Karakteristik Responden. Analisis Tabel Tunggal

45

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Tabel Tunggal

Analisis tabel tunggal adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam pembahasan ini, peneliti akan merujuk pada system penyajian atau data yang diperoleh dari hasil jawaban responden, dimana metode pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang disebarkan kepada responden yaitu anggota Yayasan Warga Persahabatan YWP Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai.

8.1.1 Karakteristik Responden.

Tabel 4.1 Usia Responden Usia Responden Frekuensi Persen 30-39 tahun 4 21.1 40-49 tahun 8 42.1 di atas 50 tahun 7 36.8 Total 19 100.0 Dari jumlah anggota Yayasan Warga Pershabatan YWP Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai yang tergolong ke dalam anggota yang aktif ada 19 anggota, dimana usia responden yang berusia 30-39 tahun ada 4 responden 21,11, yang berusia 40-49 tahun ada 8 responden 42,1 , dan yang di atas 50 tahun ada 7 responden. Hal ini menunjukkan bahwa yang melakukan akulturasi dan perubahan identitas etnis pasca pernikahan campuran adalah rata-rata yang berusia 40-49 tahun. Pada penelitian ini peneliti menemukan kecenderungan untuk bersosialisasi dengan sesama orang Jepang dirasakan pada usia tua. Pada usia relatif masih muda, kebanyakan responden masih fokus pada kesibukan dan atau rutinitas dalam pekerjaan. Waktu tua setelah pension dari pekerjaan biasa digunakan sebagai waktu untuk mengenal orang lain melalui organisasi Yayasan Warga Pershabatan YWP Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai. 46 Tabel 4.2 Jenis Kelamin Responden Jenis Kelamin Responden Frekuensi Persen Pria 12 63.2 Wanita 7 36.8 Total 19 100.0 Dari jumlah anggota Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No kai, dimana dari 19 responden tersebut dimana yang berjenis kelamin pria ada 12 responden 63,2, wanita 7 responden 36,8 . Penelitian ini menunjukkan bahwa pria lebih banyak dalam melakukan pernikahan campuran. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan Mochammad Al Musadieq 2010 berjudul “Ekspatriat Dan Industri Lintas Negara” yang menemukan bahwa pernikahan dan atau percampuran budaya yang dilakukan di Kota Malang didominasi kaum pria. Tabel 4.3 Tingkat Pendidikan Responden Tingkat Pendidikan Responden Frekuensi Persen SMA 3 15.8 Diploma 5 26.3 Sarjana 11 57.9 Total 19 100.0 Dapat kita ketahui dari tabel 4.3 bahwa tingkat pendidikan responden yang menjalani sampai tingkat SMA ada 3 responden 15,8, tingkat Diploma 5 responden 26,3, tingkat Sarjana 11 responden 57,9, hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan yang melakukan pernikahan percampuran pada tingkat pendidikan sarjana. Latar belakang pendidikan merupakan salah satu potensi dalam proses akulturasi. Mulyana 2005:146 memasukkan latar belakang pendidikan menjadi hal yang bisa menjadi keuntungan maupun kelemahan dalam proses akulturasi budaya. Pandangan ini memandang bahwa semakin tinggi 47 pendidikan seseorang akan membuka luas pemikirannya sehingga jauh dari kesan ‘kolot’. ‘kolot’ dalam proses akulturasi budaya bisa diartikan sebagai individu yang sulit menerima budaya orang lain, individu jenis ini kebanyakan masih berpendidikan rendah. Sementara kaum ‘progressif’ yang terbuka dalam menerima budaya lain memiliki pendidikan yang tinggi. Tabel 4.4 Agama Responden Agama Responden Frekuensi Persen Islam 8 42.1 Katolik 2 10.5 Protestan 4 21.1 Budha 5 26.3 Total 19 100.0 Pada pernikahan campuran dimana agama merupakan yang tidak bisa dihindarkan antara satu pasangan dengan pasangan yang lain, disini menunjukkan bahwa dari responden yang beragama Islam ada 8 responden 42,1, Katolik 2 responden 10,5, Protestan ada 4 resmponden 21,1, sedangkan agama Budha ada 5 responden 26,3. Agama merupakan pandangan hidup yang menjadi pegangan umat manusia. Mayoritas pernikahan etnis yang dilakukan di Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No kai beragama muslim. Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim sehingga kemungkinan untuk melakukan pernikahan beda budaya lebih tinggi daripada agama lain. 48 Tabel 4.5 Pekerjaan Responden Pekerjaan Responden Frekuensi Persen Pns 1 5.3 Pegawai Swasta 7 36.8 Wiraswasta 10 52.6 Dan Lain-Lain 1 5.3 Total 19 100.0 Wiraswasta merupakan pekerjaan yang banyak pada anggota Yayasan Warga Persahabatan dimana ada 10 responden 52,6, sedangkan pegawai swasta 7 responden 36,8 , dan PNS hanya 1 responden 5,3, sedangkan yang lain-lain juga 1 responden 5,3. Mayoritas wiraswasta yang menjadi anggota Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No kai memiliki usaha di berbagai bidang seperti makanan, muatan kapal laut dan bisnis produk barang jasa. Sementara itu pegawai swasta yang menjadi anggota terdaftar pada beberapa perusahaan asing yang memiliki cabang di Indonesia. Biasanya pegawai swasta yang tinggal di kota Medan memiliki jabatan tinggi setara branch manager atau area manager. Tabel 4.6 Usia Pernikahan Usia Pernikahan Frekuensi Persen 1-5 tahun 6 31.6 10-15 tahun 7 36.8 15-20 tahun 2 10.5 20 tahun 4 21.1 Total 19 100.0 Usia pernikahan merupakan proses yang harus dilewati pasangan beda budaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usia pernikahan yang sudah lama 49 yakni 10-15 tahun 7 responden 36,8, dan 1-5 tahun 6 responden 31,6, juga 15-20 tahun 2 responden, sedangkan yang lebih dari 20 tahun 4 responden 21,1. Usia pernikahan berbanding lurus dengan usia responden, responden `yang berusia di atas 50 tahun memiliki usia pernikahan di atas 20 tahun. Sementara ada beberapa responden di atas 50 tahun baru memasuki tahun kelima pernikahan dikarenakan pernikahan beda budaya bukan merupakan pernikahan pertama melainkan pernikahan kedua atau ketiga. Tabel 4.7 Kecenderungan Berpikir Curiga Dan Dogmatis Terhadap Pasangan Kecenderungan Berpikir Curiga Dan Dogmatis Terhadap Pasangan Frekuensi Persen Sangat Setuju 1 5.3 Setuju 4 21.1 Kurang Setuju 7 36.8 Tidak Setuju 7 36.8 Total 19 100.0 Kecenderungan curiga terhadap pasangan pada pernikahan campuran dimana 1 responden 5,3 menyatakan dangan setuju, 4 responden 21,1 menyatakan setuju, sedangakan 7 responden menyatakan kurang setuju dan tidak setuju 36,8. Gundykunst 2003 menyebutkan salah satu potensi konflik dalam proses akulturasi budaya adalah prasangka. Prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dll. Prasangka muncul dikarenakan setiap individu dibesarkan dengan berbagai cara, mendapatkan pengalaman yang berbeda dan memiliki keyakinan yang berbeda pula mengenai dunia. Hal ini tentu saja mempengaruhi cara berfikir orang lain. Prasangka yang sering dialami oleh responden banyak mengenai kecurigaan pada orang Jepang yang dipandang pelit, kecurigaan ini muncul di awal pernikahan setelah proses pernikahan, perlahan prasangka ini pun hilang dengan sendirinya. 