KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

(1)

commit to user

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA

(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

Disusun Oleh :

KUSNUL ISTIQOMAH D0206063

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user PENGESAHAN

Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Penguji Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Hari :

Tanggal :

Susunan Panitia Penguji:

Ketua : Prof. Drs. H. Totok Sarsito, SU, MA, Ph.D ( )

NIP. 19490428 197903 1 001

Sekretaris : Nora Nailul Amal, S.Sos, MLMed, Hons ( )

NIP. 19810429 200501 2 002

Penguji : Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si ( )

NIP. 19580617 198702 1 001

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret

Surakarta Dekan,


(3)

(4)

commit to user PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA

(Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta)

adalah karya asli saya dan bukan plagiat baik secara utuh atau sebagian serta belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar akademik di institusi lain. Saya bersedia menerima akibat dari dicabutnya gelar sarjana apabila ternyata dikemudian hari terdapat bukti-bukti yang kuat, bahwa karya saya tersebut ternyata bukan karya saya yang asli atau sebenarnya.

Surakarta,


(5)

commit to user MOTTO

“Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di

antara kamu di Sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”

(Q.S Al-Hujurat: 13)

No matter what they say, I have my own way

(Kusnul)

“Don’t ever let your ambition takes your sanity”


(6)

commit to user PERSEMBAHAN


(7)

commit to user KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rakmat serta hidayah-Nya, karena hanya atas kehendak-Nya, skripsi dengan judul KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Terhadap Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta) dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.

Penelitian untuk skripsi ini bermula ketika peneliti melihat kesebelas orang imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses akulturasi tersebut.

Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu.


(8)

commit to user

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dan pada kesempatan kali ini penulis hendak menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Drs. Adolfo Eko Setyanto, M.Si selaku pembimbing yang telah

memberikan petunjuk dan ilmu selama penyusunan skripsi ini.

2. Hiromi Kano, Miki Orita, Kaoru Serizawa, Yumiko Takenouchi, Akira

Kawakami, Naomi Kawasaki, Mami Yamamura, Hitomi Matsuda, Keisuke Isobe, Mika Masui, dan Naoko Ujiie karena telah bersedia menjadi responden penelitian ini. Serta kepada Bpk Hadi Boediono, Bpk Mulyono, Bpk Sutiman Abdul Rahman, Ibu Santi Staunislavia, Ibu Theresia Sri Kurniati, Bpk Budi Kadarto, dan Ibu Sri Yuniati selaku responden dari masyarakat pribumi.

3. Ayahku (alm) dan Ibu tercinta, atas didikan dan kasih sayangnya sehingga peneliti bisa sampai sejauh ini. Serta atas doa, kerja keras, kesabaran, ketabahan, dan dukungannya yang tulus.

4. Mas Pendi dan Mas Imam atas nasehat, motivasi, doa dan dukungannya.

5. Keluarga besar Sepon di Doplang.

6. My best Friends: Eke, Ria, Hasna, Arum, Nissa, Dinda and Genk Gemes:


(9)

commit to user

7. Teman-teman Saku EO, dan Kom ’06 lainnya yang tidak bisa disebutkan

satu persatu.

8. Ai (Deathgaze) atas suaranya yang merdu yang selalu berhasil membuatku bersemangat.

9. Akito-sama yang selalu mendampingi.

Penulis berharap, semoga karya ini mampu memberikan manfaat dan mampu memberikan gambaran untuk penelitian-penelitian berikutnya.

Surakarta, Penulis


(10)

commit to user DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

PERSETUJUAN………. ….. ii

PENGESAHAN……….. ….. iii

PERNYATAAN……… iv

MOTTO……….. v

PERSEMBAHAN……….. vi

KATA PENGANTAR……… vii

DAFTAR ISI………... x

DAFTAR TABEL……… xiv

DAFTAR BAGAN……….. xv

ABSTRAK……….. ……. xvi

ABSTRACT……….……. xviii


(11)

commit to user

A. Latar

Belakang ……….. 1

B. Rumusan

Masalah……….. 7

C. Tujuan

Penelitian……… 7

D. Manfaat

Penelitian……….. 8

E. Telaah

Pustaka……… 9

1. Komunika

si………... 9

a. Pengertian

Komunikasi……… 9

b. Unsur

Komunikasi………... 11

2. Multikultu


(12)

commit to user

3. Komunika

si Antarbudaya………. 19

a. Pengertian

Komunikasi Antarbudaya………. 19

b. Proses

Komunikasi Antarbudaya……… 25

c. Fungsi

Komunikasi Antarbudaya……… 30

d. Kompeten

si Komunikasi Antarbudaya……… 34

e. Komunika

si Antarbudaya yang Efektif……….. 37

f. Peran

Komunikasi Antarbudaya terhadap Akulturasi……. 43

g. Faktor –

Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Komunikasi

Antarbudaya……… 45

4. Akulturasi


(13)

commit to user

a. Pengertian

Akulturasi……….. 51

b. Potensi

Akulturasi……… 60

F. Metodolo

gi Penelitian……….. 62

1. Jenis

Penelitian………... 62

2. Lokasi

Penelitian……… 63

3. Populasi

dan Sensus………... 63

4. Teknik

Pengumpulan Data………. 64

5. Teknik

Analisi Data……… 66

6. Validitas


(14)

commit to user

II. DESKRI

PSI LOKASI PENELITIAN……….. 69

A. Kota

Surakarta………... 69

B. Imigran

Jepang………. 74

C. Profil

Responden……….. 79

III. PENYAJ

IAN DAN ANALISIS DATA………. 82

A. Komuni

kasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta………. 83

B. Proses

Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di Surakarta…….. 100

C. Fungsi

Komunikasi Antarbudaya Bagi Warga Jepang di Surakarta. 106

1. Fungsi


(15)

commit to user

2. Fungsi

Sosial……….. 113

D. Peran

Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga

Jepang di Surakarta……….. 117

E. Faktor

Pendukung Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang di

Surakarta……….. 120

1.

Aspek-aspek yang Mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya.. 120

2. Sikap

Saat Berkomunikasi………. 135

3. Intensita

s……… 142

4. Kompete

nsi Komunikasi Antarbudaya………. 144

5. Faktor


(16)

commit to user

IV. PENUTUP

……… 158

A. Kesimpulan

……….. 158

B. Saran……

……… 162

DAFTAR PUSTAKA


(17)

commit to user DAFTAR TABEL


(18)

commit to user DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Model Komunikasi Antarbudaya……… 31

Bagan 1.2 Fungsi-fungsi Pribadi dan Sosial dari Komunikasi………. 35

Bagan 1.3 Analisis Data Model Miles dan Huberman………. 71


(19)

commit to user ABSTRAK

Kusnul Istiqomah, D0206063, KOMUNIKASI ANTARBUDAYA ALAM PROSES AKULTURASI WARGA JEPANG DI SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Peran Komunikasi Antarbudaya dalam Proses Akulturasi Warga Jepang di Surakarta), Skripsi, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Februari 2010

Sekarang ini, banyak orang-orang asing yang datang ke Indonesia dengan berbagai tujuan. Ada yang datang untuk berwisata, belajar bahkan ada yang datang untuk bekerja termasuk warga Jepang. Begitu juga di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang dengan berbagai keperluan termasuk orang Jepang. Setiap imigran harus menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara tuan rumah. Dimana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi. Peneliti melihat kesebelas orang imigran asal Jepang yang memiliki kebudayaan yang berbeda mampu berakulturasi dengan masyarakat Surakarta. Hal itu terlihat dari cara hidup para imigran tersebut yang semakin mirip orang Jawa. Sebagai mahasiswa komunikasi, peneliti ingin melihat kontribusi apa yang diberikan komunikasi antarbudaya terhadap proses akulturasi tersebut.

Selain itu, pada umumnya komunikasi antarbudaya itu sulit, tetapi kesebelas imigran tersebut relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat sekitar. Hal itu terlihat dari tidak adanya konflik yang terjadi di antara mereka dengan masyarakat sekitar. Peneliti ingin melihat kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu.

Penelitian ini mengambil tempat di wilayah Surakarta dengan menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini menggunakan sensus yaitu mengambil seluruh populasi menjadi objek penelitian. Menurut data dari kantor Imigrasi, di wilayah Surakarta terdapat 15 orang Jepang, namun peneliti hanya mampu menemukan 11 dari jumlah keseluruhan. Untuk menganalisis data, penelitian ini menggunakan model analisis data Miles dan Huberman. Untuk memastikan validitas data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data.

Dari hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga Jepang dengan penduduk pribumi sangat membantu kelancaran akulturasi warga Jepang di Surakarta. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial seorang imigran. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri dengan


(20)

commit to user

lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi mereka. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi.

Proses komunikasi antarbudaya tidak bisa lepas dari faktor-faktor pendukung. Aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi antar budaya yang terdiri dari persepsi, proses verbal, proses non-verbal dan konteks komunikasi. Sikap seorang imigran

ketika berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya yang meliputi respect,

empathy, audible, clarity, humble, adaptability, acceptance, cultural awareness,dan

knowledge discovery; intensitas komunikasi, dan kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh tiap imigran Jepang juga ikut andil dalam

memperlancar komunikasi antarbudaya. Selain komunikasi antarbudaya, potensi

akulturasi yang dimiliki seorang individu juga menentukan lancarnya proses akulturasi individu tersebut.


(21)

commit to user ABSTRACT

Kusnul Istiqomah, D0206063, COMMUNICATION BETWEEN CULTURES IN JAPANESE ACCLUTURATION PROCESS IN SURAKARTA (Descriptive Qualitative Study of Roles of Communication between Cultures in Japanese Acculturation Process in Surakarta). Bachelor Thesis, Department of Communication Science, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University, Surakarta, February 2010.

