Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta
46 Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yang
berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama “Kali Angke” yang ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata “Sungai
Merah” yang menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai menjadi warna merah oleh darah orang Tionghoa.
Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini
merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina
diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan
seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga mereka. Cara satu satunya untuk bertahan hidup pada masa itu adalah
dengan menyogok. Bahkan para Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa
menjadi memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai warga “Indonesia” Hal ini terjadi
hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan
menjaga jarak dengan pribumi. Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering
menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik
47 mereka dijarah massa. Hal ini menyebabkan banyak orang Tionghoa
memutuskan untuk lari dari Indonesia, dan pindah ke negara negara tetangga seperti Australia dan New Zealand. Dan bahkan setelah reformasi, sebagian
besar memutuskan untuk tidak kembali ke Indonesia karena mereka menemukan bahwa negara barat lebih menghormati hak hak mereka ketimbang
Indonesia. Setelah reformasi, pada masa pemerintahan Gus Dur, pemerintah
mencabut larangan bagi orang Tionghoa untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Kwik Kian Gie dijadikan menteri perekonomian. Gus Dur juga
memberikan ijin bagi orang orang Tionghoa untuk menjalankan tradisinya tanpa harus meminta ijin kepada pemerintah. Pada masa pemerintahan
Megawati, hari raya Imlek pun ditetapkan sebagai hari libur nasional. Setelah 45 tahun dilarang di Indonesia sejak tahun 1965, pada tahun
2000, Metro TV menjadi stasiun televisi pertama yang menggunakan bahasa mandarin. Pada tahun 2006, pemerintah mengeluarkan undang undang yang
menghapus segala perbedaan antara Tionghoa dan pribumi. Dan pada tahun 2007, pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono meresmikan istilah
“Tionghoa” sebagai nama bagi penduduk keturunan Cina di Indonesia. Setelah membaca uraian di atas, dapat dilihat bahwa pada awal mulanya,
orang Tionghoa dan pribumi hidup berdampingan. Diskriminasi terjadi akibat
usaha penjajah Belanda untuk memecah belah Indonesia. Seperti yang telah diketahui perubahan sistem politik era Orba ke era
Reformasi menjadi faktor penyebab utama keterlibatan etnis Cina Indonesia
48 dalam politik. Kedua, membawa dampak signifikan atas perubahan politik
internal etnis Cina Indonesia dari titik nol kekuasaan di era Orba, mencapai puncak kekuasaan politik di era Reformasi. Akibatnya etnis Melayu dan etnis
Dayak terganggu kemapanan politiknya. Ketiga, respons beragam dari etnis Melayu, etnis Dayak, dan pejabat pemerintah daerah setempat yakni sebagai
pulihnya hak politik etnis Cina Indonesia, dulu menguasai ekonomi sekarang menguasai politik.
Di era Reformasi, yang mengusung isu HAM dan demokratisasi, sangat menguntungkan bagi etnis Tionghoa karena dibidang ekonomi dan politik
berlaku persaingan bebas. Akibatnya penguasaan ekonomi oleh mereka semakin dahsyat, dan terbuka pula peluang di bidang politik karena berlaku
persaingan bebas. Dalam demokrasi yang berlandaskan persaingan bebas, siapa yang
memiliki dana yang besar, mudah mendapat dukungan publik. Popularitas dan elektabilitas dapat dibangun dengan banyak beriklan di media terutama
Televisi, melakukan blusukan ke masyarakat bawah, melakukan bakti sosial dengan membagi sembako dan pengobatan gratis ke masyarakat, karena
banyak sekali masyarakat yang miskin dan kurang pendidikan. Itu sebabnya di beberapa daerah di Indonesia, calon dari etnis Tionghoa
terpilih menjadi anggota parlemen dalam pemilu parlemen ditingkat daerah dan nasional, dan beberapa dari mereka bahkan terpilih menjadi Bupati, Walikota,
Gubernur dan Wakil Gubernur dalam pemilukada. Kekuatan finansial yang dimiliki etnis Tionghoa yang dijadikan sandaran
49 oleh pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan kebersamaan
diantara mereka yang amat kuat sebagai satu etnis telah menghantarkan mereka semakin berjaya di bidang ekonomi dan dalam beberapa kasus mereka berjaya
pula di bidang politik, seperti yang terlihat dalam pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2012. Etnis Tionghoa atau Cina diwakili oleh Ahok.