dan sarana pendukung dapat saling mendukung agar terjadi kesesuaian pada tiap fungsi pemanfaatannya sehingga dapat dijadikan sebagai arahan pengembangan
ruang publik pada umumnya. Ruang publik sebagai ruang yang dapat diakses oleh setiap orang dan
dengan sendirinya harus memberikan kebebasan bagi penggunanya. Sedang menurut Lynch dan Carr 1981, penggunaan ruang publik sebagai ruang bersama
merupakan bagian integral dari tata tertib sosial, sehingga perlu adanya pengendalian terhadap kebebasan tersebut. Pengendalian dalam penggunaan ruang
publik berkaitan dengan toleransi akan kepentingan orang lain yang juga menggunakan ruang publik tersebut.
2.3 Ruang Jalan sebagai Ruang Publik
Menurut Spurrier dalam Bishop 1989, jalan tidak dapat dipertimbangkan hanya sebagai jalur kendaraan, tetapi secara keseluruhan menjadi bagian integral
kehidupan manusia. Dan Budiharjo 2005, mengatakan bila jalan direncanakan hanya berdasarkan anggapan akan fungsinya, maka akan menutup peluang untuk
memanfaatkan jalan sebagai ruang untuk beraktivitas. Lewelyn–Davies 2000, menguraikan bahwa pada setiap perencanaan sebuah jalan timbul pertanyaan ”apa
yang  dapat terjadi di jalan ini?”. Selanjutnya Lewelyn–Davies mengungkapkan dari fungsi awal jalan sebagai jalur penghubung, muncul kegiatan lain di
sepanjang jalan tersebut, namun harus dilihat pula dari beberapa aspek lainnya, seperti peranan jalan itu sendiri dari sudut pandang masyarakat, tipe dari
bangunan disekitarnya serta penataan landscape yang mendukung.
Universitas Sumatera Utara
Appleyard 1981, mengungkapkan bahwa jalan adalah pusat sosial kota dimana masyarakat berkumpul, tapi juga sekaligus merupakan saluran pencapaian
dan sirkulasi. Ditambahkan oleh Jacobs 1993 bahwa jalan yang baik mendorong partisipasi, masyarakat berhenti untuk berbicara atau mungkin mereka duduk dan
melihat, sebagai peserta pasif, menerima apa yang ditawarkan jalan. Maka dapat disimpulkan bahwa jalan merupakan sarana untuk melakukan
perpindahan dari suatu tempat menuju pada suatu tempat, dari satu titik menuju ke titik lainnya. Namun jalan merupakan suatu arena kegiatan sosial pula, sebagai
pintu gerbang ruang privat manusia menuju ke ruang dengan dimensi yang lebih luas yaitu masyarakatpublik.
Lebih lanjut Rapoport 1977 menjelaskan bahwa terjadinya aktifitas di suatu lingkungan termasuk ruang publik kota dapat dianalisa dalam empat
komponen yaitu: a.   Aktifitas.sesungguhnya makan, berbelanja, minum, berjalan;
b.   Aktifitas spesifik untuk melakukannya berbelanja di bazaar, minum di bar, berjalan di jalan, duduk di lantai, makan bersama orang lain;
c.   Aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi yang mana menjadi bagian dari sistem aktivitas  berbelanja sambil bergosip, pacaran
sambil jalan-jalan; d.   Aktifitas simbolik berbelanja sebagai konsumsi yang menyolok,
memasak sebagai ritual, cara menegakkan identitas sosial.
Universitas Sumatera Utara
Rapoport kemudian juga menyatakan bahwa aktifitas sesungguhnya activity proper dan aktifitas spesifik specific activity merupakan perwujudan
“fungsi manifestasi” sedangkan aktifitas tambahan, berdampingan atau terasosiasi activity additional, adjacent and associationed dan aktifitas simbolik symbolic
activity merupakan perwujudan “fungsi laten”. Aktifitas tambahan,
berdampingan atau terassosiasi dan aktifitas simbolik inilah yang membentuk “citra” suatu tempat.
Kegiatan di ruang terbuka publik di pusat kota merupakan perwujudan “fungsi  manifestasi” ruang terbuka sebagai pusat interaksi sosial budaya
masyarakat dan fungsi ekologis kota, pedestrian dan jalan sebagai linkage system dan juga fungsi laten ruang terbuka sebagai aktifitas ekonomi dan
jalanpedestrian sebagai tempat aktifitas ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Terjadinya  aktifitas tersebut sebagai perwujudan fungsi manifestasi dan laten
dalam ruang publik sehari-hari yang saling bercampur baur antara satu aktifitas dengan aktifitas lainnya dan saling mempengaruhi, yang dilakukan oleh
sekelompok orang atau kelompok yang mempunyai persepsi atau nilai-nilai sama atau mirip dan melakukan suatu rangkaian kegiatan atau perilaku tertentu untuk
makna dan tujuan yang telah disepakati Rapoport, 1977. Jika dikaitkan dengan ruang jalan, maka jalan dengan fungsi
manifestasinya sebagai sarana transportasi untuk menghubungkan antara dua tempat yang berbeda, dan jalan memiliki fungsi laten sebagai tempat beraktifitas
sosial, tempat berhubungan antar masyarakat, masyarakat sebagai peserta aktif
Universitas Sumatera Utara
maupun pasif yang mungkin hanya duduk atau melihat apa yang ditawarkan oleh jalan tersebut.
2.3.1  Ruang publik ditinjau dari aspek fisik Menurut Shirvani dalam urban design  dikenal enam elemen fisik yang
digunakan untuk membuat kebijakan, rencana, panduan design dan program. Namun dalam penelitian ini akan ditekankan pada empat elemen fisik yang paling
berkaitan dengan subyek penelitian. Elemen fisik tersebut antara lain  sistem keterkaitan ruang sirkulasi, aksesibilitas dan parkir Jalur pejalan kaki pedestrian
ways, aktifitas penunjang activity support, street furniture. Salah satu fungsi urban space  adalah sebagai sebagai simpul kegiatan.
Fungsi ini memiliki keterkaitan yang erat dengan pola sirkulasi transportasi kota. Oleh karenanya urban space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek
aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya perparkiran, sekaligus memenuhi tuntutan keamanan dan kenyamanan pejalan kaki pengguna jalan
maupun urban space tersebut. Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting
bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan. Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota
dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui
experiencenya Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007. Dan sirkulasi yang baik
Universitas Sumatera Utara
dalam konteks transportasilalu-lintas  memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.
Sirkulasi dapat dikelompokkan sesuai dengan pelaku, sesuai dengan pembagian tempatareanya maupun sesuai pola yang dibentuk sirkulasi itu sendiri.