Nowadays, a lot of people come to Indonesia with various kinds of purposes. Some of them come to enjoy the vacation resorts in Indonesia, to study, even work. Various people from all over the world come to Indonesia as well as from Japan. In Surakarta, there are also various kinds of foreign people who came to vacation, study, work, and even marry with host people. Every immigrant has to adapt with host culture so that can survive in the new environment. An immigrant learns and adopts norms and values of host culture which process is known as acculturation. From the observation, it could be said that the acculturation of Japanese people in Surakarta succeed. Therefore, researcher wanted to know the role of communication between cultures toward that acculturation process. And factors that influence the success of those communication between cultures and acculturation.

This research took place in Surakarta region with descriptive qualitative research method. It used census which took every Japanese people who live in Surakarta as research object. According to data from Immigration Department, there are 15 Japanese persons who live in Surakarta, but researcher could find only 11 persons of them. To analyze research data, researcher used Miles and Huberman data analysis model and to validate data, researcher used data triangulation.

According to research result, researcher could say that communication between cultures which conducted between Japanese people and Javanese people, had a great help to Japanese acculturation in Surakarta. Communication between cultures became a way to translate an immigrant’s physic and social environment. Through communication between cultures, Japanese people could do adaptation with their environment, connected to the environment and got membership and sense of belonging in every social group that influenced them. Like host people, Japanese people also got host culture patterns through conducted communication between cultures. And through it, an immigrant knew about many aspects of host socio-culture for further.


(22)

commit to user

Need to be known that process of communication between cultures is inseparable from factors that support it. The conducted communication between cultures had to be supported by some aspects such as perception, verbal process, non-verbal process, and communication context. Attitude while communicate, communication intensity, and communication between cultures competency which had by immigrants also took part in communication between cultures effectiveness. Need to be known that besides communication between cultures, acculturation potency that had by immigrant also determined acculturation process of those immigrants.


(23)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Disadari ataupun tidak, kebudayaan Jepang telah berpengaruh pada kehidupan warga Indonesia. Selama 3,5 tahun Indonesia pernah dijajah oleh Jepang, dan pada masa penjajahan tersebut Jepang terbukti lebih intens dalam melakukan aksi akulturasi yakni di bidang politik. Jepang menunjukkan betapa unggulnya budaya militer mereka sehingga bisa mengalahkan tentara Barat. Pada kenyataanya, memang banyak pemuda Indonesia yang terpesona dan meleburkan diri menjadi tentara PETA. Untuk tingkat tertentu dengan politik akulturasinya, Jepang telah menguasai dan mengendalikan para pemuda untuk loyal dan membela penjajah ini.1

Kita wajib bersyukur karena kebudayaan Indonesia terutama kebudayaan Jawa adalah kebudayaan dengan jati diri yang kuat sehingga tidak mudah terpengaruh

kebudayaan asing.2 Namun, sisa-sisa pengaruh Negara Jepang masih tampak pada

kehidupan sehari-hari. Misalnya saja penggunaan seragam untuk anak-anak sekolah

       1 

Beni Belvy, “Akulturasi Menjamin Kehidupan yang Harmonis?” 

http://www.overseasthinktankforindonesia.com/tag/akulturasi/. 6/7/2010/09.00. 

2 


(24)

commit to user

dimana kebiasaan penggunaan seragam tersebut adalah warisan atau pengaruh dari Jepang. Sekarang Indonesia merupakan Negara yang merdeka.

Di Surakarta, bermacam-macam warga asing datang berkunjung baik untuk keperluan wisata, pendidikan maupun pekerjaaan, termasuk warga Jepang. Sekarang bukan lagi penduduk Indonesia (Jawa) yang harus menyesuaikan diri dengan penduduk Jepang, tetapi sebaliknya, para pendatanglah yang harus menyesuaikan diri dengan tuan rumah.

Di Amerika maupun Eropa banyak orang disebut imigran yang pada kenyataannya adalah sojourner dan ekspatriat. Sojourner biasanya tinggal di sebuah negara baru dengan batas waktu tertentu yaitu dari enam bulan dan paling lama lima tahun dengan tujuan tinggal yang lebih spesifik, misalnya untuk pendidikan. Sedangkan ekspatriat lebih sering digunakan untuk menyebut pekerja asing yang tinggal di sebuah negara dengan batasan waktu yang tak terhingga.3 Imigran yang ada di Surakarta pun ada yang sebagai sojourner dan expatriate. Menurut data dari Kantor Imigrasi Wilayah Jawa Tengah 2010, tercatat 15 orang warga Jepang yang tinggal di Surakarta. Namun, peneliti hanya mampu menemukan 11 orang imigran asal Jepang. Dari kesebelas orang tersebut tujuh orang merupakan soujourner dan empat orang merupakan expatriate. Tujuan mereka tinggal di Surakarta bermacam-macam, tujuh orang Imigran tinggal di Surakarta untuk keperluan pendidikan, tiga orang untuk bekerja, dan satu orang untuk berumah tangga.

      

3 Fred E. Jandt, “Intercultural Communication: An Introduction, cet.II (Thousand Oaks, California: Sage 


(25)

commit to user

Setiap orang ingin kehidupannya berhasil. Oleh sebab itu, di lingkungan baru tersebut mereka perlu melakukan akulturasi sehingga bisa membaur dengan masyarakat sekitar dan tujuan mereka tercapai.

Setiap imigran harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga mereka mampu bertahan di lingkungan baru tersebut. Seorang imigran mempelajari dan mengadopsi norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku di negara tuan rumah di mana proses tersebut dikenal dengan sebutan akulturasi.4

Berry, Kim, & Boski (1987) telah menjelaskan akulturasi ke dalam dua dimensi.

“…the value placed on maintaining one’s original cultural identity and the value given to maintaining relationship with other group in one’s new culture…”5

(…nilainya yang terletak pada merawat identitas budaya asli seseorang dan nilai yang diberikan untuk menjaga hubungan dengan kelompok dalam kebudayaan baru orang tersebut…)

Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh kebudayaan pribumi.6 Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi, para imigran pun melakukan hal serupa melalui komunikasi. Karena orang belajar komunikasi dengan komunikasi.

       4 

Ibid. hlm.315 

5 

Pernyataan  Berry, Kim dan Boski seperti dikutip oleh Fred E. Jandt dalam “Intercultural 

Communication: An Introduction, cet.II (Thousand Oaks, California: Sage Publication, 1998) hlm.315 

6 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi 


(26)

commit to user

Proses trial and error selama akulturasi sering mengecewakan dan

menyakitkan. Ada masalah krusial yang sering menghambat proses akulturasi tersebut. Masalah tersebut adalah komunikasi antarbudaya baik secara verbal maupun non verbal. Masalah dalam komunikasi verbal sering disebabkan oleh perbedaan bahasa asli imigran dengan bahasa asli pribumi. Seperti misalnya penggunaan Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia. Sedangkan masalah komunikasi nonverbal meliputi perbedan penggunaan dan pengaturan ruang, jarak antarpribadi, ekpresi wajah, gerak mata, gerakan tubuh lainnya, dan persepsi tentang penting tidaknya perilaku nonverbal.7

Hal tersebut juga dialami oleh imigran Jepang di Surakarta. Pada awalnya mereka memiliki kesulitan dalam memahami makna baik secara verbal maupun nonverbal ketika berkomunikasi dengan penduduk pribumi karena pengetahuan tentang bahasa Indonesia dan kebudayaan Jawa yang masih sedikit. Namun, dalam waktu singkat mereka mampu mengatasinya.

Seperti misalnya yang pernah dialami seorang responden, Kaoru Serizawa. Ketika Kaoru dan rombongan wayang akan pulang setelah pentas, ia ditawari oleh

seorang sinden “monggo, mampir wonten gubug kulo!”, karena mengira sinden

tersebut mengundangnya untuk mampir, Kaoru pun mampir ke rumah sinden tersebut, padahal ungkapan semacam itu biasa digunakan oleh orang Jawa untuk berbasa-basi. Kaoru pun turun dari mobil dan ikut masuk ke rumah sinden itu. Dia melihat ekspresi terkejut di wajah sinden itu, tapi dia tidak mengerti maksud dari

       7 


(27)

commit to user

ekspresi tersebut. Setelah bertanya kepada seorang teman, Kaoru pun mengerti maksud dari ajakan tersebut. Dari pengalaman yang mereka dapat ketika baru tinggal di Surakarta, mereka belajar lebih banyak tentang kebudayaan Jawa sehingga membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.

Saya melihat secara sepintas kesebelas orang tersebut berhasil di dalam akulturasi. Hal tersebut terlihat dari cara mereka hidup di Surakarta yang semakin mirip dengan orang Jawa dari segi komunikasi, cara berpakaian, makanan, gerak tubuh, tutur kata, dan kebiasaan sehari-hari. Dari segi komunikasi, para imigran tersebut lebih sering berbasa-basi serta aktif untuk berkomunikasi dengan masyarakat sekitar meskipun baru pertama kali bertemu yang mana hal tersebut tidak pernah mereka lakukan ketika di Jepang.

Dari segi berpakaian, mereka pun menyesuaikan dengan gaya berpakaian di Jawa, mereka juga suka mengenakan batik dan kebaya. Ketika akan pergi kuliah, mereka mengenakan kemeja dan bersepatu. Mereka juga menerima makanan Jawa dengan mudah bahkan cenderung menyukainya. Makanan favorit mereka adalah gado-gado, lotek, nasi goreng, sayur asam, dan ayam goreng.

Selain itu ketika lewat di depan orang yang lebih tua mereka membungkukkan badan dan ketika mempersilakan tamu masuk ke dalam rumah mereka mengucapkan “monggo” sambil menunjuk dengan ibu jari. Selain “monggo”, kata-kata dalam bahasa Jawa yang sering mereka gunakan adalah “maturnuwun” dan “nuwunsewu”.

