dapat membuat kebijakan untuk memberikan talangan dana sangat diharapkan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Karena mahalnya harga kapal serta keberadaannya yang masih langka menyulitkan angkutan laut nasional unttuk memiliki armada kapal jenis ini.


(12)

Dalam perdagangan jasa, Indonesia merupakan anggota dari organisasi perdagangan dunia (WTO) yang dalam prinsipnya menganut liberalisasi bertahap untuk menuju era perdagangan bebas. Pengaturan mengenai asas Cabotage merupakan bagian dari prinsip yang diatur dalam WTO/GATS tentang domestic regulation. Dengan demikian pemberlakuan asas Cabotage tetap sejalan dengan prinsip liberalisasi jasa yang diatur dalam WTO/GATS, karena WTO/GATS tetap mengakui eksistensi kedaulatan negara anggotanya. Apalagi Indonesia sampai dengan saat ini belum mendaftarkan komitmennya yang dituangkan dalam Schedule of Commitments (SOC) pada bidang jasa angkutan laut. Pemberlakuan asas Cabotage di harapkan dapat membentuk suatu sistem pelayaran nasional Indonesia yang mandiri dan tangguh dalam menyongsong era perdagangan bebas yang tanpa batas. Kata kunci : Asas Cabotage, UU No. 17 Tahun 2008, Angkutan Laut Nasional, WTO


(13)

ABSTRACT

Maritime is a very strategic sector for Indonesia which constitutes the largest archipelagic country in the world. This sector has so far given the valuable contributions for the success of national development such as providing the basic needs, increasing the people’s incomes, job opportunities, incomes for country, and regional developments. Therefore, it is not an exaggeration that the Maritime Sector has actually become an excellent point in our national development in the future.

The enforcement of Cabotage system stipulated in the Law No. 17 year 2008 regarding with Shipping constitutes the urgent and significant issue for the development and self-empowerment of our national sea-transportations since this cabotage system is aimed to empower the existence of national sea-transportation in domestic sea-transportation activities in order to prevent and stop any possibilities for the foreign sea-transportations to conduct any activities in the Sea Territory of Indonesia (inter land and inter port). Stipulation of Cabotage system is described in the Chapter of Sea Transportation. With regard to the implementation of the sea transportation, it has been technically stipulated and described seperately in Government Regulation consisting more detailed and specific stipulation concerning with daily transportation of goods and / or passengers and also other kinds of sea-activities in the sector of petroleum-gas and off-shore. However, considering that our national armada of sea transportaions are still in uncertain and unready conditions for activities and services in the sector of petroleum-gas and off-shore, such Government Regulation had then been amended which has allowed the foreign sea-transportation to operate under the strict Regulation of Minister of Trandsportation and Communication Affairs concerning with licenses, clearance, and other legal documentation and limit the operational period until 2015. Hopefully, our national armada for the sea transportation will be in ready and more capable conditions to handle the activities of petroleum-gas and off-shore.

Implication of Cabotage System for national sea-transportation has certainly brought about impacts in the increasing of the quantity of sea-transportation armada and in the improvement and development of the object-markets being served. This way, it will also impact for national income of the country in the sector of taxation and manpower, increasing of productivity of shipyard industry and maintaining the unity and the authority of our nation and country (national defense). These facts constitute the possitive impacts that we have achieved in the enforcement and imposing of Cabotage system. However, this imposing of cabotage system has also the negative side where there might be a disturbance and interference from outside in the sector of petroleum-gas and off-shore activities if our national armada of sea-transportations are not well-prepared to handle this sector. This will have a strong effect towards the national economy. The operations of foreign ships in this sector will also deduce the national income since these activities are not conducted by the stake-holders of our own country. Therefore, support from Government to enforce the


(14)

policy of providing loan / fund is highly expected by national shipping / forwarding companies because of the high cost of ships and the rare produce of these kinds of ships make the armada owners difficult to purchase.

In case of business of services, Indonesia is the member of World Trade organization which adopts the principle of step-by-step liberalization to prepare going on free trade era. Stipulation concerning with the Cabotage System constitutes part of principles stipulated in WTO / GATS regarding with domestic regulation. Thus, the imposing of Canotage system still corresponds to principles of liberalization in servicing business stipulated in WTO / GATS since WTO / GATS keeps accepting and confessing the existences of national authorizations of its coutry-members. Especially, Indonesia has so far not submitted its commitments yet which will be included in Schedule of Commitments (SOC) in the sector of sea-transportation services. The imposing of Cabotage system is highly expected to establish a system of self-empowerment and tough Indonesian national shipping in welcoming and participating a free trade era which is intolerant with limitation and restriction as well.

Key words: The principle of Cabotage, Law no. 17 In 2008, the National Marine Transport, WTO


(15)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas Hidayah, Rahmat dan Karunia-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan laporan penelitian ini sesuai dengan jadwal yang sudah direncanakan sebelumnya.

Penulisan Tesis ini berjudul IMPLIKASI PEMBERLAKUAN ASAS

CABOTAGE DALAM PELAYARAN NASIONAL TERHADAP EKSISTENSI

PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT INDONESIA PADA PERDAGANGAN

BEBAS DALAM KERANGKA WTO, Tesis ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian studi pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan Tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bapak-Bapak Komisi Pembimbing yang terhormat Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, Dr.H. Hasim Purba, SH, M.Hum, Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang penuh dengan perhatian dan kesabaran telah meluangkan waktunya untuk memberikan kesempatan bimbingan dan pengarahan kepada penulis, sehingga Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.


(16)

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM)., Sp.A(K), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama mengikuti Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan membina ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Ketua dan Sekretaris Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, dan Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan kepada penulis untuk mengikuti dan menimba ilmu pengetahuan pada Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis dan pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide-ide, masukan dan saran terhadap penulis.

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, MHum, selaku Penguji dalam menyelesaikan tesis serta pengujian tesis di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ide-ide, masukan dan saran terhadap penulis.


(17)

6. Para Bapak/Ibu Dosen yang telah memberikan khazanah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala berfikir penulis, yang sangat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan dimasa yang akan datang.

7. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Alm. Drs. H. Asnawi Husein dan Hj. Etty Nurwaty SA. BA, serta Ayahanda dan Ibunda mertua Azwar Syahputera

Z dan Mega Rama Sari, yang senantiasa mengiringi penulis dengan doa dan kasih sayangnya serta memberi dorongan, semangat dan bantuan baik moril maupun materil yang tidak ternilai bagi penulis dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga ayahanda diberikan kelapangan di alam kubur serta mendapatkan tempat yang sebaik-baiknya disisi Allah SWT.

8. Teristimewa kepada istri penulis, Aztrini Laillatul Mina, SH yang telah memberikan perhatian dan semangat dengan cinta dan kasihnya dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, serta buah hati kami, anak-anak penulis, Nejaddi Ahmad Iqbal dan Fathul Ramadhan Iqbal semoga karya ini menjadi motivasi bagi kalian nantinya dalam menggapai apa yang kalian inginkan.

9. Kepada abang, kakak dan adik-adik penulis, Azhari Asnawi, SE dan Ellya Mitra Sari, Meutia Asnawi, SS dan Catur Hargowo, SE, MM, Salman Asnawi, S.Kom dan Nani Yulia, SE, Marwan Asnawi, ST dan Peni Elyani, SE serta Amalia Putri, terima kasih penulis atas doa dan dukungannya sehingga penulis termotivasi untuk segera menyelesaikan penulisan ini.


(18)

10.Kepada yang penulis hormati dan tempat penulis banyak menimba ilmu pengetahuan dan pelajaran serta pengalaman hidup, Alm. Prof. H. Hasnil Basri Siregar, SH beserta Hj.RR. Sukmadiah Hasnil dan keluarga, atas motivasi, pelajaran, pengalaman serta dukungannya baik moril maupun materil, penulis akhirnya dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Semoga almarhum diberikan tempat sebaik-baiknya disisi Allah SWT.

