menghentikan makan obat Aditama, 2002. Hambatan non medik yaitu faktor sosial budaya seperti menganggap bahwa penyakit TB sebagai suatu mistik
Yunus, 1992. Anggapan seperti ini mempengaruhi penderita untuk tidak mau berobat ke puskesmas karena menganggap bahwa obat medis tidak mampu
menyembuhkan penyakitnya. Dari latar belakang masalah diatas, maka penelitian ini perlu dilakukan
untuk mengidentifikasi hambatan- hambatan pelaksanaan program pengobatan TB paru di wilayah kerja puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba.
2. Tujuan Penelitan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifiasi hambatan pelaksannan program pemberantasan penyakit TB paru di wilayah kerja puskesmas Aek Torop
kecamatan Torgamba.
3. Pertanyaan penelitian
Hal-hal apa sajakah yang menjadi hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru?
4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada berbagai pihak terkait tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan TB paru
Universitas Sumatera Utara
4.1. Praktek Keperawatan
Sebagai informasi tambahan dan masukan bagi praktek keperawatan, khususnya keperawatan komunitas tentang bebagai hambatan pelaksaan
program pemberantasan penyakit TB paru di masyarakat.
4.2. Pelayanan kesehatan puskesmas
Sebagai informasi tentang hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru di puskesmas, agar jajaran pengelola program
pemberantasan TB Paru dapat mengembangkan dan memodifikasi program terkait agar berjalan optimal.
4.3. Penelitian selanjutnya.
Sebagai data pendukung bagi penelitian lanjutan yang berkaitan dengan hambatan pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru
Universitas Sumatera Utara
13
BAB 2 TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam bab ini akan dibahas teori,konsep dan variabel dalam penelitian yang akan dilakukan yaitu : Program Pemberantasan TB Paru
1. Penjelasan TB Paru 2. program Pemberantasan TB Paru
2.1. Strategi DOTS 2.2. Penyuluhan Kesehatan
3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru 3.1. Hambatan Medik
3.2. Hambatan nonmedik
1. Penjelasan TB Paru 1.1. Defenisi
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis Keliat, 2004. Penularan kuman ini melalui udara
dan bisa bertahan hidup di udara mulai beberapa menit sampai jam setelah dikeluarkan oleh penderita sewaktu batuk, bersin, menyanyi dan berbicara, dan
orang yang terpapar akan terinfeksi Alsagaff dan Mukty, 2006.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Epidemiologi
Micobacterium Tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia, menurut WHO sekitar 9 juta penduduk dunia diserang TB dengan kematian 3 juta
orang pertahun WHO,1997. Di Indonesia khususnya Sumatera Utara tahun 2006 data jumlah terduga penderita TB paru mencapai angka 34.329 orang, dengan
temuan terbanyak 156,408 orang. Tahun 2007 dari jumlah terduga sebanyak 204,171 tetapi terduga yang ditemukan hanya 117,136 orang Antonio, 2008.
1.3. Etiologi
Mycobacterium Tuberculosis merupakan penyebab dari TB paru, kuman ini bersifat aerob sehingga sebagian besar kuman menyerang jaringan yang
memiliki konsentrasi tinggi seperti paru-paru. Tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya seperti : usus, kelenjar getah bening limfe, tulang, kulit, otak,
ginjal dan lainnya serta dapat menyebar ke seluruh tubuh Aditama, 1994; Reeves, dkk, 2001.
Kuman TB berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam dan pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam BTA. Kuman
ini dapat cepat mati dengan sinar matahari langsung selama beberapa menit tetapi dapat bertahan sampai beberapa jam pada tempat yang lembab. Dalam jaringan
tubuh kuman ini dapat dormant tertidur selama beberapa tahun Depkes RI, 2002.
1.4. Gambaran klinik
Universitas Sumatera Utara
Gambaran klinik dapat dibagi atas dua golongan yaitu gejala sistemik dan gejala respiratorik. Gejala sistemik adalah : demam pada sore dan malam hari
yang merupakan gejala awal terjadinya penyakit TB dan malaise. Sedangkan gejala respiratorik adalah batuk terus-menerus selama 3 minggu atau lebih. Gejala
tambahan: batuk darah, sesak nafas, nyeri dada, berat badan menurun, keringat malam hari, demam meriang lebih dari sebulan Aditama, 2002
1.5. Cara penularan
Sumber penularan adalah penderita BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet percikan
dahak. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau terkena droplet tersebut
dan masuk kedalam saluran pernafasan. Setelah kuman TB masuk kedalam tubuh dan terus menyebar dari paru ke organ tubuh lainnya melalui sistem peredaran
darah, sistem saluran limfe, saluran nafas dan penyebaran langsung ke bagian- bagian tubuh lainnya Depkes RI, 2002.
