Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012

41 memberikan suara. Pemberian suara akan dilakukan di tempat pemungutan suara yang tersebar di 267 kelurahan, mulai dari pukul 07.00 hingga 13.00. Ada enam pasang calon gubernur-wakil gubernur DKI Jakarta yang akan dipilih. Mereka adalah Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, Hendardji Soepandji- Ahmad Riza Patria, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini, Faisal Basri-Biem T Benjamin, dan Alex Noerdin- Nono Sampono. Selanjutnya rekapitulasi suara yang dilakukan KPU DKI Jakarta menghasilkan dua pasangan calon yaitu Jokowi-Ahok dan Foke-Nara yang akan maju pada pemungutan suara putaran kedua. Pemungutan suara putaran kedua diselenggarakan 20 September 2012. 2012. Memasuki putaran kedua, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan Pembangunan memberikan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli. Sementara, hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29 September 2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat provinsi sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi- Ahok meraih 2.472.130 53,82 suara, sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 46,18 suara. Dengan selisih 351.315 7,65 suara. 42 Tabel III. A. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Pertama dan Kedua dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2012 No Calon Gubernur- Wakil Gubernur Partai Politik Putaran 1 Putaran 2 Pemilih Pemilih 3 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama PDIP dan Gerindra 1.847.157 42,60 2.472.130 53,82 1 Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli PD, PAN, Hanura, PKB, PBB, PMB, dan PKNU 1.476.648 34,05 2.120.815 46,18 4 Hidayat Nur Wahid dan Didik J. Rachbini PKS 508.113 11,72 5 Faisal Batubara dan Biem Triani Benjamin Independen 215.935 4,98 6 Alex Noerdin dan Nono Sampono Golkar, PPP, PDS, PP, PKPB, PKDI, RepublikaN, PPIB, Partai Buruh, PPNUI, PNI Marhaenisme 202.643 4,67 2 Hendardji Soepandji dan Ahmad Riza Patria Independen 85.990 1,98 Jumlah suara sah 4.336.486 4.592.945 Jumlah suara tidak sah 93.047 Golput 2.555.207 36,6 2.349.657 Jumlah seluruh suara 4.429.533 Jumlah Total DPT 6.962.348 100 6.996.951 100 Sumber:Kpud DKI Jakarta 43

F. Sejarah dan Perkembangan Etnis Tionghoa di Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Isu SARA memang sulit dipisahkan dalam dunia politik di Indonesia. Isu yang masih menarik di cermati saat ini mengenai pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Hal ini diperkuat dari hasil exit poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia LSI yang menunjukkan 100 persen warga Tionghoa Jakarta menjatuhkan pilihan pada pasangan Jokowi-Ahok. Memang dalam kultur masyarakat kita yang cukup heterogen baik dari sisi suku, agama maupun ras, kehidupan politik tidak bisa dipisahkan di dalamnya. Dan untuk pencapaian tujuan politik, SARA bisa jadi dua sisi yang bertolak belakang, bisa positif maupun negatif terhadap tujuan isu yang dilontarkan. Pemilihan Ahok sebagai pendamping Jokowi merupakan unsur SARA yang “menguntungkan” untuk pemilihan Gubernur DKI Jakarta, di mana cukup banyak potensi pemilih aktif dari kalangan bisnis yang berasal dari etnis Tionghoa. Jokowi yang berasal dari suku Jawa juga merupakan komoditas SARA yang cukup potensial mengambil suara dari para banyak pendatang dari Jawa yang menetap di Ibukota. Kubu Foke pun sebenarnya tidak kalah seru dalam menyebarkan isu SARA untuk mengambil simpati pemilih dari etnis Betawi. Indonesia adalah negara yang besar dan persebaran geografis orang tionghoa sangat tidak merata. Mulai dari pulau Bangka di mana jumlahorang Tionghoa hampir seperempat dari seluruh penduduk,sedangkan di Indonesia bagian Timur jumlahnya kurang dari 2 persen.Di Jakarta jumlahnya sekitar 10 44 persen dari jumlah penduduk. 