2.3. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat sebagai konsep dalam pembangunan memiliki perspektif yang luas. Menurut Pranarka dalam Roesmidi dan Riza R. 2006,
pemberdayaan diartikan pembangunan kekuasaan yang adil equitable sharing power sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang
lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap sumber daya alami dan pengelolaannya secara berkelanjutan. Dari hal tersebut dapat kita pahami bahwa
pemberdayaan menuntut kekuasaan yang adil sesuai dengan kelompok manapun baik kelompok lemah maupun kelompok yang tergolong kuat. Jadi, pembangunan tidak
hanya sekedar ditanggung oleh kelompok yang kuat dan besar, namun segala pihak yang terlibat.
Menurut konsep John Friedmann 1987, pemberdayaan masyarakat harus berawal dari pemberdayaan rumah tangga yang mencakup tiga hal, yaitu:
a. Pemberdayaan sosial ekonomi yang difokuskan pada upaya menciptakan akses
bagi setiap rumah tangga dalam proses produksi seperti akses informasi, pengetahuan dan ketrampilan, akses untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial
dan akses kepada sumber-sumber keuangan. b.
Pemberdayaan politik difokuskan pada upaya menciptakan akses bagi setiap rumah tangga ke dalam proses pengambilan keputusan publik yang
mempengaruhi masa depannya. Pemberdayaan politik masyarakat tidak hanya sebatas proses pemilihan umum, akan tetapi juga kemampuan untuk
mengemukakan pendapat, melakukan kegiatan kolektif atau bergabung dalam berbagai asosiasi politik, gerakan sosial atau kelompok kepentingan.
c. Pemberdayaan psikologis difokuskan pada upaya membangun kepercayaan diri
bagi setiap rumah tangga yang lemah. Kepercayaan diri pada hakikatnya merupakan hasil dari proses pemberdayaan sosial ekonomi dan pemberdayaan
politik. Konsep pemberdayaan merupakan sebuah konsep yang masih terlalu umum
dan tidak menyentuh akar permasalahan. Namun yang terpenting dari konsep pemberdayaan adalah memberikan power kepada yang powerless, karena hanya
apabila memiliki power maka mereka akan dapat melaksanakan proses aktualisasi eksistensi. Konsep ini menjadi pola dasar dari gerakan pemberdayaan atau
empowerment, yang mengamanatkan kepada peluang power dan menekankan keberpihakan kepada yang the powerless. Pada dasarnya gerakan pemberdayaan ingin
agar semua dapat memiliki kekuatan yang menjadi modal dasar dari proses aktualisasi eksistensi.
Pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya tidak hanya ditujukan secara individual, akan tetapi juga secara kolektif, sebagai bagian dari aktualisasi eksistensi
manusia. Dengan demikian manusia menjadi tolok ukur normatif, yang menempatkan konsep pemberdayaan masyarakat sebagai bagian dari upaya membangun eksistensi
pribadi, keluarga dan masyarakat bahkan bangsa sebagai aktualisasi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, dalam pemberdayaan masyarakat perlu
pengenalan akan hakikat manusia yang diharapkan dapat memberi sumbangan ataupun menambah wawasan ketika menerapkan konsep atau pada masyarakat.
Secara spesifik pemberdayaan masyarakat juga tertuang dalam Pembangunan Nasional Propenas yang menjelaskan tentang peningkatan pemberdayaan
masyarakat melalui penguatan organisasi, pemberdayaan masyarakat miskin, dan pemberdayaan keswadayaan masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Pembangunan Nasional. Di dalam Undang- Undang tersebut dinyatakan tentang prinsip-prinsip demokratisasi berdasar
kebersamaan, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, serta kemandirian dengan menjaga keseimbangan, kemajuan dan kesatuan nasional.
Kelembagaan yang menangani pemberdayaan masyarakat di tingkat pusat dibentuk Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat Desa yang berada
di lingkungan Departemen Dalam Negeri. Sedangkan di daerah dibentuk Dinas atau Lembaga Teknis Daerah, Badan atau Kantor Pemberdayaan Masyarakat sesuai
dengan kondisi daerah masing-masing.
2.4. Gerakan Pembangunan Swadaya Rakyat Gerbang Swara