50 Tabel 4.8 Menganggap Jika Budaya Asal Lebih Hebat Daripada Budaya Pasangan Menganggap Jika Budaya Asal Lebih Hebat Daripada Budaya Pasangan Frekuensi Persen Sangat Hebat 2 10.5 Hebat 3 15.8 Kurang Hebat 5 26.3 Tidak Hebat 9 47.4 Total 19 100.0 Tabel 8 menjelaskan bahwa dari 19 responden yang diberikan kuesioner yang masih menganggap bahwa suku dari budayanta lebih hebat dari budaya psangannya. Ada 9 responden atau 47,4 yang menyatakan bahwa budaya pasngannya tidak hebat, sedangakan 5 responden atau 26,3 menyatakan budaya pasangannya kurang hebat, sedangkan 3 responden atau 15,8 menyatakan bahwa budaya pasangannya hebat, dan 2 responden 10,5 menyatakan bahwa budaya pasangannya sangat hebat. Pada perang dunia kedua saat bangsa Jepang menjajah bangsa Indonesia, ada beberapa dogma yang biasa disebut 3A, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia dan Jepang Pemimpin Asia. Dogma ini menunjukkan bahwa posisi bangsa Jepang lebih tinggi dari bangsa Asia lain. Bagi sebagian besar responden, dogma ini masih tertanam lekat di dalam pemikirannya. Responden berpandangan budaya pasangan Jepang-nya lebih hebat dari budaya asli Indonesia. 51 Tabel 4.9 Menganggap Bahwa Budaya Asli Mutlak Kebenarannya. Menganggap Bahwa Budaya Asli Mutlak Kebenarannya Frekuensi Persen Sangat Unggul 2 10.5 Unggul 8 42.1 Kurang Unggul 6 31.6 Tidak Unggul 3 15.8 Total 19 100.0 Dari hasil tabel ini menjelaskan bahwa yang menganggap bahwa budaya asli mutlak kebenarannya ada 2 responden 10,5 menyatakan budaya aslinya sangat unggul, dan 8 responden 42,1 menyatakan bahwa budaya aslinya unggul, sedangkan 6 responden 31,6 menyatakan bahwa budaya aslinya kurang unggul, dan 3 responden atau 15,8 menyatakan bahwa budaya aslinya tidak unggul. Pada proses akulturasi ada beberapa budaya yang mungkin muncul yaitu : budaya pasangan yang menjadi budaya kita, budaya kita yang menjadi budaya pasangan dan munculnnya budaya baru. Pada beberapa responden, akulturasi budaya dilakukan dengan memunculkan budaya baru dalam kehidupan mereka. Kebiasaan yang baik dari budaya asli diserap dan digunakan pasangannya dan sebaliknya kebiasaan yang baik dari pasangan diserap dan digunakan dalam kehidupan sehari – hari. 52 Tabel 4.10 Merasakan Rasa Takut Meninggalkan Budaya Asli Merasakan Rasa Takut Meninggalkan Budaya Asli Frekuensi Persen Tidak Pernah 2 10.5 Jarang 5 26.3 Sering 5 26.3 Sangat Sering 7 36.8 Total 19 100.0 Mayoritas responden menyatakan sangat sering merasakan takut meninggalkan budaya asli. Sebanyak 7 responden 36.8 menyatakan sangat sering merasakan takut meninggalkan budaya asli. Sementara terdapat 5 responden menyatakan sering merasakan takut meninggalkan budaya asli.Pernikahan dalam budaya timur masih dipandang sebagai prosesi yang sakral. Pandangan ini berbeda jika kita bandingkan dengan budaya barat yang memandang pernikahan sebagai perjanjian individu. Pernikahan budaya timur masih menganggap keluarga besar sebagai bagian penting dalam pernikahan. Keluarga selalu dilibatkan dalam proses pernikahan. Beberapa budaya menganut pendekatan saling berbagi sesuai dengan komitmen dan tanggung jawab dalam kelompok keluarga besar. Tetapi terdapat pula budaya yang lebih memperhatikan kebutuhan keluarganya sendiri dan lebih individualistik. Secara umum ketakutan yang ditimbulkan dalam proses budaya penelitian ini bukan berasal dari pandangan dalam memandang keluarga sebagai bagian dari pernikahan melainkan pandangan lain seperti bagaimana memandang pekerjaan, karir dan pendidikan anak. Budaya Jepang mengajarkan disiplin yang tinggi dengan anak, beberapa responden merasa khawatir jika kedisiplinan tersebut bisa membawa pengaruh lain bagi anak. 53 Tabel 4.11 Merasakan Gelisah Meninggalkan Budaya Asli Merasakan Gelisah Meninggalkan Budaya Asli Frekuensi Persen Jarang 7 36.8 Sering 5 26.3 Sangat Sering 7 36.8 Total 19 100.0 Rasa gelisah merupakan bagian dari prasangka. Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Menurut Brislin dalam Gudykunst, 2003:323 prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dll. Terdapat 7 responden 36.8 menyatakan jarang merasakan gelisah ketika meninggalkan budaya aslinya. Responden yang menyatakan jarang merasakan gelisah beralasan bahwa budaya baru yang mereka terima atau adopsi tidak terlalu jauh jika dibandingkan dengan budaya aslinya. Responden juga mendapatkan keuntungan dengan mengadopsi budaya baru seperti mendapatkan resep makanan baru dan cara – cara hidup lainnya. Sementara terdapat 5 responden 26.3 menyatakan sering merasakan gelisah meninggalkan budaya asli. Terdapat 7 responden 36.8 menyatakan sangat sering merasakan gelisah meninggalkan budaya asli. Responden menyatakan kegelisahan muncul dalam diri mereka pada awal hubungan. Sebagian besar responden merasa kesulitan menyesuaikan diri pada pasangannya. Responden menyatakan terkadang proses akulturasi dijalani dengan proses yang sulit karena pada kebiasaan tertentu pasangan tidak mau melakukan kompromi untuk menyesuaikan diri. Pasangan masih memegang teguh budaya asli mereka seperti cara makan, cara tidur dan cara mengatur waktu. 54 Tabel 4.12 Perasaan Merindukan Rumah Perasaan Merindukan Rumah Frekuensi Persen Tidak Pernah 7 36.8 Jarang 4 21.1 Sering 6 31.6 Sangat Sering 2 10.5 Total 19 100.0 Rumah merupakan bagian penting dalam kehidupan. Rumah biasa membedakan etnis dari individu. Rumah bagi sebagian besar etnis dipandang sebagai strata dalam kehidupan sosial masyarakat. Perasaan akan rumah juga menjadi perhatian dalam proses akulturasi budaya. Mayoritas responden menyatakan tidak pernah merasakan rindu akan rumah. Terdapat 7 responden 36.8 menyatakan tidak pernah rindu akan rumah. Responden menyatakan sudah menjadi sebuah konsekuensi ketika menjalani proses pernikahan untuk meninggalkan rumah. Responden menyatakan adalah hal yang wajar ketika menikah meninggalkan rumah. Apalagi kedua pasangan menjalani proses meninggalkan rumah secara bersama. Sementara terdapat 4 responden 21.1 menyatakan jarang rindu akan rumah. Responden berasalan bahwa terkadang rindu akan suasana rumah terlebih jika pasangan sedang jauh dari rumah. Terdapat 6 responden 31.6 menyatakan sering merindukan rumah dan terdapat 2 responden 10.5 menyatakan sangat sering merindukan rumah. Responden beralasan sering merindukan rumah dengan kondisi rumah yang ramai akan keluarga seperti ayah, ibu, adik dan kakak. Perasaan rindu akan rumah meningkat dengan pesat ketika perayaan – perayaan besar. Perasaan rindu akan berkumpul dengan keluarga dan sanak famili lainnya. Untuk menghapus kerinduan akan rumah biasa responden melakukan kunjungan dan atau melakukan teleconference. 55 Tabel 4.13 Menarik Diri Dari Budaya Baru Menarik Diri Dari Budaya Baru Frekuensi Persen Jarang 5 26.3 Sering 3 15.8 Sangat Sering 11 57.9 Total 19 100.0 Kebudayaan sebagai sebuah kesatuan utuh merupakan bagian yang sangat besar dalam kehidupan. Bukan hanya mengenai adat dan istiadat melainkan juga cara pandang, nilai, pola hidup, pakaian, hobi dan lain – lain. Proses akulturasi bisa membentuk budaya baru bagi kedua pasangan. Namun, tidak jarang budaya baru tersebut tidak jadi diadopsi dan kembali ke budaya asli. Responden menyatakan sangat sering menarik diri dari budaya baru. Terdapat 11 responden 57.9 menyatakan menarik diri dari budaya baru. Sedangkan terdapat 3 responden 15.8 menyatakan sering menarik diri dari budaya baru. Responden menyatakan budaya baru yang tidak diadopsi biasanya memiliki dampak yang buruk bagi kehidupan. Budaya – budaya ini tidak diterima juga karena jauh bertentangan dengan budaya asli yang sudah lama diadopsi. Cara berpakaian yang tidak sesuai dengan kultur budaya misalnya sering ditolak menjadi budaya baru. Pakaian yang menggunakan aksesoris berlebihan misalnya. Responden lain menyatakan jarang meninggalkan budaya baru. Terdapat 5 responden 26.3 menyatakan jarang meninggalkan budaya baru. Budaya baru yang diterima memberikan keuntungan fungsional bagi kehidupan jika dibandingkan dengan budaya asli. Keuntungan yang didapat bisa keuntungan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Gaya komunikasi budaya Indonesia yang ramah diterima sebagai budaya baru dalam pasangan, namun tetap mengakomodir gaya komunikasi etnis pasangan. 