Selain itu, mereka juga sudah terbiasa dengan cara mandi dan buang air di Surakarta. Mereka juga mengikuti kebiasaan mandi sehari dua kali yang berbeda


(28)

commit to user

dengan di Jepang. Di Jepang, mereka terbiasa mandi satu kali dalam sehari ketika akan pergi tidur. Mereka juga terbiasa dengan jam karet yang berlaku di lingkungan sekitar mereka. Bahkan ada yang mengikuti kebiasaan jam karet tersebut. Lalu, bagi imigran Jepang yang menikah dengan penduduk pribumi, mereka juga mengikuti serangkaian kegiatan yang sudah menjadi kebiasaan di daerah baru mereka. Misalnya

jagong, PKK, dan Dharmawanita.

Mereka juga sudah bisa menerima kondisi lalu lintas di Surakarta yang ramai dan banyak motor. Menurut mereka, alur lalu lintas di Surakarta sangat ramai dan berbahaya karena banyak motor, banyak orang yang suka mengendarai motor atau mobilnya dengan kencang dan salip-menyalip. Bagi imigran yang memiliki kendaraan sendiri misalnya sepedamotor, mereka juga mengikuti kebiasaan membunyikan klakson sesuka hati mereka yang berbeda dengan Jepang. Di Jepang, pengendara akan membunyikan klakson jika keadaannya betul-betul berbahaya.

Sebagai seorang imigran mereka juga menyadari bahwa harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berusaha menerima nilai-nilai yang berlaku di masyarakat sehingga mereka bisa diterima di lingkungan baru tersebut.

Terkadang terdapat perlakuan dari masyarakat sekitar yang tidak sesuai dengan pengharapan para warga Jepang, misalnya ketika seseorang menanyakan hal yang menurut orang Jepang sangat pribadi seperti menanyakan “Kenapa belum memiliki anak?” dan “Siapa ayah anak ini?”. Reaksi yang timbul dari pertanyaan semacam itu biasanya adalah rasa tersinggung dan terganggu. Reaksi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Jelena Durovic. Dari hasil penelitian, reaksi yang ditimbulkan


(29)

commit to user

ketika seseorang mendapat perlakuan yang tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan bermacam-macam antara lain merasa berbeda hingga kemarahan.

“The collected data show that the reactions are numerous and range from indifference, surprise, sadness, irritation, frustration to anger.”8

(data yang terkumpul menunjukkan reaksi yang bermacam-macam mulai dari merasa berbeda, terkejut, sedih, terganggu, frustasi, dan marah)

Namun, reaksi yang mereka rasakan itu tidak menggangu proses akulturasi yang sedang berlangsung. Karena mereka menyadari perbedaan budaya yang ada sehingga bisa memaklumi pertanyaan semacam itu.

Pada umumnya, komunikasi antarbudaya itu sulit dilakukan. Tetapi, kesebelas orang Jepang yang tinggal di Surakarta itu sekalipun memiliki budaya yang berbeda, mereka relatif tidak memiliki masalah dengan masyarakat. Hal itu terlihat dari tidak adanya konflik yang pernah terjadi di antara mereka dengan penduduk pribumi. Mereka mampu hidup berdampingan dan saling memaklumi. Kompetensi apakah yang dimiliki oleh para imigran tersebut sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu? Serta, apakah peran yang disumbangkan komunikasi itu terhadap proses akulturasi yang mereka alami?

Selain kedua masalah tersebut, peneliti tertarik dengan tema ini karena memiliki ketertarikan tersendiri dengan Jepang baik kebudayaan, cara hidup maupun bahasa yang mereka miliki. Terlebih lagi, Jepang dan Indonesia sama-sama negara budaya konteks tinggi.

      

8 Jelena Durovic, “Intercultural Communication and Ethnic Identity”, Journal Of Intercultural 


(30)

commit to user

B. RUMUSAN MASALAH

Di Surakarta peneliti menemukan 11 orang imigran asal Jepang. Meskipun memiliki latar belakang budaya yang berbeda, imigran-imigran tersebut mampu membaur dengan masyarakat Surakarta dan mengikuti cara hidup masyarakat Surakarta. Jika dikaji dari sudut ilmu komunikasi, peran apakah yang disumbangkan oleh komunikasi antarbudaya dalam memperlancar akulturasi tersebut?

Umumnya komunikasi antarbudaya sering mengalami kegagalan, tetapi tidak dengan imigran asal Jepang yang ada di Surakarta. Kompetensi apakah yang mereka miliki sehingga mampu melakukan komunikasi seperti itu?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang bisa diambil dari penelitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui peran Komunikasi Antarbudaya dalam mendukung

kelancaran proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.

2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang mendukung Komunikasi

Antarbudaya dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritik: hasil peneltian ini diharapkan bisa menambah khasanah

pengetahuan terutama di bidang ilmu komunikasi antarbudaya.

2. Manfaat Praktis: hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan


(31)

commit to user

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

Sejak dilahirkan, manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu yang menjadi wadah kehidupannya. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Mereka memerlukan bantuan dari orang lain di sekitarnya. Untuk itu ia melakukan komunikasi. Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berkeinginan untuk berbicara, saling tukar gagasan, mengirim dan menerima informasi, membagi pengalaman, bekerja sama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan, dan sebagainya.9

a. Pengertian Komunikasi

Meskipun komunikasi merupakan kegiatan yang sangat dominan dalam kehidupan sehari-hari, namun tidaklah mudah memberikan definisi yang dapat diterima semua pihak. Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communicare yang artinya memberitahukan. Kata tersebut kemudian berkembang dalam bahasa Inggris

communication yang artinya proses pertukaran informasi, konsep, ide, gagasan, perasaan, dan lain-lain antara dua orang atau lebih.10

Beberapa definisi dari komunikasi yang diungkapkan beberapa ahli adalah sebagai berikut:

      

9 Suranto Aw, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta, Graha Ilmu, 2010) hlm. 1 

10 


(32)

commit to user

Wilbur Scramm (1955) menjelaskan, “Communication as an act of

establishing contact between a sender and receiver, with the help of message; the sender and receiver some common experience which meaning to message encode and sent by the sender; and received and decoded by the receiver”.11 (Komunikasi merupakan tindakan melaksanakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima).

Definisi komunikasi menurut Everett M. Rogers (1955) yaitu

“Communication is the process by which an idea is transferred from a source to receiver with the intention of changing his or her behavior”.12 (Komunikasi ialah proses yang di dalamnya terdapat suatu gagasan yang dikirimkan dari sumber kepada penerima dengan tujuan untuk mengubah perilakunya).

Sedangkan Raymond S. Ross (1974) mengungkapkan “Communication is a

transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from his own experience a meaning or responses similar to that intended by source”.13 (Komunikasi ialah proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber).

       11 

Ibid

12 

Ibid. hlm. 3 

13 


(33)

commit to user

Definisi komunikasi menurut Theodore Herbert (1981) “Communication is

the process by which meaning a knowledge is transferred from one person to another, usually for the purpose of obtaining some specific goals”.14 (Komunikasi adalah proses di dalamnya menunjukkan arti pengetahuan dipindahkan dari seorang kepada orang lain, biasanya dengan maksud mencapai beberapa tujuan khusus).

Edward Depari (1990) menyebutkan komunikasi adalah proses penyampaian gagasan, harapan, dan pesan yang disampaikan melalui lambang tertentu, mengandung arti, dilakukan oleh penyampai pesan ditujukan kepada penerima pesan.15

Berdasarkan definisi komunikasi yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan komunikasi adalah proses transaksi pesan atau informasi yang mengandung arti, dari pengirim (komunikator) kepada penerima (komunikan) untuk mencapai tujuan tertentu.16

b. Unsur Komunikasi

Komunikasi merupakan sebuah proses, aktivitas, atau kegiatan terbentuk oleh karena adanya unsur-unsur komunikasi. Dari komponen-komponen ini selanjutnya terbentuk proses komunikasi. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi antarbudaya, maka kebudayaan merupakan dinamisator atau “penghidup”

       14 

Ibid

15 

Ibid

16 


(34)

commit to user

bagi proses komunikasi tersebut.17 Komponen atau unsur komunikasi tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1) Komunikator, sumber informasi (source), adalah individu atau orang yang

mengirim pesan. Pesan tersebut diproses melalui pertimbangan dan perencanan dalam pikiran. Proses mempertimbangkan dan merencanakan tersebut berlanjut kepada proses penciptaan pesan. Komunikator dalam komunikasi antarbudaya adalah pihak yang memprakarsai komunikasi dan berasal dari latar belakang kebudayaan tertentu. Beberapa studi tentang karakteristik komunikator yang pernah dilakukan oleh Giles dan Arlenen Franklyn-Stokes menunjukkan bahwa karakteristik itu di tentukan antara lain oleh latar belakang etnis dan ras, faktor demografis seperti umur dan jenis kelamin, hingga ke latar belakang sistem politik. William Gudykunts dan Young Yun Kim (1995) mengatakan bahwa secara makro perbedaan karakteristik antarbudaya itu ditentukan oleh faktor nilai dan norma hingga ke arah mikro yang mudah dilihat dalam wujud kepercayaan, minat dan kebiasaan. Selain itu faktor-faktor yang berkaitan dengan kemampuan berbahasa sebagai pendukung komunikasi misalnya kemampuan berbicara dan menulis secara baik dan benar (memilih kata, membuat kalimat),

      

17 Alo Liliweri, DasarDasar Komunikasi Antarbudaya, cet III (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 


(35)

commit to user

kemampuan menyatakan simbol non verbal (bahasa isyarat tubuh), bentuk-bentuk dialek dan aksen, dan lain-lain.18

2) Pesan (message). Pesan atau informasi, ada pula yang menyebut sebagai

gagasan, ide, simbol, stimuli pada hakikatnya merupakan sebuah komponen yang menjadi isi komunikasi. Pesan ini dapat berupa pesan verbal maupun non-verbal. Dalam model komunikasi antarbudaya, pesan adalah apa yang ditekankan atau yang dialihkan oleh komunikator kepada komunikan. Setiap

pesan sekurang-kurangnya mempunyai dua aspek utama: content dan

treatment, yaitu isi dan perlakuan. Pilihan isi dan perlakuan atas pesan tergantung dari ketrampilan komunikasi, sikap, tingkat pengetahuan, posisi dalam sistem sosial dan kebudayaan.19