11.Sahabat-sahabat seperjuangan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara stambuk 2010 (Reguler B), yakni Timo Dahlia Daulay, SH, Azmiati Zuliah, SH, Muslim Harahap, SH, Wahana Grahawan, SH, Putra Halomoan, SH, Ferdy S, SH, Romy Y Lubis, SH, Okto Gulo, SH, Bisdan. S, SH, Rizky H, SH, Bambang HS, SH, Susi M, SH, Lisa Y, SH, Leo C, SH, dan sahabat-sahabat saya yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam menyelesaikan studi di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yakni Ronyus, Yusroni, Aditya OP, Ilham Prasetya Gultom SH, Faisal Lubis dan sahabat-sahabat lainnya uang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

12.Abang-abang dan kakak-kakak pegawai di lingkungan di Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yakni Rafika Suryani, SH, Juli, Fitri, Ganti, Niar, Hendra, Salamuddin, yang telah banyak membantu dan memberikan semangat serta motivasi kepada penulis, terima kasih atas dukungan dan doanya.


(19)

Semoga Tesis ini dapat memberikan manfaat, bukan hanya kepada diri Penulis saja melainkan juga kepada kepada semua pihak, terutama bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum.

Medan, 3 Juli 2012

Penulis

107005019 Muhammad Iqbal Asnawi


(20)

ABSTRAK

Bidang kelautan adalah bidang yang sangat strategis bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, karena selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan pembangunan nasional, , antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan demikian kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan dalam kiprah pembangunan nasional di masa depan

Pemberlakuan asas Cabotage yang tertuang dalam Undang-Undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran merupakan hal yang urgen bagi perkembangan dan kemandirian angkutan laut nasional, keberadaan asas Cabotage ini merupakan pemberdyaan angkutan laut nasional dalam kegiatan angkutan laut domestik. Sehingga menutup kemungkinan bagi angkutan laut asing untuk melakukan kegiatan didalam wilayah perairan Indonesia (antarpulau/antarpelabuhan). Pengaturan tentang asas Cabotage diatur dalam bab tentang Angkutan di Perairan. Dalam pelaksanaannya, mengenai angkutan di perairan ini dibuat Peraturan Pemerintah tersendiri yang mengatur lebih teknis tentang kegiatan-kegiatan angkutan laut dalam negeri yang merupakan kegiatan angkutan barang dan/atau penumpang serta kegiatan lainnya yang mengatur tentang kegiatan migas dan lepas pantai. Namun Peraturan Pemerintah ini dilakukan perubahan melihat ketidaksiapan armada angkutan laut nasional pada kegiatan migas dan lepas pantai. Sehingga pada kegiatan tersebut angkutan laut asing masih diperbolehkan beroperasi, namun pada pelaksanaannya di berlakukan perizinan yang ketat yang diatur pada Peraturan Menteri Perhubungan serta diberikan jangka waktu beroperasinya sampai dengan tahun 2015. Diharapkan pada waktu tersebut angkutan laut nasional sudah siap melayani kegitan migas daan lepas pantai tersebut.

Implikasi pemberlakuan asas Cabotage bagi angkutan laut nasional tentu membawa dampak bagi perkembangan jumlah armada angkutan laut serta peningkatan pangsa muatan yang dilayani. Dengan demikian hal ini akan berdampak pada pemasukan negara dibidang perpajakan dan menyerap tenaga kerja, peningkatan produktivitas industri galangan kapal serta menjaga kedaulatan bangsa dan negara dibidang pertahanan dan keamanan. Hal-hal tersebut merupakan dampak positif yang dirasakan dalam pemberlakuan asas Cabotage. Pemberlakuan asas ini juga mempunyai potensi dampak negatif, kegiatan migas dan lepas pantai akan terganggu jika angkutan lut nasional tidak mempersiapkan diri untuk dapat melayani kegiatan tersebut, hal ini akan sangat berdampak pada perekonomian nasional Indonesia. pengoperasian kapal asing dibidang ini juga akan menghilangkan devisa negara, karena kegiatan dibidang ini tidak dilakukan oleh stake holder dari anak bangsa sendiri. Dengan demikian dukungan dari pemerintah agar dapat membuat kebijakan untuk memberikan talangan dana sangat diharapkan oleh perusahaan angkutan laut nasional. Karena mahalnya harga kapal serta keberadaannya yang masih langka menyulitkan angkutan laut nasional unttuk memiliki armada kapal jenis ini.


(21)

Dalam perdagangan jasa, Indonesia merupakan anggota dari organisasi perdagangan dunia (WTO) yang dalam prinsipnya menganut liberalisasi bertahap untuk menuju era perdagangan bebas. Pengaturan mengenai asas Cabotage merupakan bagian dari prinsip yang diatur dalam WTO/GATS tentang domestic regulation. Dengan demikian pemberlakuan asas Cabotage tetap sejalan dengan prinsip liberalisasi jasa yang diatur dalam WTO/GATS, karena WTO/GATS tetap mengakui eksistensi kedaulatan negara anggotanya. Apalagi Indonesia sampai dengan saat ini belum mendaftarkan komitmennya yang dituangkan dalam Schedule of Commitments (SOC) pada bidang jasa angkutan laut. Pemberlakuan asas Cabotage di harapkan dapat membentuk suatu sistem pelayaran nasional Indonesia yang mandiri dan tangguh dalam menyongsong era perdagangan bebas yang tanpa batas. Kata kunci : Asas Cabotage, UU No. 17 Tahun 2008, Angkutan Laut Nasional, WTO


(22)

ABSTRACT

Maritime is a very strategic sector for Indonesia which constitutes the largest archipelagic country in the world. This sector has so far given the valuable contributions for the success of national development such as providing the basic needs, increasing the people’s incomes, job opportunities, incomes for country, and regional developments. Therefore, it is not an exaggeration that the Maritime Sector has actually become an excellent point in our national development in the future.

The enforcement of Cabotage system stipulated in the Law No. 17 year 2008 regarding with Shipping constitutes the urgent and significant issue for the development and self-empowerment of our national sea-transportations since this cabotage system is aimed to empower the existence of national sea-transportation in domestic sea-transportation activities in order to prevent and stop any possibilities for the foreign sea-transportations to conduct any activities in the Sea Territory of Indonesia (inter land and inter port). Stipulation of Cabotage system is described in the Chapter of Sea Transportation. With regard to the implementation of the sea transportation, it has been technically stipulated and described seperately in Government Regulation consisting more detailed and specific stipulation concerning with daily transportation of goods and / or passengers and also other kinds of sea-activities in the sector of petroleum-gas and off-shore. However, considering that our national armada of sea transportaions are still in uncertain and unready conditions for activities and services in the sector of petroleum-gas and off-shore, such Government Regulation had then been amended which has allowed the foreign sea-transportation to operate under the strict Regulation of Minister of Trandsportation and Communication Affairs concerning with licenses, clearance, and other legal documentation and limit the operational period until 2015. Hopefully, our national armada for the sea transportation will be in ready and more capable conditions to handle the activities of petroleum-gas and off-shore.

Implication of Cabotage System for national sea-transportation has certainly brought about impacts in the increasing of the quantity of sea-transportation armada and in the improvement and development of the object-markets being served. This way, it will also impact for national income of the country in the sector of taxation and manpower, increasing of productivity of shipyard industry and maintaining the unity and the authority of our nation and country (national defense). These facts constitute the possitive impacts that we have achieved in the enforcement and imposing of Cabotage system. However, this imposing of cabotage system has also the negative side where there might be a disturbance and interference from outside in the sector of petroleum-gas and off-shore activities if our national armada of sea-transportations are not well-prepared to handle this sector. This will have a strong effect towards the national economy. The operations of foreign ships in this sector will also deduce the national income since these activities are not conducted by the stake-holders of our own country. Therefore, support from Government to enforce the


(23)

policy of providing loan / fund is highly expected by national shipping / forwarding companies because of the high cost of ships and the rare produce of these kinds of ships make the armada owners difficult to purchase.

In case of business of services, Indonesia is the member of World Trade organization which adopts the principle of step-by-step liberalization to prepare going on free trade era. Stipulation concerning with the Cabotage System constitutes part of principles stipulated in WTO / GATS regarding with domestic regulation. Thus, the imposing of Canotage system still corresponds to principles of liberalization in servicing business stipulated in WTO / GATS since WTO / GATS keeps accepting and confessing the existences of national authorizations of its coutry-members. Especially, Indonesia has so far not submitted its commitments yet which will be included in Schedule of Commitments (SOC) in the sector of sea-transportation services. The imposing of Cabotage system is highly expected to establish a system of self-empowerment and tough Indonesian national shipping in welcoming and participating a free trade era which is intolerant with limitation and restriction as well.

