UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Gambar 2. Klasifikasi Leptospirosis Collins, 2006
2.1.5 Patofisiologi
Infeksi Leptospira menghasilkan manifestasi klinis dengan spektrum yang lebar Collins, 2006. Masa inkubasi biasanya 5-14 hari, dengan kisaran 2-30 hari
WHO, 2003. Secara umum Leptospirosis bersifat bifasik, dengan fase
septikemia akut diikuti oleh fase imun Gambar 3 Collins, 2006. Fase Septikemia
Fase septikemia, yang berlangsung sekitar empat sampai tujuh hari, ditandai dengan tiba-tiba demam, sakit kepala hebat, nyeri otot, dan mual. Bakteri dapat
diisolasi dari kultur darah, cairan serebrospinal CFS dan sebagian besar jaringan. Sekitar 90 pasien menderita anikterik ringan yaitu tanpa jaundice bentuk dari
penyakit, sementara 5-10 menderita lebih parah dari jaundice, gagal ginjal dan manifestasi perdarahan, biasa dikenal dengan penyakit Weil.
Interfase
Selama periode satu sampai tiga hari peningkatan mengikuti tahap pertama, suhu tubuh turun drastis dan pasien mungkin menjadi afebrile dan dengan gejala
yang berbeda. Demam kemudian terulang, mengindikasikan onset dari tahap kedua.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fase Imun
Fase imun berlangsung sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh terhadap infeksi, dan berlangsung sampai 30 hari atau lebih. Dimanifestasi oleh demam
dengan durasi yang pendek dan keterlibatan sistem saraf pusat meningitis.
Gambar 3. Arah khas Perkembangan Penyakit Leptospirosis Collins, 2006
2.1.6 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita Leptospirosis dapat dibagi menjadi pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan
pemeriksaan laboratorium spesifik. 1.
Pemeriksaan Laboratorium Klinik Umum Pemeriksaan laboratorium klinik umum memberikan hasil berbeda antara
Leptospirosis yang ringan dan berat. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita dengan gejala Leptospirosis berat memperlihatkan kelainan hasil laboratorium
yang sangat jelas. Pemeriksaan laboratorium klinik didasarkan dari gejala-gejala yang timbul, seperti mialgia hebat, demam, gangguan ginjal, dan lain-lain
Setiawan, 2008; Setadi dkk., 2001. 2.
Pemeriksaan Laboratorium Spesifik 2.a Pemeriksaan Bakteri
2.a.1 Pemeriksaan bakteri secara langsung dengan mikroskop
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan mikroskop cahaya setelah
preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai Levet dkk., 2001. Leptospira tampak sebagai organisme bergerak cepat, berbentuk spiral pegas yang
kurus, umumnya ditemukan dalam biakan, darah, dan urin WHO, 2003. Keuntungan pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak dan untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya,
memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah sedikit, Leptospira sulit ditemukan WHO, 2003.
2.b Pemeriksaan Serologis Sebagian besar kasus Leptospirosis didiagnosa dengan tes serologi.
Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan dan yang dianggap
paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test MAT Setiawan, 2008.
2.b.1 Microscopic Agglutination Test MAT Microscopic agglutination test MAT adalah tes untuk menentukan
antibodi aglutinasi di dalam serum penderita. Cara melakukan tes adalah serum penderita direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira
hidup atau mati. Setelah diinkubasi, reaksi antigen-antibodi diperiksa di bawah mikroskop lapangan gelap untuk melihat aglutinasi. Yang dipakai
batas akhir end point pengenceran adalah pengenceran serum tertinggi yang memperlihatkan 50 aglutinasi WHO, 2003. Metode ini dipakai
sebagai metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan membandingkan sensitivitas, spesifitas dan akurasi. MAT sering mengalami
beberapa kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli berpengalaman
Saengjaruk dkk., 2002. Kelebihan metode ini dapat dipakai untuk serosurvei epidemiologi dan
antigen yang dipakai dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan kelemahan metode MAT sangat rumit terutama saat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pengawasan, pelaksanaan, dan penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik. Perlakuan terhadap tes menggunakan
Leptospira hidup maupun mati harus sama. Memelihara biakan Leptospira di dalam laboratorium cukup berbahaya bagi para petugas. Disamping itu,
sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga perlu dilakukan verifikasi serovar secara berkala Levett dkk., 2001; WHO, 2003.
2.b.2 Enzyme-linked immunosorbent assay ELISA Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri in house. Untuk mendeteksi IgM umumnya
menggunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya
antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir WHO, 2003.
Kelebihan test ELISA ini cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT.
Sedangkan kekurangan tes ini adalah waktu diagnosis yang dibutuhkan cukup lama, menunggu sampai titer antibodi dapat dideteksi WHO, 2003.
3. Pemeriksaan Molekuler
3.a Teknologi PCR Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis Leptospirosis terutama
pada fase permulaan penyakit Leptospira beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah
munculnya gejala penyakit. Akan tetapi alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang Yersin dkk., 1998.
Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi jenis serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat untuk
epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Agar lebih bermanfaat, maka hasil yang diperoleh dipotong dengan enzim restriksi endonuklease, kemudian
amplikon yang diperoleh disekuen langsung atau dianalisis dengan metode konformasi untai tunggal Natarajaseenivasan dkk., 2004.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Keuntungan pemeriksaan PCR adalah bila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum
titer antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya memerlukan peralatan dan tenaga ahli khusus. Disamping itu, PCR dapat memberikan hasil positif
palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. Dia juga dapat memberikan hasil negatif palsu, karena spesimen klinik yang diperiksa sering
mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin WHO, 2003.
2.2 DNA
2.2.1 Struktur DNA dan Sifat Kimia DNA
DNA dan RNA merupakan polimer linier polinukleotida yang tersusun dari subunit atau monomer nukleotida. Komponen penyusun nukleotida terdiri
dari tiga jenis molekul, yaitu gula pentosa deoksiribosa pada DNA atau ribosa pada RNA, basa nitrogen, dan gugus fosfat Gambar 4. Basa yang ditemukan
pada nukleotida adalah basa purin adenin = A, guanin = G dan basa pirimidin
sitosin = C, timin = T, urasil = U. Monomer nukleotida mempunyai gugus
hidroksil pada posisi karbon 3’, gugus fosfat pada posisi karbon 5’ dan basa pada posisi karbon 1’ molekul gula. Nukleotida satu dengan yang lainnya berikatan
melalui ikatan fosfodiester antara gugus 5’fosfat dengan gugus 3’hidroksil.
Struktur DNA mirip dengan struktur RNA. Perbedaan diantara keduanya terdapat pada jenis gula dan basa pada monomernya serta jumlah untai penyusunnya. Pada
DNA, tidak terdapat gugus hidroksil pada posisi karbon 2’ dari molekul gula 2- deoksiribosa sementara pada RNA molekul gulanya adalah ribosa. Basa nitrogen
yang terdapat pada DNA adalah adenin, guanin, sitosin dan timin, sedangkan pada RNA jenis basanya adalah adenin, sitosin, guanin dan urasil. RNA merupakan
polinukleotida yang membentuk satu rantaiuntai sedangkan DNA merupakan polinukleotida yang membentuk 2 untai heliks ganda Gaffar, 2007.
Menurut Watson dan Crick DNA adalah untai ganda. Backbone dari masing-masing untai adalah rantai dari ribosa lima karbon gula dan grup fosfat
yang memiliki basa nitrogen A, T, C, dan G ikatan hidrogen yang dibentuk oleh pasangan basa A-T dan C-G bersama Stone, 2004.