Organ reproduksi Perbandingan jenis kelamin

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Organ reproduksi

Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap ikan. Tingkat kematangan gonad ikan ditentukan secara morfologi berdasarkan bentuk, warna, ukuran, bobot gonad, dan perkembangan isi gonad. Penentuan tingkat kematangan gonad ikan menggunakan tabel modifikasi dari Cassie Tabel 1. Pada Gambar 4 dan 5 disajikan gambar tingkat kematangan ikan kuniran Upeneus moluccensis yang diperoleh selama pengamatan untuk kedua jenis kelamin. Gambar 4. Gonad ikan kuniran Upeneus moluccensis betina TKG I TKG II TKG III TKG IV Gambar 5. Gonad ikan kuniran Upeneus moluccensis jantan Berdasarkan Gambar 4 terlihat bahwa ikan kuniran betina pada tingkat kematangan gonad pertama TKG I memiliki ovari seperti benang. Pada TKG II, ukuran ovari semakin besar dan berwarna merah kekuning-kuningan serta belum terlihat butir telur. Pada TKG III, ovari berwarna kuning dan secara morfologi butir telur mulai terlihat. Pada TKG IV, ukuran ovari semakin besar dan butir telur dapat terlihat dengan jelas, serta sudah dapat dipisahkan. Berdasarkan Gambar 5 terlihat bahwa ikan kuniran jantan memiliki testes seperti benang dan berwarna transparan pada TKG I. Pada TKG II, ukuran testes semakin besar dan warna testes seperti agak keputihan. Untuk TKG III pada jantan permukaan testes tampak bergerigi dan warna makin putih. Adapun untuk TKG IV pada jantan tidak ditemukan selama penelitian.

4.1.2. Perbandingan jenis kelamin

Proporsi kelamin atau perbandingan jenis kelamin merupakan perbandingan jenis kelamin betina dan jantan. Jenis kelamin betina dan jantan ditentukan secara morfologi dengan mengamati bentuk dan warna gonad ikan tersebut. Pada Tabel 2 disajikan proporsi kelamin ikan kuniran Upeneus moluccensis betina dan jantan selama tujuh bulan pengamatan. TKG I TKG II Tabel 2. Proporsi kelamin ikan kuniran betina dan jantan Jumlah ikan contoh ind Proporsi X² hitung X² tabel Uji Chi-square Betina Jantan Maret 34 58,824 41,177 5,733 3,182 Tidak seimbang April 83 81,928 18,072 35,391 3,182 Tidak seimbang Mei 70 82,857 17,143 35,261 3,182 Tidak seimbang Juni 68 57,353 42,647 1,699 12,706 Seimbang Juli 75 57,333 42,667 15,209 4,303 Tidak seimbang Agustus 60 36,667 63,333 27,306 3,182 Tidak seimbang September 63 53,968 46,032 10,512 3,182 Tidak seimbang Total 453 62,693 37,307 52,5733 3,1824 Tidak seimbang Berdasarkan Tabel 2 terlihat bahwa pada seluruh bulan pengamatan kecuali pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan. Ini berarti jumlah ikan betina yang tertangkap lebih banyak dibandingkan ikan jantan. Pada bulan Agustus, proporsi ikan kuniran jantan lebih besar dibandingkan dengan ikan betina. Menurut Effendie 1997, perbandingan jenis kelamin dalam pemijahan tiap-tiap spesies ikan berbeda-beda. Keadaan tidak seimbangnya proporsi antara ikan kuniran betina dan jantan diduga ikan betina dan ikan jantan tidak berada dalam satu area pemijahan sehingga peluang tertangkapnya ikan kuniran betina dan jantan tidak sama. Selain itu, sedikitnya jumlah ikan kuniran jantan yang tertangkap dapat disebabkan karena waktu pengambilan yang kurang tepat dan siklus ikan jantan lebih pendek. Adapun ikan contoh pada bulan Agustus, ikan kuniran betina diduga melakukan ruaya untuk pemijahan yang menyebabkan pada bulan tersebut jumlah ikan kuniran betina lebih sedikit tertangkap dibandingkan dengan ikan jantan. Namun, proporsi kelamin secara total menunjukkan bahwa proporsi ikan kuniran betina lebih besar dibandingkan dengan ikan jantan dengan perbandingan 1,7:1. Setelah dilakukan uji Chi-square diperoleh hasil bahwa proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam suatu populasi pada tujuh bulan pengamatan dalam keadaan yang tidak seimbang, kecuali pada bulan Juni dimana proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam keadaan yang seimbang. Namun secara keseluruhan, proporsi ikan kuniran betina dan jantan dalam keadaan yang tidak seimbang Lampiran 3.

4.1.3. Faktor kondisi