Key words: The principle of Cabotage, Law no. 17 In 2008, the National Marine Transport, WTO


(24)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam upaya mewujudkan negara yang maju dan mandiri serta masyarakat adil dan makmur, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan dan sekaligus peluang memasuki millenium ke-3 yang dicirikan oleh proses transformasi global yang bertumpu pada perdagangan bebas dan kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Sementara itu, di sisi lain tantangan yang paling fundamental adalah bagaimana untuk keluar dari krisis ekonomi yang menghantam bangsa Indonesia sejak tahun 1997 dan mempersiapkan perekonomian nasional dalam percaturan global abad 21. Dalam rangka, menjawab tantangan dan pemanfaatan peluang tersebut, diperlukan peningkatan efisiensi ekonomi, pengembangan teknologi, produktivitas tenaga kerja dalam peningkatan kontribusi yang signifikan dari setiap sektor pembangunan.1

Bidang kelautan yang didefinisikan sebagai sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan, merupakan andalan dalam menjawab tantangan dan peluang tersebut. Pernyataan tersebut didasari bahwa potensi sumber daya kelautan yang besar yakni 75% wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah laut dan selama ini telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi keberhasilan

1

Tridoyo Kusumastanto., “Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan, Perikanan Dan Perhubungan Laut dalam Abad XXI”, diakses tanggal 7 Februari 2012.


(25)

pembangunan nasional. Sumbangan yang sangat berarti dari sumber daya kelautan tersebut, antara lain berupa penyediaan bahan kebutuhan dasar, peningkatan pendapatan masyarakat, kesempatan kerja, perolehan devisa dan pembangunan daerah. Dengan potensi wilayah laut yang sangat luas dan sumber daya alam serta sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia, kelautan sesungguhnya memiliki keunggulan komparatif, keunggulan kooperatif dan keunggulan kompetitif untuk menjadi sektor unggulan dalam kiprah pembangunan nasional di masa depan.2

Berbicara mengenai kelautan, tentunya tidak terlepas dari keberadaan pengangkutan untuk menunjang berbagai aktivitas kelautan yang berlangsung dalam suatu negara. Pengangkutan itu dilakukan karena nilai barang yang diangkut akan lebih tinggi di tempat tujuan dari pada di tempat asalnya, oleh karena itu pengangkutan dikatakan memberi nilai terhadap barang yang diangkut. Nilai itu akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai yang diberikan berupa nilai tempat (place utility), dan nilai waktu (time utility). Kedua nilai tersebut diperoleh jika barang yang diangkut ketempat dimana nilainya lebih tinggi dan dapat dimanfaatkan tepat pada waktunya. Dengan demikian pengangkutan dapat memberikan jasa kepada masyarakat yang disebut jasa angkutan.3

Angkutan muatan laut adalah suatu usaha perusahaan pelayaran niaga yang bergerak di bidang jasa. Angkutan muatan laut merupakan bidang usaha yang luas bidang kegiatannya dan memegang peranan penting dalam usaha memajukan

2

Ibid

3

Muchtaruddin Siregar, Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, (Jakarta: Lembaga penerbitan FE UI, 1981), hlm. 6


(26)

perdagangan dalam dan luar negeri. Oleh karena itu peran dan fungsi pengangkutan adalah sangat vital dalam dunia perdagangan, mengingat sarana ini adalah alat penghubung dari produsen ke konsumen,4

Secara umum segala hal yang berhubungan dengan pengangkutan barang atau orang melalui laut dengan menggunakan sarana angkutan laut diatur dalam buku II KUHD. KUHD ini mulai berlaku di wilayah Indonesia pada tanggal 1 Mei 1848 bersama-sama dengan Undang-Undang lain seperti KUH Perdata dan RO (Reglement rechterlijk Organisatie) yaitu dengan dikeluarkannya staatblad 1847 No.23, tanggal 30 April 1847.

dari pelabuhan ke gudang, dari tempat pelelangan ikan ke pasar, dari toko ke bangunan yang sedang didirikan serta hal-hal lain dalam perdagangan barang yang melibatkan jasa pengangkutan.

5

Kemudian dengan keluarnya Staatblad 1924 No.556 dinyatakan bahwa KUH Perdata dan KUH Dagang kecuali hukum keluarga dan hukum waris abinstestato, dinyatakan berlaku untuk golongan timur asing bukan China, sedangkan untuk golongan timur asing China dinyatakan berlaku pada mereka dengan keluarganya Staatblad 1924 No.557.

Jadi dalam hal ini aneka warna hukum dalam lapangan hukum pengangkutan di laut dapatlah dikatakan hampir tidak ada lagi, karena sudah tidak ada lagi perbedaan antara Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Eropa, WNI keturunan timur asing China, WNI keturunan timur asing non China dan WNI asli.

4

Hasnil Basri Siregar, Kapita Selekta Hukum Laut Dagang, (Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, 1993), hlm. 1

5


(27)

Pada tanggal 17 September 1992, Pemerintah mengeluarkan Undang- Undang terbaru yang mengatur tentang Pelayaran. Dengan mulai berlakunya Undang-Undang No.21 Tahun 1992 ini mencabut dan tidak memberlakukan lagi beberapa peraturan produk kolonial yang mengatur tentang pelayaran yakni:6

1. Indische Scheepvaartswet, stb. 1936 No.700. 2. Loodsdienst Ordonnantie, stb. 1927 No.210. 3. Scheep Meetings Ordonnantie,stb 1927 No.210. 4. Binnen Scheepen Ordonnantie,stb 1927 No.289.

5. Zeebrievem en Scheepspassen Ordonnantie, stb 1935 No.492. 6. Schecpeen Ordonnantie, stb.1935 No.66

7. Bakengeld Ordonnantie, stb 1935 No.468

Selanjutnya pada tahun 2008, lahirlah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan hasil revisi dari Undang-Undang No. 21 Tahun 1992. Undang-Undang Pelayaran baru ini ditandatangani oleh Presiden pada tanggal 7 Mei 2008. Kehadiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran ini sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992, dimaksudkan antara lain untuk mendorong terciptanya persaingan usaha yang lebih sehat, karena undang-undang ini membawa perubahan baru yaitu mengakhiri monopoli PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo), dengan memisahkan antara fungsi regulator dan operator yang selama ini dipegang oleh PT. Pelindo.

6

HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bag 5, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat,Cetakan Ke-4, (Jakarta : Djambatan, 1993), hlm. 25


(28)

Undang-Undang Pelayaran ini akan dilengkapi dengan delapan Rancangan Peraturan Pemerintah, dengan materi terpenting antara lain adalah: pengetatan asas Cabotage, pemisahan yang tegas antara fungsi operator dan regulator di pelabuhan, serta pembentukan penjagaan laut dan pantai.7

Namun pada kenyataannya Peraturan Pemerintah ini belum dapat dilaksanakan secara murni dan konsekuen serta belum mengatur secara lengkap tentang penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain di luar kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri, di samping itu juga adanya pro kontra dari berbagai pihak tentang peraturan ini sehingga pada Tahun 2011 lahirlah kembali Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2011 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Pengangkutan Substansi baru dalam Undang-Undang Pelayaran ini terdapat dalam bab yang mengatur tentang angkutan di perairan yang menegaskan tentang asas Cabotage. Ketentuan ini mengandung makna bahwa kapal-kapal asing dilarang beroperasi antara pelabuhan di wilayah Indonesia yang telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan Di Perairan, peraturan ini secara tekhnis lebih menegaskan lagi bahwa setiap kegiatan angkutan laut dalam negeri harus dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal yang berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Jadi untuk kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di dalam wilayah perairan Indonesia.

7


(29)

Di Perairan, salah satu perubahan itu adalah pengaturan mengenai penggunaan kapal asing dalam kegiatan di luar mengangkut penumpang dan/atau barang dalam kegiatan angkutan laut dalam negeri, yang mana kegiatan yang dimaksud sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, karena dipandang belum mampu dilakukan secara mandiri oleh kapal Indonesia atau belum cukup tersedianya kapal Indonesia.