3) Saluran, media (channel), merupakan suatu sarana yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dari seorang komunikator kepada komunikan. Dalam proses komunikasi antarbudaya, media merupakan tempat, saluran yang dilalui oleh pesan atau simbol yang dikirim melalui media tertulis, media massa cetak dan media massa elektronik. Akan tetapi kadang-kadang pesan-pesan itu dikirim tidak melalui media, terutama dalam komunikasi antarbudaya tatap muka. Ada dua tipe saluran; (1) sensory channel, yakni saluran yang memindahkan pesan sehingga akan ditangkap oleh lima indra, yaitu mata, telinga, tangan, hidung dan lidah. Lima saluran sensoris itu adalah

       18 

Ibid. hlm. 25‐26 

19 


(36)

commit to user

cahaya, bunyi, perabaan, pembauan dan rasa. (2) institutionalized means, atau saluran yang sudah sangat dikenal dan digunakan manusia, misalnya percakapan tatap muka, material cetakan dan media elektronik.20

4) Komunikan, penerima informasi (receiver), merupakan pihak yang menerima

pesan. Sebenarnya komunikan tidak sekedar menerima pesan, melainkan juga menganalisis dan menafsirkannya sehingga dapat memahami makna pesan tersebut. Komunikan dalam komunikasi antarbudaya juga berasal dari suatu kebudayaan tertentu yang berbeda dengan komunikator. Tujuan Komunikasi akan tercapai jika komunikan “menerima” (memahami makna) pesan dari

komunikator, dan memperhatikan (attention) serta menerima pesan secara

menyeluruh (comprehension).21 Seringkali seorang komunikan, saat

memperhatikan atau memahami isi pesan sangat tergantung pada tiga bentuk pemahaman, yaitu: (a) kognitif, komunikan menerima isi pesan sebagai suatu yang benar; (b) afektif, komunikan percaya bahwa pesan itu tidak hanya benar tetapi baik dan disukai, dan (c) overt action atau tindakan nyata, di mana seorang komunikan percaya atas pesan yang benar dan baik sehingga mendorong tindakan yang tepat.22

5) Umpan balik (feedback), merupakan respon atau tanggapan seorang

komunikan setelah mendapatkan terpaan pesan. Dapat pula dikatakan sebagai

       20 

Ibid. hlm. 28‐29 

21 

Ibid. hlm.27 

22 


(37)

commit to user

reaksi yang timbul. Tanpa umpan balik atas pesan-pesan dalam komunikasi antarbudaya maka komunikator dan komunikan tidak bisa memahami ide, pikiran dan perasaan yang terkandung dalam pesan tersebut.23

6) Gangguan (noise/barier). Gangguan komunikasi seringkali terjadi, baik

gangguan bersifat teknis maupun semantik. Adanya gangguan komunikasi ini

dapat menyebabkan penurunan efektivitas proses komunikasi.24 Gangguan

dalam komunikasi antarbudaya adalah segala sesuatu yang menjadi penghambat laju pesan yang ditukar antara komunikator dengan komunikan, atau paling fatal adalah mengurangi makna pesan antarbudaya. De Vito (1997) menggolongkan tiga macam gangguan yaitu:25

(a) Gangguan Fisik yang berupa interfensi dengan transmisi fisik isyarat atau pesan lain, misalnya desingan mobil yang lewat, dengungan komputer, kaca mata, dll.

(b) Gangguan Psikologis yang berupa interfensi kognitif atau mental,

misalnya prasangka dan bias pada sumber, penerima, pikiran yang sempit.

(c) Gangguan Semantik yang berupa pembicara dan pendengar memberi arti

yang berlainan, misalnya orang berbicara dengan bahasa yang berbeda, menggunakan jargon atau istilah yang terlalu rumit untuk dipahami oleh pendengar.26

       23 

Ibid. hlm.30 

24 

Suranto Aw. Op.Cit. Hlm. 7 

25 Alo Liliweri. 

Op.Cit. hlm. 30 

26 


(38)

commit to user

2. Multikulturalisme

Kebudayaan yang homogen relatif langka sekarang ini. Etnik homogen seperti Italia, Jepang, Norwegia, dan beberapa negara lain telah berdiri berabad-abad lalu. Nasionalitas yang turun temurun adalah hal yang benar untuk negara Jerman dan Israel, keduanya adalah negara modern yang menganugerahi hak-hak kepada rakyatnya berdasarkan darah. Era 1990an melihat etnisitas diproklamirkan sebagai pondasi yang layak bagi negara-negara Balkan dan di bagian mantan Uni Soviet. Negara-negara tersebut adalah negara minoritas. Lebih dari 95% dari Negara-negara di dunia yang heterogen secara etnik.27

Multikulturalisme bukan sekedar berarti lain ras dan nasionalitas tetapi memiliki pemahaman yang lebih dalam.

“Multiculturalism does not simply mean other races and nationalities but virtually every conceivable human grouping that separates from the norm, develope a separate identity as well as its normative identity. Indeed each person is of many cultures simultaneously. One has a sexual identity; a racial identity; a religious identity; a class/work identity; a school identity; an identity from the friends one keeps; a family identity; several geographic identities; neighborhood; city; state; country; hemisphere; etc. human tendency to be relatively unconscious of other cultures is dysfunctional in our society as well as in any association, and it is clear that much hostility is created by ignorance of other cultures and the failure to recognize their existence”28

(multikulturalisme bukan secara sederhana diartikan sebagai lain ras dan bangsa tetapi pada hakikatnya setiap kelompok manusia yang bisa digambarkan terpisah dari norma, mengembangkan identitas tersendiri begitu

      

27 Fred E. Jandt, Intercultural Communication: An Introduction 2nd (Thousand Oaks, Sage Publication, 

1998) hlm. 419 

28 

Pernyataan Executive Committee dari association of Cllege Unions‐International, July 1987 seperti 

dikutip oleh Fred E. Jandt (1998) dalam Intercultural Communication: An Introduction 2nd (Thousand 


(39)

commit to user

juga identitas normatifnya. Tentu saja begitu juga dengan setiap manusia dalam banyak kebudayaan. Seseorang memiliki sebuah identitas seksual; identitas ras; identitas agama; identitas kelas/pekerjaan; identitas sekolah; identitas dari teman-temannya; identitas keluarga; beberapa identitas geografi: lingkungan sekitar, kota, negara bagian, desa, belahan dunia, dll. Kecenderungan manusia yang relatif tidak sadar akan kebudayaan lain tidak berfungsi dalam masyarakat kita begitu juga di asosiasi manapun, dan jelas, permusuhan seperti itu diciptakan oleh ketidakpedulian terhadap kebudayaan lain dan kegagalan untuk mengenali keberadaan mereka).

Multikulturalisme adalah sebuah kata yang digunakan untuk menjelaskan situasi di dalam suatu masyarakat di mana kelompok-kelompok yang berbeda didukung untuk menjaga perbedaan etnik mereka, dan untuk berpartisipasi di dalam kehidupan sehari-hari dengan masyarakat yang lebih luas. Hal ini berlawanan dengan perbedaan etnik yang dikurangi dan keberagaman diharmonisasikan seperti “melting pot”, atau di mana perbedaan etnik diijinkan tetapi tidak terlibat kehidupan di masyarakat yang lebih luas (segregasi).29

Dalam garis pemikiran ini, sebuah masyarakat multikultur mungkin tidak memiliki sebuah kebudayaan yang berlaku untuk semua kelompok dan tidak ada satu pun budaya yang boleh mendahului yang lain.30

Studi sosiologi dan antropologi tentang masyarakat majemuk selalu menggambarkan bahwa multikulturalisme merupakan ideologi dari sebuah

       29 

David L. Sam  dan  John W. Berry (ed), The Cambridge Handbook of Acculturation Psychology (New 

York: Cambridge University Press, 2006) hlm. 20 

30 


(40)

commit to user

masyarakat multikultur yaitu masyarakat yang tersusun oleh keragaman etnik karena dukungan keragaman etnik atau kebudayaan dalam arti luas.31

Ada beberapa pengertian mengenai multikulturalisme, pertama,

multikulturalisme adalah konsep yang menjelaskan dua perbedaan dengan makna yang berkaitan. (a) Multikulturalisme sebagai kondisi kemajemukan kebudayaan atau pluralisme budaya dari suatu masyarakat. Kondisi ini diasumsikan dapat membentuk sikap toleransi. (b) Multikulturalisme merupakan seperangkat kebijakan pemerintah pusat yang yang dirancang sedemikian rupa agar seluruh masyarakat dapat memberikan perhatian kepada kebudayaan dari semua kelompok etnik atau suku bangsa.32

Kedua, multikulturalisme merupakan konsep sosial yang diintroduksi ke dalam pemerintahan agar pemerintah dapat menjadikannya sebagai kebijakan pemerintah.33

Ketiga, jika dikaitkan dengan pendidikan multikultural, multikulturalisme merupakan strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang kebudayaan dari para peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikulturalisme.34

      

31 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur cet. II 

(Yogyakarta, LKiS, 2009) hlm. 68 

32 

Ibid

33 

Ibid

34 


(41)

commit to user

Keempat, multikulturalisme sebagai sebuah ideologi dapat dikatakan sebagai gagasan bertukar pengetahuan dan keyakinan yang dilakukan melalui pertukaran kebudayaan atau perilaku budaya setiap hari.35

3. Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi berhubungan erat dengan kebudayaan. Komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda mendasari adanya komunikasi antarbudaya.

Kontribusi latar belakang kebudayaan sangat penting terhadap perilaku komunikasi seseorang termasuk memahami makna-makna yang dipersepsi terhadap tindakan komunikasi yang bersumber dari kebudayaan yang berbeda.36

Budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya adalah perbendaharan budaya yang satu dengan yang lain juga berbeda dan dapat menimbulkan bermacam-macam kesulitan.37

a. Pengertian Komunikasi Antarbudaya

       35 

Ibid.  

