BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tujuan dari pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah terwujudnya derajat kesehatan dan gizi masyarakat yang optimal. Sasaran yang akan dicapai,
meningkatnya kemandirian masyarakat untuk memelihara dan memperbaiki keadaan kesehatannya, meningkatnya kemampuan masyarakat menjangkau pelayanan
kesehatan yang bermutu, efektif dan efisien, terciptanya lingkungan fisik dan sosial yang sehat, menurunnya prevalensi empat masalah gizi yang sama, khusus nya pada
kelompok ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita DepKes, 2000. Di Indonesia sebagaimana halnya dengan negara-negara berkembang lainnya,
masalah kesehatan dan pertumbuhan anak sangat dipengaruhi oleh dua persoaalan utama yaitu keadaan gizi yang tidak baik dan merajalelanya penyakit infeksi. Anak
yang menderita kurang gizi mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menderita infeksi yang menyebabkan terjadinya diare. Sebaliknya adanya penyakit
diare dapat dengan cepat menurunkan tingkat gizi anak. Bahkan kebiasaan ibu untuk menghentikan pemberian ASI ataupun makanan lain semasa anak menderita diare,
akan lebih memperburuk gizi anak. Gizi dan infeksi merupakan lingkaran setan yang menjadi penyebab kematian sebagian besar bayi dan anak balita Moehji,1998.
Untuk mengatasi masalah tersebut, salah satu program yang dicanangkan pemerintah adalah program inmunisasi. Program tersebut merupakan salah satu
intervensi utama yang berhasil guna dalam upaya kelansungan hidup anak. Dalam kaitan dengan tujuan Sistem Kesehatan Nasional SKN, imunisasi adalah satu
Universitas Sumatera Utara
bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif dalam upaya menurunkan kematian bayi dan balita Depkes RI, 1999.
Bayi dan balita merupakan kelompok masyarakat yang paling peka terhadap kekurangan gizi. Dari data yang telah terkumpul dari negara-negara maju dengan
jelas menunjukkan bahwa ada hubungan yang nyata antara tingakat sosial ekonomi dengan berat badan bayi yang dilahirkan. Mereka yang lahir dari ibu dengan status
ekonomi yang rendah biasanya menghasilkan bayi prematur atau bayi berat lahir rendah BBLR yang mempunyai berat badan 300-400 gram lebih ringan dari bayi
yang dilahirkan oleh ibu-ibu yang cukup ekonominya Hananto W,2002. Memburuknya gizi anak dapat saja terjadi karena ketidaktahuan ibu mengenai
tata cara pemberian ASI kepada anaknya. Berbagai aspek kehidupan kota telah membawa pengaruh terhadap banyak ibu untuk tidak menyusui bayi mereka, padahal
makanan pengganti yang bergizi tinggi, jauh dari jangkauan ekonomi mereka. Pengaruh buruk itu kian hari kian jauh menjalar ke daerah pedesaan, dan dapat
dibuktikan dengan berkurangnya jumlah ibu yang menyusui bayi mereka dari tahun ketahun. Keadaan ini juga membawa pengaruh buruk terhadap tingkat gizi bayi. Hal
ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila ibu cukup mengetahui kelebihan ASI sebagai makanan bagi bayi dan bahaya yang mungkin timbul akibat pengganti ASI
dengan makanan buatan lain. Menyusui merupakan aspek sangat penting untuk kelangsungan hidup bayi
guna mencapai tumbuh kembang bayi yang optimal sekaligus mempertahankan kesehatan ibu setelah bersalin. Selain itu menyusui merupakan proses alamiah,
Universitas Sumatera Utara
namun sering ibu-ibu tidak berhasil menyusui atau menghentikan menyusui lebih dini dari semestinya DepKes, 2002.