Daya penularan dari seorang penderita, ditentukan banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif tidak tahan asam, maka penderita tersebut dianggap tidak menular Depkes RI, 2002.
Universitas Sumatera Utara
1.6. Resiko penularan
Resiko penularan Annual Risk Tuberculosis Infection di Indonesia dianggap cukup tinggi dengan variasi antara 1 – 3. Bila suatu daerah ARTI
sebesar 1 berarti setiap tahun dari 1000 ada 10 orang yang terinfeksi dan dari 10 orang. dapat diperkirakan bahwa di daerah tersebut setiap 100 penduduk rata-rata
satu orang penderita pertahun Depkes, 2005.
1.7. Penemuan penderita TB
Penemuan penderita TB paru dilakukan secara pasif, artinya penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka yang berkunjung ke unit
pelayanan kesehatan. Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan tersangka penderita. Cara ini biasa dikenal dengan sebutan Passive Promotif Case Finding. Selain itu semua kontak penderita TB BTA
Positif dengan gejala yang sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka penderita harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam 2 hari berturut-turut, yaitu
sewaktu, pagi, sewaktu SPS Depkes RI, 2005.
1.8. Diagnosa TB
TB dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua
dari tiga spesimen SPS BTA hasilnya positif. Bila hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau
pemeriksaan dahak SPS diulangi. Apabila fasilitas memungkinkan maka dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukan pemeriksaan lain seperti biakan. Bila ketiga spesimen dahak hasilnya negatif diberikan antibiotik spektrum luas selama 1-2 minggu. Bila tidak ada
perubahan, namun gejala mencurigakan TB ulangi pemeriksaan dahak SPS. Kalau SPS positif didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil SPS
negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada untuk mendukung diagnosis TB. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis penderita TB BTA negSatif
rongent positif. Sedangkan bila rontgen negatif penderita tersebut bukan penderita TB.
2. program Pemberantasan TB Paru 2.1. Strategi DOTS
2.1.1. Defenisi.
DOTS Directly Observed Treatment Short Course adalah strategi penyembuhan TB jangka pendek dengan pengawasan secara langsung. Atau
dengan kata lain DOTS adalah pengobatan TB jangka pendek dengan pengawasan ketat oleh petugas kesehatan atau keluarga penderita. Dengan menggunakan
strategi DOTS maka proses penyembuhan TB dapat secara cepat. DOTS menekankan pentingnya pengawasan terhadap penderita TB agar menelan
obatnya secara teratur sesuai ketentuan, sampai dinyatakan sembuh. Starategi DOTS telah dibukt ikan dengan berbagai uji coba lapangan dengan memberikan
angka kesembuhan yang tinggi. Bank dunia menyatakan strategi DOTS merupakan strategi kesehatan yang relatif paling murah pembiayaannya Aditama,
2002.
Universitas Sumatera Utara
DOTS terdiri dari 5 komponen yang tidak dapat dipisahkan yaitu : 1. Komitmen politis, berupa dukungan dana jajaran pemerintahpengambilan
keputusan terhadap penanggulangan TB atau dukungan dana operasional. 2. Penemuan penderita dalam pemeriksaan dahak dengan mikroskopis langsung.
Pemeriksaan penunjang lainnya seperti rontgen dan kultur dapat dilaksanakan pada unit pelayanan kesehatan yang memilikinya. 3. pengadaan dan distribusi
obat yang cukup dan tidak terputus. Tersedianya obat antituberculosis OAT yang cukup dan tidak terputus bagi penderita. 4. Pengawasan menelan obat.
Untuk memastikan keteraturan penderita minum OAT, dibutuhkan seorang pengawas minum obat PMO, khususnya pada dua bulan pertama dimana
penderita minum obat setiap hari. 5. Sistim pencatatan dan pelaporan data-data perkembangan penyakit TB Paru yang baku Aditama, 2002.