14 Bangsa Cina mendarat di Indonesia sekitar abad ke 5, di pesisir pantai Jawa Timur. Mereka adalah pedagang yang berlayar untuk mencari rempah rempah, dan kemudian mereka menetap di Indonesia dan berasimilasi dengan penduduk setempat. Para pedagang Cina ini juga diyakini membawa agama dan tradisi Islam masuk ke Indonesia, karena berkat Jalan Sutra, agama Islam yg berasal dari Arab, masuk ke Cina melalui India. Bahkan menurut sejarah, beberapa orang dari Wali Songo adalah keturunan Cina seperti Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Pada waktu itu di Batavia Lama berbagai kelompok etnis yang berbeda bermukim di daerah tersendiri atau di kampung kampung yang ada di pinggiran, pola ini terus diberlakukan untuk orang orang Tionghoa sampai abad ke 20, ketika pembatasan tempat tinggal mereka dihapuskan, mereka menyebar ke penjuru kota Jakarta. 15 Tahun 1680 pada jaman Kolonial Belanda, para pedagang Tionghoa mempunyai peranan penting dalam perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut. Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, itu akan menjadi masalah bagi penjajah Belanda. Karena itu, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa, dan mereka berhasil. 14 J ustian, Suhandinata, WNI keturunan Tionghoa dalam stabilitas ekonomi dan politik Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009, 97. 15 Lance Castles, Profil Etnik Jakarta, Jakarta:Komunitas Bambu, 2007, 77 45 Mereka juga diberi fasilitas untuk memegang monopoli garam, pelaksana rumah pegadaian, dan memungut pajak. Tetapi ada pembatasan-pembatasan yang dilakukan Kompeni terhadap orang Cina, antara lain tidak dibenarkan memiliki tanah dan dibatasi ruang geraknya. Sejak tahun 1690, migrasi orang Cina makin meningkat hingga jumlahnya mencapai 50 dari seluruh penduduk kota. Mereka didominasi oleh kaum miskin yang mencoba mengadu nasib di Batavia. Namun pada tahun 1870 penduduk Cina tidak hanya tinggal di daerah Glodok , tetapi banyak yang tinggal bersama-sama dengan orang pribumi di kampung-kampung sambil berdagang. Turunnya harga gula di pasar global pada tahun 1740 menyebabkan krisis ekonomi, karena itu Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para kuli yang sebagian besar adalah pribumi ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam diam. Kemudian isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal kapal Belanda tersebut dan pertumpahan darah pun tidak dapat dihindari. Akibat perlawanan tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para pedagang Tionghoa, namun yg terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar di mana dalam 3 hari, sekitar 50.000- 60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoa lah yg berencana membunuh para kuli pribumi dan mereka seolah olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang orang pribumi. Lalu 46 Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang Tionghoa yang berhasil dibunuh. Inilah awalnya perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Nama “Kali Angke” yang ada di daerah Jakarta Utara berasal dari kata “Sungai Merah” yang menggambarkan kejadian pembantaian saat itu di mana sungai menjadi warna merah oleh darah orang Tionghoa. Pada jaman pemerintahan Soeharto, orang Tionghoa di Indonesia diharuskan mengganti nama mereka dengan nama Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat pedih karena mereka menjadi kehilangan marga dan nama keluarga mereka. Segala tradisi yang berbau Cina diharamkan, dan bahasa Mandarin pun dilarang karena mereka dituduh menyebarkan paham komunis. Pada periode 1965-1975, aparat dapat dengan seenaknya mengeksploitasi orang Cina dengan merampok dan memperkosa keluarga mereka. Cara satu satunya untuk bertahan hidup pada masa itu adalah dengan menyogok. Bahkan para Tionghoa yang berjasa bagi Indonesia pun ditangkap, dipenjara, dan dibunuh, dan hal ini menyebabkan orang Tionghoa menjadi memisahkan diri dengan Indonesia. Mereka tidak senang disebut sebagai warga “Indonesia” Hal ini terjadi hingga hari ini. Walaupun generasi muda saat ini tidak seekstrim leluhurnya dalam menjalani tradisi Tionghoa, tapi tetap mereka merasa berbeda dan menjaga jarak dengan pribumi. Pada kerusuhan 1998, orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi dan KKN di Indonesia karena mereka sering menggunakan sogokan untuk mendapatkan kemudahan dari pemerintah. Ratusan ribu orang Tionghoa di Indonesia, dibunuh, diperkosa, dan milik