Beberapa kegiatan di luar pengangkutan penumpang dan/atau barang yang diperbolehkan untuk menggunakan kapal asing antara lain :

1. Survey minyak dan gas bumi; 2. Pengeboran;

3. Konstruksi lepas pantai;

4. Penunjang operasi lepas pantai; 5. Pengerukan; dan

6. Salvage dan pekerjaan bawah air.

Sebelum adanya asas Cabotage, sebagian besar angkutan laut domestik dilayani kapal-kapal berbendera asing. Hal ini menjadikan kepentingan usaha angkutan laut nasional terpuruk. Atas dasar itu pada 7 Mei 2011, diberlakukan asas Cabotage yang merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Asas ini memberikan kekuatan bahwa penyelenggaraan pelayaran dalam negeri sepenuhnya hak negara pantai. Artinya, negara pantai berhak melarang kapal-kapal asing berlayar dan berdagang di sepanjang perairan negara tersebut.


(30)

Penerapan asas Cabotage didukung ketentuan Hukum Laut Internasional, ketentuan ini berkaitan dengan kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai atas wilayah laut teritorilnya. Konvensi Hukum Laut 1982 yang lebih dikenal dengan UNCLOS 1982 merupakan Konvesi yang telah diratifikasi Indonesia melalui Undang Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut). Konvensi Hukum Laut 1982 mengakui hak negara-negara untuk melakukan klaim atas berbagai macam zona maritim dengan status yang berbeda-beda, mulai dari kedaulatan penuh negara yang meliputi laut pedalaman, laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Dengan demikian, negara mempunyai kewenangan untuk membatasi kapal asing yang memasuki wilayah lautnya. Kapal asing tidak boleh berada atau memasuki wilayah perairan pedalaman suatu negara pantai tanpa izin dan alasan yang jelas. Kecuali untuk jalur kapal bantuan dan memiliki izin atau alasan yang sah tanpa mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban negara. Sedangkan untuk laut teritorial dan selat, negara pantai memberikan jaminan lintas damai dan lintas transit bagi pelayaran internasional.8

Secara ekonomi, tujuan diberlakukannya asas Cabotage adalah untuk meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi dan produktifitas kapal dalam negeri,

8

Mengenai laut pedalaman, teritorial dan selat lihat ketentuan Pasal 2, Pasal 8 dan Pasal 34 Persetujuan UNCLOS 1982


(31)

karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia. Selain itu, asas Cabotage difungsikan untuk melindungi kedaulatan negara, khususnya di bidang industri maritim.9

Saat ini, terutama menghadapi era perdagangan bebas, di kalangan pelaku usaha pelayaran masih terdapat anggapan keliru yang memandang bahwa penerapan asas Cabotage dalam pelayaran domestik bertentangan dengan prinsip liberalisasi perdagangan. Padahal, asas ini berlaku global dan sudah diterapkan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat yang dikenal sebagai pelopor liberalisasi perdagangan.

Amerika Serikat merupakan Negara yang sangat protektif terhadap industri angkutan lautnya dengan memberlakukan azas Cabotage secara ketat. Melalui Jones Act, Cabotage mempersyaratkan bahwa pelayaran laut nasional Amerika Serikat harus menggunakan kapal berbendera Amerika (US Registered), kapal yang dibuat di Amerika (US Built) dan dimiliki oleh warga negara Amerika (US Owned), di samping itu dioperasikan oleh perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Amerika (US Controlled Companies) dan dengan awak warga negara Amerika (US Crew). Azas Cabotage ini bahkan berlaku untuk semua mode transportasi, baik laut, darat (Railway and trucking) dan udara.10

Liberalisasi perdagangan di dunia sudah memasuki era babak baru setelah konferensi perdagangan internasional putaran Uruguay pada tahun 1994. Organisasi perdagangan internasional atau yang dikenal dengan World Trade Organization yang

9

Ibid

10


(32)

selanjutnya dalam penelitian ini disingkat dengan (WTO) telah disepakati Indonesia sebagai “original member” dari WTO. Sebagai bukti diterimanya hasil Putaran Uruguay oleh Republik Indonesia adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia). Di Indonesia adanya Undang-Undang ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan ekonomi, khususnya dalam sektor industri, pertanian, dan jasa.

Sebagai konsekuensi logis dari keikutsertaan Indonesia dalam WTO, maka Indonesia terikat untuk melaksanakan semua ketentuan yang telah disepakati dalam persetujuan WTO. Dalam perkembangannya ada tiga issue besar yang ada didalam WTO 11

1. Perjanjian Umum tentang Tarif dan Barang (General Agreement on Tariff and Trade) GATT yang merupakan perjanjian umum mengenai liberalisasi barang. Terdiri dari beberapa perjanjian lagi dibawahnya seperti pertanian, inspeksi perkapalan, pengaturan anti dumping; tekstil dan produk tekstil.

yaitu:

2. Perjanjian umum Perdagangan Jasa – Jasa (General Agreement on Trade in Services yang selanjutnya dalam penelitian ini disingkat dengan (GATS). Dalam perluasan akses sektor jasa, setiap negara menyusun

11

Chairijah, dalam Makalah “Pelayanan Jasa Hukum Dalam Kerangka GATS-WTO”, disampaikan pada pertemuan Konsultasi tentang domestic regulation, Bogor, 4 Agustus 2010


(33)

komitmen liberalisasi dan jadwal pelaksanaan untuk “seberapa banyak” pemasok jasa dari luar dapat memberikan jasanya di lokal

3. Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan Perdagangan ( Trade-Related Aspects of Intelectual Property Rights/TRIPS)

Perdagangan Jasa merupakan bidang yang sebenarnya dapat menghasilkan income yang sangat besar bagi perekonomian suatu negara dibandingkan perdagangan barang. Hal ini dimungkinkan karena cakupan sektor jasa yang sangat luas, mulai dari sektor keuangan (perbankan, lembaga keuangan, lembaga keuangan non bank dll), bisnis (termasuk retail, wholesaler, dll), transportasi (darat, air laut, peti kemas, cargo dll), telekomunikasi (termasuk IT), Rekreasi , pariwisata (hotel, restoran dll) seluruhnya ada 12 sektor jasa dan lebih dari 160 sub sektor dan ditambah ratusan sub-sub sektor dibawahnya. Sub-sub sektor ini dapat berkembang terus jumlahnya dapat mencapai ribuan termasuk karena perkembangan teknologi.12

Dalam penerapan asas Cabotage pada pelayaran di Indonesia, hal ini tidak terlepas dari apa yang sudah disepakati dalam WTO/GATS mengenai perdagangan di bidang jasa. Karena pengangkutan laut bagian dari perdagangan jasa yang sudah diatur dalam GATS dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari WTO. Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang memuat asas Cabotage merupakan produk legislasi dalam negeri Indonesia, produk

12


(34)

undangan ini harus merujuk kepada ketentuan WTO/GATS yang sudah mengatur tentang aturan – aturan domestik. Sesuai dengan mandat Pasal 6 WTO/GATS tentang Domestic Regulation menyebutkan bahwa setiap negara anggota WTO, diwajibkan untuk membuat aturan sesuai dengan aturan WTO. Dalam hal perdagangan jasa tentunya sesuai dengan aturan WTO/GATS, antara lain bahwa aturan domestik suatu negara haruslah transparan, tidak menjadikan beban (burdensome) bagi penyedia jasa (service supplier) atau menurunkan kualitas jasa yang disediakan akibat diterapkannya prosedur/perizinan dibidang jasa disuatu negara. Domestic regulation ini menjadi suatu hal yang penting dalam rangka mengakomodasi ataupun sejalan dengan liberalisasi perdagangan jasa.

Asas Cabotage ini juga tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi tolak ukur perdagangan jasa didalam WTO/GATS, dengan demikian penerapan asas Cabotage ini seyogyanya harus selaras dengan prinsip-prinsip perdagangan jasa yang diatur dalam WTO/GATS. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Prinsip Non Discrimination, Prinsip national treatment, Prinsip Protecting Trough Spesific Commitments, Prinsip Transparansi, Prinsip Peningkatan Partisipasi Negara sedang berkembang, Prinsip Integrasi Ekonomi, Prinsip Liberalisasi Bertahap dan Prinsip Keadaan Darurat.

Urgensi penerapan asas Cabotage bagi pelayaran Indonesia didasarkan pada pemikiran bahwa transportasi laut dalam negeri mempunyai peranan strategis dan signifikan dalam pembangunan nasional, mulai bidang ekonomi, sosial, budaya,


(35)

politik, pertahanan sampai keamanan. Selain itu juga terkait dengan mobilitas, interaksi sosial dan budaya bangsa Indonesia.