Melalui sistem pencatatan dan pelaporan yang sama diseluruh unit pelayanan kesehatan, akan memudahkan evaluasi. Dengan keseragaman
penggunaan defenisi kasus berdasarkan kategori penyakitnya, maka pencatatan penderita yang diikuti secara konkrit akan dapat di evaluasi secara berkala. Dalam
jangka panjang tujuan program pengobatan pemberatasan TB di Indonesia adalah memutuskan mata rantai penularan, sehingga penyakit TB tidak lagi menjadi
masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Dalam jangka pendek, program ini bertujuan untuk memperluas sarana kesehatan secara bertahap hingga mencapai
minimal 70 dari total penderita TB yang ada dapat di catat dan menyembuhkan minimal 80 dari total penderita yang ditemukan. Prinsif DOTS adalah
mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung
Universitas Sumatera Utara
dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditentukan Aditama,
2002.
2.1.2. Pengawasan Menelan Obat PMO.
Untuk menjamin kesembuhan dan mencegah resistensi serta keteraturan pengobatan dan mencegah drop out lalai dilakukan pengawasan dan DOTS
melalui pengawasan langsung menelan obat oleh Pengawas Menelan Obat PMO. Bagi penderita TB yang rumahnya dekat dengan puskesmas dan unit
pelayanan kesehatan lainnya maka PMOnya adalah petugas puskesmas, sedangkan bagi penderita yang rumahnya jauh, diperlukan PMO atas bantuan
masyarakat, LSM, PPTI Perkumpulan Pembantasan TB Indonesia dan PKK. Obat harus ditelan setiap hari yang disaksikan oleh PMO, jika tidak mungkin bagi
penderita untuk datang setiap hari ke puskesmas maka petugas puskesmas harus merundingkannya dengan penderita bagaimana caranya agar terjamin obat di telan
setiap hari. Sebelum obat pertama kali diberikan, penderita dan PMO harus diberi penyuluhan tentang : TB bukan penyakit keturunan atau kutukan, TB dapat di
sembuhkan dengan berobat teratur, bagaimana tata laksana pengobatan penderita pada tahap awal dan tahap intensif, pentingnya berobat secara teratur, Karena itu
pengobatan perlu di awasi, efek samping obat dan tindakan yang harus dilakukan bila terjadi efek samping tersebut dan cara penularan dan mencegah penularan
Aditama, 2002. Adapun yang menjadi persyaratan untuk menjadi seorang PMO menurut
Depkes 2005 adalah : 1 Dikenal, di percaya dan di setujui oleh petugas
Universitas Sumatera Utara
kesehatan dan penderita, selain itu juga harus disegani dan dihormati oleh penderita, 2 Dekat dengan tempat tinggal penderita, 3 Bersedia membantu
penderita dengan suka rela, 4 Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
Seorang PMO akan bertugas untuk mengawasi penderita agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita
agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukandan memberi penyuluhan pada anggota
keluarga penderita TB yang mempunyai gejala-gejala tersangka penderita TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan Depkes RI, 2005.
2.1.3. Pengobatan TB paru
Obat yang diberikan kepada penderita TB paru dengan BTA positif adalah OAT obat anti tuberculosis yang telah diprogramkan pada tahun 19931994.
Untuk pengamanan dalam pelaksanaan pengobatan paduan OAT dikemas dalam bentuk blister kemasan harian kombipak paket kombinasi, dari kombipak I,
kombipak II untuk pase awal dan kombipak III untuk pase lanjutan, oleh karena itu sekali seorang penderita memulai pengobatan ia harus menyelesaikannya
dengan lengkap dan hingga sembuh Depkes RI, 2002. Obat anti tuberculosis yang digunakan dalam program pengobatan TB
jangka pendek adalah : Isoniazid H, Rifampisin R, pirazinamid Z, streptomisin S dan ethambutol E. oleh karena itu penggunaan rifampisin dan
streptomisin untuk penyakit lain hendaknya dihindari untuk mencegah timbulnya resistensi kuman. Pengobatan penderita harus didahului oleh pemastian diagnosis
Universitas Sumatera Utara
melalui pemeriksaan laboratorium terhadap adanya BTA pada sample sputum penderita dan pemeriksaan radiologi Depkes RI, 2002.
Pemberian OAT juga harus sesuai dengan berat badan penderita, rata-rata berat badan penderita TB menurut pengalaman petugas kesehatan antara 33-50 kg
sehingga kemasan dalam blister kombipak I, kombipak II, kombipak III dan kombipak IV sangat sesuai ; bagi penderita dengan berat badan lebih dari 50 kg
perlu penambahan dosis. Pemberian pengobatan dengan kombipak sangat efektif dan praktis Depkes RI, 2002.