Sirkulasi menurut tempatarea dapat dibagi menjadi dua: a.   Sirkulasi outdoor yaitu sirkulasi yang terjadi pada ruang luar suatu
bangunan atau sirkulasi di luar suatu bangunan. b.   Sirkulasi indoor yaitu sirkulasi yang terjadi di dalam bangunan itu
sendiri. Sirkulasi menurut pelakunya dibagi menjadi dua Ashihara,1986 yaitu:
a.   Sirkulasi manusia yaitu sirkulasi yang dilakukan oleh manusia. Sirkulasi yang dilakukan manusia dapat terjadi pada outdoor atau
indoor. b.   Sirkulasi kendaraan yaitu sirkulasi dari kendaraan sebagai sarana
transportasi. Umumnya sirkulasi kendaraan banyak melibatkan mengenai penataan ruang untuk parkir. Sirkulasi untuk parkir juga
dapat terjadi di outdoor atau indoor.
Sirkulasi menurut polanya Ching, 1990 dibagi menjadi: a.   Sirkulasi dengan pola terpusat, yaitu sirkulasi dengan pola menuju ke
pusat sebagai tujuan utama.
Universitas Sumatera Utara
b.   Sirkulasi dengan pola linier, ysitu sirkulasi yang membentuk suatu garis yang menghubungkan tempat yang satu ke tempat lain.
c.   Sirkulasi dengan pola radial, yang merupakan perkembangan dari sirkulasi linier.
d.   Sirkulasi dengan pola cluster, yaitu sirkulasi dengan pola yang membentuk persamaan kriteria seperti sirkulasi dengan satu pintu
masuk utama e.   Sirkulasi dengan pola grid, yaitu sirkulasi yang membentuk modul-
modul tertentu. Sedangkan perparkiran merupakan unsur pendukung sistem sirkulasi kota,
yang menentukan hidup tidaknya suatu kawasan. Perencanaan tempat parkir harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.   Keberadaan strukturnya tidak mengganggu aktifitas di sekitarnya, mendukung  kegiatan street level dan menambah kualitas visual
lingkungan. b.   Pendekataan program penggunaan berganda dengan cara time sharing.
Satu lokasi parkir dapat digunakan secara bergantian untuk beberapa lembaga. Misalnya, pagi untuk parkir karyawan perkantoran, pada
malam hari atau pada waktu hari libur area parkir tersebut dapat digunakan oleh pengguna urban space.
c.   Lokasi kantong parkir seyogyanya ditempatkan pada jarak jangkau yang layak bagi para pejalan kaki. Sistem perletakan parkir
Universitas Sumatera Utara
diharapkan dapat secara maksimal mempersingkat jarak jalan kaki menuju jalur pedestrian.
Dan menurut PP No 41 tahun 1993 tentang Standar Angkutan Jalan, parkir
yang disyaratkan adalah: a.  Ruang parkir mobil diasumsikan 4,8 x 2,3 m.
b.  Dilarang parkir dijarak 50 m dari penyeberangan. c.  Parkir tidak diperbolehkan di badan jalan kolektor dan lokal.
Area parkir seyogyanya membutuhkan ruang yang cukup sehingga
kendaraan bermotor mempunyai ruang yang cukup untuk parkir dan keluar dari area parkir tanpa harus berdesakkanterganggu dengan kendaraan lain yang juga
akan parkir. Selain itu juga perlu diperhatikan ruang tambahan dari pintu bukaan mobil apabila pengguna kendaraan roda empat keluar dari mobilnya.
Tipe tata letak parkir, baik di tepi jalan, pada lahan parkir atau garasi dapat dibagi menjadi parkir sejajar, membentuk sudut serta parkir tegak lurus dengan
tepi jalan atau dinding. Pilihan tergantung pada bentuk dan ukuran daerah yang tersedia, rencana sirkulasi serta jalan masuk keluar kendaraan.
Parkir sejajar dengan jalan umumnya diperuntukkan di tepi jalan raya. Ruang parkir sejajar paling sedikit 20 kaki, bila memungkinkan 22 kaki. Apabila
waktu parkir cukup singkat, misalnya 15 menit, maka ruang parkir harus lebih panjang sehingga kegiatan datang dan pergi dapat dilakukan dalam satu gerakan.
Universitas Sumatera Utara
Tata letak yang normal dan biasanya paling efisien untuk tempat parkir yang lebih besar adalah parkir secara tegak lurus dengan jalan. Hal ini
memungkinkan masuk atau ke luar pada dua arah dan penggunaan ruang yang paling ekonomis, dengan tempat parkir selebar 8 kaki 6 inci dan jalan selebar 25
kaki maka tempat parkir dapat dimasuki oleh seorang pengendara dengan mudah tanpa memerlukan gerakan khusus.
Parkir yang membentuk sudut memberikan tempat parkir yang lebih sedikit dibandingkan dengan parkir tegak lurus dalam suatu satuan panjang
tertentu, dan memerlukan jalan satu arah, akan tetapi tempat masuknya lebih memudahkan pengendara dan jalan antara biasa lebih sempit, sehingga
memungkinkan penggunaan lahan yang terlalu sempit bagi parkir tegak lurus. Dalam  melakukan  aktivitasnya,  pejalan  kaki  membutuhkan  suatu sarana
berjalan  kaki  yang  dikenal  dengan  sebutan  jalur  pejalan  kaki  atau jalur pedestrian.  Jalur  pedestrian  ini  menurut  Shirvani  1985  adalah  elemen yang
esensial  dalam  urban  design,  dan  bukan  hanya  menjadi  bagian  dari  program beutifikasi.  Lebih  dari  itu,  jalur  pedestrian  menjadi  suatu  sistem kenyamanan
dan  elemen  pendukung  bagi  efektivitas  retail  dan  vitalitas  ruang–ruang  kota. Selanjutnya,  dikatakan  bahwa  jalur  pedestrian  adalah bagian  dari  kota  dimana
orang  bergerak  dengan  kaki,  biasanya  berada  di sepanjang  sisi  jalan,  baik yang  direncanakan  atau  terbentuk  dengan sendirinya,  yang menghubungkan
satu tempat dengan tempat lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Berjalan  kaki  masih  merupakan  cara  bergerak  yang  paling  sering bagi kebanyakan  orang.  Dengan  demikian  sistem  jalur  pedestrian  merupakan
penghubung  penting  yang  menghubungkan  aktivitas–aktivitas  yang  ada  di kawasan  suatu  kota,  elemen  ini  menjadi  sebuah  elemen penyusun  structuring
element,  pergerakan  pejalan  kaki  akan mengikuti  jalur  yang  paling  mudah, menghindari  halangan-halangan, jalan  terdorong  oleh  daya  tarik  visual,
perubahan ketinggian, tekstur pergerakan.