Dalam sistem perdagangan internasional yang dilakukan sesuai dengan Undang-Undang Pelayaran dan pemberlakuan asas Cabotage yang berlaku di Indonesia, perusahaan angkutan laut mempunyai kedudukan tersendiri yaitu sebagai perusahaan yang menjembatani kepentingan pihak asing untuk melakukan perdagangan khusus import ataupun eksport dengan menggunakan armada kapal asing. Atau dengan kata lain perusahaan angkutan laut disebut juga sebagai agen umum kapal asing yang akan melakukan kegiatan khusus import atau eksport barang saja. Namun dalam hal perdagangan barang dan/atau pengangkutan penumpang di wilayah perairan Indonesia, maka kegiatan tersebut harus sepenuhnya dilakukan oleh perusahaan angkutan laut Indonesia.

Dalam hal ini yang disebut dengan agen umum adalah perusahaan angkutan laut nasional yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing di luar negeri untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan kapalnya dan dalam penerapannya harus didahului dengan kontrak keagenan umum kapal asing.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini akan memfokuskan kajian terhadap keberadaan asas Cabotage setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta implikasi hukum keberadaan asas ini terhadap perusahaan angkutan laut dalam kerangka WTO pada perdagangan internasional Indonesia yang memasuki era perdagangan bebas


(36)

B. Perumusan Masalah

Adapun yang akan menjadi permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah keberadaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia?

2. Bagaimanakah implikasi penerapan asas Cabotage terhadap perusahaan angkutan laut Nasional?

3. Apakah penggunaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia tidak bertentangan dengan Kesepakatan Umum Perdagangan Jasa General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam kerangka World Trade Organization (WTO)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keberadaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia 2. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi penggunaan asas Cabotage

terhadap perusahaan angkutan laut Nasional dalam perdagangan internasional. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis sinkronisasi penggunaan asas Cabotage dalam peraturan perundang-undangan di bidang pengangkutan laut di Indonesia dengan Kesepakatan Umum Perdagangan Jasa General Agreement on Trade in Services (GATS) dalam kerangka World Trade Organization (WTO)?


(37)

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum pengangkutan dan hukum ekonomi pada umumnya.

2. Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan pemerintah, praktisi dan masyarakat. Bagi pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat sebagai regulator yang berperan dalam pembuatan kebijakan yang terkait pada pengelolaan pelayaran. Selain itu penelitian ini juga ditujukan kepada pelaku usaha yang terkait pada perusahaan angkutan laut dan pengguna jasa agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang pelaksanaan/ penerapan asas Cabotage dalam pelayaran dan dapat melihat faktor-faktor penghambatnya serta dapat menanggulanginya dengan pendekatan kaedah hukum. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan / ditegakkan dalam kenyataannya.


(38)

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai Implikasi Pemberlakuan asas Cabotage dalam Pelayaran Indonesia terhadap Eksistensi Perusahaan Angkutan Laut Nasional dalam kegiatan perdagangan bebas belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.

Penelitian yang membahas tentang angkutan laut dan pelayaran sudah pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya, namun permasalahan dan pembahasan penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan permasalahan dan pembahasan dalam penelitian-penelitian ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-faktayang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14

13

J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203

14


(39)

M. Solly Lubis, yang menyebutkan: “Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.15

Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah: “Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudahdidefinisikan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variable lainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antar variable tersebut”.16

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit) yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Salah satu unsur atau syarat yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara adalah pemerintahan yang berdaulat atau kedaulatan. Istilah kedaulatan ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kenegaraan berkebangsaan Perancis yang bernama Jeans Bodin (1539-1596). Menurut Jeans Bodin, kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat

15

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80

16

Maria S.W. Sumarjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia, 1989), hlm. 12


(40)

dibagi-bagi. Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus.17

Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan jurisdiksi/kewenangannya dalam wilayah negara itu. Sebagaimana pendapat Oppenheim-Lauterpacht “As all persons and things within the territory of a state full under its territorial supremacy, each state has jurisdiction over them”.18

Oleh karena itulah dikatakan bahwa kedaulatan dan jurisdiksi mempunyai keterkaitan yang erat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dari suatu negara, ini berarti diatas kedaulatan itu tidak ada lagi kekuasaan yang lebih tinggi. Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara menunjukkan bahwa suatu negara itu adalah merdeka atau tidak tunduk pada kekuasaan negara lain. Kedaulatan itu pada dasarnya mengandung dua aspek :

1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi dalam batas-batas wilayahnya.

17

Thaib Dahlan, Kedaulatan Rakyat Negara Hukum dan Konstitusi, (Liberty: Yogyakarta, 1999), hlm. 6.

18

Oppenheim Lauterpacht, International Law - A Treatise, Vol-I : Peace, English Language Book Society and Longmans, London, 1966, hlm. 325


(41)

2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional maupun mengatur segala sesuatu yang terjadi di luar wilayah negara itu tetapi masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.

Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannnya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan dan kewengan atau dengan jurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.19

Dengan kedaulatan yang dimiliki negara, tentunya negara memiliki tujuan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal ini akan merujuk kepada sistem perekonomian yang akan diterapkan dalam penyelenggaraan negara tersebut. Kedaulatan negara untuk menentukan kegiatan ekonomi di wilayah yuridiksinya sudah sejak lama diterima dalam hukum internasional20

19

I Wayan Parthiana,, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung :Mandar Maju, 1990), hlm. 137.

. Kedaulatan yang permanen ini dijamin pelaksanaannya dalam Resolusi Majelis Umum PBB (PBB) No. 3281 (XXIX) tanggal 12 desember 1974 tentang Charter of Economic Rights an Duties of State. Article 2 (1) Resolusi ini menyebutkan “Every State has and shall freely

20

Mahmul Siregar , Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, (Medan :Universitas Sumatera Utara Pasca Sarjana, 2008) hlm.154


(42)

exercise full permanen sovereignity, including possession, use and disposal, over all its wealth, natural resources and economic activities”21

Konsep kedaulatan permanen negara yang dalam resolusi ini menyangkut sumber daya alam dan aktifitas-aktifitas ekonomi, sebenarnya merupakan perluasan dari konsep kedaulatan negara yang diberikan oleh Resolusi Majelis Umum PBB No. 1803 (XVII) tahun 1962 yang hanya mencakup masalah yang berkaitan dengan sumber daya alam.22

Pemberlakuan asas Cabotage di dalam pelayaran nasional Indonesia merupakan bagian dari kedaulatan negara Indonesia untuk mengatur sendiri kegiatan perekonomiannya, dengan tujuan mewujudkan sistem transportasi laut yang efisien dan efektif serta untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan memperkukuh kedaulatan negara. Diharapkan dengan pemberlakuan asas Cabotage ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia, dengan memberikan kesempatan berusaha seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dan lokal. Diyakini peraturan ini dapat meningkatkan produksi dan

Oleh karena perluasan ini juga mencakup hak kedaulatan negara mengatur sendiri kegiatan ekonomi di wilayah teritorialnya, maka resolusi ini dapat menjadi alasan pembenar bagi host country untuk membatasi kegiatan ekonomi warga negara asing maupun perusahaan asing di wilayah hukum mereka.

21

United Nation, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No.3281 (XXIX).

22

Hans Van Houte, The Law Of International Trade, Sweet and Maxwell, London, 1995, hlm. 242


(43)

produktivitas kapal dalam negeri, karena seluruh kapal yang berlayar di perairan tanah air harus berbendera Indonesia.

Kedaulatan negara berhubungan erat dengan teori kedaulatan hukum, hukum memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Negara yang menciptakan hukum, hukum merupakan penjelmaan dari kehendak dan kemauan negara. Negara Menetapkan aturan-aturan hukum di dalam wilayah teritorialnya dan wilayah-wilayah lain dalam kekuasaannya. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran sebagai produk legislasi pemerintah Indonesia selaku penyelenggara negara merupakan aturan hukum yang harus ditegakkan sebagai bagian dari kedaulatan hukum dan ekonomi negara.

Kedaulatan yang melekat kepada negara bukannya tidak terbatas. Walaupun kita memahami sangat besar penghormatan hukum internasional terhadap kedaulatan sutau negara. Salah satu batasan dalam pelaksanaan kedaulatan adalah kewajiban negara pemilik kedaulatan untuk menghormati perjanjian-perjanjian internasional yang sudah disepakati bersama antar negara. Tidak hanya sebatas menghormati, negara juga wajib mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan dalam perjanjian internasional terlebih lagi jika sudah diratifikasi dalam hukum nasional negara pemilik kedaulatan tersebut.