Obat yang dipakai dalam program pembertasan TB sesuai dengan rekomendasi WHO berupa paduan obat jangka pendek yang terdiri dari 3
kategori, setiap kategori terdiri dari 2 fase pemberian yaitu fase awal dan fase lanjutan intermitten yaitu, pada Kategori I 2HRZE4H3R3, diberikan kepada
penderita baru BTA positif dan penderita baru BTA negatif tetapi rontgen positif dengan “sakit berat” dan penderita ekstra paru berat. Diberikan 114 kali dosis
harian berupa 60 kombipak II dan fase lanjutan 54 kombipak III dalam kemasan dos kecil Depkes RI, 2005.
Kategori II 2HRZESHRZE5H3R3E3, diberikan kepada penderita dengan BTA + yang telah pernah mengkonsumsi OAT sebelumnya selama lebih
dari sebulan, dengan kriteria : penderita kambuh relaps BTA + dan gagal pengobatan failure BTA + dan lain-lain dengan kasus BTA masih +.
Diberikan 156 dosis , fase awal sebanyak 90 kombipak II, fase lanjutan 66 kombipak IV, disertai streptomisin Depkes RI, 2005.
Universitas Sumatera Utara
Kategori III 2HRZ4H3R3, diberikan kepada penderita baru BTA - roentgen + dan penderita ekstra paru ringan. Pemberian dengan dosis 114 kali.
Pada pase awal 60 kombipak 1 dan pase lanjutan 54 kombipak III. OAT sisipan HRZE, diberikan pada pengobatan kategori I dan II yang pada pase awal masih
BTA +, untuk ini diberikan obat sisipan selama 1 bulan, dimakan setiap hari Depkes RI, 2005.
Kategori kasus berdasarkan riwayat pengobatan : 1 Kasus baru : penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan Obat Anti
Tuberculosis OAT, atau pernah akan tetapi kurang dari 1 bulan. 2 Kambuh relaps : pernah dilaporkan sembuh, tetapi datang lagi dengan BTA +. 3.
Pindahantransfer in : telah terdapat dan mendapat pengobatan ditempat pengobatan lain, kini datang berobat serta mendaftarkan diri untuk lanjutan
pengobatan. 4. Pengobatan setelah defaultlalai : penderita yang datang berobat setelah berhenti makan obat selama 2 bulan atau lebih. Dan 5. Gagal : penderita
BTA + yang tetap memberikan hasil BTA +, walaupun setelah pengobatan fase awal Depkes RI, 2005.
Pemakaian obat anti tuberculosis OAT jangka pendek sesuai rekomendasi WHO, yaitu berdasarkan kategori dan klasifikasi penyakit sangat
penting. Obat anti TB yang digunakan sesuai dengan program pemerintah guna mencegah kegagalan pengobatan Depkes RI, 2005.
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Hasil Pengobatan dan Tindak Lanjut.
Hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai : sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah transfer out defaulted lalai DO dan
gagal Depkes RI, 2005. Kategori pertama, penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap, dan pemeriksaan
ulang dahak follow up paling sedikit 2 kali berturut- turut hasilnya negatif yaitu pada AP dan atau sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow
up sebelumnya. Contoh penderita yang dinyatakan sembuh, bila hasil pengobatan ulang dahak negatif pada akhir pengobatan AP, pada sebulan sebelum AP, dan
pada akhir intensif. Penderita dengan hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada akhir intensif pada penderita tanpa sisipan, meskipun pemeriksaan
ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. Selanjutnya, bila hasil pemeriksaan dahak negatif pada AP dan pada setelah sisipan pada penderita
yang mendapat sisipan, meskipun pemeriksaan ulang dahak pada sebulan sebelum AP tidak diketahui hasilnya. hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada
sebulan sebelum AP dan pada akhir intensif pada penderita tanpa sisipan, meskipun pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Contoh
berikutnya, bila hasil pemeriksaan ulang dahak negatif pada sebulan sebelum AP dan pada stelah sisipan pada penderita yang mendapat sisipan, meskipun
pemeriksaan ulang dahak pada AP tidak diketahui hasilnya. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan diri
dengan mengikuti prosedur tetap Depkes RI, 2002. Kategori hasil pengobatan yang kedua, pengobatan lengkap adalah penderita yang telah menyelesaikan
Universitas Sumatera Utara
pengobatannya secara lengkap tapi tidak ada hasil pemeriksaan ulang dahak dua kali berturut-turut negatif. Tindak lanjut : penderita diberitahu apabila gejala
muncul kembali supaya memeriksakan diri dengan mengikuti prosedur tetap Depkes RI, 2002. Kategori selanjutnya penderita yang pada masa pengobatan
diketahui meninggal karena sebab apapun Depkes RI, 2002. Kategori keempat adalah penderita yang pindah berobat ke kabupatenkota lain. Tindak lanjut :
penderita yang ingin pindah dibuatkan surat pindah dan bersama sisa obat dikirim ke unit pelayanan yang baru Depkes RI, 2002.Kategori hasil pengobatan kelima,
penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatan selesai.