36 

Alo Liliweri, Gatra‐Gatra Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 1 

37 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (ed), Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi 


(42)

commit to user

Fred E. Jandt menuliskan definisi komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang dengan latar belakang budaya yang berbeda

(intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse cultures).

Collier dan Thomas (1988) mendefinisikan komunikasi antarbudaya as

communication between people ‘who identify themselves as distinct from’ others in a cultural sense. (Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang yang menganggap dirinya sebagai orang yang berbeda dengan yang lain dalam sebuah kebudayaan).

Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya suku bangsa, antar etnik dan ras, antar kelas sosial.38

Sedangkan Carley H. Dodd menunjukkan bahwa komunikasi antarbudaya mengarah pada pengaruh variabel-variabel dan perbedaan budaya dalam hasil komunikasi interpersonal. Perbedaan dalam gaya komunikasi dan sosial, pendangan terhadap dunia, adat, harapan, aturan, peran, dan mitos menggambarkan sedikit

elemen yang menjelaskan bagaimana kebudayaan membentuk proses komunikasi.39

Beberapa teori komunikasi telah diterapkan pada situasi antarbudaya. Salah

satunya adalah yang berdasar pada teori Uncertainty Reduction oleh Berger dan

Calabrese (1975). Teori tersebut berasumsi bahwa pada fase inisiasi dari interaksi

       38 

Alo Liliweri, Dasar‐dasar komunikasi antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 10 

39 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th (BostonMassachusetts: Mc Graw Hill, 


(43)

commit to user

dengan orang lain, yang menjadi tujuan utama adalah untuk mengurangi keraguan terhadap orang itu. Saat itu, kita sedang berusaha untuk mengetahui informasi mengenai lawan bicara dan untuk membagi informasi mengenai diri kita.40

Yang kedua adalah teori Coordinated Management of Meaning (Cronen,

Pearce, & Harris, 1982). Teori ini menjelaskan mengenai alam sosial dari komunikasi: konteks dimana komunikasi terjadi, aturan untuk interpretasi kata-kata dan aksi digunakan, dan aturan untuk menentukan bagaimana harus bersikap saat seseorang berbicara.41

Kedua teori tersebut pada dasarnya menerangkan bagaimana tingkah laku dipengaruhi oleh norma dan aturan sosial. Teori Uncertainty Reduction berasumsi

bahwa aturan-aturan dibentuk oleh budaya. Teori Coordinated Management of

Meaning menekankan pada persepsi individu mengenai aturan budaya.42

Karena merupakan salah satu bidang studi ilmu komunikasi, komunikasi antarbudaya mempunyai obyek formal, yakni mempelajari komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh seorang komunikator dan komunikan yang berbeda budaya.

Secara umum terdapat dua dimensi studi ilmu komunikasi antarbudaya, yakni studi yang dikaitkan dengan: (1) komunikasi yang bersifat interaktif-perbandingan (sumbu X); dan (2) komunikasi yang bersifat antarpribadi-penggunaan media (sumbu

       40 

Fred Edmund Jandt, Intercultural Communication: An Introduction (London: Sage Publication, 

1998) hlm. 38 

41 

Ibid

42 


(44)

commit to user

Y). Kemudian, rincian bidang studi ilmu komunikasi dapat dikategorikan berdasarkan:

Kuadran I: mempelajari komunikasi antarbudaya dengan pokok bahasan proses komunikasi antarpribadi dan komunikasi antarbudaya termasuk di dalamnya komunikasi di antara komunikator dan komunikan yang berbeda kebudayaan, suku bangsa, ras dan etnik.

Kuadran II: komunikasi lintasbudaya dengan pokok bahasan perbandingan pola-pola komunikasi antarpribadi lintasbudaya.

Kuadran III: komunikasi melalui media di antara komunikator dengan komunikan yang berbeda kebudayaan namun menggunakan media, seperti komunikasi internasional.

Kuadran IV: mempelajari perbandingan komunikasi massa, misalnya membandingkan sistem media massa antarbudaya, perbandingan komunikassi massa, dampak media massa, tatanan informasi dunia baru 43.

Komunikasi antarbudaya memiliki bagian yang disebut unsur-unsur sosio-budaya yang meliputi banyak kegiatan sosial manusia. Misalnya unsur yang berhubungan dengan persepsi, proses verbal, dan proses nonverbal. Unsur-unsur tersebut membentuk suatu matriks yang kompleks mengenai unsur-unsur yang sedang berinteraksi bersama-sama, yang merupakan suatu fenomena kompleks yang disebut komunikasi antarbudaya44.

      

43 Alo Liliweri, GatraGatra Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001) hlm. 128 

44


(45)

commit to user

Komunikasi antarbudaya akan mudah dipahami sebagai perbedaan budaya dalam mempersepsi obyek-obyek sosial dan kejadian-kejadian. Suatu prinsip penting dalam pendapat ini adalah bahwa masalah-masalah kecil dalam komunikasi sering diperumit oleh perbedaan-perbedaan persepsi tersebut.

Edward T. Hall membagi kebudayaan ke dalam dua konteks yaitu

High-Context Culture dan Low-Context Culture. High-context culture menunjuk pada penggunaan pesan konteks tinggi dimana sering diimplikasikan melalui bentuk fisik atau dianggap sebagai bagian dari kepercayaan pribadi, nilai-nilai, dan norma-norma. Sangat sedikit yang tersedia dalam bentuk pesan kode, pesan yang eksplisit.

Sedangkan Low-context culture merujuk pada pesan konteks rendah dimana

informasi disebarkan dalam bentuk kode yang eksplisit45. High-context Asia

Arab

Southern European Africa

South American

Other Northern European Low-Context Australian

American Scandinavia German Swiss

      

45 Myron W. Lustig dan Jolene Koester, Intercultural Competence: Interpersonal Communication 


(46)

commit to user

Tabel 1. High Context Culture-Low Context Culture46

Konteks kebudayaan dalam berbeda cara mempengaruhi arti dari sebuah pesan. Ciri konteks kebudayaan terdiri dari pesan verbal dan nonverbal yang kita gunakan untuk memberikan pemahaman saat berinteraksi dengan orang lain47.

Menurut Hall, dalam high-context culture, isyarat nonverbal sangatlah

penting. Komunikator sangat bergantung pada informasi yang lebih halus atau samar seperti isyarat ekspresi wajah, suara, dan diam untuk menafsirkan pesan.

Sedangkan low-context culture, lebih mengandalkan pada kejelasan bahasa dan arti dari setiap kata-kata serta menggunakan lebih sedikit konteks tersirat untuk mengirim dan menafsirkan pesan.48

Geert Hofstede mengidentifikasi lima dimensi sejalan dengan pola dominan

dari sebuah budaya yaitu power distance (PDI), uncertainty avoidance (UAI),

individualism versus collectivism (IDV), masculinity versus femininity (MAS), dan

long-term versus short-term orientation of time.49

Dimensi-dimensi Hofstede menjelaskan harapan cultural untuk sebuah jenjang perilaku-perilaku sosial, power distance merujuk pada hubungan dengan orang yang berkedudukan lebih tinggi atau lebih rendah. Uncertainty avoidance merujuk pada

pencarian seseorang pada kebenaran dan kepastian. Individualism-collectivism

merujuk pada perilaku terhadap kelompok. Masculinity-femininity merujuk pada

      

46 Beebe. Loc. Cit. 

47 

Beebe. Loc. Cit. 

48 

Ibid

49 Myron W. Lustig dan Jolene Koester, Intercultural Competence: Interpersonal Communication 


(47)

commit to user

pengharapan terhadap prestasi dan perbedaan gender, dan time orientation merujuk pada pencarian seseorang terhadap kebaikan dan idealisme yang tahan lama.50

b. Proses Komunikasi Antarbudaya

Komunikasi bukan dipandang sebagai sebuah kegiatan yang menghubungkan manusia dalam keadaan pasif, tetapi komunikasi harus dipandang sebagai sebuah proses yang menghubungkan manusia melalui sekumpulan tindakan yang terus menerus diperbaharui. Komunikasi disebut sebagai suatu proses karena komunikasi itu dinamik. Sebuah proses yang terdiri dari beberapa sekuen yang dapat dibedakan namun tidak dapat dipisahkan. Semua sekuen berkaitan satu sama lain meskipun selalu berubah-ubah. Pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi lain, yaitu proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis.51

Wahlstrom (1992) menjelaskan bahwa komunikasi antarbudaya yang interaktif adalah komunikasi yang dilakukan oleh komunikator dengan komunikan dalam dua arah/ timbal balik namun masih berada pada tahap rendah. Apabila ada proses pertukaran pesan itu memasuki tahap tinggi, misalnya saling mengerti, memahami perasaan dan tindakan bersama maka komunikasi tersebut telah memasuki tahap transaksional seperti yang diungkapkan oleh Hybels dan Sandra (1992).52

Komunikasi transaksional meliputi tiga unsur penting yaitu (1) keterlibatan emosional yang tinggi, yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan atas

       50 

Myron W. Lustig. Op. Cit hlm. 132 

51 

Alo Liliweri, Dasar‐Dasar Komunikasi Antarbudaya, Cet.III (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) hlm. 