Namun demikian,
tetap menuntut pencapaian  yang  aman.  Menurut  Spreiregen  1965  menyebutkan
bahwa pejalan  kaki  tetap  merupakan  sistem  transportasi  yang  paling  baik meskipun  memiliki  keterbatasan  kecepatan  rata-rata  3–4  kmjam  serta  daya
jangkau  yang  sangat  dipengaruhi  oleh  kondisi  fisik. Jarak 0,5  km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman Uterman, 1984.
Utermann  1984  mendefinisikan  berbagai  macam  jalur  pejalan  kaki pedestrian  di ruang  luar  bangunan  menurut  fungsi  dan bentuk. Menurut
fungsinya, dapat dikelompokkan sebagai berikut: a.   Jalur pejalan kaki yang terpisah dari jalur kendaraan umum sidewalk
atau trotoar  biasanya terletak bersebelahan atau berdekatan dengan jalur kendaraan umum sehingga diperlukan fasilitas yang aman
terhadap  bahaya  kendaraan  bermotor  dan mempunyai  permukaan rata,  berupa  trotoar  dan  terletak  di  tepi  jalan raya.  Pejalan  kaki
melakukan  kegiatan  berjalan  kaki  sebagai  sarana angkutan yang akan menghubungkan tempat tujuan. Jalur  pejalan  kaki  yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan  sebagai  jalur  menyeberang  untuk mengatasimenghindari konflik  dengan  moda angkutan lain,  yaitu  jalur penyeberangan jalan,
jembatan penyeberangan atau  jalur  penyeberangan  bawah  tanah. Untuk  aktivitas  ini  diperlukan  fasilitas  berupa  zebra cross,  skyway,
dan subway. b.  Jalur  pejalan  kaki  yang  bersifat  rekreatif  dan  mengisi  waktu  luang
yang terpisah sama sekali dari jalur kendaraan bermotor dan biasanya dapat  dinikmati  secara  santai  tanpa  terganggu  kendaraan  bermotor.
Pejalan  kaki  dapat  berhenti  dan  beristirahat  pada  bangku yang disediakan, fasilitas ini berupa plaza pada taman kota.
c.  Jalur  pejalan  kaki  yang  digunakan  untuk  berbagai  aktivitas, untuk berjualan,  duduk  santai,  dan  sekaligus  berjalan  sambil  melihat
etalase pertokoan yang biasa disebut mall. d.    Footpath  atau  jalan  setapak,  jalan  khusus  pejalan  kaki  yang
cukup sempit dan hanya cukup untuk satu pejalan kaki. e.    Alleyways  atau  pathways  gang  adalah  jalur  yang  relatif
sempit  dibelakang  jalan  utama,  yang  terbentuk  oleh  kepadatn bangunan, khusus  pejalan kaki karena tidak  dapat  dimasuki
kendaraan. Sedangkan menurut bentuknya, jalur pejalan kaki dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.    Arcade  atau  selasar,  suatu  jalur  pejalan  kaki  yang  beratap  tanpa dinding pembatas di salah satu sisinya.
b.    Gallery, berupa selasar yang lebar digunakan untuk kegiatan tertentu. c.    Jalan pejalan kaki tidak terlindungitidak beratap.
Sucher dalam  Ekawati  2006 mengemukakan bahwa  jalur  pedestrian dapat berfungsi
dengan baik
bagi pejalan
kaki dalam  melakukan
kegiatannya bila memenuhi beberapa persyaratan berikut ini: a.    Kontinuitas, umumnya  pejalan  kaki  di  segala  usia  lebih  suka
berjalan  memutar dimana  mereka  dapat  diketahui  saat  datang  dan pergi.  Namun yang  terpenting  adalah  rutenya  menerus  dan
dapat  dilakukan sewaktu–waktu. b.    Jarak, jalur  pedestrian  tidak  boleh  terlalu  panjang  sehingga  pejalan
kaki  dapat  melaluinya  bersama  beberapa  pejalan  kaki  lainnya. Pejalan kaki  harus  dapat  membuat  kontak  mata  dengan  pejalan
kaki  lain agar terjadi kontak sosial. c.    Lebar, beberapa  pejalan  kaki  menyukai  berjalan–jalan  bersama,
jadi sangatlah  ideal  bila  jalur  pedestrian  memiliki  lebar  yang cukup untuk  dua  orang  berpapasan  satu  sama  lainnya  tanpa
canggung untuk  menyela  suatu  percakapan.  Jalur  pedestrian  akan baik  dan humanis  bila  terdapat  elemen  pendukung  atau  street
furniture.
Universitas Sumatera Utara
Dan menurut Utermann 1984, seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Keamanan  safety, pejalan  kaki  harus  mudah  bergerak  atau berpindah dan berlindung dari kendaraan bermotor.
b.    Menyenangkan convenience, pejalan kaki harus memiliki  rute sesingkat mungkin jarak terpendek  yang  bebas  hambatan  dari  suatu
lokasi ke lokasi tujuan lain. c.    Kenyamanan  comfort, pejalan  kaki  harus  memiliki  jalur  yang
mudah  dilalui,  seperti  halnya kendaraan bermotor berjalan  di  jalan bebas hambatan.
d.    Menarik attractiveness, pada  tempat  tertentu  diberikan  elemen yang  dapat  menimbulkan daya  tarik  seperti  elemen  estetika,  lampu
penerang jalan, lansekap, dll.
Dimensi  lebar  ruang  yang  dibutuhkan  jalur  pedestrian  di  kawasan perdagangan  untuk  jalur  berkapasitas  dua  orang  minimal  150  cm,
sedangkan  jalur  berkapasitas  tiga  orang  minimal  membutuhkan  ruang  200 cm. Aktivitas  pejalan  kaki  memiliki  lingkup  dan  pergerakan  yang  lebih kompleks
dari  pada  jenis  transportasi  lainnya  terutama  dikawasan perdagangan. Sehubungan  hal  tersebut,  suatu  jalur  pedestrian  harus berkualitas  tinggi  dan
memberikan  keleluasaan  ruang  gerak  atau  tempat luas,  serta  lingkungan  yang bebas  dari  konflik  dengan  lalu  lintas  bagi  aktivitas  pejalan  kaki.  Keadaan
Universitas Sumatera Utara
tersebut  akan  menciptakan  pergerakan yang  lancar,  kegiatan  sosialisasi,  dan kenyamanan  bagi  pejalan  kaki Ekawati, 2006.
