BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Partisipatif
Sejak awal pemerintahan Orde Baru telah memberikan komitmen yang kuat untuk melaksanakan pembangunan nasional yang terencana secara
berkesinambungan. Pembangunan ini dimaksudkan bukan hanya sekedar untuk melepaskan bangsa Indonesia dari krisis ekonomi dan politik yang sedang
berkembang pada waktu itu. Pembangunan berencana dalam periode waktu cukup panjang diharapkan dapat menciptakan bangsa yang sejahtera, kuat dan stabil. Upaya
mengajar idealisme ini dirumuskan dalam suatu konsep pembangunan nasional, yang merupakan manifestasi dari model pembangunan Lewis Tambunan, M., 1999.
Dalam model Lewis yang sangat populer sebagai model pembangunan nasional di negara-negara dunia ketiga pada periode 1960-an dan 1970-an, tujuan
akhir proses pembangunan adalah transformasi perekonomian nasional dari perekonomian yang berlandaskan pertanian dengan surplus tenaga kerja menjadi
perekonomian yang berlandaskan industri berteknologi maju. Transformasi ini akan dicapai melalui ekstraksi berbagai surplus pertanianpedesaan, termasuk surplus
tenaga kerja, untuk digunakan membangun sektor industri di kawasan perkotaan secara berkelanjutan dengan cara ini, maka akhirnya sektor industri akan menjadi
sektor yang dominan dalam perekonomian nasional, baik dalam hal penyerapan tenaga kerja nasional maupun dalam hal pendapatan nasional, menggantikan posisi
sektor pertanian. Singkatnya, dengan mengikuti strategi pembangunan sebagaimana direkomendasikan oleh model pembangunan Lewis, perekonomian negara-negara
dunia ketiga akan mengalami suatu transformasi struktural, dari suatu struktur perekonomian yang didominasi pertanian dengan laju pertumbuhan ekonomi yang
sangat rendah ke suatu struktur perekonomian yang didominasi industri perkotaan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi Todaro, M.P, 1994.
Jadi, untuk negara seperti Indonesia yang sedang mengalami berbagai permasalahan ekonomi, termasuk pengangguran, model pembangunan Lewis sangat
memikat untuk diimplementasikan. Laju pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi selama Pembangunan Jangka Panjang Pertama dan kecenderungan penurunan pangsa
sektor pertanian yang diikuti dengan peningkatan sektor dalam PDB nasional telah diterima secara luas sebagai indikasi yang kuat dari implementasi model
pembangunan Lewis selama periode ini. Dalam kenyataannya Indonesia telah mengalami transformasi perekonomian nasional yang tidak seimbang di mana sektor
pertanian masih tetap dominan dalam penyerapan tenaga kerja nasional meskipun pangsanya dalam PDB nasional telah merosot secara signifikan. Transformasi yang
tidak seimbang inilah salah satu faktor kunci dibalik fenomena pengangguran dan kemiskinan yang telah melanda pedesaan bahkan sebelum krisis moneter terjadi.
Model pembangunan Lewis menyebabkan mayoritas penduduk miskin di Indonesia ada di sektor pertanianpedesaan. Semestinya, keadaan seperti ini tidak
perlu terjadi apabila pemerintah menerapkan konsep pembangunan yang tepat. Sebab, sesungguhnya sektor pertanian mempunyai potensi untuk menghasilkan kemakmuran
bagi bangsa Indonesia. Hal ini dapat direalisasikan bila tadinya pembangunan sektor pertanian dilakukan dengan konsep agribisnis Saragih, B, 1995.
Pemerintah Orde Baru juga melakukan pembangunan sarana dan prasarana pertanianpedesaan secara ektensif dengan biaya investasi yang sangat besar.