56 Tabel 4.14 Mengalami Perasaan Takut, Gelisah, Selalu Merindukan Rumah Dan Menarik Diri Dari Budaya Pasangan Mengalami Perasaan Takut, Gelisah, Selalu Merindukan Rumah Dan Menarik Diri Dari Budaya Pasangan Frekuensi Persen Rasa Takut 9 47.4 Gelisah 3 15.8 Selalu Merindukan Rumah 5 26.3 Menarik Diri Dari Budaya Pasangan 2 10.5 Total 19 100.0 Rasa gelisah merupakan bagian dari prasangka. Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Menurut Brislin dalam Gudykunst, 2003:323 prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dll. Pada pernikahan campuran dari 19 responden terdapat 9 responden 47,4 yang masih memiliki rasa takut terhadap budaya pasangannya dan 3 responden 15,8 yang gelisah. Rasa takut dan gelisah yang muncul dalam diri responden berasal dari kurangnya informasi mengenai budaya pasangan. Responden banyak mendapat informasi mengenai budaya pasangan dari literature yang terbatas. Kebanyaan responden belum pernah hidup dalam budaya pasangan seperti tinggal di negara pasangan dalam waktu yang cukup lama. Sementara terdapat 5 responden 26,3 yang selalu merindukan rumah. Kerinduan akan rumah disebabkan merasa sendiri ketika ditinggal jauh oleh pasangan. Pada hari – hari besar dan atau perayaan tertentu, kenangan akan rumah muncul dalam benak responden yang menimbulkan perasaan rindu akan rumah. Terdapat 2 responden 10,5 menarik diri dari budaya pasangan. Budaya pasangan merupakan hal baru bagi responden, pada beberapa kebiasaan tertentu, responden sering menarik diri dari kebudayaan pasangannya. 57 Tabel 4.15 Waktu Yang Saudara Butuhkan Dalam Menerima Budaya Baru Dari Pasangan Waktu Yang Saudara Butuhkan Dalam Menerima Budaya Baru Dari Pasangan Frekuensi Persen 1 Tahun 10 52.6 1 Tahun - 2 Tahun 2 10.5 2 Tahun - 3 Tahun 5 26.3 3 Tahun 2 10.5 Total 19 100.0 Proses akulturasi budaya memerlukan waktu. Cepat atau lambat proses akulturasi dipengaruhi banyak faktor seperti pengalaman dan kemiripan budaya. Tabel 4.15 menjelaskan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh pasangan dalam menerima budaya pasangan. Terdapat 10 responden 52,6 menyatakan kurang 1 tahun. Responden menyatakan pasangan sering bercerita tentang budayanya begitu juga responden yang sering bercerita mengenai budaya asli kepada pasangan. Proses interaksi ini sedikit banyak membantu proses akulturasi yang dijalani kedua pasangan. Proses komunikasi berjalan intensif dan biasanya mengalir seperti percakapan sehari – hari. Topik pembicaraan mencakup semua hal mulai dari cara memakai sepatu, cara menggunakan peralatan masak dan cara bertanam, dan lain-lain. Terdapat 2 responden 10,5 menyatakan proses akulturasi memerlukan waktu 1 tahun - 2 tahun dan terdapat 5 responden 26.3 2 tahun – 3 tahun. Sementara 2 responden atau 26,3 menyatakan melakukan proses akulturasi lebih dari 3 tahun. Lama tidaknya proses akulturasi dipengaruhi banyak faktor antara lain : Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi; Usia pada saat berimigrasi; Latar belakang pendidikan; Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi ; Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi. Faktor – faktor ini bersatu dalam satu waktu sehingga memerlukan proses yang tidak sebentar. Semakin cepat proses akulturasi berlangsung tidak menjamin lama atau tidaknya proses pernikahan. Proses 58 akulturasi