24 

52 


(48)

commit to user

pertukaran pesan; (2) peristiwa komunikasi meliputi seri waktu, artinya berkaitan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang; dan (3) partisipan dalam komunikasi antarbudaya menjalankan peran tertentu.53

Baik komunikasi interaktif maupun transaksional mengalami proses yang bersifat dinamis, karena proses tersebut berlangsung dalam konteks sosial yang hidup, berkembang dan bahkan berubah-ubah berdasarkan waktu, situasi dan kondisi tertentu. Karena proses komunikasi yang dilakukan adalah komunikasi antarbudaya maka kebudayaan merupakan dinamisator bagi proses komunikasi tersebut.54

       53 

Ibid. hlm. 24‐25 

54 


(49)

commit to user

Di bawah ini adalah model komunikasi antarbudaya:

Bagan 1. Model Komunikasi Antarbudaya55

Model komunikasi antarbudaya tersebut menampilkan pengembangan dari definisi Perceived Cultural Differences (PCD) atau yang bisa diartikan sebagai

      

55 Carley H. Dodd, Dynamics of Intercultural Communication 5th edition (Boston: McGraw Hill, 1998) 

hlm. 7 

Uncertainty/ anxiety motivate intercultural adaptive communication strategies by forming an  arena of potentially positive adaption, Cultural C: 

Culture C 

Is an invented third culture in  which A & B experience positive  climate, commonality and trust  leading to adaptation 

Functional strategies utilizing intercultural  knowledge and skills involving rules, roles,  customs, beliefs, social style, affirmation,  approachability and adaptability 

Intercultural Communicatin  Effectiveness Outcome: Task,  Positive Relationships, Cultural  Adjustment 

Uncertainty Anxiety Dysfunctional strategis such  as relying on stereotypes,  withdrawal denial, hostily  Interpersonal 

relationship  Personality 

Culture 

Perceived Cultural Difference

Interpersonal  relationship  Personality 


(50)

commit to user

mengenali perbedaan cultural. William Gudykunst dan Young Kim menerapkan metafora dari orang asing menjadi orang-orang yang dikenal sebagai “berbeda denganku”.

Dari tampilan gambar model komunikasi antarbudaya di atas terdapat keterangan-keterangan: (1) mengindikasi bahwa budaya adalah satu-satunya sumber yang menerangkan kenapa orang-orang mengenali perbedaan; (2) menjelaskan dinamika PCD sebagai motivasi yang mengarahkan pada pengurangan ketidakpastian dan kecemasan; (3) menggambarkan bagaimana kita bisa memajukan pendekatan yang fungsional maupun tidak fungsional untuk memutuskan dalam perbedaan yang ada; (4) menunjukkan bahwa membuat budaya ketiga C menyediakan landasan umum untuk memajukan strategi membangun hubungan; (5) menggarisbawahi

bagaimana kita bisa menggunakan beberapa kemampuan dan insight antarbudaya

yang sederhana namun kuat; dan (6) mengungkapkan hasil antarbudaya positif yang diinginkan. Singkatnya, model ini adalah model komunikasi antarbudaya yang adaptive, yang membutuhkan pertisipan-partisipan untuk menunda penilaian dan bias ketika mereka bertemu dalam budaya ketiga yang dibuat oleh partisipan-partisipan antarbudaya untuk menemukan tujuan dan ketertarikan bersama. Dengan kata lain, di luar pandangan ketidaksamaan, partisipan A dan B bisa membagi kebudayaan ketiga di antara mereka, budaya tentang kesamaan.56

Untuk membuat kebudayaan baru menjadi arena yang adaptif secara fungsional bukanlah hal yang otomatis. Beberapa konsep dan keahlian membantu kita

       56 


(51)

commit to user

memahami bagaimana caranya membuat kebudayaan C berhasil. Ada tiga prinsip yang penting dalam mengembangkan sebuah interaksi yang sukses di dalam budaya C antara A dan B.57

Pertama, harus ada perasaan positif terhadap orang atau kelompok lain, seperti kepercayaan, kenyamanan, keamanan, kepastian, atau kecemasan yang kecil. Tanpa perasaan ini, seseorang mungkin kurang mampu berkomunikasi dengan baik dengan orang lain yang berbeda. Lebih jauh lagi, penilaian dan efektivitas dalam sebuah kebudayaan baru mungkin diperkecil atau diperpanjang atau bahkan tidak pernah terjadi sama sekali.58

Area kedua yang dibutuhkan untuk membuat iklim budaya ketiga yang sukses melibatkan pengenalan kepercayaan-kepercayaan yang kita bawa pada interaksi antarbudaya. Kepercayaan tersebut meliputi harapan, ketidakyakinan, salah mengerti terhadap peraturan atau prosedur, kurangnya strategi yang layak untuk melatih kompetensi akulturasi, aktifasi tanda yang memicu pemikiran sosial yang negatif maupun positif seperti stereotip dan atribut. Tanpa mengerti seseorang secara akurat, kecil kemungkinan untuk bisa berkomunikasi dengan baik dengan orang lain yang berbeda.59

Area ketiga yang dibutuhkan adalah aksi komunikasi antarbudaya. Ini berarti mengembangkan kemampuan dan aksi seperti penampilan komunikasi verbal dan

       57 

Ibid. hlm. 11 

58 

Ibid

59 


(52)

commit to user

nonverbal, keahlian untuk bertahan, dan menghadapi sistem dan institusi dalam budaya yang baru.60

c. Fungsi Komunikasi Antarbudaya

Manusia berkomunikasi, termasuk komunikasi antarbudaya, karena ada tujuan dan fungsi untuk memenuhi “panggilan” relasi melalui cara menyatakan isi. Secara umum ada empat kategori fungsi utama komunikasi, yaitu: (1) fungsi informasi; (2) fungsi instruksi; (3) persuasive; dan (4) fungsi menghibur. Apabila empat fungsi tersebut diperluas maka akan ditemukan dua fungsi lain, yakni: (1) fungsi pribadi; dan (2) fungsi sosial. Fungsi pribadi komunikasi dirinci ke dalam fungsi; (1) menyatakan identitas sosial; (2) integrasi sosial; (3) kognitif; dan (4) fungsi melepaskan diri/jalan keluar. Sedangkan fungsi sosial terinci atas fungsi: (1) fungsi pengawasan; (2) menghubungkan/ menjembatani; (3) sosial; dan (4) menghibur.

       60 


(53)

commit to user

Bagan 1.2 Fungsi-Fungsi Pribadi Dan Sosial Dari Komunikasi61 1) Fungsi Pribadi

Fungsi Pribadi adalah fungsi-sungsi komunikasi yang ditunjukkan melalui perilaku komunikasi yang bersumber dari seorang individu. Fungsi pribadi terdiri dari beberapa fungsi yaitu:

(a) Menyatakan Identitas Sosial. Dalam proses komunikasi antarbudaya

terdapat beberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun identitas sosial. Perilaku itu dinyatakan melalui tindakan berbahasa baik verbal maupun nonverbal. Perilaku tersebut berfungsi menyatakan asal-usul atau latar belakang kehidupan

       61 


(54)

commit to user

sosial budaya, misalnya suku bangsa, agama, pendidikan dan pengetahuan.62

(b) Menyatakan Integrasi Sosial. Inti konsep integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok namun tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur. Dalam kasus komunikasi antarbudaya yang melibatkan perbedaan budaya antara komunikator dengan komunikan maka integrasi sosial merupakan tujuan utama komunikasi. Prinsip utama dalam proses pertukaran pesan komunikasi antarbudaya adalah “saya memperlakukan anda sebagaimana kebudayaan anda memperlakukan anda dan bukan sebagaimana yang saya kehendaki”. Dengan demikian komunikator dan komunikan dapat meningkatkan integrasi sosial atas relasi mereka.63

(c) Menambah Pengetahuan (Kognitif). Komunikasi antarbudaya juga dapat

menambah pengetahuan baik bagi komunikator maupun komunikan. Mereka mendapat pengetahuan baru tentang kebudayaan lawan bicara dengan saling mempelajari kebudayaan.64

(d) Melepaskan Diri/Jalan Keluar. Kadang-kadang kita melakukan komunikasi

untuk melepaskan diri atau mencari jalan keluar atas masalah yang sedang dihadapi.65

       62 

Ibid. hlm. 37 

63 

Ibid

64 

Ibid. hlm. 38 

65 


(55)

commit to user

2) Fungsi Sosial

Selain fungsi pribadi, komunikasi juga memiliki fungsi sosial yang terdiri beberapa fungsi yaitu:

(a) Pengawasan. Praktek komunikasi antarbudaya di antara komunikator dan

komunikan yang berbeda kebudayaan berfungsi saling mengawasi. Dalam setiap komunikasi antarbudaya fungsi ini bermanfaat untuk menginformasikan “perkembangan” tentang lingkungan. Akibatnya adalah kita turut mawas diri seandainya peristiwa itu terjadi pula dalam lingkungan kita.66

(b) Menjembatani. Dalam proses komunikasi antarpribadi, termasuk

komunikasi antarbudaya, maka fungsi komunikasi yang dilakukan antara dua orang yang berbeda budaya itu merupakan jembatan atas perbedaan di antara mereka. Fungsi menjembatani itu dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya saling menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga menghasilkan makna yang sama.67

(c) Sosialisasi Nilai. Fungsi sosialisasi merupakan fungsi untuk mengajarkan dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya seringkali muncul perilaku non verbal yang kurang dipahami namun yang lebih penting daripada itu adalah bagaimana kita menangkap nilai yang terkandung

       66 

Ibid. hlm. 40 

67 


(56)

commit to user

dalam gerakan tubuh, gerakan imajiner dalam perilaku non verbal tersebut.68

(d) Menghibur. Fungsi menghibur juga sering tampil dalam proses komunikasi antarbudaya.69

d. Kompetensi Komunikasi Antarbudaya

Spitzberg mengatakan bahwa kompetensi komunikasi antarbudaya adalah perilaku yang pantas dan efektif dalam suatu konteks tertentu. Kim memberikan definisi yang lebih detil ketika dia menuliskan bahwa kompetensi antarbudaya merupakan kemampuan internal suatu individu untuk mengatur fitur utama dari komunikasi antarbudaya: yakni, perbedaan budaya dan ketidakbiasaan, postur inter-group, dan pengalaman stress. Apa yang dinyatakan dua definisi itu adalah bahwa menjadi komunikator yang kompeten berarti memiliki kemampuan untuk berinteraksi secar efektif dan sesuai dengan anggota dari budaya yang memiliki latar belakang linguistik-kultural.70

Banyak penelitian dalam kompetensi komunikasi antarbudaya mengungkapkan lima komponen kompetensi yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berinteraksi secara efektif dan pantas dalam budaya yang lain.71 Kelima komponen tersebut adalah:

       68 

Ibid. 41 

69 

Ibid.  