Persetujuan WTO/GATS secara tegas mengakui hak anggotanya untuk mengatur penyediaan jasa dalam mencapai tujuan mereka melalui kebijakan, dan tidak berusaha untuk mempengaruhi tujuan-tujuan ini. Sebaliknya, Perjanjian


(44)

menetapkan kerangka kerja aturan untuk memastikan bahwa peraturan yang diberikan dengan cara yang wajar, obyektif dan tidak memihak serta tidak merupakan hambatan bagi perdagangan internasional. Prinsip-prinsip hukum perdagangan internasional yang diatur dalam WTO, meliputi Prinsip Non-diskriminasi, Prinsip Resiprositas (resiprocity), Prinsip Penghapusan Hambatan Kuantitatif, Prinsip Perdagangan yang adil (fairness principle), dan Prinsip Tarif Mengikat (Tarrif Binding Principle) 23

Persetujuan WTO/GATS dalam kaitannya dengan hak ekonomi negara berkembang antara lain telah menetapkan bahwa negara berkembang diberi kedaulatan penuh untuk mengelola sumber daya alamnya sesuai dengan tingkat pembangunan ekonominya. Liberalisasi perdagangan jasa yang diatur dalam WTO/GATS tetap mengakui eksistensi kedaulatan negara.

Dalam Bagian III WTO/GATS yang mengatur tentang specific of commitments dikenal 3 (tiga) macam komitmen, yaitu :(1). Komitmen market acces (2). Komitmen national treatment, dan (3). Additional commitments. Tiga macam komitmen ini digabung jadi satu dalam Schedule of Commitments (SOC) dari masing-masing negara. Pendekatan yang dipergunakan dalam pembuatan SOC adalah bersifat campuran sebagai hasil kompromi dalam menentukan cakupan WTO/GATS, mengingat sifat jasa yang abstrak, proteksi yang dapat dilakukan dalam perdagangan jasa adalah dalam bentuk SOC yang dibuat masing-masing negara sesuai dengan keadaan negara tersebut yang kemudian dirundingkan dengan mitra dagangnya.

23

Muhammad Sood, Hukum Perdagangan International, (Jakarta :Rajawali Pers, 2011), hlm. 41.


(45)

Hal lain yang menyangkut kedaulatan negara adalah ketentuan tentang Domestic Regulation diatur dalam Pasal 6 WTO/GATT. Ketentuanini lahir sebagai konsekuensi dari prinsip liberalisasi bertahap dan perlindungan melalui specific of commitment yang diterapkan oleh Negara-negara anggota. Negara-negara peserta dapat melindungi industri jasa domestiknya dengan menerapkan specific of commitment pada sektor jasa tertentu. Pada sektor-sektor tersebut Negara yang bersangkutan dapat dengan lebih leluasa menetapkan syarat-syarat perdagangan dan investasi melalui peraturan nasionalnya. Namun meskipun demikian pengaturan domestik tersebut harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak. Untuk keperluan inilah domestic regulation diatur dalam WTO/GATS.

Dalam keadaan darurat, GATS/WTO mengatur ketentuan tentang Escape Clauses yang merupakan ketentuan penting dalam suatu perjanjian internasional, baik multilateral seperti WTO/GATS, regional seperti ASEAN, bilateral atau umum (general) seperti Generalized System of Preferences for Developing Countries (GSP). Berbeda dengan exception (pengecualian), escape clause diberlakukan untuk kondisi yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Dengan kata lain, pengecualian dilakukan untuk kesulitan yang dapat diperkirakan sebelumnya.

Kerangka teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas ilmu hukum. Maksudnya adalah penelitian ini berusaha untuk memahami implikasi pemberlakuan asas Cabotage dalam pelayaran Indonesia terhadap


(46)

eksistensi perusahaan angkutan laut nasional dalam kegiatan perdagangan bebas dalam kerangka WTO/GATS, sebagai aturan perdagangan jasa internasional untuk dijadikan kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Sehingga dalam perjalanan penelitian nantinya teori kedaulatan sebagai teori yang paling tepat sebagai pisau analisis terhadap penelitian ini.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi dalam penelitian ini untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional.24

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, jika masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari kelompok fakta ataugejala itu. “Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubunganempiris”.25

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi, yaitu sebagai berikut :

24

Samadi Suryabrata, Metodelogi penelitian, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 3

25

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 21


(47)

a. Asas Cabotage adalah kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.26 b. Angkutan Laut adalah kegiatan angkutan yang menurut kegiatannya

melayani kegiatan angkutan laut.27

c. Angkutan Laut Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan laut yang dilakukan di wilayah perairan Indonesia yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.28

d. Angkutan Laut Luar Negeri adalah kegiatan angkutan laut dari pelabuhan atau terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ke pelabuhan luar negeri atau dari pelabuhan luar negeri ke pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut.29

e. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam Daftar Kapal Indonesia.30

f. Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia yang melakukan kegiatan angkutan laut di

26

Lihat Pasal 8 Undang-undang No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran

27

Lihat Pasal 1 butir 3 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

28

Lihat Pasal 1 butir 4 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

29

Lihat Pasal 1 butir 5 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

30


(48)

dalam wilayah perairan Indonesia dan/atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri.31

g. Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan atau terminal khusus Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dari dan ke pelabuhan luar negeri.32

h. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.33

i. World Trade Organization (WTO) adalah organisasi perdagangan Internasional yang merupakan forum bagi anggotanya untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan. Disamping itu WTO merupakan tempat untuk menyelesaikan perselisihan perdagangan dan mengoperasikan sistem aturan perdagangan.34

j. General Agreement on Trade in Service (GATS) adalah seperangkat aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa.35

k. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.36

31

Lihat Pasal 1 butir 29 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

32

Lihat Pasal 1 butir 30 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan

33

Lihat Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

34

35

Syahmin.AK, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006).

36


(49)

l. Kedaulatan Hukum adalah kedaulatan yang berasal dari hukum yang berlaku di suatu negara.37

m. Kedaulatan Internal adalah kedaulatan yang asalnya dari negara yakni dalam wilayah suatu negara hanya negara itu yang berdaulat penuh untuk melaksanakan kekuasaan di wilayahnya.38

n. Domestic Regulation Negara adalah keleluasaan negara-negara anggota WTO/GATS untuk menetapkan syarat-syarat perdagangan dan investasi melalui peraturan nasionalnya. Namun meskipun demikian pengaturan domestik tersebut harus dilaksanakan dalam cara yang wajar, objektif dan tidak memihak.39

o. Spesific of Commitment adalah bentuk-bentuk komitmen dalam perdagangan jasa. Komitmen tersebut yaitu :(1). Komitmen market acces (2). Komitmen national treatment, dan (3). Additional commitments.Tiga macam komitmen ini digabung jadi satu dalam Schedulle of Commitment (SOC) dari masing-masing negara.40

p. Perdagangan bebas adalah tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.41

37

38

Ibid

39

Lihat Pasal 6 Persetujuan WTO/GATS

40

Lihat Bagian III Persetujun WTO/GATS

41


(50)

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum positif, dan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan meninjau masalah yang diteliti dari segi ilmu hukum dengan melihat serta mengkaitkan dengan kenyataan yang ada di dalam implementasinya yang bertujuan untuk mendiskripsikan kegiatan/peristiwa alamiah dalam praktek sehari-hari,42

Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.

yang berkaitan dengan implikasi pemberlakuan asas Cabotage dalam pelayaran Indonesia terhadap eksistensi perusahaan angkutan laut nasional dalam kegiatan perdagangan bebas.

43

42

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Surabaya: Bayumedia,2008), hlm.282

Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Penelitian hukum normatif ini dilakukan dengan pendekatan terhadap dua hal, yaitu pendekatan terhadap peraturan perundang-undangan (statuta aproach) menyangkut aturan tentang pelayaran dan perdagangan internasional serta pendekatan konseptual

43

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007), hlm. 57


(51)

mengenai asas Cabotage, Domestic Regulation dan Schedule Of Commitments. Penelitian yuridis normatif yang digunakan dalam penyusunan tesis ini di dukung oleh penelitian empiris melalui wawancara mendalam dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini untuk dapat mengkaji sampai sejauh mana pelaksanaan asas Cabotage terhadap eksistensi angkutan laut nasional dalam perdagangan bebas.

2. Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif data yang dipergunakan adalah data sekunder. Untuk memecahkan isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.44

a. Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan yang diurut berdasarkan hierarki45

44

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm. 141

. Bahan hukum primer berupa perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan asas Cabotage yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization

45


(52)

(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum dan hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian. 46

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder 47 berupa kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, hasil penelitian serta internet. Selain itu juga menggunakan data primer yang diperoleh langsung dari informan. Untuk mendapatkan data primer dilakukan dengan wawancara.48

3. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi

46

Jhony Ibrahim, Op.Cit, hlm. 296

47

ibid

48

Tampil Anshari Siregar. Metode Penelitian Hukum . ( Medan:Pusatka Bangsa Press, 2007), hlm. 77


(53)

maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan. Penelitian kepustakaan dalam hal ini didukung oleh penelitian lapangan yang berupa wawancara langsung dengan pratktisi, yaitu pelaku usaha dan pemerintah untuk mendapatkan informasi langsung serta data-data pendukung lainnya. Pelaku usaha dalam hal ini adalah pengguna jasa angkutan laut dan perusahaan angkutan laut nasional, sedangkan pemerintah yang menaungi bidang ini adalah Kementerian Perhubungan Republik Indonesia.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.49 Dari hasil pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder sesuai dengan yang diharapkan, maka untuk mengetahui data akurat dilakukan pemeriksaan dan pengelompokan agar menghasilkan data yang lebih sederhana sehingga mudah dibaca dan dimengerti. Kemudian data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis dan selanjutnya dilakukan analisis deskriptif secara kualitatif50

49

Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 103

sehingga deskripsi mengenai objek penelitian semakin kian jelas batas cakupannya.

50

Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 135. Dalam analisis data kualitatif, sebenarnya peneliti tidak harus menutup diri terhadap kemungkinan penggunaan data kuantitatif. Data ini bermanfaat bagi pengembangan analisis data


(54)

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi dalam menemukan hubungan antara konsep, asas dan masalah dalam bahan hukum dengan menggunakan kerangka teori sebagai pisau analisis. Bahan yang berupa peraturan perundang-undangan ini dianalisis secara kualitatif, dengan menggunakan logika berfikir dalam menarik kesimpulan secara deduktif.

kualitataif itu sendiri. Data kualitatif dapat digunakan pada analisis ini sampai pada batas-batas tertentu sesuai kebutuhan dalam analisis kualitatif.


(55)

BAB II

EKSISTENSI ASAS CABOTAGE DALAM PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN PENGANGKUTAN LAUT DI INDONESIA

A. Kedaulatan Negara di Wilayah Laut Teritorial

Perkembangan kedaulatan suatu negara dilaut dapat ditelusuri melalui sejarah hukum laut internasional itu sendiri, dimana terdapat pertarungan antara dua asas hukum laut, yaitu Res Nullius dan Res Communis. Menurut penganut asas Ress Nullius, laut itu tidak ada yang memilikinya, oleh karena itu dapat dimiliki setiap negara yang menginginkannya. Sedangkan penganut asas Ress Communis berpendapat bahwa laut itu adalah milik bersama masyarakat dunia, oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh setiap negara. Dalam praktik negara-negara tepi laut tengah sejak zaman kuno asas Ress Communis inilah yang dijalankan oleh kerajaan-kerajaan Rhodia, Persia, Yunani dan Romawi.51

Penguasaan negara terhadap laut berdasarkan kepada suatu konsepsi hukum, diawali dengan keluarnya peraturan-peraturan Hukum Laut Rodhia abad ke-2 sebelum Masehi, yang diterima dengan baik oleh semua negara di tepi laut tengah.52

51

Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut, (Bandung : BPHN dan Binacipta,1979) hlm. 11-19

Kerajaan Romawi sebagai kerajaan yang menguasai seluruh wilayah laut tengah pada abad ke-7 masih merujuk pada aturan-aturan Rodhia itu, sehingga laut tengah menjadi laut yang aman dan bebas dari gangguan para bajak laut serta semua orang dapat melintasiya dengan aman. Pemikiran hukum yang melandasi sikap bangsa

52


(56)

Romawi terhadap laut itu adalah diakuinya asas hak bersama seluruh umat manusia (Res Communis Omnium) dalam bentuk kebebasan berlayar dan menangkap ikan, dimana negara bertindak sebagai pelindung dari penggunaan asas tersebut. Selain itu, muncul pula pemikiran bahwa laut itu tidak ada yang memiliki, oleh karena itu laut dapat dimiliki dengan mendudukinya yang didasarkan atas konsepsi occupatio yang terdapat didalam hukum perdata Romawi. Walaupun asas ini dapat memberi kepastian, tetapi pada akhirnya menjadi sumber persengketaan karena tidak memberikan suatu penyelesaian yang baik.

Setelah runtuhnya kerajaan Romawi, pada abad pertengahan muncul negara-negara tepi laut tengah yang baru yang masing-masing menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya dengan alasan masing-masing. Hal ini telah menimbulkan bahwa laut tidak lagi menjadi milik bersama (res communis). Para ahli hukum Romawi pada abad pertengahan seperti Bartolus dan Baldus mengemukakan teori yang membagi wilayah laut menjadi dua bagian yaitu laut yang berada dibawah kekuasaan negara pantai, dan laut lepas yang bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapa pun.53

Mengenai laut lepas, Grotius seorang berkebangsaan Belanda dalam bukunya Mare Liberum atau Kebebasan di Laut berpendapat bahwa laut susah diukur, sehingga laut tidak dapat digabungkan dengan milik suatu bangsa atau laut tidak boleh ada yang memilikinya karena akan mengganggu kebebasan bangsa lain untuk memanfaatkannya. Bahkan menurutnya laut merupakan sumber kekayaan yang tidak

53


(57)

terhabiskan (inexhaustable), oleh karenanya semua bangsa bebas untuk memanfaatkannya.54 Ajaran Grotius ini ditentang oleh John Salden seorang berkebangsaan Inggris dan Pontanus dari Denmark, menurutnya tidak ada alasan untuk mengatakan laut tidak dapat dimiliki suatu bangsa, karena waktu itu Inggris dikenal sedang menguasai lautan yang cukup luas bersama Portugal dan Spanyol. Salden melanjutkan bahwa sangat tidak beralasan menyebutkan kekayaan lautan sumber yang tidak terhabiskan. Sedangkan Pontanus menganggap bahwa kedaulatan atas laut mencakup besarnya wewenang untuk melarang pihak ketiga mengangkap ikan, sedangkan hak untuk berlayar tidak harus dikaitkan dengan kepemilikan atas laut. Menurut Pontanus laut dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu laut yang berdekatan dengan pantai (adacjent sea) yang dapat menjadi milik atau kedaulatan negara pantai dan laut luarnya yang harus dianggap sebagai laut lepas atau laut bebas bagi setiap negara yang ingin memanfaatkannya.55

Konsepsi Laut teritorial yang dikemukakan Pontanus disempurnakan oleh sarjana Belanda lainnya yaitu Cornelis Van Bynkershoek pada tahun 1703 melalui asas tembakan meriam (cannon shot rule principles) yang menggunakan tembakan meriam untuk mengukur lebar laut teritorial. Karena jarak tembak meriam pantai pada masa itu hanya 3 mil, maka lebar laut teritorial 3 mil yang sejajar dengan bibir pantai yang diukur pada saat pasang surut (law water marks) yamg juga disebut Pada perkembangannya, kedua ajaran ini masing-masing tidak dapat dipertahankan secara konsekuen.