adalah proses yang terus berlangsung selama hidup antara dua pribadi yang berkomunikasi. Tabel 4.16 Dalam Menjalani Proses Penerimaan Budaya Baru Dalam Menjalani Proses Penerimaan Budaya Baru Frekuensi Persen Sangat Takut 1 5.3 Takut 3 15.8 Kurang Takut 7 36.8 Tidak Takut 8 42.1 Total 19 100.0 Proses akulturasi dalam penerimaan budaya baru yang dilakukan oleh anggota Yayasan Warga Persahabatan menunjukkan terdapat 1 responden 5,3 sangat takut menjalani proses penerimaan budaya baru. Ketakutan muncul dalam diri responden dikarenakan kekhawatiran gagal beradaptasi pada budaya baru. Sedangkan terdapat 3 responden atau 15,8 menyatakan takut. Rasa takut biasa dialami pada awal proses akulturasi, takut untuk menjalani atau menempuh budaya baru. Terdapat 7 responden 36,8 menyatakan kurang takut dan terdapat 8 responden 42,1 menyatakan tidak takut. Sebagian besar responden sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai budaya baru yang akan dijalani. Pengetahuan mengenai budaya baru ini menjadi salah satu penentu tidak munculnya rasa takut menerima budaya baru. 59 Tabel 4.17 Setelah Menjalani Proses Penerimaan Budaya Baru Setelah Menjalani Proses Penerimaan Budaya Baru Frekuensi Persen Sangat Nyaman 2 10.5 Nyaman 14 73.7 Kurang Nyaman 3 15.8 Total 19 100.0 Setelah proses penerimaaan budaya dari 19 responden terdapat 2 responden 10,5 menyatakan sangat nyaman dan terdapat 14 responden 73,7 menyatakan nyaman. Rasa nyaman yang timbul setelah melalui tahapan gegar budaya atau culture shock. Gegar budaya dapat menyebabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman. Kondisi setelah ini merupakan kondisi yang normal atau nyaman dari responden. Biasanya responden secara sadar menerima budaya baru sebagai budaya dalam diri bahkan menjadi identitas diri yang baru. Sementara terdapat 3 responden 15,8 menyatakan kurang nyaman. Rasa nyaman juga merupakan efek lain dari gegar budaya. Pada konteks rasa kurang nyaman ini, responden masih merasakan efek dari sedih meninggalkan budaya yang lama. Responden menyatakan bahwa budaya baru yang diterima lebih baik bagi kehidupan pernikahan namun masih ada rasa sedih meninggalkan budaya lama. Tabel 4.18 Kemampuan Mengenali Budaya Pasangan Kemampuan Mengenali Budaya Pasangan Frekuensi Persen Sangat Mampu 1 5.3 Mampu 13 68.4 Kurang Mampu 5 26.3 Total 19 100.0 Tabel 14 menunjukkan kemampuan mengenali budaya pasangan, terdapat 1 responden 5,3 menyatakan sangat mampu dan terdapat 13 responden 60 68,4 menyatakan mampu. Kemampuan untuk mengenali budaya pasangan ditentukan oleh keterbukaan pasangan terhadap budayanya. Pasangan sering menceritakan mengenai budayanya sehingga pengetahuan akan budaya pasangan bertambah.erlebih di tengah kemajuan teknologi memudahkan pasangan mendapat informasi mengenai pasangan. Responden juga menyatakan sangat terbantu dengan keberadaan Yayasan Persahabatan yang menjadi forum untuk bertukar informasi seputar budaya baru. Sedangkan terdapat 5 responden 26,3 menyatakan kurang mampu dalam mengenali budaya pasangan. Ketidakmampuan ini lebih disebabkan karena kemiripan yang sangat dekat antara budaya responden dengan budaya pasangan. Responden kadang menganggap kebiasaan tersebut ada dalam dirinya bukan budaya pasangan dan sebaliknya kadang responden menganggap sebagai bagian dari budaya pasangan bukan budaya dirinya. Tabel 4.19 Kemampuan Mengenali Identitas Diri Kemampuan Mengenali Identitas Diri Frekuensi Persen Sangat Mampu 4 21.1 Mampu 15 78.9 Total 19 100.0 Proses mengenali identitas diri terjadi setelah proses akulturasi budaya dari 19 reponden menyatakan terdapat 4 responden 21,1 menyatakan sangat mampu, sedangkan terdapat15 responden 78,9 menyatakan mampu mengenali identitas diri. Identitas diri merupakan langkah awal sebelum melakukan proses akulturasi. Identitas inilah yang melebur bersama identitas lain dari pasangan. Penelitian ini menunjukkan bahwa responden dapat mengenali budaya mana yang menjadi identitas dirinya dan budaya mana yang menjadi identitas pasangannya. 