1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan ide, gagasan dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi saling mempengaruhi di antara
keduanya. Pada umumnya, komunikasi dilakukan dengan menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. Melalui komunikasi, sikap dan
perasaan seseorang atau sekelompok orang dapat dipahami oleh pihak lain. Tanpa kita sadari, komunikasi itu sendiri telah terjadi pada saat kita memperhatikan
perilaku seseorang dan memberikan makna pada perilaku tersebut. Adapun karakter pribadi seseorang sangat mempengaruhi kelancaran suatu bentuk
komunikasi. Karakter inilah yang dibentuk dari lingkungan, keluarga, latar belakang pendidikan, dan budaya.
Budaya berkaitan dengan cara manusia hidup. Manusia berpikir dan bertindak sesuai dengan pola budaya yang telah melekat pada dirinya sendiri.
Budaya muncul dalam setiap pola bahasa, bentuk-bentuk kegiatan, dan perilaku yang memungkinkan setiap individu di dalamnya bertindak dan berkomunikasi
sesuai dengan pola budaya yang dianut. Budaya dan komunikasi tidak dapat dipisahkan karena seluruh perilaku seseorang sangat bergantung pada budaya
tempat ia dibesarkan. Budaya merupakan landasan komunikasi. Semakin beraneka ragam budaya, maka semakin beraneka ragam pula praktik komunikasi.
Seiring dengan perkembangan jaman, komunikasi yang terjadi tidak hanya dalam ruang lingkup yang kecil. Komunikasi antar budaya juga semakin
berkembang pesat, tidak hanya di Indonesia namun juga ke luar negeri. Latar belakang sejarah, pendidikan, dan kesempatan karir yang bagus mengakibatkan
manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Perpindahan inilah yang menyebabkan seseorang mengalami culture shock, yaitu bentuk kecemasan yang
dialami seseorang dalam penyesuaiannya dengan lingkungan yang baru, dimana nilai-nilai budayanya berbeda dengan budaya asli yang dia miliki. Beradaptasi
dengan hal-hal yang baru membuat seseorang semakin nyaman dengan apa yang
2
ia miliki, salah satunya dengan bersosialisasi dengan orang sekitar baik itu dari lingkungan pekerjaan ataupun rumah.
Komunikasi antarbudaya yang lebih intens dapat ditemui dalam komunikasi interpersonal yang terjadi dalam keluarga, yaitu yang dibentuk oleh
ikatan pernikahan, khususnya pernikahan yang terjadi antarbangsa. Sebagaimana diberitakan dalam Kompas 08102004, bahwa pernikahan antarbangsa kini
semakin biasa. Mereka yang bersekolah atau mencari kerja ke luar negeri semakin banyak jumlahnya, baik perempuan maupun laki-laki, dan interaksi tersebut
meningkatkan peluang meningkatnya jumlah pernikahan antarbangsa, termasuk di kota Medan.
Kota Medan merupakan kota ketiga terbesar di Indonesia dan letaknya sangat strategis, sehingga peluang masuknya warga negara asing juga sangat
besar. Data mengenai jumlah pernikahan antarbangsa yang terjadi di Indonesia, sebagaimana menurut data Aliansi Pelangi Antar Bangsa APAB, pada tahun
2002 saja tercatat sebanyak 4.420 pasangan. Data ini diyakini terus mengalami peningkatan setiap tahunnya, meskipun data riil terakhir masih belum
dipublikasikan http:www.expat.or.idorgsaliansipelangiantarbangsa.html.
Salah satu negara yang memiliki jumlah warga negara terbanyak di Medan adalah Jepang. Saat ini, ada 2.880 orang keturunan Jepang di Medan. Ini
berdasarkan generasi pertama sampai dengan ketiga keturunan Jepang survey Yayasan Warga Persahabatan Fukushi Tomo No Kai Sumutpos.com.
Jepang sendiri memiliki sejarah yang sangat dekat dengan Indonesia. Sejak kemerdekaan Indonesia, banyak tentara Jepang yang tidak kembali ke
negara asalnya dan memilih untuk berkeluarga dengan penduduk pribumi di Indonesia. Walaupun bahasa menjadi salah satu faktor hambatan dalam
berkomunikasi, namun bukan menjadi persoalan berarti. Pemilihan pasangan hidup biasanya cenderung dilakukan seseorang dengan memilih pasangan yang
mempunyai kesamaan antara dia dan pasangannya, baik kesamaan dalam agama, hobi, sifat, bahasa, pola berpikir bahkan adat istiadat. Hal ini disebut sebagai
prinsip kesesuaian matching principle.
3
Perkawinan merupakan hal yang sakral bagi masyarakat Jepang dan Indonesia. Dua-duanya menganggap perkawinan adalah bagian dari fase hidup
yang penting dalam melanjutkan keturunan. Dewasa ini, masyarakat Indonesia tidak lagi mementingkan faktor suku atau etnis dalam mencari pasangan hidup,
faktor kesamaan minat, latar belakang dan pengalaman hidup dirasa lebih penting. Adapun karakter tiap-tiap orang juga berbeda. Karakter didapat dari budaya dari
lingkungan, semasa hidup dari kecil tempat dibesarkan dan peranan keluarga. Jepang adalah negara dengan penduduk yang berkarakter dingin, cuek dan
acuh terhadap satu sama lain. Berbeda jauh dengan Indonesia, dimana masyarakatnya terkenal hangat dan ramah terhadap semua orang. Dari segi
bahasa, makanan, tata krama, dan budaya masing-masing negara sangat berbeda. Masalah penyesuaian adalah suatu hal yang sifatnya universal dan unik, karena
setiap individu mau tidak mau harus menghadapi masalah atau kesulitan dalam kehidupannya sehingga perlu melakukan penyesuaian.