Tindak lanjut: Lacak penderita tersebut dan berikan penyuluhan pentingnya berobat secara teratur. Apabila penderita melanjutkan
pengobatan lakukan pemeriksaan dahak. Bila positif lakukan pengobatan dengan kategori 2, bila negatif sisa pengobatan kategori 1 dilanjutkan Depkes RI, 2002.
Terakhir, penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya positif atau kembali menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir
pengobatan. Tindak lanjut : penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai dari awal, penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik atau berikan INH seumur hidup. Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan kedua
menjadi positif. Tindak lanjut : berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal Depkes RI, 2002.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Penyuluhan Kesehatan 2.2.1. Pengertian
Penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian dari promosi kesehatan adalah rangkaian dari rangkaian kegiatan yang berlandaskan prinsif-prinsif belajar
untuk mencapai suatu keadaan dimana individu, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan dapat hidup sehat dengan cara memelihara, melindungi dan
meningkatkan kesehatan Depkes RI, 2002;Effendy, 1998. Penyuluhan TB Paru perlu dilakukan karena masalah TB Paru banyak berkaitan
dengan masalah pengetahuan dan perilaku masyarakat. Tujuan penyuluhan adalah untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan peran serta masyarakat dalam
penanggulangan TB Paru. Penyuluhan TB Paru dapat dilaksanakan dengan menyampaikan pesan
penting secara langsung ataupun menggunakan media. Penyuluhan langsung dapat dilakukan dengan perorangan atau kelompok. Penyuluhan tidak langsung dengan
menggunakan media seperti: bahan cetak seperti leaflet, poster atau spanduk, sedangkan bentuk media massa dapat berupa koran, majalah, radio dan televisi.
Dalam program penanggulangan TB Paru, penyuluhan langsung perorangan sangat penting artinya untuk menentukan keberhasilan pengobatan
penderita. Penyuluhan ini ditujukan kepada penderita dan keluarganya, supaya penderita menjalani pengobatan secara teratur sampai sembuh. Bagi anggota
keluarga yang sehat dapat menjaga, melindungi dan meningkatkan kesehatannya, sehingga terhindar dari penularan TB Paru.
Universitas Sumatera Utara
Hal-hal penting yang disampaikan pada kunjungan pertama terlebih dahulu dijelaskan tentang penyakit TBC, bagaimana riwayat pengobatan
sebelumnya, bagaimana cara pengobatannya, juga perlu dijelaskan pentingnya pengawasan langsung menelan obat dan bagaimana penularan penyakit TBC
Depkes RI, 2002. Selanjutnya pada kunjungan berikutnya, hal-hal yang perlu dijelaskan mengenai cara menelan OAT, jumlah obat dan frekuensi menelan
OAT, penting juga dijelaskan mengenai efek samping OAT juga perlu dijelaskan jadwal pemeriksaan ulang dahak dan arti hasil pemeriksaan tersebut, dan tak kalah
pentingnya penjelasan mengenai apa yang dapat terjadi bila pengobatan tidak teratur atau tidak lengkap.
Petugas kesehatan seyogyanya berusaha mengatasi beberapa faktor yang dapat menghambat terciptanya komunikasi yang baik. Faktor yang menghambat
tersebut, antara lain ketidaktahuan penyebab TBC dan cara penyembuhannya, rasa takut yang berlebihan terhadap TBC yang menyebabkab timbulnya reaksi
penolakan, juga adanya stigma sosial yang mengakibatkan penderita merasa takut tidak diterima keluarga dan temannya serta hambatan yang berupa menolak untuk
mengajukan pertanyaan karena tidak mau ketahuan bahwa ia tidak tahu tentang TBC Depkes, 2002.