ASI mengandung zat gizi yang paling sesuai kualitas dan kuantitasnya untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. Sejak lahir bayi seharusnya hanya diberi ASI
saja sampai usia 6 bulan, yang disebut sebagai ASI Ekslusif. Setelah bayi mencapai usia 6 bulan selain ASI diberikan pula makanan pendamping ASI MP ASI dalam
bentuk jumlah yang sesuai dengan pertambahan umur bayi. Pemberian ASI tetap dilanjutkan hingga berusia 2 tahun DepKes, 2003.
Gizi merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi seseorang dikatakan baik apabila terdapat
keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental orang tersebut. Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dan konsumsi
makanan. Tingkat status gizi optimal akan tercapai apabila kebutuhan zat gizi optimal terpenuhi.
Untuk mencapai tumbuh kembang optimal, di dalam Global Strategy for Infant and Young Child Feeding, WHOUNICEF merekomendasikan empat hal
penting yang harus dilakukan yaitu : pertama memberikan Air Susu Ibu kepada bayi segera dalam 30 menit setelah bayi lahir, kedua memberikan hanya Air Susu Ibu
ASI saja atau pemberian ASI secara Eksklusif sejak lahir sampai bayi berusia 6 bulan, ketiga memberikan Makanan Pendamping Air Susu Ibu MP-ASI sejak bayi
berusia 6 bulan sampai 24 bulan, dan keempat meneruskan pemberian ASI sampai anak berusia 24 bulan atau lebih. Rekomendasi tersebut menekankan , secara sosial
Universitas Sumatera Utara
budaya MP-ASI hendaknya dibuat dari bahan yang murah dan mudah diperoleh dari daerah setempat indegenous food Dinkes Propsu, 2006
Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Adanya
kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, antara lain : pemberian makanan yang terlalu dini atau terlambat, makanan yang diberikan tidak cukup dan frekuensi
yang kurang. Pemberian makanan tambahan terlalu dini dapat menimbulkan gangguan pada
pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar. Bila pemberian makanan terlalu lambat mengakibatkan bayi mengalami kesulitan belajar mengunyah, bayi
tidak menyukai makanan padat dan bayi kekurangan gizi Cott, 2000 Pemberian makanan bayi di Indonesia masih belum sesuai dengan umurnya.
Masih banyak ibu yang memberikan makanan terlalu dini atau terlambat kepada bayinya. Terdapat 32 ibu memberikan makanan tambahan kepada yang berumur 2-
3 bulan, seperti bubur nasi, pisang dan 69 terhadap bayi yang berumur 4-5 bulan SurKesNas, 2000 dan hanya 25 bayi yang berumur 6-8 bulan yang pernah
diberikan telur dan daging Latif, 2000. Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional Susenas tahun 2005 dengan
menggunakan analisis antropometri balita menyatakan bahwa sekitar 10,45 balita di Sumatera Utara berstatus Gizi buruk. Dengan jumlah balita sebanyak 1.215.253
orang, maka diperkirakan sekitar 126.994 balita berada dalam kelompok yang dikhawatirkan menjadi lost generation BPS, 2006. Di kota Medan sendiri dalam
Profil Seksi Pangan dan Gizi Sub. Dinas Kesehatan keluarga Dinas Kesehatan Kota
Universitas Sumatera Utara
Medan tahun 2006, berdasarkan laporan gizi buruk dari RSU Pirngadi Patroli Kesehatan tahun 2005 jumlah balita gizi buruk sebanyak 121 orang, dan pada tahun
2006 mengalami peningkatan menjadi 373 orang dan 8 orang diantaranya terdapat di Kecamatan Medan Selayang. Kemudian berdasarkan laporan PSG Penilaian Status
Gizi yang berasal dari Posyandu di masing-masing Puskesmas di kota Medan, dengan memakai Indikator BBU sebanyak 856 0,54 balita di kota Medan di
kategorikan gizi buruk dan sebanyak 6169 3,85 balita gizi kurang.
1.2. Rumusan Masalah