54

Ibid, hlm. 12

55


(58)

sebagai garis dasar biasa (normal baslines) dianggap sebagai lebar maksimum laut teritorial.56

Pada abad ke-19, batas 3 mil memperoleh pengakuan luas dari para ahli hukum juga oleh pengadilan-pengadilan, serta mendapat pengesahan dalam praktek negara-negara maritim utama. Pengakuan ini juga berlanjut dalam abad ke-20 dengan dua negara maritim besar Amerika Serikat dan Inggris secara tegas menjadi pendukung utama batas 3 mil itu. Memang aturan itu memperoleh penerimaan sebagai suatu ketentuan universal hukum internasional.57 Hal ini menyebabkan negara-negara non maritim beranggapan bahwa dengan lebar laut teritorial 3 mil tidak mencukupi kebutuhan mereka dan kondisi itu hanya menguntungkan bagi negara-negara maritim saja, apalagi perkembangan teknologi tembakan meriam akan semakin jauh saja kelaut dalam praktik.58

Menurut Mochtar Kusumaatmadja ternyata tidak semua negara memberi isi yang sama pada wewenang atau kekuasaan negara dalam laut teritorial ini. Ada negara yang menekankan segi pertahanan, keamanan serta netralitas dan banyak pula negara yang menekankan laut teritorial dari segi kekuasaan negara pantai untuk mengatur dan mengambil tindakan dibidang perikanan, sehingga laut teritorial

56

Ibid, hlm. 14

57

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 1, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hlm. 325

58


(1)

Purwosutjipto,HMN, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Bag 5, Hukum Pelayaran Laut dan Perairan Darat,Cetakan Ke-4, Jakarta : Djambatan, 1993.

Shon, Louis B. Kristen Gustaf son. The Law of The Sea, in a Nut Shell.West Publishing Company, Minnesota.

Siregar, Mahmul , Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal, Medan :Universitas Sumatera Utara Pasca Sarjana, 2008.

Siregar, Mahmul, Hukum Penanaman Modal Dalam Kerangka WTO, Medan:Pustaka bangsa Press,2011.

Siregar, Hasnil Basri , Kapita Selekta Hukum Laut Dagang, Medan: Kelompok Studi Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, 1993.

Siregar, Muchtaruddin , Beberapa Masalah Ekonomi dan Managemen Pengangkutan, (Jakarta: Lembaga penerbitan FE UI, 1981).

Siregar ,Tampil Anshari. Metode Penelitian Hukum . Medan:Pusatka Bangsa Press, 2007.

Sood , Muhammad,Hukum Perdagangan Internaion. Rajawali Pers,Jakarta, 2011. Starke, J.G Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta:Sinar Grafika, 2009.

Sumarjono,Maria S.W., Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989.

Suryabrata ,Samadi, Metodelogi penelitian, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1998. Syahmin.AK, Hukum Dagang Internasional, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2006.


(2)

Umar., M. Hussen Hukum Morilim dan Masalah-Masalah Pelayaran di Indonesia. Buku 2, Jakarta: Pusataka Sinar Harapan, 2001.

Van Houte Hans, The Law Of International Trade, Sweet and Maxwell, London, 1995.

Wuisman,J.J.J M., dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

PERUNDANG –UNDANGAN

Undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran

United Nation, General Assembly Resolution, December 12th 1974, No.3281 (XXIX).

Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang Persetujuan UNCLOS Undang-Undang No. 7 Tahun1994 tentang Persetujuan WTO/GATS Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di perairan

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2011 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No.20 Tahun 2010 tentang Angkutan di perairan

Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

Peraturan Menteri Perhubungan No. 48 Tahun 2011 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Izin Penggunaan Kapal Asing Untuk Kegiatan Lain yang Tidak Termasuk Kegiatan Mengangkut Penumpang dan/atau Barang dalam Kegiatan Angkutan Laut Dalam Negeri


(3)

Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.

MAKALAH, JURNAL DAN ARTIKEL

Balitbang Dephub RI. 2004. "Studi Penerapan Asas Cabotage dalam Pelayaran Nasional". Laporan Akhir Penelitian.

Chairijah, dalam Makalah Pelayanan Jasa Hukum Dalam Kerangka GATS-WTO. Disampaikan pada pertemuan Konsultasi tentang domestic regulation, Bogor, 4 Agustus 2010.

Fitria Wiraswasti dalam artikel ”Peraturan Domestik di Sektor Perdagangan Jasa”, Buletin Kerjasama Perdagangan Internasional Edisi. 03 Tahun 2011, Kementrian Perdagangan Republik Indonesia.

GATT, GATT Activities 1986 : An Annual Review of the Work of the GATT, (Geneva : Juni 1987), hal. 26.

Mahmul Siregar dalam artikel “Perundingan Perdagangan Internasional Di Bidang Jasa Dan Kepentingan Indonesia” disampaikan pada Diseminasi Perundingan Perdagangan Internasional Bidang Jasa, kerjasama Direktorat Perundingan Perdagangan Jasa, Dirjen KPI, Kementerian Perdagangan RI dengan Fakultas Hukum USU, Ruang DPF Fakultas Hukum USU, Medan, 24 April 2012.


(4)

Mochtar Kusumaatmadja, “Pembinaan Pelayaran Nasional dalam Rangka Penegakan Wawasan Nusantara”, Makalah dalam Seminar Tenatang Pelayaran Naional, tanggal 19-20 Oktober 1994 di Kanindo Plaza, Jakarta.

Modul Training For Trainers “Harmonisasi Peraturan Domestik dan Komitment Liberalisasi Perdagangan Jasa”, Kementerian Keuangan, Makassar 21 Oktober 2010

Popi Tuhulele, dalam “Pengaruh Keputusan Mahkamah Internasional Dalam Sengketa Pulau Sipadan Dan Ligitan Terhadap Penetapan Garis Pangkal Kepulauan Indonesia” ,Jurnal Sasi Vol. 17 No. 2 Bulan April - Juni 2011. Riset Asosiasi Pelayaran Niaga Indonesia (INSA), yang dipublikasikan Oktober

2003.

Riset yang dipublikasikan Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai (Iperindo) pada September 2003.

Safi’i Jamal dalam Maritim No. 495, Th X, edisi 15-21 April 2008.

Wawancara redaksi Jalasena dengan Ketua Umum INSA Johnson W Sutjipto yang dimuat dalam Artikel “Perjuangan Panjang Asas Cabotage”, Majalah Jalasena Edisi No. 03 Juli Tahun.I 2011.

Wawancara redaksi Trans Media dengan Ketua Umum INSA Johnson W Sutjipto yang dimuat dalam Artikel “Batas Akhir Untuk Kapal Asing”, Majalah Trans Media Edisi 3 Tahun 2011.


(5)

Wawancara langsung penulis dengan Ramdan Damir, Ketua Bidang Organisasi dan Perlindungan Anggota DPC INSA Medan, pada tanggal 21 Juni 2012. Wawancara langsung penulis dengan Wiluyo Hartono, Pimpinan PT. Dutaryo Putra

Samudra Cabang Medan, pada tanggal 19 Juni 2012

Wawancara langsung penulis dengan H. Rizal Mhd Nisfan. MT Ketua DPW GAFEKSI (INFA) Sumatera Utara, pada tanggal 30 Mei 2012

INTERNET

Tridoyo Kusumastanto., “Pemberdayaan Sumber Daya Kelautan, Perikanan Dan Perhubungan Laut dalam Abad XXI”

http/www.mappel.org/ kajian-ilmiah-untuk-inpres-ii, Diakses tanggal 3 maret 2012

2012

www.mappel.org/kajian-ilmiah-untuk-inpres-ii diakses pada tanggal 11 Mei 2012 http://indomaritimeinstitute.org, diakses tanggal 7 Mei 2012

http://gedeparwata.blogspot.com/, diakses tanggal 14 Mei 2012

www. Scribd.com , Farida Puspasari, “Penegakan Hukum di Wilayah Laut Indonesia”, diakses tanggal 7 Mei 2012


(6)

diakses tanggal 13 Mei 2012

http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/transportasi-maritim/ , diakses tanggal 17 Mei 2012

http://jakarta45.wordpress.com , Wawancara dengan Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu II Hatta Radjasa oleh Ellen Piri dan Faisal Rachman di tulis dalam “Niaga Laut di Kuasai Asing” pada tanggal 3 Februari 2012 dan dimuat dalam, diakses tanggal 17 Mei 2012

http://www.muislife.com/pola-pembinaan-yang-dilaksanakan-pemerintah-di-bidang-perkapalan-dan-pelayaran.html , diakses tanggal 17 Mei 2012

diakses

tanggal 17 Mei 2011

http://www.esdm.go.id/berita/migas/, Disampaikan Menteri Perhubungan Kabinet Indonesia Bersatu II, Freddy Numberi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR mengenai Rancangan Perubahan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada hari kamis 10 Maret 2011 sebagaimana diberitakan dalam diakses tanggal 18 Mei 2012