Penyuluhan dengan menggunakan bahan cetak dan media massa dilakukan untuk dapat menjangkau masyarakat yang lebih luas, untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang TB Paru sebagai suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan memalukan, menjadi suatu penyakit yang berbahaya tapi dapat
Universitas Sumatera Utara
disembuhkan. Bila penyuluhan ini berhasil, akan meningkatkan penemuan penderita secara pasif.
Penyuluhan langsung dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, para kader dan PMO, sedangkan penyuluhan kelompok dan penyuluhan dengan media massa
selain dilakukan oleh tenaga kesehatan, juga oleh para mitra dari berbagai sector termasuk kalangan media massa Depkes RI, 2002.
3. Hambatan Pelaksanaan Program Pemberantasan TB Paru
Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru yang meliputi
hambatan medik dan nonmedik yang mengakibatkan tidak tercapainya pelaksanaan program pemberantasan TB paru.
Menurut Yunus,dkk, 1992 pada umumnya hambatan dalam pelaksanaan program pemberantasan TB paru dapat di golongkan dam masalah medik dan
masalah nonmedik.
3.1. Hambatan medik
Ada dua hal yang menyangkut masalah medik yaitu pertama berasal dari penyakit dan penyebab penyakit. Tuberculosis adalah penyakit menahun,
berkembang secara kronik. Dalam perjalanannya ada masa tenang, ada masa eksaserbasi. Dalam masa eksaserbasi akan muncul sarang-sarang radang
pneumonis, dalam masa tenang sarang-sarang tersebut menyembuh dengan membentuk sarang-sarang fibrotisproliferatif. Makin lambat diagnosis
Universitas Sumatera Utara
ditegakkan, makin banyak sarang-sarang fibrotis. Kavitas akan menjadi kavitas sklerotik Yunus,dkk, 1992.
Obat antituberkulosis akan berhasil baik pada sarang-sarang TB bentuk pneumoni, sarang-sarang pneumonis akan diresorbsi kembali. Obat
antituberkulosis tidak akan mengembalikan jaringan fibrosis menjadi jaringan parenkhim, kavitas sklerotik tetap akan menjadi sklerotik Yunus,dkk, 1992.
Pemakaian obat antituberkulosis yang lama, apalagi yang tidak teratur akan menimbulkan resistensi kuman terhadap obat. Resistensi kuman terhadap obat
akan diketahui setelah dua bulan berlalu. Kedua, masalah yang berasal dari obat antituberkulosis OAT. Pada
umumnya sekarang tidak ada lagi hambatan dari segi obat, khususnya setelah ditemuka n obat-obat bakterisid. Semua paduan obat akan berhasil baik, asal
dikerjakan sesuai aturan mainnya. Beberapa hal dari segi obat yang harus diperhatikan, yaitu : pemakaian obat antituberkulosis yang tidak teratur dapat
menimbulkan resistensi kuman terhadap obat.dan harus dijaga, jangan sampai pemakaian obat yang berbulan-bulan menimbulkan efek samping dari obat-obatan
yang bersangkutan Aditama, 2002.
3.2. Hambatan nonmedik
Masalah nonmedik merupakan hambatan penting yang menyebabkan kegagalan pengobatan TB paru. Masalah nonmedik mencakup : 1 Pendidikan
yang rendahtidak adanyan pengetahuan, khususnya terhadap peyakit dan hygiene Yunus,dkk, 1992. Dengan pendidikan yang kurang penderita tidak menyadari
bahwa penyembuhan penyakit dan kesehatan itu umumnya berpangkal dari
Universitas Sumatera Utara
penderita atau masyarakat itu sendiri. pendidikan yang kurang menyebabkan sesorang tidak dapat meningkatkan kemampuannya untuk mencpai taraf hidup
yang baik yang sangat dibutuhkan untuk penjagaan kesehatan. 2 Hal lain yang merupakan masalah adalah sikap klien yang tidak acuh
terhadap dirinya sendiri, khususnya terhadap penyakit yang di deritanya. Berhubungan dengan rendahnya pendidikan terdapat perasaan tidak acuh terhadap
dirinya mengenai kesehatan lingkungannya, dan terhadap penyakit yang sedang di deritanya. Terutama lagi perasaan tidak acuh ini terhadap penyakit kronis, seperti
tuberculosis. Mungkin juga frustasi karena berbulan-bulan tidak juga sembuh, meningkatkan perasaaan tidak acuh terhadap penyakit tuberculosis Yunus,dkk,
1992. 3 Faktor lain juga dapat berasal dari nilai-nilai Sosial budaya ataupun
kehidupan status ekonomi dan sosial budaya diantaranya perumahan yang kurang memadai ruangan, ventilasi yang kurang mendapat cahaya matahari, membuang
ludah sembarangan, penjagaan kebersihan lingkungan yang baik dan menganggap penyakit tuberculosis sebagai sesuatu yang mistik, dan bahkan sebagai hukuman
dari Tuhan Yunus,dkk, 1992. 4 Aspek lain yang menjadi hambatan adalah karena kemiskinan,
tuberculosis adalah penyakit yang umumnya menyerang masyarakat dengan status miskin karena tidak sanggup meningkatkan daya tahan tubuh, makanan yang tidak
mencukupi dan kurang gizi, tidak sanggup membeli obat yang seharusnya dikonsumsi secara rutin, juga karena kemiskinan mengharuskan mereka bekerja
Universitas Sumatera Utara
keras secara fisik, sehingga kondisi ini mempersulit proses penyembuhan penyakit TB Paru yang diderita Yunus,dkk, 1992.