L 

Larry A. Samovar, dkk, Komunikasi Lintas Budaya: Communication Between Cultures, edisi 7 

(Jakarta: Salemba Humanika, 2010) hlm. 460 

71 


(57)

commit to user

1) Motivasi untuk berkomunikasi

Merupakan hal yang logis dan alami untuk mengasumsikan seseorang termotivasi untuk berinteraksi dengan orang yang dekat dengan orang tersebut baik secara fisik maupun emosional. Walaupun hal ini merupakan reaksi yang normal, hal ini kadang menjauhkan seseorang dari dari usaha untuk memahami pengalaman orang-orang. Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya mengungkapkan bahwa motivasi dalam hubungannya dengan kompetensi komunikasi antarbudaya berarti seseorang memiliki keingian pribadi untuk meningkatkan kemampuan komunikasi.72

Sebagai komunikator yang penuh motivasi, seseorang menunjukkan ketertarikannya, berusaha untuk berbicara serta mengerti, dan menawarkan bantuan. Selanjutnya, orang tersebut menunjukkan bahwa dia ingin berhubungan dengan orang lain dalam level personal dan memiliki perspektif internasional ketika berinteraksi dengan orang-orang dari kebudayaan yang berbeda.73

2) Pengetahuan yang cukup mengenai budaya

Komponen pengetahuan dalam kompetensi komunikasi antarbudaya berarti bahwa seseorang menyadari dan memahami peraturan,

       72 

Ibid. hlm. 461 

73 


(58)

commit to user

norma, dan harapan yang diasosiasikan dengan budaya orang-orang yang berhubungan dengan orang tersebut.74

3) Kemampuan komunikasi yang sesuai

Sebagai seorang komunikator yang kompeten seseorang harus mampu mendengar, mengamati, menganalisis dan menginterpretasikan serta mengaplikasikan perilaku khusus ini dalam cara yang memungkinkan orang tersebut untuk mencapai tujuannya.75

4) Sensitivitas

Kompetensi komunikasi membutuhkan partisipan suatu interaksi yang sensitive satu sama lainnya dan terhadap budaya yang ditampilkan dalam suatu interaksi. Sensitivitas, menurut Pittinsky, Rosenthal, dan Montoya, meliputi sifat fleksibel, sabar, empati, keingintahuan mengenai budaya yang lain, terbuka pada perbedaan, dan merasa nyaman dengan yang lain.76

Spencer-Roberts dan McGovern menambahkan bahwa komunikator yang sensitif memiliki rasa toleransi terhadap ambiguitas. Hal tersebut berarti, saat seseorang melihat suatu kebiasaan dan perilaku yang aneh dan tidak biasa, orang itu tidak akan bingung karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi atau menentang perilaku dan kebiasaan tersebut. Hal ini mengarah pada pemikiran lain oleh Pittinsky, Rosenthal, dan

       74 

Ibid

75 

Ibid. hlm. 462 

76 


(59)

commit to user

Montoya yang percaya bahwa komunikator yang sensitif harus lebih toleran terhadap orang lain dan budaya lain serta menegmbangkan perasaan

allophilia, yaitu menyukai yang lain dan perilaku yang menginspirasi.77 5) Karakter

Seorang filsuf dan guru dari Amerika P.B. Fitzwater mengatakan karakter merupakan keseluruhan dari pilihan seseorang. Intinya adalah bagaimana seseorang melaksanakan pilihan tersebut ketika berinteraksi dengan orang yang berbeda budayanya. Mungkin salah satu sifat yang paling penting yang diasosiasikan dengan karakter adalah apakah mereka dapat dipercaya atau tidak. Sifat yang kadang diasosiasikan dengan orang yang terpercaya adalah kejujuran, peghargaan, kewajaran, dan kemampuan untuk melakukan pilihan yang tepat, dan juga kehormatan, mementingkan kepentingan orang lain, ketulusan, dan niat baik.78

e. Komunikasi Antarbudaya yang Efektif

Komunikasi antarbudaya yang efektif melibatkan lebih dari sekedar memahami norma salah satu kelompok. Telah banyak usaha untuk mengetahui keahlian yang dibutuhkan untuk lebih efektif dalam komunikasi antarbudaya. Misalnya dengan menggunkan pendekatan bisnis, pendekatan militer, dan pendekatan komunikasi.

       77 

Ibid

78 


(60)

commit to user

Dengan pendekatan bisnis, Mendenhall dan Oddou (1985) menemukan beberapa keahlian yang diperlukan yaitu:

1)“Skills related to the maintenance self (mental health, psychological well-being, stress reduction, feelings of self-confidence).

2)Skills related to the fostering of relationships with host nationals.

3)Cognitive skills that promote a correct perception of the host environment and its social systems.”79

Pendekatan lain mengenai keberhasilan individu di seberang lautan (daerah lain) adalah pendekatan militer. Misalnya, AL Amerika Serikat dalam “Overseas Diplomacy” (1979) berusaha memasuki kesiapan dalam pelayanan overseas. AL

Amerika Serikat menemukan 8 keahlian untuk sukses dalam pelayanan overseas

tersebut, yaitu:

1)Self-Awareness. Kemampuan untuk menggunakan informasi tentang diri sendiri di dalam situasi yang susah untuk mengerti bagaimana orang lain melihat diri kita dan menggunakan informasi tersebut untuk mengatasi situasi yang sulit.

2)Self-respect. Kepercayan diri atau harus percaya dengan diri sendiri, dengan karakter, dan tingkah laku kita.

3)Interaction. Seberapa efektif kita dalam berkomunikasi dengan orang lain. 4)Empathy. Melihat sesuatu melalui pandangan orang lain atau menjadi tanggap

terhadap perasaan orang lain.

       79 


(61)

commit to user

5)Adaptability. Seberapa cepat kita dalam terbiasa dalam lingkungan asing atau norma yang berbeda.

6)Certainty. Kemampuan untuk berkompromi dengan situasi yang

menginginkan kita untuk melakukan suatu hal walaupun perasaan kita mengatakan lain. Semakin besar kemampuan kita menerima situasi yang bertentangan dengan keinginan kita, semakin bisa kita berkompromi dengan situasi-situasi tersebut.

7)Initiative. Menjadi seseorang yang terbuka terhadap pengalaman baru.

8)Acceptance. Toleransi atau kemauan untuk menerima hal-hal yang menyimpang dari hal-hal yang biasa bagi kita.80

Deskripsi ketiga yang menggunakan pendekatan komunikasi menemukan 4 keahlian yang hampir sama, yaitu:

1)Personality Strength. Kemampuan personal yang mampu mempengaruhi

komunikasi antarbudaya adalah concept, disclosure,

self-monitoring, dan social relaxation.

2)Communications Skill. Individu harus kompeten dalam komunikasi verbal maupun nonverbal, karena kemampuan komunikasi antarbudaya memerlukan message skills, behavioral flexibility, interaction management, dan social skills.

       80 


(62)

commit to user

3)Psychological Adjustment. Komunikator yang efektif harus bisa

menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan dapat mengatasi

culture shock.

4)Cultural Awareness. Agar kompeten dalam komunikasi antarbudaya, individu harus memahami adat dan sistem sosial dari kebudayaan tuan rumah. Memahami bagaimana orang berpikir dan bertingkah laku sangatlah penting untuk berkomunikasi secara efektif dengan masyarakat budaya tersebut.81 Keberhasilan komunikasi antarbudaya dapat pula dijelaskan dari perspektif

The 5 Inevitable Laws of Effective Communication (lima hukum komunikasi efektif).

Lima hukum tersebut adalah Respect, Empathy, Audible, Clarity, dan Humble

(REACH).82

1) Respect. Hukum pertama dalam mengembangkan komunikasi antarbudaya yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa dan sikap saling menghargai dan menghormati, maka dapat membangun kerjasama yang sinergi yang akan meningkatkan kualitas hubungan antarmanusia.83

2) Empathy. Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu persyaratan

       81 

Ibid. hlm.  43‐44 

82 Suranto AW. Op. Cit. hlm. 194 

83 


(63)

commit to user

utama dalam memiliki empati adalah kemampuan untuk mendengarkan atau mengerti lebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan meningkatkan kemampuan kita dalam menyampaikan pesan dengan cara dan sikap yang akan memudahkan komunikan menerimanya. Oleh karena itu, memahami perilaku komunikan merupakan keharusan. Sebelum membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima.84

3) Audible. Hukum ketiga ini berarti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan.

4) Clarity. Selain pesan harus dapat dimengerti, maka pesan itu sendiri harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi intepretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau terbuka), sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan.85

       84 

Ibid

85 


(64)

commit to user

5) Humble. Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki.86

Yukiko Inoue dalam Jurnalnya menyebutkan beberapa keahlian yang penting untuk menjadi pemain global yang sukses. Terdapat enam jenis keahlian yang dibutuhkan, yaitu:

1) Tolerance of ambiguity yang

merupakan kemampuan untuk menerima kurangnya kejelasan dan menjadi bisa menerima situasi yang ambigu dengan baik.

2) Behaviour Flexibility yang

merupakan keahlian untuk mengadaptasi perilaku pribadi pada situasi yang berbeda.

3) Knowledge discovery, yaitu

kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan baru pada waktu berkomunikasi.

4) Communicative awareness,

yaitu kemampuan untuk menggunakan penemuan komunikatif dari orang-orang dengan latar belakang budaya yang lain dan kemampuan untuk memodifikasi bentuk-bentuk ekspresi sendiri.

5) Respect for otherness,

keingintahuan dan keterbukaan sama dengan sebuah kesiapan untuk

       86 


(65)

commit to user

mengesampingkan ketidakpercayaan terhadap budaya-budaya lain dan percaya terhadap budaya sendiri.