Selanjutnya adalah pertimbangan akan faktor penarik di sepanjang jalur pedestrian, dan yang terakhir adalah pertimbangan fasilitas publik perabot jalan
dalam jalur pedestrian seperti bangku, pot tanaman, penerangan, dan lain –  lain. Apek jalur pedestrian dapat dibagi dalam tiga kelompok fungsi dan kebutuhan,
kenyamanan psikologis, dan kenyamanan fisik. Dalam aspek teknis, perancangan jalur khusus untuk pejalan kaki harus
memperhatikan: a.   Penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan
kendaraan bermotor jalur tersendiri. b.   Pedestrian harus didukung oleh tempat orientasi point of interest.
c.   Kapasitas dan dimensi ruang mencukupi sehingga tidak terjadi kontak fisik dengan pejalan kaki lain.
d.   Peniadaan detail bangunan yang berbahaya, seperti  lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya.
e.   Mempunyai lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek. f.
Didukung dengan pepohonan yang rindang. Adapun  fungsi  utama  activity  support  adalah  menghubungkan  dua  atau
lebih  pusat–pusat  kegiatan  umum  dan  menggerakkan  fungsi kegiatan  utama kota  menjadi  lebih  hidup,  menerus  dan  ramai.  Tujuannya  adalah  untuk
menciptakan  kehidupan  kota  yang  sempurnalebih  baik yang dengan mudah
Universitas Sumatera Utara
mengakomodasikan kebutuhan  atau barang keperluan  sehari–hari  kepada masyarakat  kota, disamping  memberikan pengalaman yang memperkaya
pemakaidan  memberikan peluang  bagi  tumbuh  berkembangnya  budaya  urban melalui  lingkungan  binaan  yang  baik  dan  bersifat  mendidik  Danisworo
dalam  Carolina, 2007. Aktifitas penunjang mencakup segala penggunaan dan aktifitas yang dapat
memperkuat  urban public space, sebab antara aktifitas dan ruang fisik selalu saling melengkapi. Aktifitas cenderung untuk berada di tempat yang sesuai
cocok dengan yang dibutuhkan oleh aktifitas tersebut. Saling bergantungan antara ruang dan fungsi adalah elemen penting dalam urban design.
Menurut Whyte 1980, aktifitas penunjang juga dapat meningkatkan elemen desain fisik, terutama ruang terbuka. Ia juga menyatakan pentingnya
berjualan makanan food services,  hiburan, dan kegiatan pendorong yang lain sebagai obyek fisik dan obyek amatan.
Menurut Gehl-Gemzoe 1996, keberadaan aktifitas penunjang dalam ruang publik kota dapat dibagi dalam dua kategori, pertama meliputi kelompok
informal dan event–event  dalam skala kecil seperti musisi jalanan, pertunjukan jalanan, dll. Di lain sisi adalah event–event  yang diselenggarakan dalam skala
yang lebih besar, pertunjukan yang memerlukan persiapan seperti festival dan aktifitas–aktifitas kebudayaan yang menggunakan ruang publik sebagai wadah
aktifitasnya.
Universitas Sumatera Utara
Pertunjukan dan aktifitas kebudayaan tersebut adalah atraksi yang menarik untuk ruang publik kota dan akan menjadi magnet tersendiri sehingga
mengundang pengunjung dalam jumlah yang sangat besar untuk menikmatinya. Aktifitas–aktifitas ini menjadikan ruang publik kota menarik, amusing  dan tak
terduga Gehl-Gemzoe, 1996. Street
furniture menjadi
istilah yang
digunakan oleh
para kalangan  praktisi  untuk  memberikan  sebutan  bagi  perabot  jalan  atau
aksesoris  jalan,  dimana  perletakannya  selalu  berada  di  sepanjang  jalan raya atau  jalan  lingkungan  yang  fungsinya  sebagai  fasilitas  pendukung  aktivitas
masyarakat  di  jalan  raya.  Perabot  jalan  atau  street  furniture  ini cara perletakannya mempunyai kaidah – kaidah fungsi utama maupun seni.
a.    Fungsi  utama  street  furniture  adalah  sebagai  petunjuk  dan berfungsi  sebagai  pelayanan  terhadap  masyarakat  pengguna,
sehingga  diharapkan  dengan  adanya  street  furniture,  masyarakat dapat nyaman didalam melaksanakan aktivitasnya.
b.    Fungsi  seni,  yaitu  perletakan  street  furniture  di sepanjang  jalan raya mengikuti  kaidah–kaidah  seni,  baik  cara  perletakan  elemen–
elemen  itu  sendiri  maupun  desain  yang  diharapkan  mempunyai  nilai seni tinggi, sekaligus mempunyai kualitas bahan yang baik.
Menurut Rubenstein  1969 dalam suatu ruang kota dibutuhkan elemen– elemen pendukung street furniture sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
a.  Ground  Cover,  merupakan  penutup  tanah  dan  elemen  utama  yang harus  diperhatikan dalam perencanaan jalur pedestrian, menyangkut
skala,  pola,  warna,  tekstur,  ketinggian  dan  material, dimana material ini dibedakan menjadi:
1. Hard material: paving, beton, batu bata, batu dan aspal.
2. Soft material: tanah liat gravel dan rumput.
Pemilihan  ukuran,  pola,  warna  dan  tekstur  yang  tepat  akan mendukung suksesnya desain jalur pedestrian.
b.  Lampu,  dimana  standar  penerangan  untuk  skala  jalur  pedestrian secara umum  adalah ketinggian maksimum 12 kaki dan penerangan
maksimum  75  watt  dengan  jarak  masing–masing penerangan 50 meter.
c.  Signage,  berupa  tanda–tanda  yang diperlukan  untuk menunjukkan identitas  jalur  pedestrian,  arah,  rambu  lalu  lintas serta memberi
informasi lokasi  atau  aktivitas  gambar 2.1. Dalam sudut pandang urban design, ukuran dan kualitas desain dari papan iklan pribadi
haruslah diatur agar tercipta keserasian, mengurangi dampak visual yang negatif, dan mengurangi rasa kebingunan dan kompetisi antara
penandaan lalu lintas dengan penandaan publik. Desain penandaan yang baik dapat menghidupkan streetscape  dan difungsikan untuk
menginformasikan tentang barang dan  layanan individu. Ukuran, bentuk dan warnanya diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilihat
Universitas Sumatera Utara
oleh sasaran penerima informasi. Sasaran ini bisa pejalan kaki atau pengendara kendaraan bermotor. Oleh karenanya desain  harus
memperhatikan skala pergerakannya, cepat atau lambat.