5 Keterlambatan mendeteksi penyakit adalah hal lain yang dapat menjadi hambatan pelaksanaan program. Atas dasar prinsif makin cepat TB ditemukan
makin cepat pula dapat ditangani dan diberikan pengobatannya serta penyembuhan menjadi lebih sempurna. Sebaliknya dalam keadaan terlambat
penyakit sudah menimbulkan kelainan-kelainan dalam paru Yunus,dkk, 1992.. 5 Selanjutnya aspek hambatan dari pihak petugas, dedikasi dari petugas
penting artinya untuk mendapatkan keberhasilan dalam tiap tugas, datang terutama untuk penyakit kronik seperti tuberculosis yang membutuhkan pasien
harus terus dimotivasi dengan baik. Karena kesibukannya petugas tidak mempunyai waktu lagi memperhatikan untuk melakukan pengawasan. Pasien
yang tidak mengerti apa yang dihadapinya dengan sendirinya akan lalai berobat sampai putus berobat,apalagi kalau penderita sudah merasakan sembuh dari
penyakitnya Yunus,dkk, 1992.
Universitas Sumatera Utara
31
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL
3.1. Kerangka Konseptual
Tuberculosis paru merupakan penyakit infeksi yang mengenai paru-paru manusia yang disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium
tuberculosis ini merupakan penyakit kronis yang telah lama di kenal oleh masyarakat dan ditakuti karena menular dan salah satu penyebab kematian di
Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya. Setiap tahun terdapat 450.000 kasus TB dan sepertiga penderita di
puskesmas serta sepertiga ditemukan di pelayanan rumah sakitklinik pemerintah swasta dan sisanya belum terjangkau unit pelayanan kesehatan Depkes RI, 2002.
Program penanggulangan penyakit TB paru nasional dilakukan melalui strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan. Strategi DOTS direkomendasikan oleh
WHO, yang telah terbukti cukup efektif dalam penyembuhan penderita TB paru di beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Ada lima komponen yang
diutamakan yaitu : pertama, komitmen politisi dengan adanya jaminan komitmen pemerintah untuk menanggulang TB paru. Kedua, penemuan kasus secara benar
dengan pemeriksaan mikroskopis. Ketiga, pemberian obat yang diawasi secara langsung PMO. Keempat, jaminan tersedianya obat secara teratur,menyeluruh
dan tepat waktu. Kelima, sistem monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baik. Selain strategi DOTS program lain yang dapat dilaksanakan yaitu
penyuluhan kesehatan tentang TB paru Aditama, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pelaksanaan program pemberantasan penyakit TB paru terdapat berbagai hambatan yaitu terdiri dari masalah medik dan masalah nonmedik.
Menurut Yunus, dkk, 1992, yang termasuk dalam masalah medik adalah penyakit yang diderita. Selanjutnya adalah obat-obatan. Sedangkan yang termasuk
dalam hambatan nonmedik adalah pendidikan yang rendahtidak ada pengetahuan khusus terhadap penyakit, tidak acuh terhadap dirinya, sosial budaya, kemiskinan,
keterlambatan mendeteksi penyakit dan petugas. Skema 1:Kerangka konsep hambatan pelaksanaan program pemberantasan
penyakit paru di Puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu.