Meskipun fasilitas-fasilitas ini vital untuk perekonomian dan kehidupan masyarakat pertanianpedesaan tampak bahwa pada umumnya partisipasi dan komitmen
masyarakat dalam pemeliharaan dan pengembangannya sangat rendah. Sebagai akibatnya, pada umumnya fasilitas-fasilitas tersebut kurang terawat dan bahkan
banyak yang terlantar dan tidak berfungsi lagi. Masyarakat memandang fasilitas- fasilitas yang dibangun pemerintah sebagai “public goods”, bukan sebagai “collective
goods”. Pandangan tersebut membuat masyarakat mempergunakan fasilitas-fasilitas cenderung berlebihan sehingga kemampuannya akan merosot dan akhirnya hilang
bila tidak ada upaya pemeliharaan. Strategi pembangunan sarana dan prasarana pertanianpedesaan yang dianut
oleh Pemerintah Orde Baru secara tidak disadari telah menghancurkan semangat kerja sama dan kemandirian masyarakat pertanianpedesaan yang cukup kental
di masa lalu. Pendekatan yang lebih bersifat “top-down”, bukan berlandaskan pada inisiatif dan kebutuhan masyarakat pengguna, menghasilkan institusi-institusi yang
tidak efektif dalam menggalang kerjasama antaranggota masyarakat pedesaan. Berbeda dengan sistem pembangunan pada era Orde Baru yang bertitik tolak
dari GBHN yang berisi garis besar rencana pembangunan yang ditetapkan oleh MPR, sistem pembangunan pada era reformasi saat ini bertolak dari Pembangunan
Nasional Propenas yang berisi rencana pembangunan lima tahun yang disusun oleh Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat dan setelah mendapatkan
persetujuan dari DPR. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan cakrawala yang luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan
kota, dalam melaksanakan otonomi secara utuh dan bulat. Otonomi yang seluas-
luasnya terlihat dari jumlah urusan yang diserahkan, di mana daerah diberikan seluruh kewenangan pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal. Dengan perubahan ini, bandul manajemen
pemerintahan dan pembangunan bergeser dari model memusat sentrifugal menuju pada model memencar sentripetal. Pergeseran ini mengakibatkan banyak hal yang
sebelumnya sentralis sekarang menjadi desentralis. Sentralisasi menjadi desentralisasi. Karena itu, boleh dikatakan otonomi daerah sama dengan
desentralisasi. Dan dalam konteks pembangunan, sudah lama desentralisasi menjadi impian. Desentralisasi pembangunan mengharuskan dan mengandalkan pemerintah
dan masyarakat daerah untuk merumuskan bersama konsep-konsep pembangunan. Masyarakat harus dilibatkan dalam merancang-bangun item-item pembangunan.
Masyarakat tidak boleh diposisikan sebagai objek saja, melainkan harus aktif. Sejauh ini konsep desentralisasi pembangunan, bahkan juga otonomi daerah, mengalami
begitu banyak distorsi. Pembangunan sebagai rekayasa sosial untuk mempercepat perubahan sosial, dari keadaan serba kurang menjadi lebih baik, seringkali
menggunakan patokan-patokan yang tidak berdasarkan pada kondisi masyarakat
di mana pembangunan dilaksanakan. Masyarakat menjadi merasa aneh di tengah
pembangunan yang dirancang atas namanya, didesain untuk kebutuhannya. Saat ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dalam melaksanakan
pembangunan mengacu pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah atau dikenal dengan UU Otonomi Daerah. Di samping itu berbagai UU
lainnya seperti UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, UU Nomor 2 Tahun 1992 tentang Rencana Tata Ruang, dan UU lainnya yang telah mendapatkan persetujuan DPR-RI digunakan
sebagai acuan dalam melaksanakan pembangunan sehingga pembangunan wilayah menjadi terarah dan melalui tahapan yang benar sesuai dengan kemampuan fisik dan
sosial wilayah tersebut. Namun demikian pada prakteknya sistem pembangunan saat ini tidak berbeda
dengan masa yang lalu karena masih menggunakan istilah pembangunan sektoral dan pembangunan daerah. Bidang pembangunan dijabarkan dalam sektor, dan proyek
pembangunan. Proyek merupakan jenjang terendah dari hirarki istilah dalam pembangunan dan pada tahap ini pelaksanaannya membutuhkan dana dan tanah. Dan
dapat dimengerti, hasil pelaksanaan dari proyek pembangunan tahap inilah yang akan merubah kualitas lingkungan hidup dan kehidupan sosial, apakah semakin baik atau
sebaliknya malah banyak menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Menurut Hutagaol, P. 2000, masyarakat dan kawasan pedesaan yang
merupakan basis perekonomian nasional harus diposisikan sebagai motor penggerak,
dan bukan sebagai pendukung pembangunan nasional. Hal ini menuntut paradigma baru dalam pembangunan nasional, termasuk pembangunan pedesaan. Pembangunan
pedesaan dengan paradigma baru yang dimaksud tentunya menempatkan masyarakat pedesaan sebagai subjek yang berpartisipasi aktif dalam seluruh proses pembangunan
pedesaan baik dalam perencanaan, implementasi, pemeliharaan serta anggaran. Melihat potensi sumber daya kehidupan yang ada di desa dan berbagai
permasalahan yang muncul terkait dengan persentasi masyarakat miskin yang sebagian besar berdomisili di desa, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan
pembangunan desa seharusnya mampu dibangkitkan dari potensi-potensi yang ada tersebut. Selain itu, pengaruh lingkungan eksternal perlu diperhatikan, agar potensi
yang dimiliki dapat dibangkitkan secara optimal, efektif, efisien dan mencapai tujuan yaitu kesejahteraan masyarakat desa. Menurut Kohar, A. dkk 2004, jika potensi
sumber daya kehidupan di desa dibangkitkan maka akan menghasilkan lima potensi kekuatan utama yaitu:
1. Rasa kekeluargaan dan kebiasaan gotong royong jika dibangkitkan akan
menghasilkan kekuatan kerja sama kelompok K1 yang dinamis. 2.