Ketika proses penyesuaian ini berlangsung, seringkali ada gangguan dan kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Untuk mengurangi dampak gegar
budaya culture shock sangat diperlukan pemahaman budaya. Culture shock merupakan bentuk kecemasan berlebihan akibat pergaulan dengan budaya lain
dan kehilangan pergaulan sosial dengan budaya aslinya. Aktif mengikuti komunitas etnis yang ada di lingkungan adaptasi, bisa membantu imigran untuk
mengurangi kecemasan yang berlebihan pada saat bertemu dengan budaya baru, yaitu dengan tetap bersentuhan pada budaya aslinya.
Proses memakan waktu ini membuat setiap orang mempelajari budaya asing dan tanpa disadari menggabungkannya dengan budaya aslinya. Disinilah
proses akulturasi berlangsung. Pada saat seorang pria dan seorang wanita menikah, tentunya masing-masing membawa nilai-nilai budaya, sikap, keyakinan,
dan gaya penyesuaian sendiri-sendiri ke dalam pernikahan tersebut. Masing- masing memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda. Tentu saja ada
perbedaan dalam susunan nilai serta tujuan yang ingin dicapai, untuk itulah perlu dilakukan penyesuaian sehingga kebutuhan dan harapan masing-masing pasangan
dapat terpenuhi dan memuaskan.
4
Pasangan yang memutuskan melakukan pernikahan beda etnis harus memiliki pola pikir terbuka terhadap budaya yang dibawa oleh pasangannya,
termasuk kepercayaan, nilai dan norma. Jika kedua pihak tidak memiliki pola pikir terbuka, akan terjadi pemaksaan kehendak untuk mempraktikkan
kepercayaan, nilai dan norma yang dianut oleh pasangannya. Dalam proses ini identitas etnis seseorang juga lambat laun akan berubah.
Pada saat seseorang yang berbeda etnis menikah dengan etnis lainnya, akan terjadi kesepakatan atau kompromi untuk mengakui salah satu etnis budaya dalam
pernikahannya, saling menggabungkan, atau malah menghilangkan budaya masing – masing miskin budaya. Situasi inilah yang mengakibatkan munculnya
kesepakatan untuk mengakui salah satu budaya yang akan mendominasi, budaya lain yang merupakan percampuran dari dua budaya tersebut, atau malah kedua
budaya dapat berjalan beriringan dalam satu keluarga asimilasi. Pernikahan beda etnis sekalipun pasti melakukan interaksi, walaupun
dengan bahasa yang sama, bukan berarti proses komunikasi akan berjalan lancar. Adanya perbedaan karakter diantara keduanya mengakibatkan masing-masing
pasangan memiliki bentuk prasangka terhadap satu sama lain. Disinilah diperlukan saling menerima dan saling pengertian akan kebudayaan masing-
masing dengan latar belakang dan keluarga yang sangat berbeda. Penyesuaian diri merupakan proses yang dinamis, membutuhkan usaha yang terus-menerus
sepanjang usia pernikahan dan disini dilihat seberapa mampukah individu dalam menghadapi situasi dan kondisi yang berbeda. Karena pada saat seseorang
menikah, ia tidak hanya menikahi satu orang saja, melainkan sekelompok keluarga baru. Ada norma dan peraturan yang harus dipatuhi bersama untuk
mencapai tujuan pernikahan itu. Berdasarkan pengamatan peneliti, Yayasan Warga Persahabatan Cabang
Medan Fukushi Tomo No Kai memiliki anggota yang tingkat akulturasinya sangat tinggi dikarenakan masing-masing pasangan memiliki unsur kebudayaan yang
masih kental dan sering mendapat kebudayaan yang masih asing dalam hubungan pernikahan. Banyak anggotanya terdiri dari pasangan yang memilih
menggabungkan dua kebudayaan atau lebih menjadi suatu kebudayaan baru,
5
dimana pada kebudayaan baru tersebut masih dapat ditemukan karakter asli dari unsur-unsur kebudayaan penyusunnya.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui lebih jauh bagaimana pengaruh proses akulturasi terhadap perubahan identitas etnis yang terjadi pada
pasangan Jepang dan Indonesia di Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai. Melalui penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah
memang ada pengaruh antara proses akulturasi terhadap perubahan identitas etnis pasangan Jepang dan Indonesia di Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan
Fukushi Tomo No Kai. Namun selama ini belum pernah dilakukan penelitian mengenai proses
akulturasi yang terjadi pada pasangan Jepang dan Indonesia di Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai. Dengan demikian juga belum
pernah diketahui bagaimana perubahan identitas etnis pasangan Jepang dan Indonesia yang menjadi anggota aktif disana. Oleh karena itu, peneliti merasa
tertarik untuk melakukan penelitian maslaah ini dengan judul “Bagaimana Pengaruh Akulturasi Terhadap Perubahan Identitas Etnis Pasangan Jepang dan
Indonesia di Yayasan Warga Persahabatan Cabang Medan Fukushi Tomo No Kai.”
1.2. Perumusan Masalah