3.2. Defenisi operasional :
Program Pemberantasan TB Paru adalah pelaksanaan kegiatan dalam perencanaan pemerintah tentang pengobatan TB paru dengan menggunakan
strategi DOTS dan penyuluhan kesehatan di puskesmas Aek Torop Kecamatan Torgamba Kabupaten Labuhanbatu.
Hambatan pelaksanaan program TB Paru adalah masalah-masalah yang dihadapi dalam berbagai kegiatan yang mengakibatkan tidak tercapainya
pelaksanaan upaya pemberantasan penyakit TB paru di wilayah puskesmas Aek Torop, meliputi hambatan medik dan nonmedik.
Program pemberantasan TB Paru
-
Strategi DOTS - Penyuluhan kesehatan
Hambatan pelaksanaan Program
-
Medik
- Nonmedik
Universitas Sumatera Utara
Hambatan medik yaitu hambatan pelaksanaan program pemberantasan TB Paru yang berasal dari penyakit dan penyebabnya serta obat-obatan.
Hambatan non medik yaitu hambatan pelaksanaan program yang bukan berasal dari penyakit maupun obat-obatan yang dapat menghambat tercapainya
tujuan program pemberantasan TB Paru.
Universitas Sumatera Utara
34
BAB 4 METODE PENELITIAN
1. Desain penelitian
Desain penelitian ini menggunakan metode deskritif eksplorasi, yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang hambatan pelaksanaan program
pemberantasan penyakit TB paru di puskesmas Aek Torop kecamatan Torgamba kabupaten Labuhanbatu.
2. Populasi dan sampel
2.1. Populasi Populasi dari penelitian ini adalah penderita TB paru yang sedang dalam
program pengobatan penyakit TB paru di puskesmas Aek Torop berdasarkan data puskesmas tahun 2008 sejumlah 20 orang.
2.2. Sampel Dari data puskesmas Aek Torop diperoleh jumlah penderita TB paru yang
berobat ke puskesmas Aek Torop tahun 2008 sebanyak 20 Orang. Menurut Arikunto 2002, apabila dalam penelitian jumlah subjek kurang dari 100 orang
maka lebih baik diambil semua, sehingga jumlah sampel penelitian yang diambil adalah 20 orang. Adapun kriteria sampel penelitian adalah penderita TB paru
berusia 18 tahun keatas yang sedang menjalani program pengobatan di puskesmas.
Universitas Sumatera Utara
3. Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di puskesmas Aek Torop, dengan pertimbangan bahwa di tempat ini ditemukan kejadian TB Paru dengan kecenderungan kasus
yang mengalami peningkatan dan dari survey awal ditemukan ada klien peserta program pengobatan TB paru yang tidak tuntas melakukan pengobatan.
Disamping itu lokasi penelitian adalah instansi tempat bekerja peneliti sehingga hasil penelitian ini dapat ditindaklanjuti di kemudian hari. Waktu penelitian
dimulai bulan maret 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009.
4. Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapatkan izin dari bagian pendidikan Fakultas Keperawatan USU dan mengajukan surat permohonan izin
penelitian kepada Kepala Puskesmas Aek Torop, setelah mendapatkan persetujuan dari kepala Puskesmas Aek Torop penelitian dapat dilaksanakan.
Pada pelaksanaan penelitian, kepada calon responden diberikan penjelasan tentang informasi esensial dari penelitian yang akan dilakukun, antara lain tujuan,
manfaat, kegiatan dalam penelitian, serta hak - hak responden di dalam penelitian ini.
Penelitian ini memperhatikan, menghormati, dan memberikan sepenuhnya hak - hak perlindungan diri bagi responden, yaitu hak atas privaci diri,
kerahasiaan identitas diri, dengan perlakuan yang sama dalam penelitian. Responden berhak untuk menentukan sendiri kesediaan berpartisispasi
sampai akhir penelitian ini selesai atau menarik diri dari penelitian walaupun
Universitas Sumatera Utara
penelitian masih berlangsung dan belum selesai. Hal tersebut tercantum dengan jelas dalam informed consent yang berupa pernyataan persetujuan partisipasi
secara lisan atau yang ditandatangani oleh responden sebelum penelitian dilaksanakan.
Sebelum menandatangani informed consent tersebut, responden diberi waktu hingga benar-benar paham sepenuhnya atas apa yang akan dijalaninya
dalam penelitian.
5. Instrumen penelitian