Gambar 2.1 Contoh Signage Berupa Rambu-rambu Lalu Lintas Sumber: Observasi 2010
d.  Sculpture, berfungsi sebagai eye catching, dibuat untuk mempercantik jalur  pedestrian  atau  menarik  perhatian  mata  vocal  point  pada
sebuah  ruang  terbuka,  juga  dapat  berfungsi  sebagai  signtanda. Sculpture  bisa  berbentuk  patung,  air  mancur  dan abstrak gambar
2.2.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.2 Contoh sculpture sekaligus menjadi node dari kawasan Sumber: Observasi 2010
e.  Bollards,  semacam  balok–balok  batu  yang  berfungsi  sebagai barier atau  pembatas  antara  jalur  pedestrian  dengan  jalur kendaraan
yang biasanya terdapat pada pedestrian tipe semi mall. f.     Bangku,  digunakan  untuk  mengantisipasi  keinginan  pejalan  kaki
untuk  beristirahat  atau  menikmati  suasana  sekitarnya.  Bangku dapat  dibuat  dari  kayu,  besi,  beton  atau  batu.  Bangku  yang
nyaman  adalah  yang  memiliki  tinggi  sekitar  15-18  inch  dari  lantai dan  memiliki  sandaran.  Bangku  dapat  dilengkapi  dengan  kisi–kisi
sehingga angin dapat masuk melalui kisi–kisi  tersebut.  Bangku merupakan tempat duduk primer, sedangkan tempat duduk sekunder
dapat berupa rerumputan, tangga, dan tembok pembatas tanamantanah. Ketersediaan tembok pembatas ini disarankan 50
dari bangku–bangku yang ada di ruang terbuka tersebut, dan agar dapat dipergunakan sebagai tempat duduk sekunder haruslah memiliki
Universitas Sumatera Utara
tinggi 40-75 cm dan lebar 40-45 cm. Pengunjung akan lebih memilih bangku kayu, baru kemudian tangga dan pembatas tanamantanah.
Bangku dengan ukuran 3x6 kaki akan sangat sesuai untuk ruang terbuka, baik digunakan saling berhadapan maupun saling
membelakangi. Sedangkan pengunjung yang memilih untuk duduk di tangga dan tembok pembatas karena lebih sederhana. Tangga dan
tembok pembatas yang ada haruslah memiliki banyak lekukan atau sudut.
Bentuk, ukuran dan pengaturan tempat duduk sangat berpengaruh terhadap pengunjung ruang terbuka. Orientasi duduk haruslah
memungkinkan orang untuk memandang sekitarnya dengan leluasa. Dan perlu juga diperhatikan perlindungannya terhadap sinar matahari.
Sedangkan pengelompokan tempat duduk akan memberikan lebih banyak variasi orientasi dan pengguna.
g.  Kios,  peneduh  shelter  dan  kanopi,  keberadaan  kios  dapat memberi  petunjuk  jalan  dan  menarik  perhatian  pejalan  kaki
sehingga mereka  mau menggunakan  jalur pedestrian dan menjadikan jalur  tersebut  hidup,  tidak  monoton.  Shelter  dapat  dibangun
berbentuk  linier  sebagai  koridor  atau  sitting  group  yang fungsinya dapat berupa  tempat  untuk  istirahat,  berteduh  dari panas  terik  atau
hujan, maupun
untuk halte
pemberhentian jalur  kendaraan
umum gambar 2.3. Sedangkan kanopi digunakan untuk
Universitas Sumatera Utara
mempercantik  wajah  bangunan  dan  dapat  memberi  perlindungan terhadap cuaca.
Gambar 2.3 Contoh shelter berupa halte pemberhentian kendaaraan umum Sumber: Observasi 2010
h.  Tanaman  p eneduh,  disamping  untuk  mempercantik  kawasan  dan menjadi  pengarah,  juga  sebagai  pembatas  jalur  pedestrian  dengan
jalur  lalu  lintas  kendaraan  atau  parkir.  Barier  yang  dapat mengurangi  deru  bising  serta  asap  kendaraan  bermotor  serta
peneduh  disaat  hujan  dan  mengurangi  radiasi  panas  matahari. Adapun  kriteria  tanaman  yang  diperlukan  untuk  jalur  pedestrian
menurut  Hakim  1993  adalah  memiliki  ketahanan  terhadap pengaruh  udara;  bermassa  daun  padat;  jenis  dan  bentuk  pohon
berupa ngsana,  akasia  besar,  bougenville,  dan  teh-tehan pangkas; tanaman  tidak  menghalangi  pandangan  pejalan  kaki  maupun
pengguna kendaraan.
Universitas Sumatera Utara
i.   Jam  dan  tempat  sampah,  dimana  penempatan  jam  dapat  menjadi fokus  atau  landmark,  sedangkan  tempat  sampah  perlu  untuk
menjaga  kebersihan  jalur  pedestrian  sehingga  pejalan  kaki  merasa nyaman dan tidak terganggu gambar 2.4.
Gambar 2.4 Contoh design tempat sampah Sumber: Observasi 2010
j.   Elemen pendukung lain, adalah elemen yang memberikan kemudahan jalur  pejalan  kaki  dalam  mendukung  aktivitas  manusia yang
melewatinya.  Misalnya  telepon  umum,  tempat  sampah,  kotak pos, bahkan  di dekat  sitting  group  sering  ditempatkan  mesin penjual
minuman ringan dan koran. Street furniture atau perabot jalantaman merupakan perabot yang penting
bagi kelangsungan aktifitas di jalan atau taman. Desain dan penataan street furniture akan membentuk kesan place dan mendukung identitas kawasan.
2.3.2  Ruang publik ditinjau dari aspek sosial Ruang publik dapat mengakomodasi kebutuhan warganya akan kontak
sosial, berteman dan berkomunikasi. Menurut Roy dalam Budiharjo 1997, ruang
Universitas Sumatera Utara
publik merupakan third place yang melengkapi first place yaitu rumah tinggal dan second place yaitu tempat kerja.
Ruang publik dalam fungsinya sebagai area sosial dapat dimanfaatkan sebagai tempat berkumpul oleh berbagai macam golongan, dimana kegiatan yang
terjadi dapat beragam seperti olah raga dan bermain dengan suasana yang nyaman dan teduh dari vegetasi yang cukup rindang Nazaruddin, 1996. Selain itu, ruang
publik yang dilengkapi dengan street furniture, vegetasi dan unsur pelengkap lainnya juga berfungsi sebagai area sosial karena dapat dimanfaatkan oleh setiap
orang dan dapat memberikan keuntungan bagi pengembang kota karena akan mengurangi beban yang harus dikeluarkan untuk mengolah area baru yang
berfungsi sebagai area berkumpul masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan. Menurut Gehl-Gemzoe 1996, aktifitas yang dapat terekam dalam suatu
ruang terbuka publik dapat dikategorikan menjadi: 1.