6) Empathy, yaitu kemampuan

untuk mengerti secara intuisi apa yang orang lain pikirkan dan bagaimana perasaan mereka dalam situasi yang sedang dihadapi.87

f. Peran Komunikasi Antarbudaya terhadap Akulturasi

Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek terpenting dan paling mendasar. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi terhadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses akulturasi seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi. Proses komunikasi dalam hal ini komunikasi antarbudaya menjadi dasar bagi proses akulturasi seorang imigran.88

Komunikasi antarbudaya yang terjadi memiliki peran yang sangat besar terhadap akulturasi. Peran komunikasi antarbudaya dalam memperlancar proses akulturasi tersebut antara lain:

1)Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan

lingkungan fisik dan sosial seorang imigran.89

2)Melalui komunikasi antarbudaya, imigran bisa menyesuaikan diri dengan

lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan

       87 

Yukiko Inoue, “Cultural Fluency as a Guide to Effective Intercultural Communication: The Case of 

Japan and the U.S., Journal of Intercultural Communication, issue 15 (November, 2007) hlm. 7 

88 Dedy Mulyana, dkk. 2003. Op. Cit. hlm. 139 

89 


(1)

commit to user

BAB IV PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya yang terjadi antara warga Jepang dengan penduduk pribumi sangat membantu kelancaran akulturasi warga Jepang di Solo. Manusia belajar banyak hal lewat respon-respon komunikasi tehadap rangsangan dari lingkungan. Begitu juga bagi akulturasi. Proses akulturasi seseorang di lingkungan baru tidak bisa lepas kegiatan komunikasi.

Dalam proses akulturasi warga Jepang di Surakarta, komunikasi antarbudaya yang terjadi memiliki peran yang besar. Proses komunikasi dalam hal ini komunikasi antarbudaya menjadi dasar bagi proses akulturasi seorang imigran. Peran komunikasi antarbudaya dalam memperlancar proses akulturasi tersebut antara lain:

1. Komunikasi antarbudaya berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial seorang imigran. Dari pengalaman berkomunikasi dengan penduduk sekitar, mereka mendapatkan pengetahuan mengenai lingkungan sekitar sehingga hal itu menjadi bekal bagi mereka untuk memahami hal-hal yang terjadi di lingkungan mereka. Pemahaman terhadap lingkungan dan sosio-budaya sangat membantu mereka dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga akulturasi semakin lancar.


(2)

commit to user

2. Melalui komunikasi antarbudaya, imigran Jepang bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berhubungan dengan lingkungan serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok sosial yang mempengaruhi mereka. Dengan pengenalan serta penerimaan warga pribumi terhadap imigran tersebut maka terbentuknya budaya C yang menjadi tujuan interaksi antarbudaya akan semakin mudah tercapai, dengan kata lain, akulturasi pun semakin lancar.

3. Selayaknya orang-orang pribumi, para imigran Jepang juga memperoleh pola-pola budaya pribumi dari kegiatan komunikasi antarbudaya. Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan dengan orang lain melalui komunikasi. Dengan mempelajari pola-pola dan aturan-aturan komunikasi pribumi dan dengan berpikiran terbuka, imigran menjadi toleran akan perbedaan-perbedan dan ketidakpastian situasi-situasi antarbudaya yang dihadapi. Mereka menjadi semakin siap dan percaya diri dalam berhubungan dengan lingkungan sekitar sehingga semakin mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berakulturasi.

4. Melalui komunikasi massa seorang imigran mengetahui lebih jauh lagi tentang berbagai unsur dalam sistem sosio-budaya pribumi. Dalam menyiarkan pesan-pesan yang merefleksikan aspirasi-aspirasi, mitos-mitos, kerja dan bermain, dan isu-isu spesifik serta peristiwa-pwristiwa dalam masyarakat pribumi, media secara eksplisit membawa nilai-nilai masyarakat (societal values), norma-norma perilaku, dan perspektif-perspektif


(3)

commit to user

tradisional untuk menafsirkan lingkungan. Para imigran Jepang tersebut akan semakin tahu mengenai lingkungan tempat mereka tinggal dari pemberitaan-pemberitaan melalui koran, televisi, radio maupun media online. Mereka akan semakin paham bagaimana caranya bersikap dan beradaptasi di lingkungan baru dengan bekal pengetahuan tersebut.

Komunikasi antarbudaya tersebut tidak lepas dari faktor-faktor yang mendukungnya sehingga komunikasi antarbudaya yang efektif dapat tercapai. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Aspek-aspek yang mempengaruhi komunikasi antar budaya yang terdiri dari persepsi, proses verbal, proses non-verbal dan konteks komunikasi.

2.Sikap seorang imigran ketika berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya

yang meliputi respect, empathy, audible, clarity, humble, adaptability, acceptance, cultural awareness,dan knowledge discovery.

3. Intensitas komunikasi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa komunikasi yang dilakukan oleh warga Jepang termasuk sering, sehingga komunikasi antarbudaya yang efektif terjalin.

4. Kompetensi komunikasi antarbudaya yang dimiliki oleh tiap imigran Jepang. Di mana kompetensi tersebut mengandung lima komponen yaitu motivasi untuk berkomunikasi, pengetahuan yang cukup mengenai budaya, kemampuan komunikasi yang sesuai, sensitivitas, dan karakter.


(4)

commit to user

Selain dipengaruhi oleh komunikasi antarbudaya yang terjalin, derajad akulturasi seorang imigran juga dipengaruhi oleh potensi akulturasi yang dimiliki oleh tiap individu seperti berikut:

1. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi. Di mana

budaya Jepang dan Jawa memiliki kemiripan. Keduanya sama-sama berlatar belakang kerajaan, menjunjung tinggi tata krama, adanya tingkatan bahasa yang mirip, serta kehidupan sosial yang mirip.

2. Usia pada saat imigrasi. Rata-rata imigran Jepang berusia muda ketika

datang ke Surakarta sesuai tujuan masing-masing. Ketika pertama kali datang, mereka rata-rata berusia 21-35 tahun.

3. Latar belakang pendidikan. Hampir semua imigran Jepang yang tinggal di

Surakarta telah menamatkan jenjang S1 mereka di Jepang ketika mulai tinggal di Surakarta.

4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi.

Semua imigran Jepang yang tinggal di Surakarta merupakan pribadi yang suka tantangan, suka berteman, suka mencoba hal-hal yang baru, serta mampu menerima keadan sekitar yang berbeda.

5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi. Hampir semua

imigran yang tinggal di Surakarta telah memiliki pengetahuan tentang daerah tujuan ketika akan tinggal dalam wamtu lama. Pengetahuan itu mereka dapat rata-rata dari orang yang mereka kenal yang pernah pergi ke Indonesia khususnya Surakarta.


(5)

commit to user

B. SARAN

Berdasarkan hasil peneltian, ada beberapa yang saran yang ingin diberikan oleh peneliti yaitu:

1. Akulturasi adalah hal yang tidak terlepas dari komunikasi antarbudaya dan

potensi akulturasi tiap individu. Sebaiknya warga Jepang terus mempertahankan bahkan meningkatkan efektifitas komunikasi serta potensi akulturasi yang telah dimiliki. Dari kedua hal tersebut, proses adaptasi maupun akulturasi akan semakin mudah sehingga labih nyaman dalam hidup berdampingan dengan masyarakat pribumi.

2. Penerimaan warga pribumi terhadap imigran Jepang di Surakarta sangat

baik. Warga pribumi diharapkan mempertahankan toleransi dan penerimaan perbedaan dari pendatang tersebut tanpa memaksakan kebudayaan asli kepada mereka sehingga kebudayaan ketiga akan terbentuk dan keharmonisan akan tercapai. Selain itu lebih baik jika ada keinginan untuk memahami perbedaan yang dimiliki oleh imigran Jepang sehingga akan membantu dalam bersikap ketika berinteraksi dengan mereka.

3. Penelitian ini hanya mengupas peran Komunikasi Antarbudaya dalam

akulturasi warga Jepang di Surakarta secara garis besar saja karena beberapa kendala seperti sulitnya mendapatkan akses untuk melakukan interview dan observasi terhadap keseluruhan warga Jepang di Surakarta. Bagi penelitian berikutnya, sebaiknya melakukan pendekatan sejak awal


(6)

commit to user

dan menjalin hubungan yang baik dengan mereka. Sehingga kepercayaan yang didapat sangat besar sehingga mempermudah akses kepada warga Jepang. Selain itu, penelitian selanjutnya bisa memperluas area penelitian sehingga menambah referensi tentang topik ini.


Dokumen yang terkait

Analisis Hubungan Kecemasan Dan Ketidakpastian Terhadap Kompetensi Komunikasi Antarbudaya Warga Jepang Di Indonesia

8 87 179

Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran (Studi Kasus Tentang Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pada Pernikahan Campuran Suku Batak Toba-Tionghoa di kota Medan)

17 176 147

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 12

PENDAHULUAN Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 2 24

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DALAM PROSES ASIMILASI PERNIKAHAN JAWA DAN MINANGKABAU Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Asimilasi Pernikahan Jawa Dan Minangkabau (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antarbudaya Dalam Proses Pernikahan Jawa dan Minangkabau).

0 3 13

PERAN IDENTITAS SUKU JAWA DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA Peran Identitas Suku Jawa Dalam Komunikasi Antarbudaya (Studi Deskriptif Kualitatif Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor Putri yang ada di Demak).

0 1 14

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA JEPANG DI SURABAYA (Studi Kualitatif Proses Penyesuaian Diri Mahasiswa Jepang).

0 0 10

ADAPTASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING UNS (Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Antarbudaya Mahasiswa Asing dalam Beradaptasi di Solo Tahun 2015).

0 2 13

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA MAHASISWA ASING (Studi Tentang Kecenderungan-kecenderungan Komunikasi Antarbudaya Yang Berkembang Di Kalangan Mahasiswa Asing Di Surakarta).

0 0 16

Proses Komunikasi antarbudaya dalam proses

0 0 5