Kebersamaan latar belakang budaya dan adat istiadat jika dibangkitkan akan menghasilkan kekuatan mencintai tempat kelahirannya K2, merupakan modal
dasar untuk mengembangkan kehidupan di desa. 3.
Adanya mata pencaharian dasar petani, nelayan, pengrajin, dan sebagainya jika dibangkitkan akan menghasilkan kekuatan sektor unggulan K3 di desa.
4. Adanya tetua-tetua adat yang dianggap sebagai orang yang disegani di desa,
menandai adanya kepemimpinan dalam masyarakat desa, jika dibangkitkan akan menghasilkan kekuatan kepemimpinan K4 dalam masyarakat, yang akan sangat
berperan dalam membuat suasana yang kondusif, menjalankan fungsi koordinasi dan sebagai organisator pembangunan di desa, yang benar-benar dipercaya
masyarakat. 5.
Lahan dan sumber daya alam yang dapat digarap dan dikelola sebagai wadah produksi masyarakat, jika dibangkitkan dan dikelola dengan baik akan
menghasilkan kekuatan produksi masyarakat K5. Kekuatan-kekuatan yang dimiliki disinergikan dengan tuntutan lingkungan
eksternal akan menghasilkan hubungan-hubungan yang positif dan merupakan dasar bagi hadirnya modal pembangunan desa berbasis kekuatan sumber daya masyarakat,
hubungan ini dapat digambarkan sebagai berikut:
K2
K3
K4
K5
DUKUNGAN KEBIJAKAN
PROSES PEMBANGUNAN
K1
Tuntutan Lingkungan
Eksternal
MASYARAKAT DESA MANDIRI
DAN SEJAHTERA
Sumber: Makalah Kohar dkk 2004
Gambar 2.1. Model Pembangunan Desa Berbasis Kekuatan Sumber Daya Masyarakat
Friedmann dalam bukunya Planning In The Public Domain 1987 menginterpretasikan tradisi perencanaan yang berkembang di dunia sebagai dua buah
aspek fungsi formal societal guidance dan societal transformation. Dalam societal guidance perencanaan diartikulasikan oleh pemerintah dengan menekankan
perubahan yang sistematis. Aspek ini dikenal dengan sebutan top-down planning, yang menekankan kepada peran pemerintah dan elit pengambil keputusan politik
sebagai aktor yang paling tahu dan mengerti kebutuhan masyarakat yang direfleksikan ke dalam produk perencanaan yang dibuat. Aspek ini dibagi dalam dua
tradisi perencanaan, yaitu public policy analysis dan social reformation.
Aspek societal transformation merupakan tradisi perencanaan yang bergeser dari societal guidance dan menginginkan terbentuknya sebuah tatanan masyarakat
yang menentukan nasibnya sendiri dan segala sesuatu yang diarahkan dari bawah bottom-up planning. Tradisi ini secara ekstrem ingin mengeliminir peran
pemerintah dalam perencanaan, sehingga membutuhkan sebuah transformasi dalam sruktur kekuatan power untuk menghasilkan sesuatu yang seimbang dalam
distribusi kekuasaan. Aspek ini menghasilkan dua tradisi perencanaan, yaitu social learning dan social mobilisation.
Perencanaan dengan pendekatan partisipatif atau biasa disebut sebagai Participatory Planning ini, jika dikaitkan dengan pendapat Friedmann, sebenarnya
merupakan suatu proses politik untuk memperoleh kesepakatan bersama collective agreement melalui aktivitas negosiasi atau urun rembuk antarseluruh pelaku
pembangunan stakeholders. Proses politik ini dilakukan secara transparan dan aksesibel sehingga masyarakat memperoleh kemudahan setiap proses pembangunan
yang dilakukan serta setiap tahap pengambilan keputusan yang diharapkan dapat meminimalisasi konflik antar-stakeholder. Perencanaan partisipatif juga dapat
dipandang sebagai instrumen pembelajaran masyarakat social learning secara kolektif melalui interaksi antarseluruh pelaku pembangunan atau stakeholders
tersebut Samsura dalam Hardiansah, E. C., 2004. Pembelajaran ini pada akhirnya akan meningkatkan kapasitas seluruh stakeholders dalam upaya memobilisasi sumber
daya yang dimiliki secara luas. Oleh karena itu, dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebuah suatu upaya untuk
membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencanaan yang secara efektif akan mendorong tindakan-tindakan publik Friedmann, J, 1987. Sehingga spektrum
perencanaan yang lahir adalah perencanaan sebagai sebuah proses dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk ikut terlibat dalam proses perencanaan itu
sendiri.
2.2. Pengembangan Wilayah