Aktifitas wajib adalah aktifitas yang wajib dilakukan, dan umumnya berjalan masuk dalam kategori ini.
2. Aktifitas pilihan adalah aktifitas yang dilakukan karena memang ingin
dilakukan, seperti  berdiri, duduk–duduk di bangku taman dan cafe, dan aktifitas rekreatif lain yang biasa ditemui dalam ruang terbuka
publik termasuk dalam kategori ini. Pengunjung hanya terlibat dalam aktifitas pilihan ini jika tempat dan kondisinya memungkinkan, pada
saat menghabiskan waktu dalam ruang terbuka publik menjadi sangat menyenangkan. Aktifitas ini merupakan aktifitas rekreatif yang wajib
Universitas Sumatera Utara
diapresiasi  dan ruang terbuka publik yang baik akan mampu menyuguhkan kesempatan bagi para pengunjung untuk terlibat dalam
aktifitas santai dan menikmati waktu yang mereka habiskan di ruang publik tersebut.
Gehl-Gemzoe 1996 juga berpendapat bahwa salah satu cara untuk
menilai kualitas suatu ruang kota bukan dari jumlah orang yang hadir didalamnya melainkan bagaimana mereka menghabiskan waktu di dalam ruang kota.
“One way to judge quality in a city is not to look at how many people are walking, but to observe whether they are spending time in the city,
standing about, looking at something, or sitting just enjoying the city, the scenery and the other people.”
Berdasarkan Delianur 2000 jenis aktifitas rekreasi yang biasa terjadi pada ruang terbuka publik yang dilakukan seseorang atau kelompok antara lain aktifitas
aktif  dan  aktifitas pasif. Aktifitas-aktifitas ini dapat mempengaruhi terbentuknya ruang terbuka publik yang dapat dipergunakan seluruh kalangan baik untuk
aktifitas bergerak aktif maupun aktifiktas tidak bergerak seperti istirahat pasif.
2.3.2.1 Aktifitas aktif Suatu aktifitas yang dilakukan seseorang atau kelompok orang dengan
bergerak aktif di dalam ruang terbuka. Kegiatan yang tergolong dalam aktifitas ini adalah rekreasi jalan-jalan, olah raga dan bermain Simond, JO, 1976.
1.  Olah raga, kegiatan ini biasa dilakukan di ruang terbuka di pusat kota karena merupakan kebutuhan masyarakat untuk menjaga
kesehatannya. Kegiatan ini hanya bersifat rekreatif saja sehingga
Universitas Sumatera Utara
sarana olah raga di ruang terbuka tidak perlu mengikuti standart. Ada pun jenis olah raga yang biasa dilakukan di ruang terbuka, antara lain:
a.   Jogging, yaitu kegiatan lari santai yang umumnya dilakukan di atas perkerasan yang nyaman dengan ukuran sesuai kebutuhan
manusia. Umumnya lebar area yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan ini berkisar antara 1,5–2 meter sehingga masih tersisa
ruang untuk berpapasan dengan pengguna lainnya. b.   Senam, jenis olah raga yang satu ini memerlukan area yang lebih
luas karena memerlukan kebebasan untuk bergerak. c.   Sepeda, umumnya dilakukan oleh anak–anak hingga orang
dewasa dan sangat umum dilakukan di ruang terbuka. 2.  Bermain, aktifitas ini dilakukan oleh anak–anak dan umumnya salah
satu tujuan anak–anak untuk datang ke ruang terbuka adalah untuk bermain karena memiliki kebebasan yang lebih dibanding di rumah.
Fasilitas bermain merupakan salah satu daya tarik yang umum digunakan bagi pengelola ruang terbuka untuk menarik minat anak–
anak. Sedangkan alas dari area bermain pada ruang terbuka  adalah pasir, tanah atau rumput.
Bentuk dari ruang terbuka yang dapat menampung aktifitas aktif ini dapat
berupa  plaza, lapangan olah raga, tempat bermain, penghijauan tepi sungai sebagai area rekreasi, dll.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2.2  Aktifitas pasif Adalah aktifitas di yang dilakukan seseorang atau kelompok orang tanpa
banyak berpindah tempat atau tanpa banyak bergerak aktif, seperti berhenti untuk beristirahat, atau duduk-duduk santai. Umumnya aktifitas seperti ini dilakukan di
ruang terbuka berupa penghijauantaman sebagai sumber pengudaraan lingkungan.
Berikut adalah lima kategori orang yang duduk di ruang terbuka: a.
Orang yang sedang menunggu. b.
Pengunjung yang duduk di tepi ruag terbuka publik hanya sekedar untuk melihat kendaraan dan orang yang melintas.
c. Orang yang duduk dan melihat ke dalam ruang terbuka publik, dan
ketiga kategori ini umumnya dilakukan oleh perorangan. d.
Umumnya orang akan memilih untuk duduk tidak begitu dekat dengan jalur kendaraan dan jalur pejalan kaki sehingga dapat terbentuk ruang
untuk duduk berkelompok. e.
Sekelompok kecil pasangan yang mencari tempat yang cukup tertutup dan intim.
2.3.3  Ruang publik ditinjau dari aspek ekologis Pencemaran udara, khususnya di kota-kota besar, sudah merupakan
masalah yang perlu segera ditanggulangi. Hal ini akibat dari peningkatan aktifitas manusia, pertambahan jumlah penduduk, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, serta pertambahan industri dan sarana transportasi. Penurunan kualitas
Universitas Sumatera Utara
udara dirasakan pada tahun-tahun terakhir ini terutama di kota-kota besar seperti Jakarta serta pada pusat-pusat pertumbuhan industri.
Pemantauan terhadap parameter kualitas udara ambien seperti debu partikulat, SO2 sulfur dioksida, NOx oksida nitrogen, CO karbon
monoksida, dan HC hidrokarbon di kota-kota tersebut menunjukkan keadaan yang cukup memprihatinkan. Zat pencemar udara lainnya yang cukup mendapat
sorotan akhir-akhir ini adalah Pb timbal yang terdapat pada bahan aditif dalam bahan bakar bensin.
Berdasarkan sumbernya, pencemaran udara digolongkan menjadi sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Transportasi darat, khususnya kendaraan
bermotor roda empat dan roda dua, merupakan sumber bergerak, sedangkan industri, domestik, komersial, serta kebakaran hutan dan lahan merupakan sumber
tidak bergerak. Berdasarkan jumlah beban pencemaran udara, emisi gas buang kendaraan
bermotor merupakan sumber pencemar terbesar di kota-kota besar Indonesia. Kondisi itu diperburuk bila kendaraan yang beroperasi tidak berada dalam kondisi
yang baik atau laik jalan. Besarnya beban pencemar dari kendaraan bermotor diasumsikan
sebanding dengan konsumsi bahan bakar. Berdasarkan data tahun 1992-2003, penjualan bahan bakar bensin di dalam negeri mengalami pertumbuhan rata-rata
6,89 persen dan bahan bakar solar rata-rata 5,87 persen per tahun.