61 Tabel 4.20 Keterikatan Kelompok Budaya Keterikatan Kelompok Budaya Frekuensi Persen Sangat Terikat 2 10.5 Terikat 8 42.1 Kurang Terikat 4 21.1 Tidak Terikat 5 26.3 Total 19 100.0 Seluruh anggota dari 19 responden Yayasan Warga Persahabatan dalam keterikatan dengan kelompoknya. Terdapat 2 responden 10,5 menyatakan sangat terikat akan kelompok budaya aslinya dan terdapat 8 responden 42,2 menyatakan terikat akan kelompok budaya aslinya. Responden menyatakan keterikatan kepada kelompok budaya aslinya diikat melalui hubungan persaudaraan se-marga. Persaudaraan ini biasa diwujudkan dalam pertemuan keluarga seperti arisan dan serikat tolong menolong. Adapun bentuk lain yang menjadi ikatan kelompok budaya asli dibentuk melalui kelompok agama dan kepercayaan tertentu. Sementara terdapat 4 responden 21,1 menyatakan kurang terikat akan kelompok budaya asli dan terdapat 5 responden 26,3 menyatakan tidak terikat akan kelompok budaya aslinya. Responden menjadi tidak lagi bergantung independent dari kelompok aslinya karena sudah bergabung dalam kelompok baru. Kelompok baru terbentuk ketika responden masuk ke dalam budaya baru. Budaya baru yang membentuk responden, melepaskan ikatan secara perlahan dari kelompok budaya asli. Hal ini biasa terjadi sebagai proses budaya dan bukan merupakan suatu hal yang buruk. Budaya bersifat dinamis sehingga suatu saat responden juga memiliki kemungkinan untuk kembali pada budaya lamanya. 62 Tabel 4.21 Degradasi Budaya Degradasi Budaya Frekuensi Persen Terkikis 3 15.8 Biasa Saja 12 63.2 Tidak Terkikis 4 21.1 Total 19 100.0 Terdapat 3 responden 15,8 menyatakan terkikis atau mengalami proses degradasi budaya dalam proses akulturasi. Responden menyatakan budaya baru yang diserap dirinya berasal dari pasangan. Beberapa budaya baru tersebut menurutnya tidak lebih baik dari budaya aslinya sehingga responden menyatakan bahwa budaya baru mendegradasi budaya dalam diri. Sementara teradapat 12 responden 63,2 menyatakan biasa saja dan 4 responden 21,1 menyatakan tidak terkikis. Responden menerima perubahan budaya secara sadar dan tidak melakukan penolakan yang keras. Responden menyatakan tidak terganggu sama sekali dengan perubahan budaya yang terjadi dalam dirinya. Tabel 4.22 Dominan Salah Satu Budaya Dominan Salah Satu Budaya Frekuensi Persen Sangat Dominan 1 5.3 Dominan 5 26.3 Kurang Dominan 7 36.8 Tidak Dominan 6 31.6 Total 19 100.0 Tabel ini menjelaskan dominan budaya dalam pernikahan campuran terdapat 1 responden 5,3 menyatakan sangat dominan dalam proses akulturasi budaya. Responden menyatakan pasangan sering mengikuti budaya asli dalam hidupnya sedangkan dirinya kurang begitu sering mengikuti budaya pasangannya karena jarak yang cukup jauh dengan keluarga pasangan. Sementara terdapat 5 responden 26,3 menyatakan dominan, sedangkan 7 responden 36,8 63 menyatakan kurang dominan, dan 6 responden 31,6 menyatakan tidak dominan. Dominasi dalam proses akulturasi merupakan hal yang wajar. Dominasi merupakan nilai diri yang terdapat dalam setiap diri manusia. Dalam konteks budaya khususnya akulturasi, dominasi budaya satu terhadap budaya lain menunjukkan telah terjadi proses akulturasi, kondisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan masing – masing individu larut dalam budaya masing – masing dan tidak melakukan proses akulturasi.

8.2 Analisis Tabel Silang