Akulturasi dalam Pernikahan Campuran .a Komunikasi dan Akulturasi
14
tersebut, semua diterima begitu saja dari lingkungan tanpa banyak mempersoalkannya. Pola budaya merupakan suatu sistem kepercayaan dan nilai
yang terintegrasi yang bekerja sama untuk menyediakan suatu model terpadu dan konsisten. Pola tersebut berkontribusi tidak hanya pada cara manusia melihat dan
berpikir mengenai dunia ini, namun juga bagaimana manusia hidup di dunia ini Samovar,dkk, 2010: 227.
2.1.3 Akulturasi dalam Pernikahan Campuran 2.1.3.a Komunikasi dan Akulturasi
Istilah akulturasi atau acculturation mempunyai arti sebagai proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu
dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur – unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri Koentjaraningrat, 2002: 248. Dalam akulturasi, selalu
terjadi proses penggabungan fusi budaya yang memunculkan kebudayaan baru tanpa menghilangkan nilai-nilai dari budaya lama atau budaya asalnya. Akulturasi
adalah proses jalan tengah antara konfrontasi dan fusi, isolasi dan absorbs, masa lampau dan masa depan. Ada 4 empat syarat yang harus dipenuhi supaya proses
akulturasi dapat berjalan dengan baik : 1. Penerimaan kebudayaan tanpa rasa terkejut syarat persenyawaanaffinity.
2. Adanya nilai baru yang tercerna akibat keserupaan tingkat dan corak budayanya syarat keseragamanhomogeneity.
3. Adanya nilai baru yang diserap hanya sebagai kegunaan yang tidak penting atau hanya tampilan syarat fungsi.
4. Adanya pertimbangan yang matang dalam memilih kebudayaan asing yang datang syarat seleksi Sachari, 2001:86-87.
Apabila dilihat dari defenisi tentang akulturasi diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa akulturasi adalah proses penggabungan antara dua kebudayaan
atau lebih untuk mencari jalan tengah dimana pada kebudayaan baru yang terbentuk tersebut masih dapat ditemukan karakter asli dari unsur-unsur
15
kebudayaan penyusunnya. Salah satu bentuk akulturasi yang sering terjadi adalah pada saat perpindahan.
Migrasi menyebabkan pertemuan-pertemuan antarkelompok manusia dengan kebudayaan yang berbeda-beda, akibatnya
individu-individu dalam kelompok tersebut dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan yang asing. Pada akhirnya bukan hanya sistem sosio-budaya imigran,
tapi juga sosio-budaya pribumi yang mengalami perubahan sebagai akibat kontak antar budaya yang lama. Faktor yang berpengaruh atas perubahan yang terjadi
pada diri imigran itu adalah perbedaan antara jumlah dan besarnya masyarakat pribumi, serta kekuatan dominan masyarakat pribumi dalam mengontrol berbagai
sumber dayanya mengakibatkan lebih banyak dampak pada kelanjutan dan perubahan budaya imigran. Kebutuhan imigran untuk beradaptasi dengan sistem
sosio-budaya pribumi akan lebih besar daripada kebutuhan masyarakat pribumi untuk memasukkan unsur-unsur budaya imigran ke dalam budaya mereka.
Kecakapan berkomunikasi yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapan imigran dalam berkomunikasi akan
berfungsi sebagai alat penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan akan kelangsungan hidup
dankebutuhan akan “rasa memiliki”. Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan yang berkembang dalam dan
melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-budaya baru. Kecakapan komunikasinya pada gilirannya menunjukkan derajat akulturasi
imigran tersebut. Dalam proses akulturasi budaya yang terjadi, tidak jarang timbul
permasalahan dalam memahami budaya asing. Menurut William B. Gudykunst, terdapat beberapa potensi masalah dalam proses akulturasi budaya Gudykunst,
2003:316, yaitu :
1. Stereotip
Stereotip dapat positif atau negatif. Stereotip dapat menyamaratakan ciri- ciri sekelompok orang. Dengan demikian, stereotip bisa mempersempit
persepsi kita dan mencemarkan proses akulturasi yang sedang berlangsung.
16
2. Prasangka Prasangka memberikan perasaan dan tingkah laku negatif yang melibatkan
rasa marah, takut, keseganan dan perasaan gelisah. Menurut Brislin dalam Gudykunst, 2003:323 prasangka adalah perasaan mengenai hal baik atau
buruk, benar atau salah, pantas atau tidak pantas, dll. 3.
Etnosentrisme Menurut Nanda dan Warms dalam Gudykunst, 2003:331, etnosentrisme
merupakan pandangan bahwa budaya seseorang lebih unggul dibandingkan budaya lain. Pandangan bahwa budaya lain dinilai
berdasarkan standar budaya kita. Kita menjadi etnosentris ketika kita melihat budaya lain melalui kacamata budaya kita atau posisi sosial kita.
4. Culture shock gegar budaya Menurut Kalvero Aberg dalam Gudykunst, 2003:335, gegar budaya
ditimbulkan oleh rasa gelisah sebagai akibat dari hilangnya semua tanda dan simbol yang biasa kita hadapi dalam hubungan sosial. Gegar budaya
dapat meneybabkan rasa putus asa, lelah dan perasaan tidak nyaman. Butuh penyesuaian sebelum Anda dapat beradaptasi dengan lingkungan
yang baru. Penyesuaian ini bisa berupa masalah komunikasi, perbedaan mekanis dan lingkungan, perbedaan pengalaman budaya, perilaku dan
kepercayaan.
2.1.3.b Potensi Akulturasi
Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi
akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut: 1. Kemiripan budaya asli dengan budaya pribumi.
2. Usia pada saat berimigrasi. 3. Latar belakang pendidikan.
4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi.
5. Pengetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi Mulyana, 2005:146.
17
Memperhatikan individu-individu dari kebudayaan asing yang menyebabkan pengaruh unsur-unsur kebudayaan penerima sangat penting, karena
mereka adalah agent of acculturation yang mengetahui unsur-unsur apa saja yang sudah masuk. Dalam tiap masyarakat, warga masyarakat hanya memahami
sebagian dari kebudayaannya.Misalnya, kalau mereka pedagang, maka unsur kebudayaan yang dibawa adalah benda-benda kebudayaan jasmani, cara-cara
berdagang, dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu. Ketika terjadi proses akulturasi, ada dua tipe masyarakat yang akan
terbentuk. Masyarakat yang “kolot” tidak suka dan menolak hal-hal baru dan masyarakat yang “progresif” suka dan menerima hal-hal baru. Salah satu wujud
penolakan terhadap pengaruh kebudayaan asing dan pergeseran sosial budaya adalah gerakan-gerakan kebatinan di mana warga “kolot” dapat mengundurkan
diri dari kehidupan masyarakat yang bergeser itu dan bermimpi mengenai kejayaan kuno di masa lampau sesuai dengan kebudayaannya. Reaksi berbeda dari
warga progresif dimana mereka menerima hal-hal baru yang datang.Hal ini tidak jarang mengakibatkan perpecahan masyarakat dengan berbagai konsekuensi
konflik sosial politik Koentjaraningrat, 2002: 254-255.