Universitas Sumatera Utara
Pencemaran udara memiliki dampak secara ekonomis berkaitan dengan penurunan kinerja sebagai akibat kenaikan tingkat kematian dan penderita sakit di
kalangan masyarakat. Kasus gangguan pada pernapasan merupakan penyebab kematian ke-6 di Indonesia setelah kecelakaan, diare, penyakit jantung, TBC dan
cacar, atau 6,2 persen dari seluruh penyebab kematian. Banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran udara yang ada. Salah satunya
adalah dengan menyediakan paru-paru kota yang dapat berfungsi sebagai penetralisir dan memberi keseimbangan ekologi bagi lingkungan sekitarnya.
Keberadaan ruang terbuka yang dilengkapi dengan unsur-unsur vegetasi, sedikit banyak juga dapat memberikan andil dalam mengurangi dampak polusi
udara ini. Bahkan menurut Catanese 1979, fungsi ruang terbuka dari segi ekologi akan memberikan keseimbangan ekologi untuk mencegah polusi udara di
perkotaan melalui unsur vegetasi yang beragam. Sedangkan Hakim 2002 menjelaskan bahwa fungsi tanaman dalam ruang terbuka secara ekologi  adalah
sebagai pengendali iklim climate control, dimana tanaman berfungsi sebagai pengendali iklim untuk  kenyamanan manusia. Faktor iklim yang mempengaruhi
kenyamanan manusia adalah suhu, radiasi sinar matahari, angin, kelembaban, suara dan aroma dan pencegah erosi erosion control.
Penataan ruang terbuka secara tepat akan mampu berperan meningkatkan kualitas atmosfir kota, penyegaran udara, menurunkan suhu kota, menyapu debu
perkotaan, menurunkan kadar polusi udara dan meredam kebisingan.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintah kota DKI Jakarta juga tidak tinggal diam dalam upaya untuk menekan pencemaran kualitas udara kota Jakarta, selain melakukan pemantauan
udara secara kontinyu, upaya lain yang telah dilakukan antara lain: a.  Melakukan sosialisasi SK Gubernur DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005
tentang Pengendalian Pencemaran Udara dan peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta nomor 75 tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang
Merokok. b.
Percepatan pengadaan koridor busway  koridor VII-X, upaya penerapan  Elektronik Road Princing,  Pembuatan Tol jalan kota,
pembukaan lahan terbuka hijau, pembangunan Mass Rapid Transit MRT yang tahap pertama akan membentang dari Lebak Bulus–
Dukuh Atas sepanjang 14,3 Km dan Tahap ke kedua akan dilaksanakan dari Dukuh Atas–Kota yang pembebasan lahannya akan
dilaksanakan pada tahun 2009 serta sosialisasi penerapan gedung hijau Green Building yang pada prinsipnya bukan  hanya memperbanyak
tanaman tetapi juga melakukan penghematan energi, material, air dan mengurangi pencemaran lingkungan yang pada tahun 2009 akan
dilaksanakan di Kantor Balaikota Merdeka Selatan. c.
Melakukan kegiatan Car Free Day  di lima wilayah kota secara bergiliran sebagai upaya membatasi pemakaian kendaraan bermotor
dan pengurangan pencemaran di DKI Jakarta.
2.3.4  Ruang publik ditinjau dari aspek ekonomi
Universitas Sumatera Utara
Dalam upaya pengelolaan ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang tidak monoton, maka didalamnya haruslah dapat menampung
aktifitas-aktifitas berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal rutin maupun tidak terjadwal diantaranya berupa konser, pameran seni, pertunjukan
teater, festival, pasar rakyat bazaar, dan promosi dagang. Kegiatan eceran yang hadir di ruang publik disebut oleh Shirvani 1985
sebagai salah satu elemen activity support  yaitu aktivitas pendukung yang meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang
publik kota, karena aktiftas-aktifitas dan ruang fisik selalu menjadi pelengkap satu sama lain. Yang nampaknya menjadi masalah kritis dan penting dari aktifitas
pendukung adalah bagaimana perilaku aktifitas pendukung dan kesempatan yang dikembangkan, dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam susunan fisik
perkotaan yang ada. Hadirnya generator aktifitas dalam ruang publik merupakan potensi pasar
yang selalu didekati oleh pelaku ekonomi, termasuk di dalamnya Pedagang Kaki Lima PKL. PKL memiliki karakter khusus yang terkait dengan aspek ekonomi,
sosial dan ketertiban umum. Karakter pejalan kaki yang ada di ruang publik memiliki korelasi yang tinggi terhadap karakter PKL yang muncul di  kawasan
tersebut, oleh karenanya penting dilakukan penataan dan pengaturan secara berkelanjutan terhadap aktifitas yang berkembang di area ruang publik.
Pedagang Kaki
Lima menurut
keputusan Memperindag
No. 23MPPkep11998 tentang lembaga-lembaga usaha perdagangan, adalah
Universitas Sumatera Utara
perorangan  yang  melakukan  penjualan  barang-barang  dengan menggunakan bagian  jalantrotoar  dan  tempat-tempat  untuk  kepentingan  umum  serta  tempat
lain  yang  bukan  miliknya.  Biasanya  memilih  tempat-tempat  yang  banyak dikinjungi  pengunjung  seperti  emper-emper  toko,  di tepi  jalan  raya,  taman-
taman  dan  pasar-pasar  dengan  tanpa  izin  usaha dari  pemerintah.  Aktivitas kaki  lima  kemudian  menjadi  sorotan  banyak orang  termasuk  pemerintah  kota,
terutama karena merekalah yang paling terlihat dan dalam  aktivitasnya mereka memerlukan ruang semi permanen yang  cukup  luas Dimara dalam Naupan,
2007. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, PKL dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: 1.  Berdasarkan latar belakang ekonominya
a.  PKL yang benar-benar terpaksa menjadi PKL karena kesulitan hidup. Mereka berdagang dengan warung beroda dorongan
ataupun bangunan semi permanen di trotoar. Sambil berdagang mereka juga bertempat tinggal di situ, karena tidak ada tempat lain
lagi untuk dijadikan tempat tinggal. b.  PKL yang berdagang karena masalah ekonomi juga namun mereka
telah memiliki tempat tinggal dan simbol hidup modern seperti TV misalnya. PKL yang berdagang karena melihat potensi keuntungan
jauh lebih besar dari pada membuat tokowarung dibanding jika harus menyewanya. Selain itu juga lebih mudah diakses pembeli.
Universitas Sumatera Utara
2.   Berdasarkan jenis dagangan yang dijual, terdiri dari PKL penjual makanan, pakaian,  kelontong, peralatan bekas dan sebagainya.
3.   Berdasarkan waktu berdagang, terdiri dari PKL yang berdagang pada pada pagi hingga siang hari, pagi hingga sore hari, sore hingga malam
hari, malam hingga pagi hari, pagi hingga malam hari dan sepanjang hari.
4.   Berdasarkan bangunan tempat berdagang, dapat diklasifikasikan menjadi  PKL bergerakmovabledorongan,  PKL tanpa bangunan
seperti PKL oprokandasarangelaran,  PKL dengan bangunan permanen selalu ada setiap saat, baik bentuknya masih tetap maupun
udah berubah, dan PKL dengan bangunan non permanen bongkar pasang.
5.     Berdasarkan luasan bangunantempat berdagang  space use, terdiri dari 7 kelompok yaitu PKL dengan luasan 1-3m2, 4-6m2, 7-9m2, 10-
12m2, 13-15m2, 16-17m2 dan lebih dari 18m2.
Dan dilihat  dari  kriteria  operasional  yang  ada  sekarang,  pengertian PKL dapat dikategorikan sebagai berikut Wijayaningsih, 2007:
a.    PKL  Tertata, yaitu  pedagang  kaki  lima  yang  dalam  usahanya sehari–hari menempati  lokasi  yang  telah  sesuai  atau  diijinkan  oleh
pemerintah daerah.  PKL dengan kategori ini memiliki  surat  ijin tempat  dasaran  serta  menaati ketentuan–ketentuan  atau  peraturan
yang  telah  ditetapkan  oleh pemerintah  kota  secara  baik  misalnya
Universitas Sumatera Utara
pembayaran  retribusi  dan menjaga  kebersihan,  keindahan, dan keamanan secara teratur.
b.    PKL Binaan, yaitu  pedagang  kaki  lima  yang  dalam  usahanya sehari–hari menempati  lokasi  larangan  atau  tidak  diijinkan  oleh
pemerintah kota  setempat  dan  tidak  dikenakan  pembayaran  retribusi namun keberadaannya  selalu  diawasi, dibina,  dan diarahkan  untuk
menjadi PKL yang baik. PKL memiliki dimensi kegiatan yang sangat kompleks, baik terkait
dengan aspek ekonomi, teknis, sosial, lingkungan maupun ketertiban umum. Beberapa aspek tersebut antara lain PKL sering menggunakan public space
tempat umum secara permanen seperti trotoar, jalur lambat, badan jalan, bahu jalan, lapangan dan sebagainya,  PKL seringkali  mengganggu kelancaran lalu
lintas, lahan yang dimanfaatkan oleh PKL sering bertolak belakang dengan aturan peruntukan lahan perkotaan, limbah PKL sering mengganggu lingkungan dan
kebersihan kota, keberadaan PKL sering mengganggu ketertiban umum, terutama pemakai jalan dan pemakai bangunan formal di sekitar PKL, dan PKL sangat sulit
ditata atau diatur. Berikut adalah beberapa  faktor  yang  mempengaruhi  pola  penyebaran
pedagang kaki lima Indrawati dalam Naupan, 2007: 1.  PKL  berkembang  pada  daerah  yang  tidak  tersentuh  oleh  rancangan
arsitektur  pada  lahan-lahan  perbatasaan  bangunan  dengan  urban space.
Universitas Sumatera Utara
2.  Sifat  kemarginalan  PKL  memiliki  kemampuan  sangat  tinggi untuk  mengundang  kegiatan  informal  lainnya  makan,  minum,
tidur,  dan bekerja secara informal. PKL  selalu  datang  di  daerah
yang  tidak  terencanakan  secara  mikro telantar  tetapi  secara makro  berada  pada  daerah  strategis  yang  dibangun oleh  sektor
informal.
Dalam perkembangan pola penyebaran PKL juga sangat dipengaruhi oleh aktifitas di jalur pedestrian. PKL di jalur pedestrian hampir dijumpai pada semua
fungsi kawasan. Secara umum, faktor utama pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan perdagangan muncul banyak PKL, karena di
kawasan tersebut lebih banyak pejalan kakinya. Selain  harus memperhatikan aspek–aspek diatas, seyogyanya keberadaan
suatu ruang terbuka publik juga harus memperhatikan beberapa unsur lain. Dan menurut Carr et al. dalam Carmona dkk. 2003, ruang publik akan berperan
secara baik jika mengandung unsur antara lain  comfort, relaxation, passive engagement, active engagement, discovery.
1.   Kenyamanan  comfort,  merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan ruang publik. Lama tinggal seseorang berada di ruang
publik dapat dijadikan tolok ukur comfortable  tidaknya  suatu ruang publik. Dalam hal ini kenyamanan ruang publik antara lain
dipengaruhi  oleh kenyamanan lingkungan environmental comfort yang berupa perlindungan  dari pengaruh alam seperti sinar matahari,
Universitas Sumatera Utara
angin; kenyamanan fisik physical comfort
yang berupa ketersediannya fasilitas penunjang yang cukup seperti tempat duduk.
2.   Relaksasi  relaxation,  merupakan aktifitas yang erat hubungannya dengan  psychological comfort.  Suasana rileks mudah dicapai jika
badan dan pikiran dalam kondisi sehat dan senang. Kondisi ini dapat dibentuk dengan menghadirkan unsur-unsur alam seperti
tanamanpohon, air dengan lokasi yang terpisah atau terhindar dari kebisingan dan hiruk pikuk kendaraan disekelilingnya.
3.   Kegiatan pasif  passive engagement,  aktifitas ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Kegiatan pasif dapat dilakukan dengan
cara duduk-duduk atau berdiri sambil melihat aktifitas yang terjadi disekelilingnya atau melihat  pemandangan yang berupa taman, air
mancur, patung atau karya seni lainnya. 4.   Kegiatan aktif active engagement, suatu ruang publik dikatakan
berhasil jika dapat mewadahi aktifitas kontakinteraksi antar anggota masyarakat teman, famili atau orang asing dengan baik.
5.   Penemuan dan pengelolaan discovery, merupakan suatu proses mengelola ruang publik agar di dalamnya terjadi suatu aktifitas yang
tidak monoton. Aktifitas dapat berupa acara yang diselenggarakan secara terjadwal rutin maupun tidak terjadwal diantaranya berupa
konser,  pameran seni, pertunjukan teater, festival, pasar rakyat bazaar, promosi dagang.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODE PENELITIAN